Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi.
"Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya.
Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat.
"Maafkan mas, Dek," bisiknya.
Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku.
Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja.
"Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku.
"Sayang, ayah berangkat dulu, ya, Nak," pamitnya pada buah hati kami.
Naura merentangkan tangannya yang disambut suamiku. Tangan mungilnya melingkar di leher ayahnya lalu menghadiahkan banyak ciuman di pipi Mas Rasha.
"Yayah angan yama, ya," ucapnya dengan aksen khas bayi dua tahun.
Mas Rasha tertawa lalu mencubit gemas pipi gembul Naura. "Siap, Bos!"
Naura meraih tangan ayahnya lalu mencium punggung tangannya. Hal yang sering kami lakukan setiap Mas Rasha hendak berangkat kerja. Mas Rasha kemudian berlalu meninggalkan aku yang masih memilih diam.
Namun, saat hendak menyusul Mas Rasha, sebuah pemandangan kembali membuatku semakin jengah. Wanita itu menghadang suamiku dan keduanya terlibat obrolan.
Bukan karena mereka terlihat sangat akrab sehingga membuatku tersulut cemburu, akan tetapi kembali wanita itu memakai pakaian yang terkesan menggoda. Baju piyama dengan celana yang sejengkal di atas lutut, rambut diikat tinggi dan menampakkan leher jenjangnya.
Aku terdiam menatap keduanya yang sedang asyik mengobrol. Mereka tak menyadari ada aku yang melihat keduanya dari kejauhan.
"Yayah!" panggil Naura kemudian berlari menuju ke arahnya.
Mereka yang sedang terlibat obrolan tampak terkejut. Terlebih saat Mas Rasha menatap ke arahku. Kami sama-sama terdiam sedangkan wanita itu tersenyum sinis. Memuakkan.
Aku melangkah ke arahnya lalu merebut Naura dari pelukan ayahnya.
"Aku pikir sudah berangkat, ternyata masih menikmati pemandangan dua gunung merapi yang menonjol bebas," sinisku.
"Mas hanya–"
"Dan kamu! Aku tidak mau tahu, hari ini terakhir kamu berada di sini. Kamu tidak tahu 'kan, rumah ini atas namaku?"
"Dek...."
"Wanita murahan!"
"Hey, maksud kamu apa ngatain aku wanita murahan?!" tanyanya tak terima.
Aku melihat tubuhnya dari atas hingga ke bawah. Sudut bibir ini terangkat. "Wanita terhormat tidak akan mempertontonkan auratnya secara gratis di depan lelaki yang bukan mahramnya!" desisku.
Dia menghentakkan kakinya kemudian berlalu di depanku. Aku menatap dingin suamiku yang terlihat kikuk.
"Mas berangkat, Sayang. Mas janji dia akan pergi hari ini. Maafkan suamimu yang bodoh ini," bisiknya. Aku hanya tersenyum sekilas.
Aku mengantar kepergiannya dengan perasaan yang tak dapat kuungkapkan. Bukannya aku posesif, hanya jika dia tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan.
Kulangkahkan kaki menuju kamar tidur, kemudian membuka pakaian Naura lalu memandikannya. Setelah semua selesai, aku membawanya ke ruang keluarga lalu menyalakan televisi. Jam seperti ini, Naura terbiasa menonton film kartun islami. Sejak tadi dia belum sarapan.
Aku melangkah ke dapur unruk membuatkannya bubur yang berisi tahu, ikan, sayuran hijau dan wortel yang sudah dipotong kecil.
Saat menyendokkan bubur ke dalam mulut Naura, bel berbunyi berkali-kali. Kebetulan Nayla keluar dari kamar.
"Tolong dong, buka pintu!" Tanpa protes dia melangkah ke arah pintu utama yang tak jauh dari ruang makan.
"Ibu Ainunnya ada?"
"Ada. Silahkan masuk!"
'Siapa ya?' tanyaku dalam hati.
"Dedek, makan sendiri dulu aja ya? bunda ke depan dulu," pesanku terlebih dulu pada Naura.
"Iya, Unda."
Kutinggalkan Naura untuk melihat siapa yang datang. Tampak ibu-ibu kompleks sedang duduk manis di sofa ruang tamu.
'Sepagi ini?' tanyaku dalam hati.
"Panggilin ibu dulu dong! Bilang sama ibu, di depan ada Bu Lili."
"Sebentar ya, Bu!" ucapnya dengan ramah.
Baru saja Nayla melangkah, aku sudah lebih dulu tiba di sana.
"Eh, ibu-ibu. Ada apa ya?" tanyaku penasaran.
"Mbak, itu siapa tadi?" tanya Bu Lastri seraya melirik pada Nayla yang masih berdiri di belakangku.
"O-oh, itu sahabat suami saya, Bu."
"Eh, maaf, kirain Mbak ART," celetuk Bu Ajeng dengan suara sengaja dikeraskan.
"Maaf?" tanya Nayla. Kini dia ada di sampingku. Dari raut wajahnya dia menahan kekesalan.
"Ya, maaf atuh. Soalnya kami teh nggak tahu," jawab Bu Elis.
"Betul tuh. Mana kita tahu ye kan? Kalau di rumah ini ada wanita lain," celetuk Bu Lili sambil menekan kalimat wanita lain.
Aku berusaha menahan agar tawa ini tidak meledak.
"Sini atuh, Teteh, cerita sama kita! Kenalan dulu," ajak Bu Elis.
Nayla melangkah lalu duduk di sofa.
"Sebentar ya, Bu, saya mau lihat Naura dulu."
"Iya, silahkan, Mbak!"
Aku melangkah ke ruang keluarga yang sebenarnya hanya dibatasi dinding penyekat. Jadi, otomatis suara mereka masih terdengar jelas.
"Eh, sudah lama di sini?" tanya Bu Lastri.
"Sudah. Semingguan lah gitu."
"Mbaknya nggak punya suami?"
"A-anu–"
"Oh, niat mau jadi pelakor ya?" sarkas Bu Lili.
Duh, sepertinya mereka mulai beraksi.
"Bu-bukan!"
"Syukurlah. Soalnya nggak baik tahu, jadi duri dalam rumah tangga orang." Nayla hanya terdiam. Berulang kali tampak dia menoleh ke belakang, mungkin dia ingin pindah tapi segan.
"Mbak nggak punya baju lain?" tanya Bu Lastri.
"Punya. Kenapa emang?"
"Nggak pantas atuh, pakai baju seperti ini di rumah orang. Apalagi kalau Pak Rasha ada di sini." jawab Bu Elis.
Aku beranjak mengintip ke ruang tamu. Penasaran bagaimana ekspresi Nayla dikerumungi ibu-ibu yang anti dengan wanita pelakor.
"Betul tuh, Bu. Ih, kalau di rumah saya ada yang pakai baju menggoda seperti ini, sudah saya robek-robek, biar dadanya kelihatan sekalian!" ucap Bu Lastri menggebu-gebu. Nayla menutup belahan bajunya yang mengekspos bagian dadanya.
"Ih, saya juga, Bu. Rasanya teh pengen jambak rambutnya," tambah Bu Elis. Tangan kanan Nayla memegang rambutnya yang diikat asal.
"Apalagi saya ibu-ibu. Udah saya cabe in mungkin."
"Apanya?" tanya Bu Lastri.
"Itunya," jawab Bu Lili seraya terbahak-bahak.
Ibu-ibu yang lain berdengik ngeri, termasuk Nayla. Aku ikut bergabung setelah Naura menghabiskan mainannya.
"Eh, ada si cantik Naura. Sini, Sayang!" ajak.Bu Lili kemudian memangku Naura.
"Geulis pisan euy, mirip Bundanya," puji Bu Elis.
"Iya, Bundanya kan cantik alami. Tahu bedakan pakaian dinas di depan suami dan depan orang lain," sindir Bu Lastri.
"Ah, ibu-ibu bisa aja," ucapku sengaja mengompori. Tampak raut tak suka yang ditampakkan Nayla.
"Neng, atuh dicontoh nyonya di rumah ini. Di depan sesama wanita aja menutup aurat."
Nayla berdiri dengan napas cepat. Aku yakin dia sedang menahan emosinya.
"Ibu-ibu ke sini, niatnya mau mencari Mbak Ainun atau mencibir saya?" tanya Nayla.
"Ngusir kamu," jawab Bu Lili dengan tatapan dingin. Mata Nayla membulat sempurna.
"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi."Buat?" tanyaku sesantai mungkin."Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."Aku tersenyum sinis. "Lalu?""Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam."Belum. Ini baru permulaan Nayla.""Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya."Silakan!" tantangku.Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla."Mengusirku?" tanya Nayla."Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut."Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pik
Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e
Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha
Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n
"Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter
"Kamu dari mana saja, Mas?" berondongku saat mas Rasha sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rasha berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Langkah kupercepat menyusulnya ke dalam kamar. Aku berdiri mematung kala melihatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Mas," tegurku lagi seraya mulai mendekatinya. "Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?" "Bukan urusanmu!" ketusnya yang sontak membuatku sedikit terhenyak. "Itu urusanku, Mas. Semalam kamu pergi tanpa pamit. Nomor tidak bisa dihubungi, lalu tiba-tiba pulang dalam keadaan seperti ini. Aku pantas bertanya karena aku ini istrimu, Mas." Ingin sekali aku meluapkan segala sesak yang ada di dalam dada. Jika melihat kondisi sekarang, aku justru akan lebih terluka kalau memaksakan kehendak. "Aku ingin tidur." Otakku memaksa untuk mengalah sebentar saja. Meskipun sangat sulit, akan tetapi aku harus melakukannya. Perlahan langkah ini
Sejak kejadian kemarin aku memilih tak banyak bicara. Menjawab seperlunya setelah itu aku memilih diam. Rasa sakit ini maaih sangat terasa mengetahui kenyataan pahit itu.Aku sungguh tak menyangka, suamiku lebih memilih menemani wanita itu. Berangkat diam-diam lalu meninggalkan aku dan Naura."Dek, kamu masih marah?" tanyanya saat aku tengah menghidangkan sarapan untuknya.Ya, meskipun aku mendiamkannya, akan tetapi tugasku sebagai istrinya tidak pernah kutinggakan. Seperti biasanya segala kebutuhannya masih aku layani dengan sepenuh hati."Dek, biar bagaimana pun, Nayla adalah sahabat mas. Dia sedang sakit. Jadi, tolonglah!"Aku yang hendak ke dapur unuk menyiapkan MP-ASI urung melangkah. Kubalikkan badan ini menghadapnya."Lalu?""Mengertilah, Dek. Aku khawatir dengan kondisinya. Dia menderita penyakit yang cukup serius," terangnya."Oh, begitu? Lalu bagaimana dengan kami
Tiga hari berlalu, selama itu pula mas Rasha sering pulang terlambat. Alasannya tetap sama, menjaga wanita itu.Aku tak tahu persahabatan seperti apa yang mereka jalani selama ini. Tapi bagiku semuanya di luar batasan. Hampir tak ada batasan di antara mereka.Seperti hari ini. Kami bertiga kini berada di ruangan persegi untuk menjenguk wanita itu. Menurutku semua tampak biasa saja, tak ada yang menkhawatirkan. Hanya infusan yang masih terpasang di punggung tangannya."Makasih ya, Mbak, sudah meluangkan waktunya. Aku jadi merasa merepotkan mbak," ucapnya sok manis.Kuletakkan buah yang sengaja kubeli di toko buah langganan. Aku hanya tersenyum sekilas menanggapi ocehannya."Wah sampai repot-repot segala bawa buah," ucapnya lagi.'Itu kamu tahu kalau ini merepotkan,' teriakku dalam hati."Gimana keadaannya?" tanyaku sengaja mengalihkan ocehannya."Masih lemah, Mbak.""Oh."A
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak