"Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka.
"Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku.
"Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti.
"Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya.
"Maaf?" tanyaku halus.
"Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri.
Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis.
"Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili.
"Kesempitan!" koreksi mereka kompak.
"Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat namanya."
"Mba Lili tau dari mana to?" tanya Bu Ajeng.
"Mbak, semua pelakor, perawan, atau janda sekali pun, sekarang pake susuk kali, Mbak. Rata-rata mah gitu. Kalau bermodalkan skin care, nggak cepat berhasil."
"Ah, yang benar, Mbak?" tanya Ibu Ajeng. Aku yang sedari tadi diam-diam menyimak ikut penasaran.
"Benar, dong, sekertaris bos suami saya gitu."
"Bu Lili tahu dari mana?" tanyaku penasaran.
"Kan dia junior saya waktu SMA. Itu sudah jadi komsumsi publik. Dia dari ekonomi rendah, setelah diterima jadi sekertaris, lambat laun dia jadi pelakor, karena sering temanin bosnya kemanapun pergi. Eh, karena mau kaya cepat, dia pake susuk pemikat. Akhirnya keluar masuk hotel deh."
"Terus ketahuannya gimana?" tanya Bu Elis penasaran.
"Si istri sah cari tahu soal wanita itu. Nggak tahu juga cerita pastinya, intinya dia main cantik. Sekarang wajah si pelakor rusak."
"Karena susuk?" tanya Bu Ajeng.
Bu Lili mengagguk. Kami kompak berdengik.
"Terus si bos gimana?" tanyaku penasaran.
"Lagi proses penyembuhan. Soalnya dia tergila-gila banget sama Keysha."
Aku semakin terdiam. Sepertinya aku harus bertindak sebelum hal buruk terjadi.
"Mbak, sepertinya mbak harus bertindak dari sekarang. Pelakor itu lebih ganas dari debt collector," ucap Bu Lastri.
"Aku harus mulai dari mana ya, Bu?" tanyaku.
Mereka saling melempar pandangan dengan seraya tersenyum dan alis terangkat.
"Kita harus main cantik," jawab Bu Lastri.
Kami semua saling merapatkan tubuh untuk mendengarkan arahan dari Bu Lastri.
*
Aku tak berhenti tersenyum kala mengingat bagaimana antusias ibu-ibu untuk mengusir Nayla dari kehidupan kami. Aku merasa bahagia, kekompakan mereka dalam menghadapi pelakor patut diacungi jempol.Aku yang sedang memasak di dapur untuk makan malam tiba-tiba dikejutkan dengan suara tangisan Naura. Segera aku menghampirinya yang tadi kutinggalkan di ruang keluarga.
Aku terkejut kala melihat oemandangan yang ada di depan mata. Naura berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nayla. Ada apa?
"Nay!" teriakku yang sontak membuatnya melepas cengkramannya. Aku segera mendekat merebut lalu menggendong putriku.
"Kamu mau apakan Naura?!" Dia terlihat gelagapan. Akubterus berusaha menenangkan putriku yang terus menangis.
"Kamu apakan dia?"
"Aku nggak ngapa-ngapain. Tadi aku cuma ajak dia main."
"Tapi kenapa dia sampai ketakutan kayak gini?"
"Ya, aku nggak tahu."
Aku memeluk erat tubuh putriku. Tampak.dia terlihat begitu ketakutan. Tak mau membuat Naura semakin ketakutan, aku membawanya ke dalam kamar.
Selang sepuluh menit berlalu, Nauraku akhirnya tertidur. Saat hendak menyelimutinya, mataku menangkap warna lebam di lengan Naura, seperti bekas cubitan. Emosiku seketika sampai ke ubun-ubun, aku gegas menghampirinya.
Pintu yang tertutup rapat itu kugedor dengan keras.
"Apalagi sih?" tanyanya dengan ekspresi yang sangat menjengkelkan.
"Kamu apakan Naura?!"
"Aku nggak ngapa-ngapain dia loh. Aku cuma ajak dia main. Naura aja yang cengeng," kilahnya.
Aku menarik keras rambutnya yang tergulung acak. "Aw, sakit!" pekiknya sambil berusaha melepaskan tanganku.
"Kamu berani nyakitin anak saya, kamu akan tahu akibatnya! Dasar nggak tahu diri!" ancamku seraya memperkuat lagi tarikan pada rambutnya.
"Lepaskan!"
Aku menarik lebih keras lalu berbisik tepat di telinganya.
"Kamu tidak akan pernah tahu hal gila apa saja yang bisa aku lakukan."
Aku menghentak keras tanganku kemudian berlalu meninggalkannya yang masih meringis kesakitan.
Kembali langkah ini menuju kamar lalu mencium Naura. "Bunda akan terus melindungi kamu, Nak."
Aku kembali berlalu kedapur untuk lanjut memasak. Mataku tak berhenti menangis mengingat luka lebam yang ada di lengan anakku. Aku tidak akan membiarkannya begini.
*"Mas, kapan kamu mengusirnya dari sini?" tanyaku saat Mas Rasha baru saja tiba di rumah."Dek, sabar aja dulu," jawabnya seraya melonggarkan ikatan dasi yang masih menempel di kerah bajunya.
"Mas, dia sudah keterlaluan. Tadi aja, dia melukai anak kita loh," aduku.
Mas Rasha membulat sempurna. "Apa?!"
Aku menunjukkan luka lembam di lengan Naura yang satat ini kupangku. Mas Rasha mendekat lalu memastikannya secara dekat.
"Astaghfirullah."
Mas Rasha berlalu kemudian aku pin mengekorinya. Kami tiba tepat di depan pintu kamar yang selalu tertutup rapat.
"Nayla, buka pintunya!" Mas Rasha terus mengetuk keras pintu kamar wanita itu. Tak berapa lama, penghuninya menampakkan wajahnya dengan pakaian sedikit menggoda.
"Ada apa lagi sih?" tanyanya dengan suara yang dibuat-buat. Aku hampir muntah dibuatnya.
"Kamu apakan Naura?" desis suamiku.
"Nggak loh, Sha. Aku cuma ngajak dia main tadi. Pasti istrimu ngadu yang tidak-tidak," ucapnya masih dengan manja.
"Tapi, aku lihat sendiri buktinya."
"Maaf, aku nggak sengaja. Aku coba ajak dia main tapi Naura nggak mau."
"Kamu pasti paksa dia."
"Nggak kok!"
"Mas, aku nggak mau ya, anak kita disiksa sama dia. Bawa dia pergi dari rumah ini, Mas!" putusku. Aku sungguh muak dengan semuanya.
"Rasha, kamu tega?" tanyanya.
"Maaf," jawab suamiku seraya berlalu. Aku menyunggingkan senyum kemenangan.
*
Makan malam berlalu seperti biasanya dan lagi dia memakai pakaian yang tak seharusnya dia pakai di depan suamiku. Aku yang sudah tak tahan membanting sendok di depannya membuat mereka tersentak."Aku sudah berulang kali menegur mbak soal pakaian mbak yang terlalu berani itu. Kenapa sih, masih dipakai?"
"Ya, mau gimana, yang aku punya gini semua?" ucapnya santai membuatku dongkol.
Aku mendelik tajam pada suamiku yang tertangkap basah menatap belahan dadanya tanpa berkedip.
"Mas!" tegurku. Mas Rasha sontak membuang wajahnya lalu buru-buru menyelesaikan makan malamnya. Sekilas aku melihat sudut bibir wanita itu terangkat.
Aku beranjak meninggalkan dia sendiri. Sungguh rasanya hatiku tercabik-cabik dibuatnya. Aku tidak bisa membiarkan ini semua. Aku akan mendesak suamiku agar dia membawa wanita itu pergi.
*
Malam beranjak, sejak tadi mas Rasha terus membujukku yang sejak tadi memunggunginya. Aku merasa dikhianati, di depanku dia berani menatap belahan dada wanita itu."Dek," panggilnya lagi.
Aku berusaha memejamkan mata. Sungguh hatiku sangat kecewa saat ini. Nayla harus pergi.
Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi."Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya.Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat."Maafkan mas, Dek," bisiknya.Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku.Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja."Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku."Sayang
"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi."Buat?" tanyaku sesantai mungkin."Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."Aku tersenyum sinis. "Lalu?""Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam."Belum. Ini baru permulaan Nayla.""Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya."Silakan!" tantangku.Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla."Mengusirku?" tanya Nayla."Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut."Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pik
Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e
Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha
Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n
"Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter
"Kamu dari mana saja, Mas?" berondongku saat mas Rasha sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rasha berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Langkah kupercepat menyusulnya ke dalam kamar. Aku berdiri mematung kala melihatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Mas," tegurku lagi seraya mulai mendekatinya. "Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?" "Bukan urusanmu!" ketusnya yang sontak membuatku sedikit terhenyak. "Itu urusanku, Mas. Semalam kamu pergi tanpa pamit. Nomor tidak bisa dihubungi, lalu tiba-tiba pulang dalam keadaan seperti ini. Aku pantas bertanya karena aku ini istrimu, Mas." Ingin sekali aku meluapkan segala sesak yang ada di dalam dada. Jika melihat kondisi sekarang, aku justru akan lebih terluka kalau memaksakan kehendak. "Aku ingin tidur." Otakku memaksa untuk mengalah sebentar saja. Meskipun sangat sulit, akan tetapi aku harus melakukannya. Perlahan langkah ini
Sejak kejadian kemarin aku memilih tak banyak bicara. Menjawab seperlunya setelah itu aku memilih diam. Rasa sakit ini maaih sangat terasa mengetahui kenyataan pahit itu.Aku sungguh tak menyangka, suamiku lebih memilih menemani wanita itu. Berangkat diam-diam lalu meninggalkan aku dan Naura."Dek, kamu masih marah?" tanyanya saat aku tengah menghidangkan sarapan untuknya.Ya, meskipun aku mendiamkannya, akan tetapi tugasku sebagai istrinya tidak pernah kutinggakan. Seperti biasanya segala kebutuhannya masih aku layani dengan sepenuh hati."Dek, biar bagaimana pun, Nayla adalah sahabat mas. Dia sedang sakit. Jadi, tolonglah!"Aku yang hendak ke dapur unuk menyiapkan MP-ASI urung melangkah. Kubalikkan badan ini menghadapnya."Lalu?""Mengertilah, Dek. Aku khawatir dengan kondisinya. Dia menderita penyakit yang cukup serius," terangnya."Oh, begitu? Lalu bagaimana dengan kami
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak