Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum.
Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku.
"Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya.
"Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya."
"Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."
Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami.
"Mas udah laporan sama RT belum?"
"Belum, ini mas mau ke Pak RT juga sebelum ke kantor."
Mas Rasha sibuk memasang dasinya. Pandnagannya fokus ke cermin seukuran tubuhnya.
"Ya sudah deh, Mas. Semoga cepat dapat. Adek nggak nyaman ada dia di sini."
"Iya, Sayang," jawabnya sambil menyisir rambutnya.
Aku berdiri hendak ke dapur. "Ade ke dapur dulu, ya, Mas. Siapkan sarapan."
Mas Rasha hanya mengangguk. Aku berjalan keluar kamar. Di depan televisi, Nayla tampak sedang duduk santai sambil menikmati segelas susu dan beberapa potong bronis. Ah, menyebalkan! Pakaiannya selalu saja kurang sopan. Dasteran selutut dengan lengan pendek, rambut diikat atas dan polesan tipis di wajahnya.
Aku melangkah ke arah dapur tanpa mau peduli lagi dengan wanita itu. Mulai menyiapkan sarapan yang selama ini kusuguhkan untuk suamiku.
Saat aku meletakkan sarapan itu di atas meja, tampak tangan Nayla terulur merapikan dasi suamiku. Kedua telapak tangannya menempel di dada bidang suamiku. Pandangan mereka beradu dan cukup lama.
"Mas!" panggilku membuat keduanya tersentak kaget.
"E-eh, iya, Sayang." Mas Rasha melangkah ke arahku kemudian mendudukkan dirinya di kursi.
Tangannya meraih gelas yang berisi susu lalu meminumnya hingga tersisa setengah. Mataku kemudian beralih ke wanita itu. Tampak dia masih salah tingkah.
"Kalau dasinya nggak rapi itu panggil adek, bukan wanita itu, Mas," protesku.
Mas Rasha terdiam sembari menikmati sisa roti yang ada di piringnya. Wanita itu menoleh sekilas dengan senyuman sinis di wajahnya. Apa dia sengaja?
Mas Rasha menyudahi sarapannya. Aku mengantarnya hingga ke pintu. Pipi dan kening ini dikecup mesra, aku lalu mencium punggung tangannya.
"Hati-hati, ya, Mas."
"Iya, Sayang."
Aku berbalik saat mobil yang dikendarainya melesat jauh. Tampak Nayla masih duduk di ruang keluarga. Aku tak peduli. Untuk makan, dia bisa mengurus dirinya sendiri.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar, tampak Naura sudah bangun. Tubuhnya menggeliat, sangat lucu. Kuangkat tubuh mungilnya bersiap untuk dimandikan.
Saat urusan rumah telah selesai, aku berbegas ke depan menunggu Mang Asep-tukang sayur langganan kami lewat.
Naura yang sedang asyik bermain, kubawa serta. Kami bermain bersama di taman kecil kami yang ada di depan rumah.
Suara ribut ibu-ibu komplek mulai terdengar. Sambil menggendong Nayla, aku melangkah mendekat. Tampak Mang Asep sudah dikerumuni ibu-ibu.
"Eh, Mba Aninun, sehat, Mba?" tanya Bu Lastri.
"Alhamdulillah, Bu," jawabku sembari memilih sayuran.
"Sama suami, masih harmonis kan?" tanyanya lagi.
"Masih, Bu."
"Gini, loh, Mba. Kami itu mengkhawatirkan Mba Ainun," imbuh Bu Riska.
Aku mengernyitkan dahi, " Khawatir gimana, Bu?"
Ibu Riska dan beberapa ibu-ibu lain saling berpandagan.
"Gini, loh, Mba. Kami nggak sengaja lihat suami mba bawa wanita lain ke dalam rumahnya mba."
"Oh, itu sahabat suami saya, Bu. Dia lagi ada masalah, jadi numpang dulu."
"Mbaknya nggak takut direbut gitu?" tanya Bu Lili. Aku terdiam.
"Bukan kompor ya, Mba. Kita kan sama-sama perempuan nih, pasti nggak mau dong, rumah tangga kita diusik?" tambahnya.
"Bener," jawab mereka kompak.
"Kemarin aku lihat sendiri loh, Mba, waktu kita ada pengajian sore, kan aku nggak ikut, karena urus hajatan keluarga. Aku lihat wanita itu yang menyambut suaminya Mba. Mana mesra banget lagi ke suaminya. Pakaiannya transparan dan mini."
Telingaku terasa panas mendengarnya. Kukepal kuat tangan ini menahan gemuruh di dalam dada. Ada rasa sesak seperti terhimpit benda yang begitu besar.
"Kami bukan kompor ya, Mba. Sebelum semua terlambat. Kalau mba mau kita usir dia, kami siap bantu mbak. Kapan dibituhkan kami akan siap."
"Betul," sahut mereka.
Mataku memanas hingga air mata jatuh dengan leluasa.
"Aduh, ibu-ibu, jadi beli nggak ini teh?" timpal Mang Asep.
"Jadi, Mang, kami lagi diskusi nih!" sewot Bu Lastri.
"Diskusinya sambilan atuh, saya mau jalan lagi ke depan."
Mereka lalu menyerahkan belanjaannya untuk ditotal Mang Asep, termasuk aku. Harusnya aku memasak enak hari ini, tapi semua kacau karena fakta yang baru kudengar.
"Mbak, kalau ada sesuatu, semacam mau labrak atau hajar pelakor habis-habisan, jangan lupa ajak kami, ya?" seru Bu Lili. Aku mengangguk seraya tersenyum menyembunyikan luka.
Mereka satu persatu bubar kecuali aku. Dada semakin bergemuruh. Ternyata dugaanku benar, ada udah di balik batu.
"Neng, jangan ditanggapi, ya, omomgan ibu-ibu tadi. Benar atau tidaknya teh, Neng Ainun harus bermain cantik," usul Mang Asep.
"Iya, Mang."
"Ini, Neng, totalnya lima puluh ribu." Aku mengambil kantong plastik yang diserahkan Mang Asep, lalu menyerahkan uang berwarna biru.
"Tumben, Neng, belanjanya dikit."
"Persediaan masih banyak, Mang. Saya permisi dulu, ya." Mang Asep mengangguk, aku lantas berlalu meninggalkannya sambil menggandeng tangan Naura.
Langkahku begittu gontai, dada bergemuruh hebat begitu mengetahui kelakuan mereka di belakangku. Rupanya, mereka benar-benar menguji perasaanku.
Aku bergegas menuju dapur. Sebelumnya Naura aku dudukkan di atas kursi dekat dapur.
Aku perlu merilekskan pikiran yang sempat terbakar oleh amarah yang begitu menggebu, akan tetapi aku harus menahannya sebisa mungkin.
Sungguh sesuatu yang tak bisa dicerna oleh akalku, suami yang selama ini kubanggakan rela berkhianat? Meskipun kenyataannya Nayla adalah sahabatnya sendiri. Tapi, bukankah persahabatan dengan perbendaan jenis kelamin selalunya rentan dengan yang namanya cinta yang tumbuh secara tidak sengaja?
Aku memandang ke setiap sudut ruangan mencari dia yang kini jadi berita terpanas di komplek kami. Mataku berhenti tepat di kamar yang tertutup rapat. Aku yakin dia pasti sedang tidur.
Aku meletakkan barang belanjaan di dapur lalu melangkah ke kamarnya. Aku mengetuk daun pintunya, tapi tak ada jawaban.
"Nay, buka pintunya!"
Pintu terus kuketuk, akan tetapi sosok di dalam kamar belum juga muncul. Aku yng sudah merasa tidak sabar kemudian mengedor pintunya dengan kuat.
Pintu terbuka menampakkan sosoknya yang sedang memakai masker di wajah.
"Apa sih, Mbak? Berisik!" omelnya.
"Aku pikir sosok di balik pintu ini sudah tidak bernyawa," sindirku. Nayla memasang wajah masam.
"Aku lagi pakai masker tadi," jawabnya tanpa kutanya.
"Ada apa, Mbak?"
"Aku cuma mau bilang sama kamu, jangan sembarangan merangkul suami orang!"
"Kata siapa?"
"Ibu-ibu komplek lihat kelakuan kamu. Tolong dong, dijaga sikapnya."
Dia tersenyum mengejek.
"Salahnya di mana, Mbak? Kami sahabatan loh."
"Sahabat atau saudara tetap saja nggak boleh!"
Nayla bersedikap lalu menyenderkan tubuhnya ke daun pintu.
"Jadi istri kok posesif banget," cibirnya.
"Aku tidak posesif. Aku hanya menjaga suamiku dari wanita gatal sepertimu."
Nayla membulatkan matanya sempurna. "Maksud kamu apa?!"
"Aku yakin nilai bahasa indonesiamu tidak buruk. Jadi, aku nggak perlu menjelaskan lebih detail lagi," jawabku kemudian berlalu meninggalkannya.
Langkahku terhenti saat mengingat sesuatu. "Oh, iya. Di rumah ini bertamu maksimal tiga hari. Lewat dari itu silahkan artikan sendiri."
Matanya menyorotiku dengan tajam. "Kamu mengusirku?!"
Aku mengendikkan bahu. "Entah apa namanya. Siap-siap, gih, bantu di dapur!"
Aku melenggang dengan senyum sumringah saat melihat wajahnya yang memerah padam. Rasakan!
Kembali kejadian empat tahun lalu terngiang di mana saat para tetangga pertama kali membahas Nayla. Kini, dia kembali dengan sosok dan status berbeda.
Aku duduk di antara kerumunan ibu-ibu yang hadir rapat menyambut isra' mi'raj sepertiku. Tiba-tiba Ibu Lili menghampiriku.
"Mbak Ainun."
"Iya, Bu?"
"Saya mau tanya, tapi jangan tersinggung ya, Mbak?" ucapnya hati-hati. Aku mengangguk mantap.
"Wanita yang di rumah mbak sekarang itu bukannya wanita yang dulu kita usir ya, Mbak?" Aku mengangguk lemah.
Semua yang tak sengaja mendengarkan obrolan kami kompak menoleh. Bahkan da yang mendekat.
"Kok sekarang hamil, Mbak?"
Aku menarik napas dalam. Mau menyembunyikan bagaimana pun kan tetap ketahuan juga.
"Dia istri siri suamiku," lirihku.
"Apa?!" pekik mereka kompak.
"Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka. "Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku. "Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti. "Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya. "Maaf?" tanyaku halus. "Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri. Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis. "Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili. "Kesempitan!" koreksi mereka kompak. "Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat na
Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi."Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya.Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat."Maafkan mas, Dek," bisiknya.Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku.Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja."Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku."Sayang
"Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi."Buat?" tanyaku sesantai mungkin."Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."Aku tersenyum sinis. "Lalu?""Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam."Belum. Ini baru permulaan Nayla.""Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya."Silakan!" tantangku.Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla."Mengusirku?" tanya Nayla."Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut."Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pik
Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e
Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha
Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n
"Mas ini parfum siapa?!" tanyaku lagi dengan penuh penegasan.Mas Rasha mendekatiku, digenggamnya tangan ini yang sudah mulai gemetar menahan amarah yang sedari tadi ingin meledak."Dek, percaya sama mas, ini nggak seperti yang kamu pikirkan," bujuknya. Aku menggeleng tegas. Ingatan tentang bayangan dan suara itu kembali terngiang."Dek, sumpah mas tidak berkhianat."Aku menarik napas dalam berusaha menormalkan deguban yang terus terasa."Mas, aku selama ini berusaha percaya. Tiap mas keluar kota, kepercayaan itu terus kupegang. Tapi sekarang? Apa yang bisa menjamin kalau mas tidak bermain api?""Mas tidak pernah bermain api, Sayang. Percayalah." Kini mas Rasha berusaha memeluk tubuhku. Aku bergeming."Bagaimana aku bisa percaya jika selalu saja ada bukti yang kudapat?""Bukti apa?" tanyanya lagi.Aku mencebik kesal. "Bayangan wanita, suara erangan seperti orang yang baru saja bangun dan ter
"Kamu dari mana saja, Mas?" berondongku saat mas Rasha sudah masuk ke dalam rumah. Mas Rasha berlalu begitu saja tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Langkah kupercepat menyusulnya ke dalam kamar. Aku berdiri mematung kala melihatnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. "Mas," tegurku lagi seraya mulai mendekatinya. "Jawab aku, Mas! Kamu dari mana saja?" "Bukan urusanmu!" ketusnya yang sontak membuatku sedikit terhenyak. "Itu urusanku, Mas. Semalam kamu pergi tanpa pamit. Nomor tidak bisa dihubungi, lalu tiba-tiba pulang dalam keadaan seperti ini. Aku pantas bertanya karena aku ini istrimu, Mas." Ingin sekali aku meluapkan segala sesak yang ada di dalam dada. Jika melihat kondisi sekarang, aku justru akan lebih terluka kalau memaksakan kehendak. "Aku ingin tidur." Otakku memaksa untuk mengalah sebentar saja. Meskipun sangat sulit, akan tetapi aku harus melakukannya. Perlahan langkah ini
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak