Beranda / Romansa / WANITA SIMPANAN / 2. BERUSAHA MENJADI RATU

Share

2. BERUSAHA MENJADI RATU

Penulis: Zee Zee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Setelah drama menyebalkan tadi selesai, aku kembali berkutat di dapur. Menyelesaikan masakan yang kubuat dengan penuh cinta. 

Aku mengaduk soto Betawi kesukaan Mas Rasha setelah menambahkan bumbu penyedap. Sungguh menyedihkan. Kukira malam ini kami akan melaluinya dengan penuh cinta seperti biasa, ternyata justru sebaliknya. 

Cincin berlian yang selalu menjadi hadiah pernikahan kami kini berubah menjadi bara api yang harus kugenggam kuat. 

Aku berhenti sejenak sembari mengatur gemuruh di dalam dada. Dadaku terasa sesak seolah oksigen enggan untuk sekedar bertahan di dalam rongga dadaku. 

Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga bersamaan dengan tubuhku yang ikut meluruh ke lantai. Kugigit bibir bawahku sembari meremas kuat celemek yang masih menempel di tubuh ini. Suara tangis ini tak boleh keluar. Aku tak ingin orang lain tahu luka hatiku.

"Bunda?" sapa gadis kecil di hadapanku. 

Gegas aku mengusap sisa air mata di wajahku. Aku tak ingin Naura melihatku menangis. Kulirik jam yang menempel di dinding ruang makan. Jarum jam tepat menunjukkan pukul lima sore, waktu di mana Naura pulang dari mengaji.

Puteri kecilku mendekat sembari menatap lekat wajahku. 

"Bunda menangis?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran. 

Aku menggeleng kuat seraya tersenyum. 

"Tidak, Sayang. Tadi nggak sengaja ada biji cabe yang masuk ke mata bunda. Makanya mata bunda perih," bohongku. 

Naura mendekat lalu memelukku. 

"Bunda nggak boleh terluka. Bunda nggak boleh sakit apalagi menangis. Naura sayang bunda," lirihnya. 

Aku kembali menangis seraya memeluk tubuh mungilnya begitu erat. Aku harus kuat demi anakku.

Tampak jelas ekor mataku menangkap sosok yang bertubuh tinggi sedang berdiri di depan kami. 

Aku memalingkan wajah saat tatapan kami bertemu. Dulu, aku pasti tersipu saat tatapan kami beradu. Sekarang, ada rasa muak melihat wajahnya. Bayangan pengkhianatan itu terus terngiang. 

"Naura," panggilnya pada putri kecil kami. 

Puteri kecilku menoleh lalu berlari menghambur ke pelukan ayahnya. 

"Ayah," serunya. Mas Rasha memeluk tubuh mungil Naura kemudian terus menciumi wajah cantiknya. 

"Ayah kangen, Sayang."

"Naura juga, Yah. Kok ayah lama baru pulang?" tanya Naura. 

Mas Rasha menoleh ke arahku seperti meminta jawaban. Aku memalingkan wajah kemudian berdiri kembali menyibukkan diri di ruangan kecil ini. 

"Ayah banyak kerjaan, Sayang. Maafin ayah, ya?"

Kembali aku menuangkan sop betawi ke dalam sebuah mangkuk besar sembari diam-diam menyimak obrolan seorang ayah dan puterinya. 

Dulu setiap Mas Rasha pulang dari perjalanan dinasnya, aku dan Naura akan saling bersaing untuk melepaskan kerinduan kami. Mas Rasha akan kewalahan saat kami menghambur ke pelukannya dan tak mau lepas. Sekarang situasinya sudah berbeda. Untuk melihat wajahnya saja aku tak bisa. 

"Bunda," panggil Naura. Aku lantas segera menoleh ke arahnya.

"Kok, bunda nggak peluk ayah?" 

Aku terkesiap, tak tahu harus menjawab apa. Tampak Mas Rasha tersenyum lantas segera berdiri. Tangannya ragu untuk menyentuhku. 

"Ayo, bunda, peluk ayah!"

Sedikit ragu aku menghambur ke pelukan suamiku. Aroma tubuhnya menusuk indera penciumanku. Dulu, aku begitu menyukai aroma tubuhnya. Seolah menjadi candu untukku. 

Dulu, setiap berada dalam pelukannya, akan menghasilkan getaran dan desiran hebat. Sekarang semua terasa hambar. Bayangan tubuh Mas Rasha yang sudah dijamah oleh wanita lain menghantuiku. Tiba-tiba aku merasa jijik disentuhnya. 

Aku  segera melepas pelukan yang hanya berlangsung kurang dari satu menit itu. Aku segera mundur. Tampak wajah Mas Rasha berubah. 

"Mas?"

Kami bertiga menoleh ke arah sumber suara. Perempuan itu berdiri di sana dengan wajah ditekuk. Pasti dia sudah melihat semuanya. 

"Dia siapa, Bunda?" tanya Naira dengan polosnya. 

Aku melirik sekilas ke arah Mas Rasha yang tampak kebingungan. 

"Eum, di-dia–"

"Halo, anak manis. Kenalkan aku tante Nay." perempuan itu berusaha akrab dengan puteriku. 

Naura beringsut mundur kemudian berlindung di belakangku. Sepertinya Naura ketakutan melihat tampang perempuan itu yang tampak acak-acakan. 

"Tante siapa? Kenapa tante ada di sini?"

"Jangan takut, cantik. Tante nggak jahat kok. Tante kan peri."

"Peri jahat!" balas puteriku dengan lantang. 

Aku bersorak di dalam hati. Rasain!

Nayla tampak salah tingkah. Aku berusaha menahan agar tawaku tak meledak. 

"Kok peri jahat? Tante peri baik, kok." 

Rupanya Nayla tidak menyerah. Senyum palsunya tergambar jelas di wajahnya. 

"Ibu guru selalu bercerita, kalau peri jahat selalu muncul untuk mengganggu keharmonisan raja dan ratu."

Kami terkesiap mendengar penuturan puteriku. Mas Rasha mendekat lalu mengelus lembut rambut panjang Naura. 

"Sayang, itu cuma dongeng," bujuknya. 

"Naura nggak mau ayah diculik oleh peri jahat!" pekiknya.

Hatiku terenyuh mendengar penuturan puteriku. Aku tahu, Naura begitu menyayangi ayahnya. 

Kusejajarkan tubuhku pada gadis kecil yang masih betah bersembunyi. 

"Sayang, dia bukan peri jahat. Dia tidak akan menculik Sang raja."

Aku berusaha meyakinkan puteriku. Aku tak ingin dia tahu kelakuan busuk ayahnya. Jika dia tahu, Naura pasti akan membenci ayahnya. 

"Janji?" tanya Naura lagi. Kami berdua mengangguk. 

"Raja dan ratu akan terus bersama. Peri jahat tidak akan bisa menculik sang raja. Itu kata Ibu Guru."

Aku memeluk tubuh puteri kecilku. Aku yakin, Naura belum mengerti semuanya. Biarlah. Justru itu lebih bagus. Aku tak ingin membuatnya kebingungan. 

'Bunda berjanji akan menyelesaikan semuanya. Bunda akan kuat demi kamu, Sayang,' bisikku di dalam hati. 

Aku melepaskan pelukan. "Sekarang puteri cantik di luar dulu, ya? Bunda ratu mau menyiapkan masakan dulu untuk nanti malam." 

Naura mengangguk antusias dan terus meloncat kecil. Tangannya kemudian meraih tangan ayahnya lalu membawanya menjauh dari dapur. Langkahnya terhenti saat menyadari Nayla ikut bersamanya. 

"Tante kenapa ikut juga?"

"Memangnya kenapa?" tanya Nayla. 

Naura menoleh sekilas ke arahku lalu kembali menatap Nayla. 

"Harusnya tante yang di sana. Bunda ikut bersamaku."

Kami tersentak mendengarnya. 

"Tantenya butuh istirahat, Sayang. Kan tante Nay lagi hamil. Nanti dede bayinya sakit."

Hatiku sakit begitu mendengar penuturan Mas Rasha, akan tetapi segera kutepis. Aku tak boleh terlihat rapuh di depan mereka. 

"Naura nggak mau, Ayah. Tante Nay harus menggantikan bunda di dapur!"

Naura menarik tangan Nayla lalu membawanya tepat di sampingku. Tangan mungilnya perlahan menarik tanganku. Sebelum melangkah, aku melepas celemek yang masih menempel di tubuh ini lalu memakaikannya di tubuh perempuan itu.

"Masak yang enak ya! Raja dan ratu mau istirahat dulu," bisikku tepat di telinganya. 

Matanya melotot ke arahku, ujung bibir ini terangkat.

"Yuk, Bunda!" 

Kami berdua meninggalkan Nayla yang berdiri mematung dengan mimik menahan amarah. 

Baru beberapa langkah kami bertiga meninggalkan dapur, Nayla tiba-tiba berdiri di depan menghentikan langkah kami.

"Tante kok nggak di dapur aja?" tanya Naura dengan sedikit kesal. 

"Bayi yang ada di dalam sini adalah calon adik kamu, Naura. Jadi, kamu pasti tidak ingin calon adikmu terluka kan?"

"Nay!" tegur Mas Rasha. 

"Adik?" tanya Naura polos.

Gegas aku menarik lengan Nayla lalu membawanya menjauh dari puteriku. Bagaimanapun, aku tidak ingin Naura tahu. 

"Apaan sih?!" Nayla menyentak tangannya. Pandangan kami beradu.

"Apa maksudmu?"

"Nggak ada. Aku cuma ingin Naura tahu dan ikut menerima kenyataan seperti ibunya," jawabnya santai. 

Aku mencengkram bahunya dengan kuat. 

"Kamu kalau ingin selamat, jangan bertingkah di sini!" ancamku.

Dia menyeringai. "Kenapa? Kamu takut?"

"Ada satu hal yang harus kamu tahu. Aku bukan perempuan yang lemah. Kamu salah jika menganggapku seperti itu. Hanya saja permainan belum dimulai, Nayla."

"Kamu pikir aku takut?" tantangnya. 

"Kamu sudah mengibarkan bendera permusuhan. Selama ini kamu sudah main gila dengan suamiku. Tapi, kamu tidak tahu, hal gila seperti apa yang bisa aku lakukan untuk perbuatan hina kalian!" 

Raut wajahnya berubah pias. Aku mendorong sedikit tubuhnya ke belakang kemudian berlalu. 

"Auw!" pekik Nayla. 

Aku yang baru saja melangkah spontan menoleh ke belakang. Nayla terus memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit dengan mimik kesakitan. Tubuhnya perlahan luruh ke lantai. 

"Mas!" teriaknya. 

"Mas, tolong!"

Aku hanya bisa mematung. Dari arah berlawanan, Mas Rasha datang menghampiri lalu merangkul perempuan itu. Ada yang berdenyut nyeri menyaksikan pemandangan di depan mata.

"Kenapa, Nay?"

"Sakit," rengeknya dengan suara yang dibuat-buat.

"Apa yang terjadi?" 

Nayla menatapku dengan tatapan permusuhan. 

"Dia mencoba mencelakaiku, Mas," tuduhnya. 

Aku yang sudah menebak drama yang akan terjadi hanya bisa tersenyum kecut. Memuakkan.

"Dek? Kamu apakan Nayla?" 

"Aku tidak melakukan apapun, Mas."

"Dia lagi hamil. Harusnya kamu tidak berusaha mencelakainya!"

Dadaku kembali bergemuruh saat Mas Rasha terang-terangan membentakku di depan perempuan itu. Semudah itu kah dia percaya?

Aku tidak menyangka Mas Rasha bisa berubah seperti ini. Entah pelet apa yang dipakai perempuan itu. Kamu dibutakan cinta, Mas!

"Kalau perempuan itu ingin tenang di rumah ini, harusnya dia tahu diri!"

Perempuan itu terus merengek dan bahkan memeluk tubuh suamiku. Hati ini terasa panas dibuatnya. Namun, aku harus bisa menahan gejolak di dalam dada. Aku harus bermain cantik.

"Dek–"

"Seorang gundik tidak pantas untuk diperlakukan layaknya ratu," desisku.

"Ainun!"

"Mas urus saja gundikmu itu!" 

Aku berlalu meninggalkan mereka menuju kamar tidur. Sesak di dalam dada terus menghimpit rongga dada. 

Aku membanting tubuh ini di atas tempat tidur. Air mata yang sedari tadi kutahan luruh begitu saja. Aku menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala emosi yang sejak tadi berusaha kupendam.

Beruntung kamar ini sudah terpasang kedap suara. Mereka tidak akan mendengar tangis piluku. 

Aku memandang setiap sudut kamar ini. Di ruangan ini, kami menghabiskan malam-malam bersama. Delapan tahun pernikahan bukanlah waktu yang singkat. Bagaimana mungkin aku bisa menerima kenyataan pahit ini?

Aku meraba ruang kosong yang ada di sampingku. Bayangan tubuh Mas Rasha muncul seketika. Tubuh yang menjadi candu untuk kupeluk di setiap malam yang kami lalui.

Sekarang semuanya berubah. Bukan hanya aku yang memiliki raganya. Ada perempuan lain yang juga kini berhak memiliki. Nayla.

Aku berusaha menutup mata untuk mengistirahatkan pikiran, bukannya tenang, ingatan empat tahun silam datang menyapa. 

Setelah menerima kehadiran Nayla di rumah kami, aku membawanya ke kamar tamu. Tampak raut kecewa yang ditampilkan, tapi aku tak peduli. 

"Silahkan istirahat. Kamar mandinya ada di dekat dapur." Aku beranjak setelah Nayla mengangguk. 

Langkahku kembali menuju kamar, dari.jauh kuperhatikan tubuh suamiku yang sedang terbaring di atas ranjang masih dengan pakaian kantornya. 

Aku mendekatinya kemudian memandang lekat wajahnya. Rasa takut itu kembali saat mengingat bagaimana Nayla berusaha merapatkan tubuhnya pada suamiku. Apa yang sedang dia rencanakan? 

Aku menggeleng kuat, berharap itu hanya pradugaku saja. Aku menidurkan Naura di samping suamiku. 

Aku melangkah ke arah dapur, mendapati tumpukan bekas makanan yang belum sempat kubersihkan. Lengan baju kugulung ke atas lalu mulai mengerjakan pekerjaan rumah.  

Malam mulai menyapa. Aku dan Mas Rasha seperti biasa menyantap makan malam bertiga. Namun, kali ini berbeda. Ada sosok baru yang hadir di tengah-tengah kami.

"Dek, kok, Nayla belum keluar juga ya? Panggilin, gih!"

Aku beranjak dari kursi lalu mengetuk pintu kamar tamu. 

"Nay, makan malam, yuk!" ajakku. Namun, tak ada sahutan. 

Berulang kali aku mengetuk, hal.yang sama terjadi. Aku menyerah kemudian kembali ke meja makan. 

"Loh, Nay mana, Dek?" tanya Mas Rasha yang sibuk menyuapi Naura. 

"Adek udah ketuk pintunya berkali-kali, Mas, tapi nggak ada jawban."

Mas Rasha  melepas sendok yang ada di tangannya kemudian berdiri. 

"Ya sudah, kamu lanjutin makannya, nanti mas yang ajak. Mungkin dia masih malu."

Aku yang tak sedikitpun menaruh curiga membiarkan suamiku pergi menemui wanita itu. 

Lama Mas Rasha belum juga kembali. Aku yang baru saja menyusulnya mengurungkan niat saat Mas Rasha kembali bersama wanita itu. Tapi, tunggu. Pakaian tidurnya begitu tampak tipis hingga menampakkan pakaian dalamnya. 

Tubuhnya dibalut kimono berbahan tipis dengan belahan dada yang hampir menampakkan bagian yang harus ditutupi. 

Saat Nayla duduk di hadapan kami, wangi parfumnya tertangkap jelas oleh indera penciumanku.  

Aku tak berhenti menatap wanita yang ada di depanku. Rambutnya yang tadi terurai digulung hingga menampakkan leher jenjangnya. Dadaku bergemuruh hebat. 

"Panas ya, Mba? Sampai pakaiannya tipis gitu," sindirku. 

Mas Rasha yang sejak tadi sibuk menyendokkan makanan ke dalam mulutnya terhenti. Wanita itu tersenyum kaku. 

"Eh, iya, maaf. Nanti aku ganti."

Nayla mencuri pandang ke suamiku, wajahnya tertunduk saat matanya menangkapku yang sedang menatapnya. Langkahnya berdiri lalu menjauh dari kami. 

"Kok, mas nggak tegur tadi?" tanyaku. 

"Ya, mana mas tahu kalau setipis itu, Dek," jawabnya santai. 

"Kenapa mas lama banget tadi?" cecarku. 

"Nayla malu, mas paksa-paksa tadi. Lagian lampu kamarnya tadi mati, mana mas lihat semuanya."

"Bohong! Pasti mas menikmatinya," tuduhku.

"Astaghfirullah, Dek. Mas di luar. Mas tahu batasan meskipun dia sahabat mas."

Aku kembali terdiam berusaha percaya. Tak lama kemudian Nayla kembali dengan baju lebih sopan yang tadi. Kami melanjutka makan tanpa ada suara. 

Saat aku tengah mencuci piring, Nayla masuk ke dalam dapur lalu seenaknya meletakkan bekas makanannya begitu saja. Tanpa ada niat untuk mencucinya. Padahal keadaan dapur sudah kembali bersih. 

Aku masih menahan kesabaran, kucuci bekas piringnya. Tak masalah, hanya dua buah, pikirku. 

Saat selesai berkutat di dapur, aku yang hendak bergabung di ruang keluarga mendadak menghentikan langkah saat kudapati Nayla dan suamiku tengah tertawa lepas. Nayla tak berhenti memukul lengan suamiku dan sekali-sekali mencubitnya.

Hati sungguh panas melihatnya. Aku melangkah tergesa-gesa lalu duduk di antara mereka. 

"Sofa luas begini, kok, dempet-dempetan?" sindirku. 

Mas Rasha lalu merangkulku lalu mencubit gemas pipi ini. Sekilas kulihat wajah masam Nayla. 

"Sayang, sakit tahu!" protesku. 

Mas Rasha terbahak, "Mas suka pipi kamu. Jadi pengen–"

"Uhuk!" Nayla terbatuk, spontan kami berdua menoleh ke arahnya. 

"Kenapa, Nay?" tanya suamiku. 

"Eng-enggak, kok, Mas. Anu, aku mau minum, tenggorokanku kering," ucapanya kemudian berlalu. 

Mas Rasha tak mempedulikan, kembali pipiku dicubit lalu menciumnya gemas. Naura yang ada di pangkuan mas Rasha terus berceloteh lalu memukul-mukul lengan ayahnya. Tangan  Mas Rasha kemudian merangkul tubuh kami berdua. Ekor mataku menangkap ada sosok yang berdiri mematung di sana.

Bab terkait

  • WANITA SIMPANAN   3. RAYUAN WANITA PENGGODA

    "Jangan pernah membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupan rumah tanggamu, jika tak ingin berakhir dengan perceraian akibat pengkhianatan."Kalimat itu sering kali kudengar dari beberapa orang yang menasehatiku. Termasuk Sinta–sahabatku sejak kecil–.Sinta menolak tegas saat kuceritakan kehadiran Nayla di dalam rumah tangga kami. Baginya sama saja aku membuka lebar peluang wanita itu untuk merebut posisiku."Ai, kamu salah besar. Kamu sudah jelas membuka peluang untuk dia.""Aku harus bagaimana, Ta? Mas Rasha berjanji akan memulangkannya.""Kapan?" Aku kengendikkan bahu."Ai, sebelum terlambat, kamu harus mencegahnya. Wanita itu sudah terang-terangan loh. Persahabatan beda jenis kelamin itu pastinya akan berujung cinta sepihak.""Maksudnya?""Salah satu di antara mereka pasti memendam rasa. Nggak ada persahabatan seperti itu yang biasa-biasa saja. Percaya deh sama aku."Aku terus mencern

  • WANITA SIMPANAN   4. DESAS DESUS TETANGGA

    Lima hari telah berlalu, akan tetapi hingga kini Mas Rasha belum juga membawa Nayla pergi dari rumah ini. Apalagi dia bukan mahram suamiku. Mas Rasha pun tahu, batas bertamu hanya tiga hari. Melapor ke Pak RT pun belum.Hal yang paling aku takutkan, jika Nayla berlama-lama di rumah ini, akan ada desas-desus yang tak mengenakkan dari tetangga. Lagi pula, bagiku Nayla itu perlu diawasi, mengingat gerak-geriknya seolah berusaha menggoda suamiku."Mas, kapan? Ini sudah hari ke lima," tanyaku saat aku sedang mempersiapkan pakaian kantornya."Sabar, Dek. Kontrakannya belum dapat," jawabnya seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Emang kontrakannya harus gimana, sih, Mas? Segitu ribetnya.""Kamu tenang aja ya, Sayang. Minggu ini pasti dapat. Mas akan berusaha."Mas Rasha meraih kemejanya kemudian memakainya. Aku mengempaskan tubuh di sofa kamar kami."Mas udah laporan sama RT belum?""Belum, ini mas

  • WANITA SIMPANAN   5. KELAKUAN NAYLA

    "Mbak Ainun!" Aku menoleh ke arah suara. Rupanya ibu-ibu tengah berkumpul di taman komplek. Aku yang sedang menemani Naura jalan-jalan sore akhirnya mendekat ke arah mereka. "Sini dulu, atuh, Neng," ajak Bu Elis. Aku menanggapinya dengan senyum lalu duduk tepat di sampingnya. Tubuh kecil Naura kupangku. "Gimana si awewe itu?" tanya Bu Elis. Aku mengernyitkan dahi masih tak mengerti. "Iki loh, Mbak, si gundik kegatelan," sambung Bu Ajeng dengan logat Jawanya. "Maaf?" tanyaku halus. "Dia masih di rumah kamu?" tanya Bu Lastri. Aku mengangguk lemah. "Atuh usir aja! Jangan sampai teh dia main belakang sama suami kamu," celetuk Bu Elis. "Iya, bener itu, Mbak. Kan perselingkuhan itu terjadi karena adanya kesempatan dalam kesesatan," imbuh Bu Lili. "Kesempitan!" koreksi mereka kompak. "Itu maksud saya. Kan kali aja dia pake susuk pemikat di wajahnya. Itu kan sesat na

  • WANITA SIMPANAN   6. SAATNYA BERAKSI

    Semenjak kejadian semalam, aku semakin geram dibuatnya. Berani-beraninya dia mempertontongkan belahan dadanya pada suamiku. Aku tidak mau tahu dan menerima alasan apapun lagi, hari ini dia harus segera pergi."Dek, Mas berangkat dulu, ya." Aku hanya mengangguk padanya. Hatiku masih saja sakit dibuatnya.Perlahan sebuah tangan kekar melingkar di perutku. Mas Rasha menumpukan dagunya di bahuku, bersamaan dengan pelukannya semakin erat."Maafkan mas, Dek," bisiknya.Aku masih bergeming. Suasana hening menyelimuti kami hingga suara tangisan Naura terdengar. Aku melepaskan diri dari rengkuhannya lalu menghampiri putriku.Tubuh kecil Naura kuangkat lalu menggendongnya. Mas Rasha menahanku, diciuminya pipi gembul Naura dengan gemas lalu dengan cepat bibirnya juga mendarat di pipiku. Tak dapat mengelak hingga aku lebih memilih diam saja."Mas berangkat, Sayang," pamitnya lalu mencium keningku."Sayang

  • WANITA SIMPANAN   7. MENGUSIR PELAKOR

    "Kamu sengaja 'kan, mengajak mereka kesini?" ucapnya setelah tetanggaku pergi."Buat?" tanyaku sesantai mungkin."Buat mempermalukan aku. Segala uneg-unegmu sudah disampaikan sama mereka."Aku tersenyum sinis. "Lalu?""Kamu sudah puas?!" tanyanya dengan menatapku tajam."Belum. Ini baru permulaan Nayla.""Aku akan mengadukannya pada Rasha," ancamnya."Silakan!" tantangku.Dia menggeratkkan giginya kemudian berlalu meninggalkanku.Aku tertawa lepas saat mengingat bagaimana mereka menghadapi Nayla."Mengusirku?" tanya Nayla."Iya, kamu sudah melanggar peraturan di kompleks ini." Kening Nayla berkerut."Pertama, batas bertamu adalah tiga hari, lewat dari itu silakan pulang atau kembali melapor ke RT setempat dengan membawa foto copy KTP. Kedua, kamu bukan saudara atau keluarga dari Pak Rasha maupun Mbak Ainun. Status kamu hanyalah teman Pak Rasha. Jadi, kami pik

  • WANITA SIMPANAN   8. DINAS DI LUAR KOTA

    Suasana rumah begitu nyaman, tak ada wanita itu, tak ada keributan dan pastinya tak ada wanita penggoda. Aku menikmati suasana seperti ini. Dan aku berharap, wanita itu tidak muncul lagi di depanku.Bunyi bel membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit lalu berlalu meninggalkan Naura yang sedang tertidur pulas. Begitu pintu kubuka, tampaklah wajah lelah suamiku. Aku berhambur memeluknya. Sangat erat."Eh, tumben," tegurnya. Aku tersenyum."Pelukannya jangan di sini, nanti dilihat sama Nayla," bisiknya. Senyumku yang sedari tadi mengembang, memudar seketika."Nayla?" tanyaku setelah melepas pelukan."Iya, Sayang. Kan nggak enak," jawabnya.Ekor matanya menelisik.setia sudut ruangan. "Eh, yang lain sudah tidur?" tanyanya seraya malangkah masuk."Iya, Mas." Ekor matanya melirik ke pintu kamar yang sudah tertutup rapat."Kenapa, Mas, segitu banget lihat ke pintu kamar dia," tegurku cemburu."Eh, e

  • WANITA SIMPANAN   9. BAYANGAN SIAPA?

    Sudah empat hari berlalu semenjak kepergian Mas Rasha. Biasanya setelah sampai di kota tujuan, suamiku akan menelfon. Namun, kenyataannya, sampai sekarang, jangankan menelfon, untuk sekedar membalas chatku pun sangat susah.Naura yang sejak kemarin rindu dan ingin bertemu dengan ayahnya semakin terus menangis. Aku yang sudah kewalahan berinisiatif untuk melakukan panggilan video.Panggilan terus kulakukan, tapi tak pernah ada jawaban. Mungkin dia sedang sangat sibuk."Unda, yaya mana?" tanya anakku."Sabar ya, Sayang. Mungkin ayah lagi sibuk kerja.""Naula lindu yaya!" protesnya dan kembali menangis.Pikiranku kalut. Naura mewarisi sifat ayahnya. Jika ingin sesuatu, maka harus dikabulkan. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. Aku menghubungi Dion-teman kantornya. Aku yakin Dion bisa membantuku.Dering panggilan menyambungkan terus terdengar hingga suara bariton dari seberang terdengar."Ha

  • WANITA SIMPANAN   10. Parfum siapa?

    Semenjak kejadian tadi pagi membuat pikiranku semakin kacau. Bayangan siapa itu? Kenapa justru panggilan terputus tiba-tiba? Apa yang terjadi sebenarnya?Semua pertanyaan dan kecurigaan terus menyerangku. Aku yakin suamiku tidak akan berkhianat, tapi bayangan itu? Suara itu?Arrg. Aku benci pikiranku saat ini. Harusnya aku lebih percaya suamiku saat pamit keluar kota untuk menafkahi kami. Ya, suamiku pasti setia.Bel berbunyi, gegas aku melangkah keluar untuk menyambut kedatangannya. Saat membuka pintu, aku.melihat sosok yang sangat aku rindukan. Tangannya direntangkan lalu aku menghambur ke dalam pelukannnya. Mencium aroma tubuh yang menjadi canduku selama ini."Kangen, Dek," bisiknya."Sama," jawabku seraya memeluknya lebih erat."Yaya!" pekik Naura yang sukses merusak moment kemesraan orang tuanya.Aku mengalah, mas Rasha melepaskan pelukan lalu menggendong dan terus menciumi pipi gembul Naura.&n

Bab terbaru

  • WANITA SIMPANAN   133. Akhir Cerita

    Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu

  • WANITA SIMPANAN   132. Hari Peenikahan

    "Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu

  • WANITA SIMPANAN   131. Naura dan Arif

    Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak

  • WANITA SIMPANAN   126. Sesurga Bersamamu

    Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap

  • WANITA SIMPANAN   130. Kedatangan Arif

    "Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan

  • WANITA SIMPANAN   129. Berusaha Merebut Hati Naura

    "Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan

  • WANITA SIMPANAN   128. Suara Hati Sang Pelakor

    "Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."

  • WANITA SIMPANAN   127. Kegelisahan Hati Naura

    Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p

  • WANITA SIMPANAN   125. Hari Bahagia

    "Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak

DMCA.com Protection Status