Dari balik dinding kaca jernih yang tembus ke lobi, menyeberangi meja-meja dengan monitor menyembul sedikit di bawah garis tatapannya, Sam menangkap kelebat lincah Sonia yang berlari keluar. Hatinya sama sekali tidak membunyikan gaung perasaan apapun.
Baiklah, mungkin ada. Sedikit.
Namun ada perasaan menggelitik yang mengusiknya. Perasaan lain yang tak ada hubungannya dengan si cantik-lincah Sonia. Sam merasakan tatapan perempuan—perempuan lain—yang duduk di sudut di dekat jendela kaca yang menghadap halaman depan. Tatapan itu terasa seperti sentuhan jari—lunak tapi mengganggu—yang tak mau henti di punggungnya.
Ada dua orang yang memperhatikannya lebih daripada orang lain sejak pertama kali bergabung dengan perusahan penerbitan itu. Yang satu Sonia. Terbuka, ramah, dan terkadang agak berlebihan. Pertemuan tadi dengan Sonia merupakan kesempatan pertama ia berbicara agak leluasa seolah ia telah akrab dengannya.
Aura terbuka gadis itu membuatnya sedikit membuka diri. Dan kenyataannya Sonia menanggapinya dengan menyenangkan. Tatapan mata, lirikan dan mencuri-curi kesempatan untuk berada didekatnya yang Sonia lakukan selama sebulan ini ternyata tak membuktikan janji yang lebih dari sekedar tawaran berteman. Atau itulah yang Sam rasakan. Untunglah Sam belum melakukan sesuatu yang berlebihan pula.
Sam bernapas lega.
Tetapi kasusnya berbeda dengan perempuan yang menatapinya diam-diam saat itu. Sam pernah mendengar seseorang rekan koresponden memanggil namanya: Rastri. Sam pernah melihatnya berjalan pulang sendirian dan mengejar bus kota dengan kegesitan yang cukup mengejutkan—mengingat sikapnya yang serba pendiam dan tertutup penuh misteri.
Berbeda dengan Sonia yang terbuka dan riang, Rastri hanya menatapinya dari jauh, tak berusaha mendekat. Dan ketika Sam berusaha mendekatinya, Rastri secara licin dan tak kentara beringsut pergi. Beberapa kali Sam sempat membenci dirinya sendiri karena terlibat dalam situasi yang canggung tapi membelit ini.
Ah, apa urusannya dengan Rastri? Ia di sini hanya mau bekerja. Tak lebih dan tak kurang. Ia berhak hidup normal. Senormal yang ia inginkan. Dan andai ada seorang seperti Rastri yang bermisteri dengan sikapnya terhadapnya, Sam yakin akan lebih baik jika ia tak menghiraukannya. Titik.
Sam membuka semua file yang mesti diperiksanya malam itu. Deadline masih cukup lama, tapi Sam tahu lebih cepat ia menyelesaikannya lebih baik. Lagipula ia sering mendapat pekerjaan dadakan dari naskah-naskah penting yang tiba di menit-menit terakhir sebelum masuk bagian lay-out. Ia baru tiga bulan di situ, dan ia ingin memperlihatkan etos kerjanya yang maksimal—seperti manusia lainnya.
Rastri masih menatapinya. Sam bisa merasakan itu. Gelora emosinya memuncak, tetapi dengan tenang ia meredam arus kemarahannya dengan berkonsentrasi pada huruf-huruf yang tampak bersusulan muncul di layar monitornya. Detik menuju menit. Dan menit menjadi jam. Ia tenggelam dalam lautan kata-kata. Otaknya menyisir kalimat demi kalimat. Logikanya bekerja setiap ada makna yang muncul dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibacanya.
Tugasnya hanya menyempurnakan bahasa agar mampu menyampaikan maksudnya yang paling jernih dan langsung. Bahasa jurnalisme. Dan ia harus membetulkan ejaan dan penempatan tanda baca yang keliru. Bukan pekerjaan sulit. Apalagi program komputer yang dipakainya sangat membantu. Ketika ia selesai mengerjakan sejumlah naskah yang ada dalam foldernya, rekan kerjanya yang lebih senior datang.
“Hei, sudah selesai?”
Sam mengangguk. Dan membiarkan Manto meneliti pekerjaannya. Sam membiarkan Manto terpana atas kesempurnaan hasil kerjanya. Sempurna. Bahkan Sam telah menyelesaikan naskah yang seharusnya menjadi bagian Manto. Dan seperti biasa selama tiga bulan ini ia membiarkan Manto terserap oleh obsesinya untuk menemukan kesalahan yang dibuatnya. Sam yakin untuk kesekian kali Manto akan kecewa tak menemukan satu celah pun untuk mencelanya. Sam bangkit dan menoleh ke arah meja Rastri.
Gadis itu telah menghilang.
Sam melangkah mendekati jendela kaca yang terbuka. Angin dari luar menerpanya saat ia menyentuh permukaan meja Rastri. Meja yang rapi dan bersih seperti dilap setiap detik. Bahkan layar monitornya tampak lebih bersih dari layar monitor lainnya. Gadis itu mungkin cinta kebersihan melebihi apa pun. Atau ia terlalu cemas dan neurotik dan menjadikan kegiatan mengelap dan mengelap mejanya sebagai bagian dari terapi pribadinya. Segawat itukah?
Lalu, ke mana gadis itu pergi? Apakah ia telah selesai dengan pekerjaannya hari ini? Apakah memata-matainya termasuk pekerjaannya? Tak ada apa-apa di meja Rastri. Bersih. Rapi. Terlalu rapi sehingga tampak janggal. Penuh misteri. Dan saat Sam menatap keluar jendela, ia melihat Rastri yang menatapnya di gerbang depan dekat posko. Sosoknya yang langsing tegap menghadap lalulintas yang padat, tetapi wajahnya menoleh ke arah jendela di mana Sam berada.
Wajah yang tertutup gelap bayangan pepohonan itu menatapnya langsung. Dari sikap tubuhnya Sam menduga ada sesuatu yang bergolak dalam benak gadis itu. Saat menatapnya Rastri tak berusaha berkelit atau pura-pura melengos.
Naluri Sam lantang memekik: Rastri mengetahui sesuatu tentang dirinya yang tidak diketahuinya?
Manto telah kembali menghilang. Demikian juga beberapa wartawan dan staff redaksi yang sempat mampir ke ruang itu. Sam melihat ke jam dinding besar di atas rak yang menyimpan berkas-berkas berfolder, piala-piala menyolok sewarna emas, beberapa piagam yang disangga dalam bingkai kayu berukir, mika atau plastik dan buku-buku tebal bersampul kulit yang tampak belum dibuka sejak dibeli.Jam 19:15. Waktu makan malam. Pasti kantin dalam puncak keramaiannya malam ini, sebelum orang-orang itu kembali berpencar dengan pekerjaannya masing-masing. Dan semua itu akan berakhir ketika koran masuk cetak beberapa saat sebelum tepat tengah malam.Tetapi sebelum itu Sam mesti tinggal di ruang itu, menunggu sesuatu yang barangkali muncul. Atau jika tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, ia tetap harus berada di sana, stand by, memperlihatkan bahwa dirinya ada dan tersedia serta siap menjalankan tugas. Sam menunggu saat-saat mesin cetak menggerung bergemuruh beberapa jam la
Ketika Sam selesai dengan naskah itu, Pinto menyambanginya dari belakang. Pinto membaca tulisan yang terpampang di layar sebelum disave-and-close. Bersiul kecil, ia menyentuh pundak Sam, dan menatap Rastri yang sedang menatap ke arah mereka. Gila, desisnya. Apa maksud Rastri menulis berita seperti ini? Koran mereka bukan Metropolitan Baru. Koran mereka adalah koran nasional berkantor pusat di Jakarta yang membuka kantor di daerah—tiap daerah—untuk menyajikan berita-berita lokal. Namun mereka tetap koran nasional dengan kebijakan yang sama sekali berbeda dengan koran daerah yang dipenuhi klenik dan gugon tuhon. Dan mereka tidak memberitakan berita supernatural. No way.Pinto ingat ia pernah mendengar perdebatan ini di rapat-rapat redaksi. Sebagian wartawan merasa koran mereka perlu memberitakan kisah-kisah yang berkaitan dengan vampir, namun redaksi tetap pada putusannya bahwa berita-berita seperti itu bukan untuk mereka—meskipun Metropolitan
Di mejanya yang licin dan bersih, Rastri berkemas pulang. Beberapa pertanyaan bersemayam dan mengganjal di benaknya. Mengapa pihak pra-cetak adem-ayem saja? Mengapa naskahnya mulus begitu saja lolos? Ataukah naskahnya telah di-drop sebelum masuk ke pra-cetak? Ia harus mengeceknya. Ia telah melihatnya di layar monitor pra-cetak. Tak ada masalah.Ah, tidak.Ia harus menunggu. Ia harus melihatnya langsung di koran yang keluar panas-panas dari mesin cetak. Ini bukan masalah main-main. Dan Rastri telah siap menanggung akibatnya.Vampir bukan masalah main-main.Malam makin larut dan, setelah mencapai puncaknya yang ditandai oleh angin yang lebih dingin dan kegelapan yang lebih pekat, akan mulai tergelincir menuju dini hari. Rastri kembali duduk. Beberapa wartawan asyik menonton sebuah acara TV dari Jepang yang menampilkan cewek-cewek berwajah inosens berpakaian setengah telanjang. Tawa mereka terdengar seru, tak peduli dan menjengkelkan. B
Rastri menyumpah panjang pendek untuk sesaat. Jantungnya seakan berhenti sedetik, dan koran yang berada di genggamannya nyaris terlepas. Matanya menangkap sosok redaksi bahasa baru itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Rastri terdiam menenangkan dirinya.“Brengsek, kau membuatku kaget,” omelnya. Lalu tanpa banyak berkata lagi Rastri berbalik beranjak pergi. Sam mengikutinya tanpa suara. Di ambang pintu ke bagian pra-cetak Rastri berhenti. Tatapannya keras dan menolak.“Mengapa kau mengikutiku?” tegurnya panas.“Kau puas beritamu telah dimuat?” ulang Sam.“Apa maksudmu?”“Kau akan mendapat masalah karena berita itu.”Rastri melipat koran di tangannya, lantas mengepitnya di ketiak. Sikapnya tak peduli. Ada seringai masam di wajahnya yang dingin, tapi ia berhasil menghapusnya dengan bersikap sinis.“Jangan takut. Kau tak akan kehilangan pekerjaanmu,”
Sejak langkahnya memasuki gerbang keesokan harinya Rastri tahu ia akan menghadapi hal-hal yang tak biasa hari itu. Tapi semuanya sudah dipikirkan dan diduganya jauh-jauh hari sebelumnya. Tiga orang satpam yang mengawasinya masuk saling berbisik.Dan ia menangkap sekilas bayangan orang di jendela yang melihatnya seolah sudah mengintai sejak matahari terbit. Petugas resepsionis di lobi hanya meliriknya ketika langkah Rastri langsung berbelok ke pintu ruang redaksi. Mereka semua berusaha untuk bersikap biasa—justru hal itu membuat situasinya tampak tak biasa.Tak ada yang menyapanya.Dan ketika seseorang berusaha menyapa “hai!” kepadanya, Redaksi Pelaksananya yang botak telah menepuk bahunya, dan membisikkan bahwa ia ditunggu di ruang Pimpinan Redaksi. Meskipun ia telah menduga hal ini akan terjadi, Rastri tetap merasakan lututnya goyah.Ia meletakkan tas punggungnya asal saja di sembarang meja. Dan dengan langkah ya
Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa? Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu. “Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?” Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu. “Menurutmu bagaimana?” “Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin
Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.Lelaki setengah baya yang berkaca
Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. “Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam. Sam mengangguk. “Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. “Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin se