Rastri dan Sonia terpaksa harus tiduran di ruang kesehatan kantor setelah menyelesaikan tugas harian mereka. Matahari sudah terasa panas pada jam 10.30 saat itu. Pendingin ruangan hanya mampu memberikan kesejukan yang membuat kulit mereka terasa kering dan sangat tidak nyaman, karena keletihan yang mereka derita seakan tersekap di dalam tubuh dan tak mau keluar. Kini mulai terasa betapa letih dan pedih mata mereka, akan tetapi berkebalikan dengan keinginan hati mereka kedua pasang mata mereka tak juga mau dipejamkan. Dalam desahan ke sekian akhirnya Sonia menyadari keluhan tak akan menghilangkan keletihan yang menguasai sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa melayang, seakan tak mau berkoordinasi dengan bagian tubuh lainnya. Ia berusaha memejam. Namun suara-suara kesibukan di luar tak juga mampu ia kesampingkan. Napasnya terasa berat, dan gendang telinganya berdenging dan terasa seakan sebuah benda padat menggumpal di sana.Sonia terlentang dan mengatur napasnya
Sonia bangun terkejut. Sedetik dua detik ia meraup kesadarannya kembali dengan menghela napas panjang. Dan tahulah ia suara apa yang ia dengar dalam ketidaksadarannya sebelumnya. Pintu ruang kesehatan telah terbuka dan angin panas yang menerobos dari luar mengibas-kibaskannya, membentur dinding, dan menjatuhkan benda-benda. Rastri tidak ada lagi di sebelahnya.Sonia menyentuh pipinya. Basah. Jadi ia benar-benar menangis seperti dalam mimpinya. Mimpi yang aneh dan ganjil di siang hari. Apa yang ditangisinya? Dalam mimpinya? Ah, ya. Ia bermimpi Sam mendatanginya. Semuanya gelap. Ia merasa tersesat. Ia gembira Sam dating. Namun Sam sama sekali tak menyapa. Ia hanya lewat dan pergi. Dan ia menangis. Karena entah kenapa ia merasa begitu sendirian dan terasing. Mendadak semua masalah dan kesulitannya hadir kembali di benak Sonia. Gadis itu tersenyum masam, dan menapakkan kakinya yang telanjang ke lantai. Son
“Siapa nama orang baru itu?” “Sam.” “Tidakkah lo pikir dia cool?” “Lo pikir gitu?” “Liat aja. Liat. Ia datang bersamaan dengan Titus. Ia jalan kaki, Titus turun dari mobil mewahnya, diiringi para pengawalnya. Tapi gak ada canggungnya sama sekali si Sam itu. Eh, dia menatap Titus seolah Titus itu hanya kecoak yang lewat. Tapi Titus gak memedulikannya, mungkin ia merasa berada jauh di atas angin dibanding Sam.” “Aku liat. Emangnya kenapa? Jangan berani-berani ngliatin dan komentar tentang boss ya. Gak sopan!” “Ya kalau gue yang ngliatin gak perlu melotot kayak mata lo, dong. Lagian yang gue liat itu Sam, bukan si boss.” “Gak sopan. Masak si boss malah gak diacuhin, lo malah ngliatin si Sam. Eits, ati-ati. Orangnya makin dekat. Maaakiiin deeekaaat,” ucap sang resepsionis menyenandungkan perkataannya. “Tenang aja, man. Tenang,” bisik Sonia, lalu menunduk, sedetik kemudian ia mendongak, mengibaskan rambu
Dari balik dinding kaca jernih yang tembus ke lobi, menyeberangi meja-meja dengan monitor menyembul sedikit di bawah garis tatapannya, Sam menangkap kelebat lincah Sonia yang berlari keluar. Hatinya sama sekali tidak membunyikan gaung perasaan apapun.Baiklah, mungkin ada. Sedikit.Namun ada perasaan menggelitik yang mengusiknya. Perasaan lain yang tak ada hubungannya dengan si cantik-lincah Sonia. Sam merasakan tatapan perempuan—perempuan lain—yang duduk di sudut di dekat jendela kaca yang menghadap halaman depan. Tatapan itu terasa seperti sentuhan jari—lunak tapi mengganggu—yang tak mau henti di punggungnya.Ada dua orang yang memperhatikannya lebih daripada orang lain sejak pertama kali bergabung dengan perusahan penerbitan itu. Yang satu Sonia. Terbuka, ramah, dan terkadang agak berlebihan. Pertemuan tadi dengan Sonia merupakan kesempatan pertama ia berbicara agak leluasa seolah ia telah akrab denganny
Manto telah kembali menghilang. Demikian juga beberapa wartawan dan staff redaksi yang sempat mampir ke ruang itu. Sam melihat ke jam dinding besar di atas rak yang menyimpan berkas-berkas berfolder, piala-piala menyolok sewarna emas, beberapa piagam yang disangga dalam bingkai kayu berukir, mika atau plastik dan buku-buku tebal bersampul kulit yang tampak belum dibuka sejak dibeli.Jam 19:15. Waktu makan malam. Pasti kantin dalam puncak keramaiannya malam ini, sebelum orang-orang itu kembali berpencar dengan pekerjaannya masing-masing. Dan semua itu akan berakhir ketika koran masuk cetak beberapa saat sebelum tepat tengah malam.Tetapi sebelum itu Sam mesti tinggal di ruang itu, menunggu sesuatu yang barangkali muncul. Atau jika tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, ia tetap harus berada di sana, stand by, memperlihatkan bahwa dirinya ada dan tersedia serta siap menjalankan tugas. Sam menunggu saat-saat mesin cetak menggerung bergemuruh beberapa jam la
Ketika Sam selesai dengan naskah itu, Pinto menyambanginya dari belakang. Pinto membaca tulisan yang terpampang di layar sebelum disave-and-close. Bersiul kecil, ia menyentuh pundak Sam, dan menatap Rastri yang sedang menatap ke arah mereka. Gila, desisnya. Apa maksud Rastri menulis berita seperti ini? Koran mereka bukan Metropolitan Baru. Koran mereka adalah koran nasional berkantor pusat di Jakarta yang membuka kantor di daerah—tiap daerah—untuk menyajikan berita-berita lokal. Namun mereka tetap koran nasional dengan kebijakan yang sama sekali berbeda dengan koran daerah yang dipenuhi klenik dan gugon tuhon. Dan mereka tidak memberitakan berita supernatural. No way.Pinto ingat ia pernah mendengar perdebatan ini di rapat-rapat redaksi. Sebagian wartawan merasa koran mereka perlu memberitakan kisah-kisah yang berkaitan dengan vampir, namun redaksi tetap pada putusannya bahwa berita-berita seperti itu bukan untuk mereka—meskipun Metropolitan
Di mejanya yang licin dan bersih, Rastri berkemas pulang. Beberapa pertanyaan bersemayam dan mengganjal di benaknya. Mengapa pihak pra-cetak adem-ayem saja? Mengapa naskahnya mulus begitu saja lolos? Ataukah naskahnya telah di-drop sebelum masuk ke pra-cetak? Ia harus mengeceknya. Ia telah melihatnya di layar monitor pra-cetak. Tak ada masalah.Ah, tidak.Ia harus menunggu. Ia harus melihatnya langsung di koran yang keluar panas-panas dari mesin cetak. Ini bukan masalah main-main. Dan Rastri telah siap menanggung akibatnya.Vampir bukan masalah main-main.Malam makin larut dan, setelah mencapai puncaknya yang ditandai oleh angin yang lebih dingin dan kegelapan yang lebih pekat, akan mulai tergelincir menuju dini hari. Rastri kembali duduk. Beberapa wartawan asyik menonton sebuah acara TV dari Jepang yang menampilkan cewek-cewek berwajah inosens berpakaian setengah telanjang. Tawa mereka terdengar seru, tak peduli dan menjengkelkan. B
Rastri menyumpah panjang pendek untuk sesaat. Jantungnya seakan berhenti sedetik, dan koran yang berada di genggamannya nyaris terlepas. Matanya menangkap sosok redaksi bahasa baru itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Rastri terdiam menenangkan dirinya.“Brengsek, kau membuatku kaget,” omelnya. Lalu tanpa banyak berkata lagi Rastri berbalik beranjak pergi. Sam mengikutinya tanpa suara. Di ambang pintu ke bagian pra-cetak Rastri berhenti. Tatapannya keras dan menolak.“Mengapa kau mengikutiku?” tegurnya panas.“Kau puas beritamu telah dimuat?” ulang Sam.“Apa maksudmu?”“Kau akan mendapat masalah karena berita itu.”Rastri melipat koran di tangannya, lantas mengepitnya di ketiak. Sikapnya tak peduli. Ada seringai masam di wajahnya yang dingin, tapi ia berhasil menghapusnya dengan bersikap sinis.“Jangan takut. Kau tak akan kehilangan pekerjaanmu,”