“Siapa nama orang baru itu?”
“Sam.”
“Tidakkah lo pikir dia cool?”
“Lo pikir gitu?”
“Liat aja. Liat. Ia datang bersamaan dengan Titus. Ia jalan kaki, Titus turun dari mobil mewahnya, diiringi para pengawalnya. Tapi gak ada canggungnya sama sekali si Sam itu. Eh, dia menatap Titus seolah Titus itu hanya kecoak yang lewat. Tapi Titus gak memedulikannya, mungkin ia merasa berada jauh di atas angin dibanding Sam.”
“Aku liat. Emangnya kenapa? Jangan berani-berani ngliatin dan komentar tentang boss ya. Gak sopan!”
“Ya kalau gue yang ngliatin gak perlu melotot kayak mata lo, dong. Lagian yang gue liat itu Sam, bukan si boss.”
“Gak sopan. Masak si boss malah gak diacuhin, lo malah ngliatin si Sam. Eits, ati-ati. Orangnya makin dekat. Maaakiiin deeekaaat,” ucap sang resepsionis menyenandungkan perkataannya.
“Tenang aja, man. Tenang,” bisik Sonia, lalu menunduk, sedetik kemudian ia mendongak, mengibaskan rambut panjangnya acuh-tak-acuh dan lalu menatap langsung ke arah Sam. Wajahnya sumringah dan terus terang seolah angin surga yang lembut barusan meniup lehernya, katanya ringan, “Hallo, Sam!”
Yang disapa tersenyum tipis. Setipis kulit ari. Lalu menyingkir ke tepi ketika Titus—masuk ke ruang lobi seakan mengklaim daerah kekuasaannya—dengan tangan terangkat tinggi memberi perintah ke sana-ke mari kepada para ‘bayangan’-nya yang terdiri dari beberapa lelaki berpakaian resmi dengan jas lengkap. Sesaat ruang yang luas itu disibukkan oleh hilir mudik yang sigap. Mereka tahu yang sedang mereka kerjakan, dan mereka melakukannya dengan cepat. Ini disukai oleh Titus, yang tersenyum dengan wajah tengadah seolah otak belakangnya lebih berat dari dagunya yang lemah.
“Ada apa ini, Sonia?” mendadak Sam yang masih membisu tenang di sebelahnya bertanya. Sonia tersentak. Menatap Sam dengan keterkejutan yang tak ditutup-tutupi. Sam tahu namanya? Kapan mereka pernah dikenalkan secara resmi? Jawabnya: tak pernah. Dan cowok itu sudah tahu namanya dan tak canggung menyebutkannya kepadanya? Ah, pertanda bagus!
“Sonia menatapku seolah melihat hantu,” tukas Sam tenang. Lalu seakan geli oleh ucapannya sendiri, ia tertawa tanpa bunyi.
Sonia meringis jengah. Begitu jelaskah perasaannya terbaca? Hati-hati. Cewek gak boleh terlalu mudah memperlihatkan perasaan. Apalagi kepada cowok. Sedetik wajah Sonia semburat memerah. Ia berdehem kecil. Helaan napas halus di hidungnya yang bangir. Lantas, ketika berbicara suaranya menjadi lebih berat dan tenang. Kendali total agaknya telah kembali ke dalam dirinya.
“Akan ada tamu dari Balaikota. Mungkin walikota itu sendiri,” jelas Sonia terdengar terlalu serius untuk sebuah info yang terlalu biasa. Lirikannya ke arah cowok itu terputus sewaktu tahu Uwie sang resepsionis juga mengamatinya. Cowok yang dipanggil Sam itu mengangguk, seraya mengamati suasana sekelilingnya.
Setelah suasana kembali normal, dan pintu ke arah ruang redaksi tak lagi dijejali orang-orang. Sam berjalan pelan ke arah mejanya, jauh di sudut sepi dan terpencil ruang redaksi. Sonia mengikuti langkahnya dengan tatapan yang kini penuh perhitungan. Benaknya menimbang-nimbang apakah ia harus kembali membuka komputernya dan mengecek naskah yang baru diselesaikannya tadi sore. Atau pulang.
Pulang berarti ia harus mengorbankan momen yang mungkin akan menyenangkan bersama Sam. Kalau ada ...
Sonia melihat Sam duduk di mejanya jauh di sudut, di balik komputer yang terletak paling dekat dengan pintu ke bagian belakang gedung, jalan tembus menuju bagian pra-cetak. Pandangan Sonia ke sana tertutup oleh bingkai dinding kaca dan beberapa rak di seberang meja bermonitor di barisan terdepan dekat pintu dari lobi. Langit mulai membiaskan cahaya merah yang muram. Senja akan berlalu tanpa sapa. Malam akan segera tiba tanpa permisi. Jendela-jendela kaca hitam satu-arah di ruang redaksi yang luas mulai dibuka, satu-persatu, menyambut udara malam yang sejuk yang akan mengganti udara dari mesin pendingin seharian.
“Sudah lega, setelah ketemu idolamu?”
“Lega? Idola? Ih, apaan sih lo, Wie! Gue cuma suka liat dia begitu cool. Cuma itu. Lagipula mau dikemanain si Albert, cowok gue!” bantah Sonia kalang kabut.
“Gak usah sewot. Gak usah baper. Tuh jemputan lo tiba.”
“Mana?”
“Itu mobil Albert, kan? Masak sama mobil pacar lo lupa? Pasti gara-gara Sam ini!” tuduh Uwie sang resepsionis. Sonia melotot. Secara mendadak ia putuskan untuk pulang. Habis, dijemput Albert....
“Gak usah, ya! Udah deh jangan sebut Sam lagi kalau ada Albert.”
“Cepetan! Tamu si boss udah pada datang tuh mulai masuk gerbang. Nanti pintu depan penuh orang lagi.”
“Ok, yuks mari!”
Dari balik dinding kaca jernih yang tembus ke lobi, menyeberangi meja-meja dengan monitor menyembul sedikit di bawah garis tatapannya, Sam menangkap kelebat lincah Sonia yang berlari keluar. Hatinya sama sekali tidak membunyikan gaung perasaan apapun.Baiklah, mungkin ada. Sedikit.Namun ada perasaan menggelitik yang mengusiknya. Perasaan lain yang tak ada hubungannya dengan si cantik-lincah Sonia. Sam merasakan tatapan perempuan—perempuan lain—yang duduk di sudut di dekat jendela kaca yang menghadap halaman depan. Tatapan itu terasa seperti sentuhan jari—lunak tapi mengganggu—yang tak mau henti di punggungnya.Ada dua orang yang memperhatikannya lebih daripada orang lain sejak pertama kali bergabung dengan perusahan penerbitan itu. Yang satu Sonia. Terbuka, ramah, dan terkadang agak berlebihan. Pertemuan tadi dengan Sonia merupakan kesempatan pertama ia berbicara agak leluasa seolah ia telah akrab denganny
Manto telah kembali menghilang. Demikian juga beberapa wartawan dan staff redaksi yang sempat mampir ke ruang itu. Sam melihat ke jam dinding besar di atas rak yang menyimpan berkas-berkas berfolder, piala-piala menyolok sewarna emas, beberapa piagam yang disangga dalam bingkai kayu berukir, mika atau plastik dan buku-buku tebal bersampul kulit yang tampak belum dibuka sejak dibeli.Jam 19:15. Waktu makan malam. Pasti kantin dalam puncak keramaiannya malam ini, sebelum orang-orang itu kembali berpencar dengan pekerjaannya masing-masing. Dan semua itu akan berakhir ketika koran masuk cetak beberapa saat sebelum tepat tengah malam.Tetapi sebelum itu Sam mesti tinggal di ruang itu, menunggu sesuatu yang barangkali muncul. Atau jika tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, ia tetap harus berada di sana, stand by, memperlihatkan bahwa dirinya ada dan tersedia serta siap menjalankan tugas. Sam menunggu saat-saat mesin cetak menggerung bergemuruh beberapa jam la
Ketika Sam selesai dengan naskah itu, Pinto menyambanginya dari belakang. Pinto membaca tulisan yang terpampang di layar sebelum disave-and-close. Bersiul kecil, ia menyentuh pundak Sam, dan menatap Rastri yang sedang menatap ke arah mereka. Gila, desisnya. Apa maksud Rastri menulis berita seperti ini? Koran mereka bukan Metropolitan Baru. Koran mereka adalah koran nasional berkantor pusat di Jakarta yang membuka kantor di daerah—tiap daerah—untuk menyajikan berita-berita lokal. Namun mereka tetap koran nasional dengan kebijakan yang sama sekali berbeda dengan koran daerah yang dipenuhi klenik dan gugon tuhon. Dan mereka tidak memberitakan berita supernatural. No way.Pinto ingat ia pernah mendengar perdebatan ini di rapat-rapat redaksi. Sebagian wartawan merasa koran mereka perlu memberitakan kisah-kisah yang berkaitan dengan vampir, namun redaksi tetap pada putusannya bahwa berita-berita seperti itu bukan untuk mereka—meskipun Metropolitan
Di mejanya yang licin dan bersih, Rastri berkemas pulang. Beberapa pertanyaan bersemayam dan mengganjal di benaknya. Mengapa pihak pra-cetak adem-ayem saja? Mengapa naskahnya mulus begitu saja lolos? Ataukah naskahnya telah di-drop sebelum masuk ke pra-cetak? Ia harus mengeceknya. Ia telah melihatnya di layar monitor pra-cetak. Tak ada masalah.Ah, tidak.Ia harus menunggu. Ia harus melihatnya langsung di koran yang keluar panas-panas dari mesin cetak. Ini bukan masalah main-main. Dan Rastri telah siap menanggung akibatnya.Vampir bukan masalah main-main.Malam makin larut dan, setelah mencapai puncaknya yang ditandai oleh angin yang lebih dingin dan kegelapan yang lebih pekat, akan mulai tergelincir menuju dini hari. Rastri kembali duduk. Beberapa wartawan asyik menonton sebuah acara TV dari Jepang yang menampilkan cewek-cewek berwajah inosens berpakaian setengah telanjang. Tawa mereka terdengar seru, tak peduli dan menjengkelkan. B
Rastri menyumpah panjang pendek untuk sesaat. Jantungnya seakan berhenti sedetik, dan koran yang berada di genggamannya nyaris terlepas. Matanya menangkap sosok redaksi bahasa baru itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Rastri terdiam menenangkan dirinya.“Brengsek, kau membuatku kaget,” omelnya. Lalu tanpa banyak berkata lagi Rastri berbalik beranjak pergi. Sam mengikutinya tanpa suara. Di ambang pintu ke bagian pra-cetak Rastri berhenti. Tatapannya keras dan menolak.“Mengapa kau mengikutiku?” tegurnya panas.“Kau puas beritamu telah dimuat?” ulang Sam.“Apa maksudmu?”“Kau akan mendapat masalah karena berita itu.”Rastri melipat koran di tangannya, lantas mengepitnya di ketiak. Sikapnya tak peduli. Ada seringai masam di wajahnya yang dingin, tapi ia berhasil menghapusnya dengan bersikap sinis.“Jangan takut. Kau tak akan kehilangan pekerjaanmu,”
Sejak langkahnya memasuki gerbang keesokan harinya Rastri tahu ia akan menghadapi hal-hal yang tak biasa hari itu. Tapi semuanya sudah dipikirkan dan diduganya jauh-jauh hari sebelumnya. Tiga orang satpam yang mengawasinya masuk saling berbisik.Dan ia menangkap sekilas bayangan orang di jendela yang melihatnya seolah sudah mengintai sejak matahari terbit. Petugas resepsionis di lobi hanya meliriknya ketika langkah Rastri langsung berbelok ke pintu ruang redaksi. Mereka semua berusaha untuk bersikap biasa—justru hal itu membuat situasinya tampak tak biasa.Tak ada yang menyapanya.Dan ketika seseorang berusaha menyapa “hai!” kepadanya, Redaksi Pelaksananya yang botak telah menepuk bahunya, dan membisikkan bahwa ia ditunggu di ruang Pimpinan Redaksi. Meskipun ia telah menduga hal ini akan terjadi, Rastri tetap merasakan lututnya goyah.Ia meletakkan tas punggungnya asal saja di sembarang meja. Dan dengan langkah ya
Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa? Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu. “Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?” Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu. “Menurutmu bagaimana?” “Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin
Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.Lelaki setengah baya yang berkaca