Rastri menyumpah panjang pendek untuk sesaat. Jantungnya seakan berhenti sedetik, dan koran yang berada di genggamannya nyaris terlepas. Matanya menangkap sosok redaksi bahasa baru itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Rastri terdiam menenangkan dirinya.
“Brengsek, kau membuatku kaget,” omelnya. Lalu tanpa banyak berkata lagi Rastri berbalik beranjak pergi. Sam mengikutinya tanpa suara. Di ambang pintu ke bagian pra-cetak Rastri berhenti. Tatapannya keras dan menolak.
“Mengapa kau mengikutiku?” tegurnya panas.
“Kau puas beritamu telah dimuat?” ulang Sam.
“Apa maksudmu?”
“Kau akan mendapat masalah karena berita itu.”
Rastri melipat koran di tangannya, lantas mengepitnya di ketiak. Sikapnya tak peduli. Ada seringai masam di wajahnya yang dingin, tapi ia berhasil menghapusnya dengan bersikap sinis.
“Jangan takut. Kau tak akan kehilangan pekerjaanmu,” sentak Rastri.
“Kau akan mendapat masalah kalau berita itu tidak benar.”
Rastri menatap sepasang mata yang menatapnya lurus. Mendadak ia sadar—berkebalikan dengan penampilannya yang pendiam dan menarik diri—orang baru itu memiliki sepasang mata yang membuatnya ngeri. Rastri menunduk. Dan ia benci telah menunduk di hadapan orang baru yang selalu membuatnya gelisah dalam tiga bulan ini. Orang baru itu lebih mengkhawatirkan kebenaran beritanya. Siapakah orang baru itu? Apakah ia orang seperti dirinya? Lalu mengapa ia selalu membuat perasaannya tidak enak? Perasaan aneh memualkan seperti perasaan yang menghunjam hatinya saat...
“Kau pikir wartawan seperti apa aku? Tentu saja aku tidak mengarang beritaku!” bentak Rastri sengit.
Sam tersenyum, namun Rastri tak melihat keramahan di situ. Ia ingin meneliti sekali lagi mata yang menatapnya. Alih-alih melakukannya Rastri bergegas pergi dan menerabas langsung ke pintu keluar. Di halaman yang gelap dan dingin, ia menoleh dan sesaat dadanya kembali berdebar kencang melihat Sam masih mengikutinya.
“Mengapa kau mengikutiku?”
“Kau begitu yakin dengan beritamu?”
“Aku yakin seratus persen!” serunya seperti ledakan marah. Sambil mengatakan itu Rastri berlari kecil ke halaman depan, menuju gerbang depan yang terang di mana sejumlah satpam duduk dengan muka berminyak yang letih dengan rokok menyala di tangan mereka. Sam mereka-reka sesuatu yang ada di balik emosi kata-kata Rastri. Putus asa? Marah? Tertekan?
Tepat tengah malam.
Nanar Sam menatap ke langit. Jadi benar vampir telah menjadi gangguan kembali? Sam bertanya-tanya bagaimana Rastri akan pulang. Jika ia merasa yakin akan beritanya ia seharusnya tidak akan ceroboh pulang sendirian. Pada jam selarut ini tak ada kendaraan umum kecuali omprengan yang sesekali muncul. Apakah seseorang menjemputnya? Dengan langkah tak tergesa Sam menyusul. Bukankah ia juga harus pulang?
Mata Rastri nanar melihat Sam muncul dari balik gerbang. Ketika tahu Sam menatapnya, ia melengos. Langkah malas Sam yang seolah ia memiliki semua waktu di dunia ini menjengkelkannya. Rastri cepat berpaling dan memencet tombol ponselnya. Tak ada jawaban.
Jalan cukup lengang. Tetapi ketika Sam sampai di sebelah Rastri mendadak terdengar suara raungan sekelompok sepeda motor dari kejauhan. Asap menghantam hidung Sam ketika lima orang berkendaraan sepeda motor itu berhenti mendadak di depan Rastri.
“Brandal bising ini menjemputmu?” tanya Sam heran. Tanpa menoleh Rastri melompat ke belakang pengendara terdepan. Wajah-wajah yang menatap Sam keras dan garang.
“Apakah orang ini mengganggumu, Rastri?” setengah menoleh si pengendara motor bertanya. Wajah tirus yang dibingkai rambut gondrong itu didominasi oleh dua pasang mata yang lebar dan tajam, serta sebuah mulut berbibir hitam tipis yang tampak agak feminin untuk lelaki segarang itu.
“Tidak, hanya ....”
“Gue ingin gue tidak lagi melihat lo ketika menjemput Rastri besok!” sembur si gondrong pengendara sepeda motor itu langsung kepada Sam.
“Para penjemputmu sangat mengesankan, Rastri. Sangat ramah!” tukas Sam berusaha mengalahkan bunyi derum motor. Si gondrong melompat dan dalam gerakan yang gesit penuh kemarahan ia berhasil mencengkeram baju Sam. Sam mundur tanpa berusaha melepaskan diri. Dan ini semakin meningkatkan kemurkaan si pengendara itu. Ia membanting Sam ke samping.
Matanya terbelalak.
Sam sama sekali tak bergerak seperti pilar beton baja. Mereka berdua berdiri berhadapan sesaat. Sam menatap penyerangnya tenang, sementara pengendara motor itu memegangi baju Sam dengan marah bercampur jengah. Situasinya nyaris menggelikan. Para pengendara sepeda motor menatap mereka dengan bingung sebelum penyerang Sam berteriak sebal dan melepaskan Sam dengan kasar.
“Kau sudah selesai melampiaskan marahmu, gondrong?” tanya Sam tanpa nada humor. Penyerangnya telah meloncat kembali ke atas sadel, di belakangnya Rastri menatap Sam dengan pandangan heran.
Jawaban yang Sam terima derum yang lebih memekakkan telinga dan asap yang menyembur lebih banyak dari lima sepeda motor itu. Hantu-hantu penasaran akan bangun jika mereka terus membuat kebisingan dan berulah seperti itu.
Setelah menatap dingin ke arah Sam, mereka pergi meninggalkan Sam sendirian di kota yang mulai sunyi.
Sejak langkahnya memasuki gerbang keesokan harinya Rastri tahu ia akan menghadapi hal-hal yang tak biasa hari itu. Tapi semuanya sudah dipikirkan dan diduganya jauh-jauh hari sebelumnya. Tiga orang satpam yang mengawasinya masuk saling berbisik.Dan ia menangkap sekilas bayangan orang di jendela yang melihatnya seolah sudah mengintai sejak matahari terbit. Petugas resepsionis di lobi hanya meliriknya ketika langkah Rastri langsung berbelok ke pintu ruang redaksi. Mereka semua berusaha untuk bersikap biasa—justru hal itu membuat situasinya tampak tak biasa.Tak ada yang menyapanya.Dan ketika seseorang berusaha menyapa “hai!” kepadanya, Redaksi Pelaksananya yang botak telah menepuk bahunya, dan membisikkan bahwa ia ditunggu di ruang Pimpinan Redaksi. Meskipun ia telah menduga hal ini akan terjadi, Rastri tetap merasakan lututnya goyah.Ia meletakkan tas punggungnya asal saja di sembarang meja. Dan dengan langkah ya
Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa? Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu. “Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?” Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu. “Menurutmu bagaimana?” “Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin
Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.Lelaki setengah baya yang berkaca
Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. “Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam. Sam mengangguk. “Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. “Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin se
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana. Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan. “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your
Selama perjalanan di dalam bus Rastri sama sekali tidak berbicara apa-apa, seakan ia kembali kepada kepribadian sebelumnya yang selalu mengawasi tetapi selalu menjauh dan bermisteri terhadap Sam. Sesekali gadis itu melirik Sam.Tatapannya sering menyorotkan keraguan seolah ia menyesal telah berjanji mau membawa Sam ke sumber beritanya. Di saat lain, ia mencuri-curi pandang dan mencoba menerjemahkan kegalauannya sendiri karena telah membawa Sam—orang yang belum begitu dikenalinya—ke sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Tapi Sam, dengan memuat naskahnya dan menyingkirkan naskah lain, telah berbuat banyak padanya.Sangat banyak.Ibaratnya ia telah menyerahkan lehernya sendiri untuk membela Rastri. Dalam deraan debu dan panas di dalam bis kota yang merambat pelan, keduanya membisu. Sam sama sekali tak peduli. Ia juga tak berusaha memecahkan kebisuan. Di Pasar Jatingaleh mereka turun, lalu Rastri membawanya masuk ke dalam gang-g
“Akhirnya kau mau juga bicara, adikku,” isak Rastri. Sam menatap Rastri. Jadi, vampir itu adiknya. Pantas Rastri tak mau membunuhnya. “Tahukah kau, kau telah membuat kami semua sedih. Mengapa kau menjadi seperti ini? Mengapa kau selalu berusaha mencelakakan kami? Dan mengapa kau tidak mau berbicara kepadaku selama ini?” “Suruh orang itu mendekat ke mari, Rastri,” perintah mahluk di kegelapan tanpa menghiraukan tangisan dan rengekan Rastri. Rastri menggeleng. “Biarkan aku mendekatinya. Barangkali ia ingin mengatakan sesuatu,” desak Sam tenang. Rastri berusaha mencegah Sam, tetapi ia mundur melihat sorot mata para kerabatnya. Mereka menahan napas ketika Sam berdiri di belakang garis kuning di lantai. Mereka berusaha mengendalikan debar dada yang mendadak berdentum tak terkendali. Si gondrong Hara tersenyum keji. Jika Sam menjadi korban, bukan salah mereka. Orang itu melakukannya atas keinginan sendiri. Ha! Senyu
Ketika Rastri mengantarkan Sam ke gerbang rumahnya, Priyono menerima panggilan ke lantai atas, tempat Titus berkantor. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali Priyono berbicara dengan Titus. Mereka bukan orang yang cocok satu sama lain. Sejak semula Titus telah menegaskan bahwa yang ia pedulikan adalah laba perusahaan, dan sebagai Pimpinan Redaksi, Priyonolah yang bertugas menangani segala tetek bengek masalah yang tidak berkaitan dengan laba. Meski begitu tidak jarang Titus mengiriminya memo tentang satu dan lain hal yang terkadang membuat kening Priyono berkerut. Pada akhirnya semua hal yang ada di perusahaan itu berkaitan dengan laba. Itulah kesimpulan yang diambil Priyono mengenai sepak terjang Titus. Dan itu semakin membuat mereka semakin berjarak. Kenyataan itu membuat Titus, yang suka masuk kantor pada jam-jam aneh sesukanya, semakin jauh dengan para pegawainya. Sebaliknya, Priyono semakin populer dan hampir setiap orang menghormatinya. Namun ada