Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa?
Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu.
“Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?”
Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu.
“Menurutmu bagaimana?”
“Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin gue juga akan melakukan hal yang sama. Sayangnya gue cuma wartawan hiburan.”
“Trims. Itulah memang yang sudah aku lakukan.”
“Pertanyaannya, bagaimana lo bisa memuat naskah pada menit terakhir tanpa menge-drop naskah lain. Apakah lo menge-drop beritamu sendiri sebelum naskah vampir ini elo masukkan?”
“Ya, ampun!” seru Rastri. Seseorang pasti telah menyingkirkan naskah berita orang lain sebelum memasukkan berita Rastri sendiri. Dan hanya ada dua kemungkinan pelakunya: pihak pra-cetak. Atau korektor: Sam. Dan pihak pra-cetak—mengingat hirarkinya dalam keredaksian—tak akan berani melakukannya tanpa pemberitahuan dan pengesahan dari redaksi. Artinya.....
Sonia mengangguk ketika menatap Rastri. Ia juga sudah menduganya. Sekarang di mana Sam? Itukah mengapa tadi malam semua berlangsung lancar? Karena Sam telah menyingkirkan sebuah naskah lain? Dan mengapa Sam melakukannya? Sudah jam 10 siang, dan Sam belum muncul.
“Anak itu memang agak aneh,” gumam Rastri resah.
“Siapa? Sam?” tanya Sonia.
Rastri mengangguk, katanya, “Aku selalu merasa kacau kalau ia berada di sekitarku. Seolah sarafku mendadak mengencang dan aku merasa sedih dan gusar dan bingung. Dia pasti yang telah menyingkirkan naskah seseorang.”
Sonia menatap Rastri, berusaha menebak perasaan Rastri yang sesungguhnya terhadap Sam. Sonia hanya menemukan keresahan yang mulai meredam, disertai kelegaan dan sebersit kebingungan.
“Mana bangsat itu! Berani benar ia membuang naskahku! Mana bangsat brengsek itu!”
Semua mata menatap ke arah sudut ruang di depan pintu ke arah bagian pra-cetak: bagian redaksi bahasa. Manto keluar dari balik deretan komputer dan menatap ke arah orang-orang yang memandangnya ingin tahu.
Makiannya nyaris keluar dari mulutnya sekali lagi, namun ia mengurungkannya mungkin karena sadar terlalu banyak orang yang hadir di ruang itu. Dan semua orang itu menatapnya dengan rasa ingin tahu yang dingin. Tidak seperti biasanya. Hampir semua meja di ruang redaksi dipenuhi orang.
Manto celingukan sejenak. Lalu dengan seringai angkuh ia mundur dan terduduk di sebuah kursi di deretan meja redaksi bahasa. Orang-orang menatapnya dengan jijik. Semakin hari, tingkahnya semakin menyebalkan. Dan bau asam alkohol membuat beberapa reporter wanita yang berada di dekat meja redaksi bahasa menyingkir dan bersungut-sungut.
Siapakah yang tega menempatkan kerbau kalap gila itu ke dalam kantor redaksi? Seandainya saja ludahnya bisa berubah jadi api, ingin rasanya Sonia meludahi kerbau kurang ajar itu.
Kebenciannya pada Manto semakin lama semakin menggunung. Dan kebenciannya itu makin besar saja karena Sonia sebenarnya takut pada Manto, yang tak jarang menatapnya dengan mata merahnya yang sangar dan gila. Harus ada penjelasan bagaimana Manto menjadi Manto yang seperti ini, dan mengapa ia berada di tempat ini dan mengapa ia dipertahankan di sini.
Mendadak Manto menggebrak meja dengan seringai murka.
Sonia dan Rastri berpandangan.Mereka menemukan jawabnya. Melupakan nasibnya sendiri yang belum menentu, sesaat Rastri merasa Sam akan mendapatkan kemalangan yang lebih mengerikan dari dirinya hari itu. Kemudian ia segera melupakan Sam ketika Redaksi Pelaksana—entah bagaimana matanya tepat langsung menangkap mata Rastri—keluar dari pintu Pimpinan Redaksi dan melambai ke arahnya. Dadanya berdebar kencang, ketika melepaskan gamitan lembut tangan Sonia dan melangkah ke arah kantor Pimpinan Redaksi.
“Semua akan baik-baik saja, Rastri,” bisik Sonia ke telinganya. Rastri berusaha tersenyum, tetapi garis bibirnya patah oleh tatapan beku sang Redaksi Pelaksana. Rastri mungkin harus mulai merelakan pekerjaannya yang bagus di penerbitan ini. Meskipun hatinya menciut penuh kesedihan, ia tahu ia akan melakukan apa saja yang dianggapnya benar. Apa saja.
Dan ia tahu ia benar. Dengan pikiran itu dijejalkan dalam benaknya, Rastri melangkah pelan menuju ke kantor Pimpinan Redaksi.
Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.Lelaki setengah baya yang berkaca
Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. “Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam. Sam mengangguk. “Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. “Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin se
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana. Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan. “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your
Selama perjalanan di dalam bus Rastri sama sekali tidak berbicara apa-apa, seakan ia kembali kepada kepribadian sebelumnya yang selalu mengawasi tetapi selalu menjauh dan bermisteri terhadap Sam. Sesekali gadis itu melirik Sam.Tatapannya sering menyorotkan keraguan seolah ia menyesal telah berjanji mau membawa Sam ke sumber beritanya. Di saat lain, ia mencuri-curi pandang dan mencoba menerjemahkan kegalauannya sendiri karena telah membawa Sam—orang yang belum begitu dikenalinya—ke sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Tapi Sam, dengan memuat naskahnya dan menyingkirkan naskah lain, telah berbuat banyak padanya.Sangat banyak.Ibaratnya ia telah menyerahkan lehernya sendiri untuk membela Rastri. Dalam deraan debu dan panas di dalam bis kota yang merambat pelan, keduanya membisu. Sam sama sekali tak peduli. Ia juga tak berusaha memecahkan kebisuan. Di Pasar Jatingaleh mereka turun, lalu Rastri membawanya masuk ke dalam gang-g
“Akhirnya kau mau juga bicara, adikku,” isak Rastri. Sam menatap Rastri. Jadi, vampir itu adiknya. Pantas Rastri tak mau membunuhnya. “Tahukah kau, kau telah membuat kami semua sedih. Mengapa kau menjadi seperti ini? Mengapa kau selalu berusaha mencelakakan kami? Dan mengapa kau tidak mau berbicara kepadaku selama ini?” “Suruh orang itu mendekat ke mari, Rastri,” perintah mahluk di kegelapan tanpa menghiraukan tangisan dan rengekan Rastri. Rastri menggeleng. “Biarkan aku mendekatinya. Barangkali ia ingin mengatakan sesuatu,” desak Sam tenang. Rastri berusaha mencegah Sam, tetapi ia mundur melihat sorot mata para kerabatnya. Mereka menahan napas ketika Sam berdiri di belakang garis kuning di lantai. Mereka berusaha mengendalikan debar dada yang mendadak berdentum tak terkendali. Si gondrong Hara tersenyum keji. Jika Sam menjadi korban, bukan salah mereka. Orang itu melakukannya atas keinginan sendiri. Ha! Senyu
Ketika Rastri mengantarkan Sam ke gerbang rumahnya, Priyono menerima panggilan ke lantai atas, tempat Titus berkantor. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali Priyono berbicara dengan Titus. Mereka bukan orang yang cocok satu sama lain. Sejak semula Titus telah menegaskan bahwa yang ia pedulikan adalah laba perusahaan, dan sebagai Pimpinan Redaksi, Priyonolah yang bertugas menangani segala tetek bengek masalah yang tidak berkaitan dengan laba. Meski begitu tidak jarang Titus mengiriminya memo tentang satu dan lain hal yang terkadang membuat kening Priyono berkerut. Pada akhirnya semua hal yang ada di perusahaan itu berkaitan dengan laba. Itulah kesimpulan yang diambil Priyono mengenai sepak terjang Titus. Dan itu semakin membuat mereka semakin berjarak. Kenyataan itu membuat Titus, yang suka masuk kantor pada jam-jam aneh sesukanya, semakin jauh dengan para pegawainya. Sebaliknya, Priyono semakin populer dan hampir setiap orang menghormatinya. Namun ada
Udara panas masih terasa menyengat tatkala senja mulai semburat di langit kota. Sonia belum merasa lesu meskipun seharian ia berkutat dengan pekerjaannya. Albert menelpon akan menjemputnya seperti biasa, namun entah kenapa batang hidungnya belum tampak juga. Seseorang telah membuka tirai dari sudut ke sudut, sehingga cahaya kemerahan itu sempat mampir di permukaan mejanya sebelum lampu-lampu yang berderet rapi di langit-langit—ttap-tap-tap!—menyala dan melumatnya dalam taburan cahaya yang lebih terang dan tajam. Pendingin ruangan telah dimatikan (kebijaksanaan perusahaan untuk menghemat listrik). Angin senja yang kering dari jendela yang terbuka menyentuh bahu Sonia saat ia memencet huruf terakhir di keyboard-nya sebelum membubuhkan sebuah titik. Selesai. Kantor semakin ramai begitu malam menggantikan senja. Tetapi pekerjaan Sonia selesai ketika banyak rekan lainnya—di bagian desk luarnegeri, misalnya—baru
Sonia merasa bersalah karena ia tidak merasa gembira ketika menjatuhkan pantatnya di jok depan di samping Albert yang menyambutnya dengan senyumnya yang letih. Halaman depan kantor Berita Harian sedikit lengang. Dinding bagian atas bangunan kantor memantulkan sinar matahari sewarna kuning telur. Dan ketika Sonia melongok ke bangunan yang baru ditinggalkannya perlahan perasaan sepi dan terasing merayap ke dadanya. Setelah berbulan-bulan dalam kerutinan dijemput dan diantarkan Albert, baru kali ini Sonia menjumpai kejanggalan melingkupinya di dalam mobil yang lembut, wangi dan menyenangkan itu. Mengapa kebaikan dan keramahan Albert tak mampu membuatnya nyaman sekarang? Ada apa dengan dirinya? Dan mengapa ia masih saja berada di dalam mobil itu menikmati kebaikan hati Albert, sementara hatinya tertinggal di suatu tempat mendamba orang lain yang tidak dikehendaki dan dikenalnya? Apakah dirinya memang sebrengsek itu? Lalu apa yang membuatnya te