Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona.
“Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam.
Sam mengangguk.
“Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh.
“Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin sempurna—aku tidak tahu. Yang jelas, sejak kau berada di seksi itu aku melihat kemajuan.” Sam mendongak, mencoba menangkap wajah yang menyatakan pujian kepadanya.
Biasanya pujian datang bersama teguran atau celaan yang sering lebih menyakitkan. Dan Sam nyaris tersenyum waktu wajah yang baru mengatakan pujian itu kini sedikit mengeras.
“Tapi kamu tak bisa seenaknya mengobrak-abrik aturan, Sam.”
“Jika Bapak ingin memecatku, katakan saja. Saya tidak suka dipermainkan secara verbal.” Suasana cair itu memepat dengan emosi tertahan.
Redaksi Pelaksana menukas cepat, “Kau bisa bersikap lebih baik dari itu, kan, Sam?”
Sam tersenyum. Rastri melengos waktu melihat kilasan tajam di mata Sam. Pegawai baru ini memang gila. Dan kegilaannya tak bisa lagi ditolerir. Rastri akan menerima saja dimaki-maki habis-habisan sebelum dipecat. Ia memang salah. Dan konsekwensi itu telah dipikirkannya. Tapi ternyata Sam menerimanya dengan sangat berbeda.
“Saya baru saja diserang oleh Manto, yang notabene karyawan kesayangan penerbitan ini. Kemudian saya harus ke sini menghadap Bapak untuk dipuji dan kemudian dicela dan mungkin dipecat. Saya memilih untuk menerima keputusannya secepatnya. Jika saya akan dipecat, pecatlah. Jika saya dibiarkan bekerja lagi dan meneruskan prestasi saya agar tidak ada lagi kesalahan bahasa di koran ini, maka biarkan saya bekerja.”
Rastri nyaris tersedak mendengar kata-kata Sam. Kurang ajar! Tak tahu aturan! Tidakkah ia tahu Pak Priyono adalah pimpinan favorit mereka semua? Si Botak Redaksi Pelaksana—wajahnya memerah sampai ke botak-botaknya—nyaris saja menghantam Sam dari belakang, jika Pak Priyono tidak mengangkat sebelah tangannya dan tertawa.
“Wow, wow, wow! Hahahaha. Sam! Hahaha. Luar biasa! Kau bilang kau baru saja diserang Manto?”
“Ya, Pak!” Si Botak yang menyahut. Ruang yang dingin dan kedap dan nyaman ini membuat siapa saja yang berada di dalamnya tak memedulikan kejadian di luar—kecuali tirai tebal di jendela kaca itu dibuka. “Kelihatannya dia mabuk dan menyerang Sam, karena naskahnyalah yang disingkirkan Sam untuk memuat naskah vampir Rastri.”
“Bagaimana seorang wartawan mabuk bisa hadir di ruang redaksi dan membuat keributan? Sekali lagi, itu hal yang tak bisa dimaafkan. Apakah keamanan perusahaan tidak mengetahuinya?”
“Ini Manto, Pak.”“Yah, itu Manto. Seperti kata Sam, anak kesayangan perusahaan. Hmh,” bisik Pak Priyo tersenyum pahit. Lalu ia menatap Sam, menggeleng-geleng, dan senyumnya kembali mengembang, katanya, “Gue suka gaya loe.” Sam tersenyum. Redaksi Pelaksana terbahak. Rastri bergabung dalam kor tawa yang seru.
“Ya, betul. Gue suka gaya lo!” Pak Priyono berangsur-angsur menghentikan tawanya, lalu dengan suara lembutnya ia kembali meneruskan, “Terus terang, jika menuruti hawa nafsu aku akan memecat kalian berdua. Mengapa? Karena kalian telah melakukan suatu pelanggaran atas tradisi yang jelas-jelas telah disepakati dalam penerbitan ini.
Kita bukan harian klenik. Kita bukan Metropolitan Baru. Ingat itu! Kita tidak memberitakan segala macam isu dan rumor ataupun mitos yang beredar tanpa fakta nyata. Kalian adalah contoh buruk bagi rekan-rekan kalian.
Tapi aku menyadari kota ini belum sepenuhnya pulih dari ancaman vampir. Ketika pikiran untuk memecat kalian menguat dalam benakku tadi pagi, Kapolda justru menelpon dan mengucapkan terimakasih khusus kepada koran ini karena telah lebih dulu memberitakan kehadiran vampir kembali di kota ini. Dan beliau bahkan menghimbau agar sejak saat ini pemberitaan tentang vampir agar dijadikan fokus—untuk semua media pemberitaan lokal—agar masyarakat segera melakukan antisipasi yang memadai.
Kita semua tak ingin kota ini kembali didera wabah vampir seperti dua tahun lalu. Bayangkan—kita, yang notabene tak memfokuskan pada berita-berita vampir seperti Metropolitan Baru, justru mendahului Metropolitan Baru dalam melansir adanya vampir di kota ini dan ini dikuatkan oleh sinyalemen Kapolda.
Kalian berdua, Rastri dan Sam, patut mendapat cercaan yang paling sengit dariku karena merusak bangunan kokoh aturan yang telah kita sepakati, tetapi di lain pihak kalian, Rastri dan Sam, mendapat pujian setinggi-tingginya karena telah melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh penyampai berita sejati.”
“Jadi benar vampir kembali lagi?” potong Sam.
“Benar. Tapi kita berharap kita belum terlambat untuk menghentikan laju vampir. Nah, Rastri, Sam, kini kau mendapat dukunganku untuk mengejar seluruh fakta tentang keberadaan vampir di kota ini. Sekali lagi, seluruh fakta.
Selamat kepada kalian atas kemenangan naluri sejati kalian sebagai pemburu berita.
Selamat bekerja!”
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana. Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan. “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your
Selama perjalanan di dalam bus Rastri sama sekali tidak berbicara apa-apa, seakan ia kembali kepada kepribadian sebelumnya yang selalu mengawasi tetapi selalu menjauh dan bermisteri terhadap Sam. Sesekali gadis itu melirik Sam.Tatapannya sering menyorotkan keraguan seolah ia menyesal telah berjanji mau membawa Sam ke sumber beritanya. Di saat lain, ia mencuri-curi pandang dan mencoba menerjemahkan kegalauannya sendiri karena telah membawa Sam—orang yang belum begitu dikenalinya—ke sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Tapi Sam, dengan memuat naskahnya dan menyingkirkan naskah lain, telah berbuat banyak padanya.Sangat banyak.Ibaratnya ia telah menyerahkan lehernya sendiri untuk membela Rastri. Dalam deraan debu dan panas di dalam bis kota yang merambat pelan, keduanya membisu. Sam sama sekali tak peduli. Ia juga tak berusaha memecahkan kebisuan. Di Pasar Jatingaleh mereka turun, lalu Rastri membawanya masuk ke dalam gang-g
“Akhirnya kau mau juga bicara, adikku,” isak Rastri. Sam menatap Rastri. Jadi, vampir itu adiknya. Pantas Rastri tak mau membunuhnya. “Tahukah kau, kau telah membuat kami semua sedih. Mengapa kau menjadi seperti ini? Mengapa kau selalu berusaha mencelakakan kami? Dan mengapa kau tidak mau berbicara kepadaku selama ini?” “Suruh orang itu mendekat ke mari, Rastri,” perintah mahluk di kegelapan tanpa menghiraukan tangisan dan rengekan Rastri. Rastri menggeleng. “Biarkan aku mendekatinya. Barangkali ia ingin mengatakan sesuatu,” desak Sam tenang. Rastri berusaha mencegah Sam, tetapi ia mundur melihat sorot mata para kerabatnya. Mereka menahan napas ketika Sam berdiri di belakang garis kuning di lantai. Mereka berusaha mengendalikan debar dada yang mendadak berdentum tak terkendali. Si gondrong Hara tersenyum keji. Jika Sam menjadi korban, bukan salah mereka. Orang itu melakukannya atas keinginan sendiri. Ha! Senyu
Ketika Rastri mengantarkan Sam ke gerbang rumahnya, Priyono menerima panggilan ke lantai atas, tempat Titus berkantor. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali Priyono berbicara dengan Titus. Mereka bukan orang yang cocok satu sama lain. Sejak semula Titus telah menegaskan bahwa yang ia pedulikan adalah laba perusahaan, dan sebagai Pimpinan Redaksi, Priyonolah yang bertugas menangani segala tetek bengek masalah yang tidak berkaitan dengan laba. Meski begitu tidak jarang Titus mengiriminya memo tentang satu dan lain hal yang terkadang membuat kening Priyono berkerut. Pada akhirnya semua hal yang ada di perusahaan itu berkaitan dengan laba. Itulah kesimpulan yang diambil Priyono mengenai sepak terjang Titus. Dan itu semakin membuat mereka semakin berjarak. Kenyataan itu membuat Titus, yang suka masuk kantor pada jam-jam aneh sesukanya, semakin jauh dengan para pegawainya. Sebaliknya, Priyono semakin populer dan hampir setiap orang menghormatinya. Namun ada
Udara panas masih terasa menyengat tatkala senja mulai semburat di langit kota. Sonia belum merasa lesu meskipun seharian ia berkutat dengan pekerjaannya. Albert menelpon akan menjemputnya seperti biasa, namun entah kenapa batang hidungnya belum tampak juga. Seseorang telah membuka tirai dari sudut ke sudut, sehingga cahaya kemerahan itu sempat mampir di permukaan mejanya sebelum lampu-lampu yang berderet rapi di langit-langit—ttap-tap-tap!—menyala dan melumatnya dalam taburan cahaya yang lebih terang dan tajam. Pendingin ruangan telah dimatikan (kebijaksanaan perusahaan untuk menghemat listrik). Angin senja yang kering dari jendela yang terbuka menyentuh bahu Sonia saat ia memencet huruf terakhir di keyboard-nya sebelum membubuhkan sebuah titik. Selesai. Kantor semakin ramai begitu malam menggantikan senja. Tetapi pekerjaan Sonia selesai ketika banyak rekan lainnya—di bagian desk luarnegeri, misalnya—baru
Sonia merasa bersalah karena ia tidak merasa gembira ketika menjatuhkan pantatnya di jok depan di samping Albert yang menyambutnya dengan senyumnya yang letih. Halaman depan kantor Berita Harian sedikit lengang. Dinding bagian atas bangunan kantor memantulkan sinar matahari sewarna kuning telur. Dan ketika Sonia melongok ke bangunan yang baru ditinggalkannya perlahan perasaan sepi dan terasing merayap ke dadanya. Setelah berbulan-bulan dalam kerutinan dijemput dan diantarkan Albert, baru kali ini Sonia menjumpai kejanggalan melingkupinya di dalam mobil yang lembut, wangi dan menyenangkan itu. Mengapa kebaikan dan keramahan Albert tak mampu membuatnya nyaman sekarang? Ada apa dengan dirinya? Dan mengapa ia masih saja berada di dalam mobil itu menikmati kebaikan hati Albert, sementara hatinya tertinggal di suatu tempat mendamba orang lain yang tidak dikehendaki dan dikenalnya? Apakah dirinya memang sebrengsek itu? Lalu apa yang membuatnya te
Malam merambat. Orang-orang datang dan pergi, tetapi Sam tetap tinggal di depan monitor yang menyala. Tangannya bergerak di atas keyboard, begitu cepat dan teratur seolah jari-jemarinya memiliki nyawanya sendiri dan kini tengah merayakan kehidupannya dengan menari-nari riang. Wajah Sam tak berubah, seluruh konsentrasi terpusat ke layar monitornya.Satu jam berlalu. Dan Sam menyandarkan bahunya ke sandaran kursi. Sesaat wajahnya berpaling, mengawasi sekelilingnya dan seolah sadar ia baru saja mengabaikan sekelilingnya selama beberapa saat. Kini ia menatap setiap objek dengan ketelitian yang sedikit mencurigakan. Lalu sekali lagi ia meneliti tampilan di layar monitor; lalu dengan satu desahan puas ia bangkit. Selesai. Sam beranjak. Namun baru beberapa langkah menuju pintu ke resepsionis, ia dicegat Manto. Dengan rokok menyala di bibir, Manto menghampirinya. Sam bisa saja berbelok menghindarinya langsung ke pintu, tapi ia merasa ia perlu tahu apa keingi
Sonia pernah mendengar tentang lounge itu lama sebelumnya. Beberapa kenalannya memujinya sebagai tempat yang berkelas dan benar-benar nyaman. Musiknya tidak terlalu keras. Dan DJnya bukan orang sok akrab yang mau menyapa semua orang dengan serampangan. Ketika mereka berdua masuk, mereka ditaburi cahaya temaran yang sejuk dan indah. Sonia menatap beberapa lukisan besar yang dipajang di bawah lampu kecil dan ia setuju dengan review orang tentang kehebatan tempat itu. Sangat. Albert tersenyum kepadanya seolah lounge itu adalah penemuan pribadinya yang dipersembahkan khusus bagi Sonia. Hal itu membuat Sonia tersenyum, dan matanya segera tertarik dengan sebuah sofa sudut dengan pemandangan malam dari balik dinding kaca. Mendahului Albert ia melangkah ke sana. Ia melihat jendela kantor Svida di gedung seberang masih menyala. Apa yang dilakukan perempuan itu pada jam seperti ini? Apakah ia masih bekerja? Sonia mengawasi jendela itu, namun tak ada kelebat sosokpun ya