Udara panas masih terasa menyengat tatkala senja mulai semburat di langit kota. Sonia belum merasa lesu meskipun seharian ia berkutat dengan pekerjaannya. Albert menelpon akan menjemputnya seperti biasa, namun entah kenapa batang hidungnya belum tampak juga.
Seseorang telah membuka tirai dari sudut ke sudut, sehingga cahaya kemerahan itu sempat mampir di permukaan mejanya sebelum lampu-lampu yang berderet rapi di langit-langit—ttap-tap-tap!—menyala dan melumatnya dalam taburan cahaya yang lebih terang dan tajam.
Pendingin ruangan telah dimatikan (kebijaksanaan perusahaan untuk menghemat listrik). Angin senja yang kering dari jendela yang terbuka menyentuh bahu Sonia saat ia memencet huruf terakhir di keyboard-nya sebelum membubuhkan sebuah titik.
Selesai.
Kantor semakin ramai begitu malam menggantikan senja. Tetapi pekerjaan Sonia selesai ketika banyak rekan lainnya—di bagian desk luarnegeri, misalnya—baruSonia merasa bersalah karena ia tidak merasa gembira ketika menjatuhkan pantatnya di jok depan di samping Albert yang menyambutnya dengan senyumnya yang letih. Halaman depan kantor Berita Harian sedikit lengang. Dinding bagian atas bangunan kantor memantulkan sinar matahari sewarna kuning telur. Dan ketika Sonia melongok ke bangunan yang baru ditinggalkannya perlahan perasaan sepi dan terasing merayap ke dadanya. Setelah berbulan-bulan dalam kerutinan dijemput dan diantarkan Albert, baru kali ini Sonia menjumpai kejanggalan melingkupinya di dalam mobil yang lembut, wangi dan menyenangkan itu. Mengapa kebaikan dan keramahan Albert tak mampu membuatnya nyaman sekarang? Ada apa dengan dirinya? Dan mengapa ia masih saja berada di dalam mobil itu menikmati kebaikan hati Albert, sementara hatinya tertinggal di suatu tempat mendamba orang lain yang tidak dikehendaki dan dikenalnya? Apakah dirinya memang sebrengsek itu? Lalu apa yang membuatnya te
Malam merambat. Orang-orang datang dan pergi, tetapi Sam tetap tinggal di depan monitor yang menyala. Tangannya bergerak di atas keyboard, begitu cepat dan teratur seolah jari-jemarinya memiliki nyawanya sendiri dan kini tengah merayakan kehidupannya dengan menari-nari riang. Wajah Sam tak berubah, seluruh konsentrasi terpusat ke layar monitornya.Satu jam berlalu. Dan Sam menyandarkan bahunya ke sandaran kursi. Sesaat wajahnya berpaling, mengawasi sekelilingnya dan seolah sadar ia baru saja mengabaikan sekelilingnya selama beberapa saat. Kini ia menatap setiap objek dengan ketelitian yang sedikit mencurigakan. Lalu sekali lagi ia meneliti tampilan di layar monitor; lalu dengan satu desahan puas ia bangkit. Selesai. Sam beranjak. Namun baru beberapa langkah menuju pintu ke resepsionis, ia dicegat Manto. Dengan rokok menyala di bibir, Manto menghampirinya. Sam bisa saja berbelok menghindarinya langsung ke pintu, tapi ia merasa ia perlu tahu apa keingi
Sonia pernah mendengar tentang lounge itu lama sebelumnya. Beberapa kenalannya memujinya sebagai tempat yang berkelas dan benar-benar nyaman. Musiknya tidak terlalu keras. Dan DJnya bukan orang sok akrab yang mau menyapa semua orang dengan serampangan. Ketika mereka berdua masuk, mereka ditaburi cahaya temaran yang sejuk dan indah. Sonia menatap beberapa lukisan besar yang dipajang di bawah lampu kecil dan ia setuju dengan review orang tentang kehebatan tempat itu. Sangat. Albert tersenyum kepadanya seolah lounge itu adalah penemuan pribadinya yang dipersembahkan khusus bagi Sonia. Hal itu membuat Sonia tersenyum, dan matanya segera tertarik dengan sebuah sofa sudut dengan pemandangan malam dari balik dinding kaca. Mendahului Albert ia melangkah ke sana. Ia melihat jendela kantor Svida di gedung seberang masih menyala. Apa yang dilakukan perempuan itu pada jam seperti ini? Apakah ia masih bekerja? Sonia mengawasi jendela itu, namun tak ada kelebat sosokpun ya
“Sam, what took you so long!” “Apa yang terjadi?” “Jani, adikku. Mengamuk lagi. Sejak bangun sore tadi sampai sekarang. Ia membuat seluruh rumah bergetar. Mungkin dinding gudang telah retak-retak gara-gara dia. Jani menarik-narik rantainya tak henti-henti, aku takut akhirnya tiang akan roboh dan rumah terbawa ambruk.” “Menurutmu kenapa ia berbuat begitu?” “Aku yang bertanya kepadamu!” “Oh, sekarang menjadi kewajibanku untuk menangani—siapa?—Jani sementara kaulah yang menyekapnya selama ini?” “Maaf, Sam. Aku meminta tolong padamu. Please. Darah kami sudah mendidih di ubun-ubun. Dan kami semua nyaris gila.” “Siapa yang nyuruh memelihara seorang vampir bagai binatang dirantai?” “Ini adikku, Sam. Cobalah untuk mengerti.” Sam terbahak tanpa nada riang. Ketika pintu jati tebal itu dibuka, suara berisik rantai memukul-mukul tiang dan lantai terdengar keras. Dinding terasa bergetar. Dan Sam merasaka
“Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu, bangsat anjing, bajingaaaan laknaaaaat!” maki Hara kalang-kabut. Namun Sam menoleh ke arahnya pun tidak. Sosoknya tegak dan bergerak dengan kecekatan dan ketenangan yang mengherankan, mengingat kekacauan di sekelilingnya. Seolah semua kejadian dan kegagapan yang berlangsung mengorbit di seputarnya, dan sebagai sumbunya Sam kokoh, teguh serta tak tergoyahkan. “Kau bajingan laknaaatt!” ulang Hara semakin gila. Akan tetapi hanya mulutnya yang berkoar-koar liar, sementara itu tubuhnya lemas dan lunglai seperti sayuran kering yang layu. Rastri menatap Sam dengan dada naik turun. Ya ampun, semua ini gila! Un-fucking-believable. Tak bisa dipercaya. Ediiaaan. Sam memalang pintu jati itu. Dan ketika selesai, ia menatap mereka semua dengan ekspresi campuran antara geli dan puas. Dan itu terasa mengerikan di mata Rastri. Ada kelegaan yang aneh yan
Setelah melakukan wawancara siang itu, Sonia balik ke kantor dan berkutat dengan komputernya. Waktu makan siang berlalu, tetapi Sonia tak beranjak dari balik komputer. Yang barusan diwawancarainya adalah seorang pengusaha wanita yang masih muda. Namanya Svida. Sonia masih ingat keharuman ruang kantor pengusaha itu dan jendela lebar, selebar dinding, yang menghadap pemandangan pusat kota, karena mereka berbincang-bincang tepat di sebelahnya sambil memandang atap-atap rumah bertebaran tidak teratur, namun anehnya membentuk keserasian yang mengagumkan dari atas. Ia ingat kata-kata Svida tadi tentang pemandangan yang mereka lihat: “teratur dalam ketidak-teraturan.” Oh so true. Dan Sonia mengangguk-angguk menyetujui. Svida kembali berkata, “Menurut gue, begitulah hidup ini sebenarnya. Bagaimanapun ruwetnya, bagaimanapun tidak teraturnya, ia akan selalu menuju suatu keteraturan. Karena kita semua tidak bisa lepas dari sebuah aturan besar yang me
Ketika meletakkan gagang telepon, Redaksi Pelaksana yang sedang berbicara dengan beberapa reporter di dekat kantor Pimpinan Redaksi—seakan menyadari tatapan mata Sonia ke arahnya—menoleh. Bahkan sebelum Sonia membuka mulut, ia sudah memberi perintah.“Lakukan apa yang perlu.”“Ini tentang vampir. Seorang pembaca memiliki cerita tentang vampir. Tapi ia tidak bisa ke sini. Seharusnya Rastri yang menangani masalah ini.”“Rastri ijin tidak masuk. Ada masalah keluarga mendesak. Kau tangani dulu ini, Son. Kau minta, eh, Sam untuk menemanimu,” tukas Redaksi Pelaksana cepat. Kepalanya yang botak berpaling ke seputar ruang redaksi, dan ketika menangkap sosok Sam ia berteriak keras, “Sam! Sam!” Sonia melihat Sam mendongak dari topi jeraminya. Kacamatanya belum lagi dilepaskan. Rupanya ia baru saja tiba. “Ya, boss!” sahut Sam mendekat. Sikap songongnya kentara sekali.&
Rumah yang mereka kunjungi sepi. Sebuah rumah tua dengan pintu-pintu yang tinggi dan sepasang tiang kokoh menyangga atap teras. Susuran kanopi yang melindungi jendela-jendela bangunan utama menolak cahaya dari luar sehingga menimbulkan bayangan teduh di seputar rumah. Halaman berkerikil dipenuhi sederetan mobil yang diparkir agak tidak teratur. Seseorang lelaki setengah baya yang sangat kurus dan mata cekung menjemput mereka di gerbang depan dan bertanya, “Kalian dari Berita Harian? Saya Hadi. Anak saya yang menelepon tadi.” “Saya Sonia,” Sonia mengangguk, mengail sesuatu dari tas cangklongnya dan menutup resleting tas itu ketika ia telah menemukan perekamnya. Lelaki tua itu membuka pintu depan. Dengan tatapannya yang lelah dan sedih, ia mempersilakan Sonia masuk. Tanpa menunggu Sam, ia bergegas mengikuti lelaki itu.“Mengapa demikian sunyi di sini?” Hadi melirik Sonia dengan lesu. Sejenak ia berhenti di tengah lorong ke ruang tengah, sementara Sonia melih