Setelah melakukan wawancara siang itu, Sonia balik ke kantor dan berkutat dengan komputernya. Waktu makan siang berlalu, tetapi Sonia tak beranjak dari balik komputer. Yang barusan diwawancarainya adalah seorang pengusaha wanita yang masih muda. Namanya Svida.
Sonia masih ingat keharuman ruang kantor pengusaha itu dan jendela lebar, selebar dinding, yang menghadap pemandangan pusat kota, karena mereka berbincang-bincang tepat di sebelahnya sambil memandang atap-atap rumah bertebaran tidak teratur, namun anehnya membentuk keserasian yang mengagumkan dari atas. Ia ingat kata-kata Svida tadi tentang pemandangan yang mereka lihat: “teratur dalam ketidak-teraturan.”
Oh so true. Dan Sonia mengangguk-angguk menyetujui.
Svida kembali berkata, “Menurut gue, begitulah hidup ini sebenarnya. Bagaimanapun ruwetnya, bagaimanapun tidak teraturnya, ia akan selalu menuju suatu keteraturan.
Karena kita semua tidak bisa lepas dari sebuah aturan besar yang me
Ketika meletakkan gagang telepon, Redaksi Pelaksana yang sedang berbicara dengan beberapa reporter di dekat kantor Pimpinan Redaksi—seakan menyadari tatapan mata Sonia ke arahnya—menoleh. Bahkan sebelum Sonia membuka mulut, ia sudah memberi perintah.“Lakukan apa yang perlu.”“Ini tentang vampir. Seorang pembaca memiliki cerita tentang vampir. Tapi ia tidak bisa ke sini. Seharusnya Rastri yang menangani masalah ini.”“Rastri ijin tidak masuk. Ada masalah keluarga mendesak. Kau tangani dulu ini, Son. Kau minta, eh, Sam untuk menemanimu,” tukas Redaksi Pelaksana cepat. Kepalanya yang botak berpaling ke seputar ruang redaksi, dan ketika menangkap sosok Sam ia berteriak keras, “Sam! Sam!” Sonia melihat Sam mendongak dari topi jeraminya. Kacamatanya belum lagi dilepaskan. Rupanya ia baru saja tiba. “Ya, boss!” sahut Sam mendekat. Sikap songongnya kentara sekali.&
Rumah yang mereka kunjungi sepi. Sebuah rumah tua dengan pintu-pintu yang tinggi dan sepasang tiang kokoh menyangga atap teras. Susuran kanopi yang melindungi jendela-jendela bangunan utama menolak cahaya dari luar sehingga menimbulkan bayangan teduh di seputar rumah. Halaman berkerikil dipenuhi sederetan mobil yang diparkir agak tidak teratur. Seseorang lelaki setengah baya yang sangat kurus dan mata cekung menjemput mereka di gerbang depan dan bertanya, “Kalian dari Berita Harian? Saya Hadi. Anak saya yang menelepon tadi.” “Saya Sonia,” Sonia mengangguk, mengail sesuatu dari tas cangklongnya dan menutup resleting tas itu ketika ia telah menemukan perekamnya. Lelaki tua itu membuka pintu depan. Dengan tatapannya yang lelah dan sedih, ia mempersilakan Sonia masuk. Tanpa menunggu Sam, ia bergegas mengikuti lelaki itu.“Mengapa demikian sunyi di sini?” Hadi melirik Sonia dengan lesu. Sejenak ia berhenti di tengah lorong ke ruang tengah, sementara Sonia melih
Menit demi menit berlalu.Apakah mereka telah menunggu berjam-jam?Sonia melangkah ke sebuah kursi di sudut. Tanpa sadar dadanya berdebar kencang dan ia membutuhkan tempat bersandar atau duduk agar ia tidak limbung. Semua yang terjadi ini di luar akal sehatnya. Apa yang menyebabkannya dulu meninggalkan Jakarta dan berniat hidup di kota yang dihantui vampir?Satu peristiwa berlanjut ke peristiwa lain. Namun jalan pikiran Sonia dua tahun lalu sungguh terasa sulit dipahaminya sendiri, apalagi dengan situasi penuh ketegangan yang tengah melingkupinya.Bu Hadi mundur dan menggamitnya tanpa sungkan.“Jangan khawatir. Ibu yakin nak Sam akan selamat.”Sonia mengangguk. Bingung dengan alasan Bu Hadi berkata seperti itu terhadapnya.“Bagaimana Ibu seyakin itu?” ragu Sonia bertanya.“Ibu tahu perbedaan antara seorang pembasmi handal dengan yang tidak.”“Apa cir
“Tolong, kirim seseorang ke tempat kos saya untuk mengambil naskah untuk besok,” sungut Sonia lewat telepon rumah kost. Terdengar gerutu Redaksi Pelaksana di seberang sana, tetapi Sonia tidak perduli. Bukankah ia telah mengerjakan pekerjaan dua orang hari ini, dan siapa yang berani menyalahkannya jika sekarang ia begitu kecapekan dan tak berniat mengantarkan sendiri naskah ke kantor? Dan ia juga tak mau repot-repot turun dari kamarnya menuju warnet terdekat untuk mengirimkannya lewat email. Sementara ponselnya jaringan internetnya mendadak ngadat. Ia terpaksa harus segera mengecas ponsel cadangannya. Cukup. Hari ini cukup. Keletihan fisik bukanlah alasan utama. Yang lebih membuatnya kehilangan semua energinya adalah situasi yang baru saja dihadapinya. Semua hal tentang vampir itu betul-betul telah menyerap semua kekuatan dan semangatnya. Siapa orang-orang ini yang mengaku telah terlibat dengan vampir dan sampai sejauh ini masih mampu berd
Pagi basah oleh gerimis semalam.Telanjang kaki Sonia menuju kios koran di ujung jalan. Kakinya terasa nyaman, meskipun sesekali sebuah kerikil tengik terinjak di telapak kakinya dan mengakibatkan mulutnya mengernyit setengah geli, setengah pedih. Melewati tiang listrik dimana semalam seorang lelaki mengawasi jendela kamarnya, Sonia sedikit ngeri. Dan kegundahan semalam beringsut muncul kembali mengganggu benak dan perasaannya. Dengan murung Sonia mengambil satu eksemplar koran edisi Minggu Berita Harian dari tumpukan yang masih terbungkus oleh selembar kertas minyak coklat. Ia menjatuhkan empat lembar uang kertas ribuan, dan tanpa menunggu kembalian ia berbalik kembali menuju rumah kost di seberang jalan. Sebelum sampai di gerbang rumah kost, Sonia telah mendapatkan naskahnya dimuat. Makian lirih berdesis dari mulutnya. Naskahnya tentang vampir dirombak habis-habisan. Di situ keterlibatan Sam dalam pemusnahan vampir sama sekali telah d
Dalam perjalanan semua masalah Sonia tumpah. Pertama dengan kekasaran Albert yang bukan pacarnya atau apa-apanya. Lalu kelakuan Sam yang membuatnya muak. Setelah itu ia menyaksikan peristiwa mengerikan berkaitan dengan vampir. Dan semalam seseorang mengawasi kamarnya di lantai dua. Dan pagi ini naskahnya diobrak-abrik seseorang yang bukan Redpel dan naskahnya tentang Svida dibuang oleh Redpel begitu saja. Sambil membiarkan angin Minggu pagi membelai rambutnya, Sonia sedikit demi sedikit menemukan kelucuan situasinya sekarang. Mengapa ia begitu cengeng? Dan bagaimana awalnya sehingga tiba-tiba ia telah berada di mobil jeep Svida dan menceritakan semuanya dengan emosi mengalir sederas air terjun, sementara Svida mendengarkan dengan sabar sambil mengemudikan jeepnya? Bukan seharusnya ia menceritakan semua permasalahannya kepada Svida. Baru beberapa kali ia berjumpa dengannya, dan mengapa ia bisa mempercayakan semuanya kepada Svida? Apakah karena ia s
Tanpa kata Svida berbalik ke arah jeepnya. Ia membuka pintu belakang, dan dari sana ia menjinjing sebuah tas yang dikenali Sonia seperti tas yang dilihatnya kemarin di rumah Bu Hadi. Apakah Svida...? Sonia tidak berani meneruskan dugaannya. Dengan tertatih-tatih ia menyongsong Svida. Waktu mengetahui apa yang dikeluarkan Svida dari dalam tas itu, Sonia menatap dengan kengerian yang tak mampu ditutupinya. Mulutnya ternganga. “Maaf, Sonia. Gue harus melakukan ini sebelum jatuh korban lebih banyak lagi,” ucap Svida. Celurit di tangan kanannya berputar-putar seakan dengan itu pergelangan tangannya akan makin luwes memakai senjata mengerikan itu. Svida menusuk-nusukkan samurai pendek itu ke udara kosong untuk melemaskan otot-otot tangannya. Melihat ujung lancip-tajam samurai pendek di tangan kiri Svida, Sonia mundur dengan ketakutan. “Kau?” Svida mengangguk. Kemudian tanpa memedulikan Sonia ia melangkah mendekati pintu gudan
“Kemana orang-orang yang kalian sekap semalam?” hardik Svida galak, matanya melirik ke bawah lantai dan menemukan pedang samurai pendeknya tergelatak tepat di bawah meja dekat pintu. Masalahnya di ambang pintu itu vampir laki-laki itu berdiri menghadangnya dengan seringai mengejek yang merendahkannya.Vampir perempuan itu menunjuk ke sudut lain di balik meja. Svida melihat setumpukan tubuh yang berdarah-darah di sana. Svida menduga mereka sudah tewas dan mungkin akan berubah menjadi vampir seperti pemangsa mereka.“Aku mengenal seorang vampir yang tidak memangsa manusia secara sembarangan seperti kalian,” sergah Svida, dan ujung matanya menemukan celuritnya tergeletak di lantai persis di depannya—jika ia menggeser jauh meja yang terbalik di depannya. Dengan perlahan ia melangkahi meja itu dan kakinya telah menginjak ujung celuritnya.Vampir lelaki itu melihatnya, dan seringai di wajahnya menunjukkan ia tak keberatan Svida mengin
Sonia bangun terkejut. Sedetik dua detik ia meraup kesadarannya kembali dengan menghela napas panjang. Dan tahulah ia suara apa yang ia dengar dalam ketidaksadarannya sebelumnya. Pintu ruang kesehatan telah terbuka dan angin panas yang menerobos dari luar mengibas-kibaskannya, membentur dinding, dan menjatuhkan benda-benda. Rastri tidak ada lagi di sebelahnya.Sonia menyentuh pipinya. Basah. Jadi ia benar-benar menangis seperti dalam mimpinya. Mimpi yang aneh dan ganjil di siang hari. Apa yang ditangisinya? Dalam mimpinya? Ah, ya. Ia bermimpi Sam mendatanginya. Semuanya gelap. Ia merasa tersesat. Ia gembira Sam dating. Namun Sam sama sekali tak menyapa. Ia hanya lewat dan pergi. Dan ia menangis. Karena entah kenapa ia merasa begitu sendirian dan terasing. Mendadak semua masalah dan kesulitannya hadir kembali di benak Sonia. Gadis itu tersenyum masam, dan menapakkan kakinya yang telanjang ke lantai. Son
Rastri dan Sonia terpaksa harus tiduran di ruang kesehatan kantor setelah menyelesaikan tugas harian mereka. Matahari sudah terasa panas pada jam 10.30 saat itu. Pendingin ruangan hanya mampu memberikan kesejukan yang membuat kulit mereka terasa kering dan sangat tidak nyaman, karena keletihan yang mereka derita seakan tersekap di dalam tubuh dan tak mau keluar. Kini mulai terasa betapa letih dan pedih mata mereka, akan tetapi berkebalikan dengan keinginan hati mereka kedua pasang mata mereka tak juga mau dipejamkan. Dalam desahan ke sekian akhirnya Sonia menyadari keluhan tak akan menghilangkan keletihan yang menguasai sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa melayang, seakan tak mau berkoordinasi dengan bagian tubuh lainnya. Ia berusaha memejam. Namun suara-suara kesibukan di luar tak juga mampu ia kesampingkan. Napasnya terasa berat, dan gendang telinganya berdenging dan terasa seakan sebuah benda padat menggumpal di sana.Sonia terlentang dan mengatur napasnya
Tak ada siapa-siapa di ruang belakang yang porak poranda. Separuh pintu gudang tergeletak dengan palang-palang yang terpelanting beberapa meter. Mereka segera membuka dua pintu keluar dan empat jendela kecil di bagian belakang rumah. Cahaya yang memasuki ruang di situ belum sepenuhnya berhasil menerangi setiap sudut rumah, namun mereka mampu melihat ceceran debu-debu vampir dari ujung ke ujung. Tak ada barang yang masih tetap tinggal di tempatnya. Semua terserak, setengah terbakar, setengah hancur atau seluruhnya, menjauh dari tempatnya semula, seolah telah terjadi gempa hebat di tempat itu. Ada kelegaan dan kecemasan sekaligus saat Rastri mengetahui tak ada Sam di situ. Rastri mengerling ke arah Sonia. Yang dipandang menunduk. Ketika menyadari ia sedang berdiri di atas debu vampir, Sonia menjauh dengan langkah hati-hati. Svida menyentuh hampir semua benda dan permukaan tembok dengan ujung celuritnya seakan dengan perbuatannya itu
Ketika Svida tiba vampir-vampir telah pergi. Svida menggedor pintu depan sebelum dibukakan, dan mereka semua terheran-heran menyaksikan tak ada vampir yang menghadang. Tak ada vampir yang tersisa. Sonia bersama Rastri mengawasi sekitar rumah dan cahaya terang dari sebelah timur menyadarkan mereka semua.Fajar menyingsing Itulah kenapa.Svida menyisir setiap sudut dan menjelajahi setiap titik di seputar rumah Rastri. Lalu dengan ketelitian yang mengagumkan mereka menyibak setiap semak dan memeriksa setiap celah. Nihil. Matahari mulai muncul ketika Sonia berkacak pinggang dengan celurit masih tergenggam di tangan kanannya. Ini semua keajaiban. Mereka semua selamat. Semalaman mereka begitu sibuk bertempur sehingga tak menyadari waktu berjalan. Dan kini hari hampir pagi. Mereka diselamatkan oleh matahari. Mereka mengitari rumah dan mendapati ceceran debu-debu di sana
Sonia mendengar kebisingan memuncak dengan suara pintu hancur di belakang rumah. Isak tangisnya berhenti. Dengan air mata masih bercucuran, ia fokus kepada suara-suara pertempuran di lorong di bagian belakang rumah. Pintu gudang itu telah terjeblak terbuka, desisnya. Dan suara ketika para vampir membanjir masuk nyaris seperti suara ribuan kelelawar menyerbu. Tapi mereka tak mampu menyerbu langsung semuanya, mereka dibatasi oleh sempitnya lorong, sehinggga meskipun yang Sam hadapi puluhan vampir, bahkan mungkin lebih, akan tetapi mereka hanya mampu menyerang satu demi satu. Rastri menyadari hal ini, sehingga senyumnya makin lebar. Bangsat itu tidak sekedar nekat ternyata, batin Rastri. Lalu terdengar pertempuran. Begitu cepat dan tergesa. Ada jeritan kesakitan bersahutan.Letupan-letupan cepat yang susul-menyusul dengan suara benda-benda berat berjatuhan dan hancur.Hara tersentak ketika suara bising da
Sam melangkah keluar kamar Jani, kini celurit dan pedang samurai pendek berada di kedua tangannya. Raut wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa-apa, hanya matanya menatap liar. Hara bersama anak buahnya menunggu, ketika melihat Sam tampak akan mengatakan sesuatu. Akan tetapi Sam hanya menoleh dan menatap Rastri dan Sonia, kemudian dengan langkah tergesa ia menuju ruang depan dan saat itulah kaca-kaca jendela di sana—prang!—hancur oleh hantaman para vampir yang meringis ganas dari luar. Sam menatap wajah-wajah liar yang melongok ke dalam dari balik teralis baja yang menutupi ambang jendela. “Rastri, berapa lama kira-kira kita akan mampu bertahan dengan teralis dan pintu yang ada?” “Teralis itu cukup kuat, kukira. Dan pintunya cukup tebal untuk bertahan sampai pagi. Apalagi dengan palang besi berlapis yang kami pasang. Yang aku khawatirkan, bangunan belakang lebih lemah daripada bangunan utama. Tidak seperti gudang di belakang, y
Hara dan anak buahnya menghambur dari rumah utama di depan, menghampiri Sam.Langkah tergesa mereka merandek saat melihat siapa yang berada di belakang Sam. Sesaat mereka tertegun, mata mereka mendadak melebar saat otak mereka yang bebal mulai menuang kesadaran dalam hati mereka, bahwa Janilah yang berdiri tegap mengawasi mereka dengan tatapan yang meremehkan. Tatapan Hara beralih dari Jani ke Sam, lalu kembali ke arah Jani. Berbulan-bulan mereka menjaga perempuan vampir ini dengan sangat hati-hati dan seksama, dengan peluh dan darah; dan saat ini Sam hanya menyeretnya seolah-olah Jani cuma seekor kambing imut jinak? Sialan kunyuk satu ini! Maki Hara dalam hati. Hara menentramkan debar dadanya, dan mundur beberapa langkah untuk memberi Sam ruang. Anak buahnya bahkan sudah ngacir mundur menjauh, mengingat mereka pasti akan bersentuhan kulit dengan perempuan vampir itu jika mereka nekat berada di ruang sempit lorong, yang
“Bagaimana kau tahu apa yang kuinginkan, Jani?” tanya Sam sambil lalu.Tatapan Sam berputar mengawasi setiap titik di dalam gudang, lalu berhenti di lubang di atas atap bagai mata raksasa yang mengintip masuk. Jani melirik kaki Sam melangkahi garis pembatas di lantai. Sekarang ia bisa mencapainya. Atau mungkin mencekiknya? Merangkulnya? Memagutnya? Dan Sam tersenyum mengetahui Jani mengetahui itu. “Dan lelaki mana yang tidak memikirkan apa yang sedang kaupikirkan sekarang ini terhadapku?” ejek Jani. Kedua tangan Jani turun, melepaskan cekalannya pada selimut, sehingga selimut itu melorot, tertahan sebelah bahunya, melambai nyaris jatuh. “Itu pikiran khas vampir. Selalu melakukan apa yang diinginkan nafsumu. Dan saat itu dibiasakan, pikiranmu menjadi nafsumu,” tukas Sam. Ia berhenti tepat di hadapan Jani. Gadis itu nyaris setinggi Sam, berarti ia lebih tinggi dari kakaknya, Rastri. Kulitnya juga lebih tera
“Kau tak benar-benar memercayai kata-kata Jani, kan, Sam?” tanya Rastri.Ia mengejar Sam keluar dan berkali-kali mengulangi pertanyaan itu sehingga terdengar konyol. “Kau tidak tahu, Rastri. Vampir selalu melakukan apa yang dikatakannya. Bisa karena kesombongan dan keangkuhannya. Bisa juga karena ia ingin memerdayaimu. Tapi lihat saja, mulai sekarang, ia akan sedikit patuh kepadaku.” “Tapi kau tak akan melakukan seperti apa yang dijanjikannya, kan?” “Itu terserah dia. Tapi seperti kataku, vampir selalu memegang janjinya.” “Sam, kau bercanda!” “Tak perlu khawatir, Rastri. Adikmu tak akan hamil. Vampir tak bisa hamil dan beranak semudah manusia.” “Kau brengsek, bejat! Aku tak bercanda, Sam!” “Siapa bilang aku bercanda?” “Sam, dengar, kau brengsek, jahanam sialan! Aku akan membunuhmu jika kau bermain-main dengan adikku! Aku akan membunuhmu!” &