Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.
Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.
Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.
Lelaki setengah baya yang berkaca mata tanpa bingkai itu mendongak. Ia mengusap uban di pucuk kepalanya yang mulai membotak. Ketika menatap Sam, wajahnya tak menunjukkan keramahan.
“Selamat siang,” sapa Sam tenang.
“Apa yang telah kau lakukan semalam, sehingga membuat Manto murka?”
“Tak ada yang spesial, Pak Wir. Ada apa?”
“Tadi ia mencarimu, katanya kau membuang naskahnya yang seharusnya dimuat hari ini. Dan ketika aku melihat list, mungkin tuduhannya benar. Dan sekarang Rastri dipanggil ke dalam kantor pimpinan tentang sebuah naskah ecek-ecek tentang vampir.
Apa yang sebenarnya engkau lakukan dalam masalah ini, anak muda?” tanyanya setengah berbisik. Sam menatapnya langsung dan lelaki setengah baya itu melengos penuh harga diri.
“Aku melakukan yang harus kulakukan.”
“Kau tak bisa berbuat sekehendak hatimu, Sam. Kau harus mengikuti aturan yang ada. Dan tahukah kamu, Sam, aku yang harus bertanggung jawab atas semua yang ada dan terjadi di bagian ini.”
Sam membisu.
“Kau tidak takut kau akan dikeluarkan dari perusahaan ini? Kau bahkan belum menyelesaikan masa percobaanmu yang tiga bulan.”
Sam melepaskan topi jeraminya. Matanya menyipit ketika ia meletakkan kacamatanya ke meja di depannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi, sambil memejam khidmat ia menarik napas sedikit lebih panjang sehingga terkesan ia mengabaikan sekitarnya. Kedua tangannya meremas lutut dan ia melanjutkannya dengan mendongakkan wajahnya.
Dadanya bergerak seolah ia berniat menghisap udara sebanyak-banyaknya. Ia memejam semakin rapat seolah-olah keheningan—dari kerumunan bising orang-orang yang memenuhi ruang redaksi—berhasil menyelinap dan menyusup ke dalam benak dan perasaannya.
Saat itulah dari pintu pra-cetak muncul Manto. Ia langsung mengibaskan Pak Wir dengan tangan kirinya ke samping—brak!—menubruk tembok, dan maju dengan langkah lebar ke arah Sam yang duduk bersandar tanpa menyadari datangnya bahaya.
Sam tengah menghirup udara dengan rakus untuk yang kesekian ketika ia menyadari keributan yang terjadi di dekatnya. Namun belum sempat ia membuka matanya, sebuah pukulan tangan kanan, berat dan brutal, menghajar pelipisnya—dezz!
Sam bersama kursinya terpelanting jatuh. Para reporter wanita yang berkumpul di dekat sudut redaksi bahasa menjerit. Mengabaikan rasa sakit di sisi wajahnya, Sam berusaha bangkit dengan tangkas. Dan ketika ia menangkap sosok yang telah memukulnya ia melihat Manto—wajahnya bengis dipenuhi kegilaan—melompat di atasnya.
Sam hanya berhasil menghindari injakan dua kaki Manto yang berdebum di lantai, tetapi ia tak berhasil mengelak dari dorongan dua tangannya. Sam terlontar dan—gubrak!—menimpa sebuah monitor yang menemaninya jatuh di balik sebuah meja.
Suasana sangat gaduh. Para wanita menyingkir sambil berteriak-teriak bahkan lebih bising daripada perkelahian itu sendiri. Para lelaki sejenak tercengang, namun alih-alih menolong Sam atau menghentikan Manto, mereka hanya menonton—seolah-olah pekerjaan mereka sebagai pengamat dan penulis berita telah begitu dalam membuat mereka terbiasa untuk tidak terlibat.
“Hentikan, Manto!” Sam mendengar ada seorang yang cukup waras untuk menghentikan kegaduhan. Dan ketika Sam muncul dari balik meja, Sam melihat Redaksi Pelaksana yang botak menatap tajam ke arahnya. Jadi, ia yang disalahkan untuk keributan ini?
Bukankah ia yang diserang dan dipukuli? Seseorang menarik Sam berdiri. Pinto. Dan Sam membiarkan Pinto merapikan meja yang baru saja ditimpa tubuhnya. Manto menatapinya di sudut bersama dua orang yang terbanting-banting memeganginya.
“Sam, kau menghadap Pimpinan Redaksi sekarang!”
Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. “Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam. Sam mengangguk. “Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. “Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin se
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana. Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan. “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your
Selama perjalanan di dalam bus Rastri sama sekali tidak berbicara apa-apa, seakan ia kembali kepada kepribadian sebelumnya yang selalu mengawasi tetapi selalu menjauh dan bermisteri terhadap Sam. Sesekali gadis itu melirik Sam.Tatapannya sering menyorotkan keraguan seolah ia menyesal telah berjanji mau membawa Sam ke sumber beritanya. Di saat lain, ia mencuri-curi pandang dan mencoba menerjemahkan kegalauannya sendiri karena telah membawa Sam—orang yang belum begitu dikenalinya—ke sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Tapi Sam, dengan memuat naskahnya dan menyingkirkan naskah lain, telah berbuat banyak padanya.Sangat banyak.Ibaratnya ia telah menyerahkan lehernya sendiri untuk membela Rastri. Dalam deraan debu dan panas di dalam bis kota yang merambat pelan, keduanya membisu. Sam sama sekali tak peduli. Ia juga tak berusaha memecahkan kebisuan. Di Pasar Jatingaleh mereka turun, lalu Rastri membawanya masuk ke dalam gang-g
“Akhirnya kau mau juga bicara, adikku,” isak Rastri. Sam menatap Rastri. Jadi, vampir itu adiknya. Pantas Rastri tak mau membunuhnya. “Tahukah kau, kau telah membuat kami semua sedih. Mengapa kau menjadi seperti ini? Mengapa kau selalu berusaha mencelakakan kami? Dan mengapa kau tidak mau berbicara kepadaku selama ini?” “Suruh orang itu mendekat ke mari, Rastri,” perintah mahluk di kegelapan tanpa menghiraukan tangisan dan rengekan Rastri. Rastri menggeleng. “Biarkan aku mendekatinya. Barangkali ia ingin mengatakan sesuatu,” desak Sam tenang. Rastri berusaha mencegah Sam, tetapi ia mundur melihat sorot mata para kerabatnya. Mereka menahan napas ketika Sam berdiri di belakang garis kuning di lantai. Mereka berusaha mengendalikan debar dada yang mendadak berdentum tak terkendali. Si gondrong Hara tersenyum keji. Jika Sam menjadi korban, bukan salah mereka. Orang itu melakukannya atas keinginan sendiri. Ha! Senyu
Ketika Rastri mengantarkan Sam ke gerbang rumahnya, Priyono menerima panggilan ke lantai atas, tempat Titus berkantor. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali Priyono berbicara dengan Titus. Mereka bukan orang yang cocok satu sama lain. Sejak semula Titus telah menegaskan bahwa yang ia pedulikan adalah laba perusahaan, dan sebagai Pimpinan Redaksi, Priyonolah yang bertugas menangani segala tetek bengek masalah yang tidak berkaitan dengan laba. Meski begitu tidak jarang Titus mengiriminya memo tentang satu dan lain hal yang terkadang membuat kening Priyono berkerut. Pada akhirnya semua hal yang ada di perusahaan itu berkaitan dengan laba. Itulah kesimpulan yang diambil Priyono mengenai sepak terjang Titus. Dan itu semakin membuat mereka semakin berjarak. Kenyataan itu membuat Titus, yang suka masuk kantor pada jam-jam aneh sesukanya, semakin jauh dengan para pegawainya. Sebaliknya, Priyono semakin populer dan hampir setiap orang menghormatinya. Namun ada
Udara panas masih terasa menyengat tatkala senja mulai semburat di langit kota. Sonia belum merasa lesu meskipun seharian ia berkutat dengan pekerjaannya. Albert menelpon akan menjemputnya seperti biasa, namun entah kenapa batang hidungnya belum tampak juga. Seseorang telah membuka tirai dari sudut ke sudut, sehingga cahaya kemerahan itu sempat mampir di permukaan mejanya sebelum lampu-lampu yang berderet rapi di langit-langit—ttap-tap-tap!—menyala dan melumatnya dalam taburan cahaya yang lebih terang dan tajam. Pendingin ruangan telah dimatikan (kebijaksanaan perusahaan untuk menghemat listrik). Angin senja yang kering dari jendela yang terbuka menyentuh bahu Sonia saat ia memencet huruf terakhir di keyboard-nya sebelum membubuhkan sebuah titik. Selesai. Kantor semakin ramai begitu malam menggantikan senja. Tetapi pekerjaan Sonia selesai ketika banyak rekan lainnya—di bagian desk luarnegeri, misalnya—baru
Sonia merasa bersalah karena ia tidak merasa gembira ketika menjatuhkan pantatnya di jok depan di samping Albert yang menyambutnya dengan senyumnya yang letih. Halaman depan kantor Berita Harian sedikit lengang. Dinding bagian atas bangunan kantor memantulkan sinar matahari sewarna kuning telur. Dan ketika Sonia melongok ke bangunan yang baru ditinggalkannya perlahan perasaan sepi dan terasing merayap ke dadanya. Setelah berbulan-bulan dalam kerutinan dijemput dan diantarkan Albert, baru kali ini Sonia menjumpai kejanggalan melingkupinya di dalam mobil yang lembut, wangi dan menyenangkan itu. Mengapa kebaikan dan keramahan Albert tak mampu membuatnya nyaman sekarang? Ada apa dengan dirinya? Dan mengapa ia masih saja berada di dalam mobil itu menikmati kebaikan hati Albert, sementara hatinya tertinggal di suatu tempat mendamba orang lain yang tidak dikehendaki dan dikenalnya? Apakah dirinya memang sebrengsek itu? Lalu apa yang membuatnya te
Malam merambat. Orang-orang datang dan pergi, tetapi Sam tetap tinggal di depan monitor yang menyala. Tangannya bergerak di atas keyboard, begitu cepat dan teratur seolah jari-jemarinya memiliki nyawanya sendiri dan kini tengah merayakan kehidupannya dengan menari-nari riang. Wajah Sam tak berubah, seluruh konsentrasi terpusat ke layar monitornya.Satu jam berlalu. Dan Sam menyandarkan bahunya ke sandaran kursi. Sesaat wajahnya berpaling, mengawasi sekelilingnya dan seolah sadar ia baru saja mengabaikan sekelilingnya selama beberapa saat. Kini ia menatap setiap objek dengan ketelitian yang sedikit mencurigakan. Lalu sekali lagi ia meneliti tampilan di layar monitor; lalu dengan satu desahan puas ia bangkit. Selesai. Sam beranjak. Namun baru beberapa langkah menuju pintu ke resepsionis, ia dicegat Manto. Dengan rokok menyala di bibir, Manto menghampirinya. Sam bisa saja berbelok menghindarinya langsung ke pintu, tapi ia merasa ia perlu tahu apa keingi