Dan ia menangkap sekilas bayangan orang di jendela yang melihatnya seolah sudah mengintai sejak matahari terbit. Petugas resepsionis di lobi hanya meliriknya ketika langkah Rastri langsung berbelok ke pintu ruang redaksi. Mereka semua berusaha untuk bersikap biasa—justru hal itu membuat situasinya tampak tak biasa.
Tak ada yang menyapanya.
Dan ketika seseorang berusaha menyapa “hai!” kepadanya, Redaksi Pelaksananya yang botak telah menepuk bahunya, dan membisikkan bahwa ia ditunggu di ruang Pimpinan Redaksi. Meskipun ia telah menduga hal ini akan terjadi, Rastri tetap merasakan lututnya goyah.
Ia meletakkan tas punggungnya asal saja di sembarang meja. Dan dengan langkah yang lemas ia mengikuti sang Redpel. Dari belakang ia melihat botak di kepala Redaksi Pelaksana makin licin dan meluas—pemandangan yang justru makin membuatnya depresi.
Seakan otomatis bagai robot, akhirnya Rastri berhasil juga sampai di ruang rapat Pimpinan Redaksi. Seruang kepala menengok dan memelototinya waktu ia menjatuhkan dirinya di sebuah kursi yang dibiarkan kosong—meskipun banyak yang masih berdiri berjejalan di sepanjang dinding. Jadi ia tahu, kursi itu khusus disediakan untuknya: sang pesakitan.
“Saya sangat kecewa hal ini bisa terjadi di penerbitan kita.”
Ucapan itulah yang menyambut Rastri begitu ia duduk. Kata-kata yang diucapkan Pimpinan Redaksi terdengar lunak, empuk dan berirama. Nyaris seperti berbisik. Tetapi semua yang berada di situ seakan merasa kata-kata itu menggelegar, keras dan kasar, tepat di gendang telinga masing-masing. Sebab: tatapan mata di wajah yang mulutnya baru mengatakan itu tajam dan menusuk.
Semua yang mendengarkan kata-kata itu menunduk. Bahkan Redaksi Pelaksana botak yang biasanya akrab sekali dengan Pimpinan Redaksi tak berkomentar apa-apa—mungkin karena ia merasa kesalahan yang diperbuat Rastri juga merupakan tanggungjawabnya. Semua orang tahu itu.
Si botak itu bersyukur dalam hati pimpinannya tak mengutik-utik masalah itu. Atau barangkali belum? Brengsek, setan apa yang telah merasuki Rastri sehingga melakukan yang seharusnya tidak boleh? Bukankah hal semacam itu merupakan pengetahuan dasar bagi setiap wartawan? Dan Rastri bukan karyawan kemarin sore!
“Saya sangat kecewa. Sekali lagi, sangat kecewa. Bukan hanya karena seseorang melanggar kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh jajaran redaksi kita serta telah menjadi keputusan perusahaan penerbitan ini. Tetapi karena kalian tampaknya berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang bagus. Sekali lagi, tanpa koordinasi. Dan ini jauh lebih memalukan dari apapun yang kita lakukan.”
Rastri menunduk makin dalam. Kata-kata kembali berhamburan. Namun Rastri tak mampu lagi menyimak. Yang didengarnya hanya dentuman jantungnya sendiri. Yang dirasakannya hanya tatapan tajam yang mengiris hatinya. Udara dalam ruang terasa sangat menyesakkan. Seandainya ia boleh bersikap semaunya, ia pasti telah megap-megap mencoba menghirup udara yang lebih segar dan lebih banyak.
Akan tetapi itu semua bukan karena udara. Itu semua karena antisipasi tubuhnya terhadap tekanan yang diterimanya. Semua dugaan dan persiapan yang ditanamnya dalam otaknya untuk menghadapi situasi itu sama sekali sia-sia. Ia tak lagi mendengar perkataan Pimpinan Redaksi, semua yang di sekelilingnya seakan bergoyang. Dan Rastri berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya dan bersikap setegar mungkin.
Seseorang tiba-tiba menyeruak dari balik kerumunan. Pimpinan Redaksi melotot, tetapi orang itu tampaknya sudah siap menerima tatapan kemurkaan pimpinannya, katanya, “Ada telepon, Pak Priyo!”
“Apakah kamu tidak tahu kami sedang rapat?” sahut Pimpinan Redaksi menggelegar. Rastri tersentak. Apakah akhirnya Pimpinan Redaksi mereka yang terkenal tenang dan kalem itu akan meledak? Hari inikah kejadiannya? Gara-gara aku? Semua orang makin dalam menundukkan kepalanya.
“Ini te-telepon da-dari Kapolda, Pak Priyono!” sahut orang itu terbata-bata. Pak Priyono mendengus. Ia menyandarkan punggungnya sejenak.
“Aku terima dari ruang rapat. Di sini.” Dan ia menyambar gagang telepon di meja panjang di belakang kursinya.
Ketika berbicara di telepon nada suaranya telah berubah jauh lebih lembut dari sebelumnya. Bahkan berkali-kali ia mengatakan “Ya, Pak” dan “Siap, Pak” seolah-olah kini ia telah menjadi prajurit anak buah sang Kapolda.
Ketika ia meletakkan teleponnya, tak ada lagi seringai murka di wajahnya seolah angin surga baru saja membelainya. Lalu dengan gerakan gesit ia bangun dari kursinya, dan tanpa berkata-kata ia memasuki ruang kantornya yang tertutup sambil menyuruh Redaksi Pelaksana mengikutinya.
Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa? Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu. “Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?” Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu. “Menurutmu bagaimana?” “Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin
Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.Lelaki setengah baya yang berkaca
Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. “Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam. Sam mengangguk. “Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. “Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin se
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana. Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan. “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your
Selama perjalanan di dalam bus Rastri sama sekali tidak berbicara apa-apa, seakan ia kembali kepada kepribadian sebelumnya yang selalu mengawasi tetapi selalu menjauh dan bermisteri terhadap Sam. Sesekali gadis itu melirik Sam.Tatapannya sering menyorotkan keraguan seolah ia menyesal telah berjanji mau membawa Sam ke sumber beritanya. Di saat lain, ia mencuri-curi pandang dan mencoba menerjemahkan kegalauannya sendiri karena telah membawa Sam—orang yang belum begitu dikenalinya—ke sesuatu yang mungkin akan disesalinya. Tapi Sam, dengan memuat naskahnya dan menyingkirkan naskah lain, telah berbuat banyak padanya.Sangat banyak.Ibaratnya ia telah menyerahkan lehernya sendiri untuk membela Rastri. Dalam deraan debu dan panas di dalam bis kota yang merambat pelan, keduanya membisu. Sam sama sekali tak peduli. Ia juga tak berusaha memecahkan kebisuan. Di Pasar Jatingaleh mereka turun, lalu Rastri membawanya masuk ke dalam gang-g
“Akhirnya kau mau juga bicara, adikku,” isak Rastri. Sam menatap Rastri. Jadi, vampir itu adiknya. Pantas Rastri tak mau membunuhnya. “Tahukah kau, kau telah membuat kami semua sedih. Mengapa kau menjadi seperti ini? Mengapa kau selalu berusaha mencelakakan kami? Dan mengapa kau tidak mau berbicara kepadaku selama ini?” “Suruh orang itu mendekat ke mari, Rastri,” perintah mahluk di kegelapan tanpa menghiraukan tangisan dan rengekan Rastri. Rastri menggeleng. “Biarkan aku mendekatinya. Barangkali ia ingin mengatakan sesuatu,” desak Sam tenang. Rastri berusaha mencegah Sam, tetapi ia mundur melihat sorot mata para kerabatnya. Mereka menahan napas ketika Sam berdiri di belakang garis kuning di lantai. Mereka berusaha mengendalikan debar dada yang mendadak berdentum tak terkendali. Si gondrong Hara tersenyum keji. Jika Sam menjadi korban, bukan salah mereka. Orang itu melakukannya atas keinginan sendiri. Ha! Senyu
Ketika Rastri mengantarkan Sam ke gerbang rumahnya, Priyono menerima panggilan ke lantai atas, tempat Titus berkantor. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali Priyono berbicara dengan Titus. Mereka bukan orang yang cocok satu sama lain. Sejak semula Titus telah menegaskan bahwa yang ia pedulikan adalah laba perusahaan, dan sebagai Pimpinan Redaksi, Priyonolah yang bertugas menangani segala tetek bengek masalah yang tidak berkaitan dengan laba. Meski begitu tidak jarang Titus mengiriminya memo tentang satu dan lain hal yang terkadang membuat kening Priyono berkerut. Pada akhirnya semua hal yang ada di perusahaan itu berkaitan dengan laba. Itulah kesimpulan yang diambil Priyono mengenai sepak terjang Titus. Dan itu semakin membuat mereka semakin berjarak. Kenyataan itu membuat Titus, yang suka masuk kantor pada jam-jam aneh sesukanya, semakin jauh dengan para pegawainya. Sebaliknya, Priyono semakin populer dan hampir setiap orang menghormatinya. Namun ada
Udara panas masih terasa menyengat tatkala senja mulai semburat di langit kota. Sonia belum merasa lesu meskipun seharian ia berkutat dengan pekerjaannya. Albert menelpon akan menjemputnya seperti biasa, namun entah kenapa batang hidungnya belum tampak juga. Seseorang telah membuka tirai dari sudut ke sudut, sehingga cahaya kemerahan itu sempat mampir di permukaan mejanya sebelum lampu-lampu yang berderet rapi di langit-langit—ttap-tap-tap!—menyala dan melumatnya dalam taburan cahaya yang lebih terang dan tajam. Pendingin ruangan telah dimatikan (kebijaksanaan perusahaan untuk menghemat listrik). Angin senja yang kering dari jendela yang terbuka menyentuh bahu Sonia saat ia memencet huruf terakhir di keyboard-nya sebelum membubuhkan sebuah titik. Selesai. Kantor semakin ramai begitu malam menggantikan senja. Tetapi pekerjaan Sonia selesai ketika banyak rekan lainnya—di bagian desk luarnegeri, misalnya—baru