Manto telah kembali menghilang. Demikian juga beberapa wartawan dan staff redaksi yang sempat mampir ke ruang itu. Sam melihat ke jam dinding besar di atas rak yang menyimpan berkas-berkas berfolder, piala-piala menyolok sewarna emas, beberapa piagam yang disangga dalam bingkai kayu berukir, mika atau plastik dan buku-buku tebal bersampul kulit yang tampak belum dibuka sejak dibeli.
Jam 19:15. Waktu makan malam. Pasti kantin dalam puncak keramaiannya malam ini, sebelum orang-orang itu kembali berpencar dengan pekerjaannya masing-masing. Dan semua itu akan berakhir ketika koran masuk cetak beberapa saat sebelum tepat tengah malam.
Tetapi sebelum itu Sam mesti tinggal di ruang itu, menunggu sesuatu yang barangkali muncul. Atau jika tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, ia tetap harus berada di sana, stand by, memperlihatkan bahwa dirinya ada dan tersedia serta siap menjalankan tugas. Sam menunggu saat-saat mesin cetak menggerung bergemuruh beberapa jam lagi. Karena saat itu ia akan bebas pergi ke manapun. Dan siapa saja akan terlalu lelah atau mengantuk untuk memerhatikannya.
Lalu pikiran Sam kembali ke Rastri.
Ia sama sekali tidak khawatir atas permusuhan yang diperlihatkan oleh gadis itu. Ia hanya seorang perempuan. Lagipula Sam tak pernah merasa telah melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya. Baiklah, ia memang belum memperkenalkan dirinya sebagai orang baru kepadanya. Tapi apa masalahnya?
Banyak orang lain yang juga belum dikenalnya di perusahaan itu. Sam hanya ingin proses pengenalannya berjalan dengan alamiah. Dan tampaknya Rastri telah membuat proses perkenalan antara dirinya dengannya tidak alamiah—dengan seringnya ia menjauhinya dan mengawasinya secara bersamaan.
“Jadi ini pegawai baru itu!”
Sam mendongak. Manto dan sekelompok lelaki menatapnya, merubungnya seolah-olah ia begitu penting untuk mendapat perhatian tak perlu seperti itu. Setelah hampir tiga bulan ia tidak diacuhkan, kini mendadak mereka memerhatikannya secara berlebihan seperti itu? Apa maksudnya? Apa yang telah dikatakan Manto tentangnya kepada wajah-wajah berminyak dengan mata kuyu berair yang jelek itu?
Sam mengangguk. Dan Manto menoleh ke arah teman-temannya dengan tatapan seolah mengatakan kepada mereka, “Benar, kan?”
Orang-orang itu belum mengatakan apa-apa. Hanya menatapnya. Lalu Manto menepuk meja di depan Sam. Semua menatap ke arahnya. Seolah menunggu sesuatu yang penting yang akan dikatakannya. Seolah nasib dunia terletak pada apa yang akan diucapkannya.
“Sam ini pekerja sempurna,” katanya seperti tanpa bernapas waktu mengatakannya. Sam melihat dagu Manto yang belum dicukur. Kulit keunguan di atas bibirnya yang hitam tebal mulai memunculkan rambut-rambut pendek yang tajam, yang menambah kesan garang dan kasar di wajahnya.
Selama Sam bekerja bersamanya, Sam tak pernah sekalipun menganggap Manto orang yang tepat untuk pekerjaan korektor atau redaksi bahasa. Penampilannya terlalu selebor—persis sama seperti hasil kerjanya. Tetapi ia tak pernah mempermasalahkan itu.
Jauh-jauh hari Sam telah meyakinkan dirinya bahwa ia membutuhkan pekerjaan itu. Dan ia akan melakukannya sesempurna dan setidak-menarik-perhatian mungkin. Tak ada yang salah dengan itu, bukan? Tapi agaknya Manto sedang berusaha mengulitinya sekarang, atau berusaha mengguncang ketenangannya. Entah kenapa dan apa yang dicarinya Sam tidak tahu.
“Dengar, ia bahkan mengerjakan pekerjaanku. Dan ia melakukannya dengan hebat. Karena itu aku berterimakasih kepadanya,” pidato Manto.
“Tidak masalah. Selama aku masih bisa mengerjakannya, tentu akan kukerjakan,” sahut Sam.
“Nah, lihat. Sombong sekali, kan? Ia bahkan menjanjikan akan mengerjakan pekerjaanku lainnya. Apa kamu menganggapku bebal, begitu, Sam?”
“Maaf, Mas Manto. Aku hanya orang baru. Aku hanya ingin bekerja sebaik mungkin. Jika Mas nggak mau aku mengerjakan pekerjaan Mas, akan aku hentikan saat ini juga. No problem. Okay?”
“Nah, nah, nah! Lihat. Apa kataku! Ada pegawai baru sekeren ini? Aku koordinator-nya dan ia mau menentukan apa yang mau dilakukannya dan apa yang tidak!” suara Manto meninggi. Sam tersenyum tipis. Ia mulai membaui sesuatu yang busuk dan jahat pada kata-kata Manto. Apakah ini semacam plonco untuk pegawai baru? Plonco yang sangat terlambat karena Sam sudah hampir tiga bulan bekerja di situ.
“Baiklah. Aku hanya menurut saja,” tukas Sam, lalu membisu. Tapi Manto tak mau melepaskannya. Ia menggebrak meja dengan keras. Bukankah ia baru saja di kantin, makan malam? Apakah menunya tidak disukainya sehingga ia kembali dari sana dengan napas panas penuh kemarahan seperti itu? Ataukah ia telah memakan sesuatu—seperti sambal super pedas, misalnya?—yang menimbulkan emosinya mudah tersulut. Sam menggeser mundur kursinya. Menunduk dengan sikap merendah.
“Bangsat! Kau mau mempermainkanku? Kau mau berputar-putar dengan mulut sok-pintarmu mempermainkanku?” bentak Manto.
Sam menatap orang-orang yang merubungnya. Kini mereka telah mundur selangkah. Hanya tinggal Manto yang menempel ketat di mejanya seolah lintah. Tanpa disadarinya, ruang itu telah dipenuhi oleh pegawai lain, bahkan yang mejanya tidak berada di situ.
Beberapa koresponden yang baru tiba ikut merubung. Semua menatap ke arah dirinya dan Manto. Ada apa sebenarnya? Apakah ia telah melakukan kesalahan? Apa perlunya ledakan kemarahan itu?
“Bisa jelaskan pada saya apa masalah sebenarnya?” tanya Sam setengah berbisik. Seseorang—dengan sangat hati-hati seperti matador—menggiring Manto menjauh. Kilatan tatapan Manto tajam ke arahnya sebelum ia terpaksa menurut digelandang pergi. Desah napas lega terdengar dari sebagian orang. Orang-orang yang berkerumun mulai kembali ke meja masing-masing. Beberapa yang lain keluar dari ruang itu. Tetapi ada beberapa mata yang terus mengawasinya, seolah tidak puas ia telah lepas begitu mudah dari cengkeraman Manto si singa buas.
“Tak ada masalah sebenarnya.”
Seseorang telah berdiri di sebelah Sam. Sam mendongak, dan menggeser lagi kursi yang didudukinya ketika lelaki itu duduk di tepi meja di sebelahnya. Sam telah berkenalan dengannya kemarin. Namanya Pinto. Wartawan. Lajang. Hanya lebih senior tujuh bulan dengannya. Dulu ia bertugas sebagai reporter daerah. Kini ditempatkan di kota.
“Memang begitu Manto. Kamu harus hati-hati Sam. Trouble-maker dia. Tak ada yang betah bekerja bersamanya. Ia bermasalah, bos ingin memecatnya, tetapi ia dibawa oleh seorang pimpinan di bagian iklan. Kebetulan juga ia punya hubungan keluarga dengan orang itu. Redaksi bahasa mungkin hanya pos yang akan dijadikan alasan bos untuk menemukan kesalahan lainnya. Tetapi kau malah membantunya. Tetapi dia malah gusar. Tidak logis dan aneh sekali, bukan? Tapi bagi Manto tak ada yang aneh. Karena pada dasarnya ia memang telah kacau sejak awal. Perlu seseorang yang cukup bernyali untuk mengurai benangnya yang kusut.”
“Mengurai benangnya yang kusut....,” ulang Sam sedikit geli. “Menurutmu, apa yang harus kulakukan, Pin?”
“Kau di sini untuk bekerja, kan? Apalagi yang harus dilakukan selain bekerja dengan baik?” tanya Pinto.
“Maksudku, apakah aku harus minta maaf?”
“Kepada Manto? Apakah kau merasa perlu meminta maaf?”
“Tidak.”
“Yah, nggak usahlah kalau begitu.”
“Terimakasih atas nasihatnya. Ng, kamu tahu tentang Rastri?”
Gerakan kaki Pinto mendadak berhenti. Sam melihatnya. Apakah ia salah ngomong lagi?
“Apakah kamu ada masalah juga dengan Rastri?” tanya Pinto. Nadanya terdengar sedikit menahan diri, seolah mengucapkan nama Rastri telah membuat napasnya hilang separuh.
Sam menggeleng.
“Rastri adalah perempuan istimewa,” ucap Pinto lirih. Sam mendongak ingin memastikan ekspresi wajah Pinto ketika mengucapkan itu. Tetapi matanya berhenti di ambang pintu ruang redaksi. Dari lobi muncul Rastri. Sam mengawasi wajah tenang Rastri dan gerak rambut di keningnya. Raut wajahnya tidak terlalu mencolok, tidak begitu cantik, namun tatapan yang mengedari ruang itu tak mengatakan apa-apa: penuh misteri.
Sam menyadari ketenangan penuh misteri itulah yang membuat gadis itu menarik. Beberapa wartawan yang berkumpul di dekat pintu menoleh menatapnya. Rastri tak menghiraukan mereka. Wajahnya mendadak berubah tegang. Matanya mencari-cari.
Sam berusaha menerka-nerka apa yang membuat Rastri kembali ke kantor. Tapi agaknya ia tak perlu terlalu memikirkannya. Rastri melangkah langsung menuju tempat duduknya. Dengan sigap ia menyalakan komputernya. Membuka sebuah file yang telah ada di foldernya. Lalu ia mengetik beberapa info tambahan dan beberapa menit kemudian, ia melangkah mendekat Sam dan berkata dengan kaku, “Tolong periksa naskahku. Sudah aku masukkan ke dalam folder naskah untuk dikoreksi. Aku ingin kau mengirimkannya langsung untuk dilay-out.”
Sam menatap wajahnya yang keruh. Garis kecantikan yang lembut tertera di raut wajahnya, namun gadis itu tak berusaha mempertegasnya dengan sikap dan ekspresi yang feminin.
“Perlu engkau ketahui tugasku bukan menentukan apakah sebuah naskah akan dicetak atau tidak. Kau lebih tahu itu dariku. Lagipula naskah apa yang lebih penting dari naskah lainnya sehingga engkau menyuruhku mengirimkannya langsung ke pra-cetak—tanpa persetujuan pimpinan?”
Rastri menatap Sam sedetik lebih lama. Mata yang mengawasi Sam anehnya tampak tak menyorotkan desakan; sebaliknya, ada kesedihan di sana. Pinto berdehem, “Sam benar.” Tatapan Rastri menyambar Pinto—tidak tajam tapi cukup tegas—seakan mengatakan, “Bukan urusanmu!”
“Kau harus berbicara terlebih dahulu dengan pimpinan. Paling sedikit redaksi pelaksana. Karena memuat naskahmu, berarti mengedrop naskah lainnya,” sambung Sam. Rastri kembali menatap Sam seolah Sam yang lebih junior telah bersikap lancang terhadapnya yang lebih senior. Pinto beringsut mundur dan mulai menduga malam ini memang malam kemalangan bagi Sam. Pertama Manto. Kedua Rastri. Ada apa dengan orang-orang? Mengapa mendadak nafsu kemarahan mengambang di atas ruang redaksi? Dan semuanya ditujukan buat Sam.
“Lakukan saja perintahku. Urusanku dengan Redaksi Pelaksana adalah tanggung-jawabku. Mengerti?” kata-katanya tegas. Wajah-wajah mulai menoleh ke arah Sam. Pinto melorot turun dari meja dan mencari-cari kursi kosong yang bisa didudukinya. Sam merasakan darahnya mengalir kencang ke kepala. Genggaman tangannya terbuka, napasnya ditahannya sejenak lalu dikeluarkan dengan pelan dan sabar. Ia bisa mematahkan leher jenjang gadis itu dengan sekali renggut, tetapi ia hanya tersenyum.
“Baik, tuan putri.” Dan ia kembali ke komputernya yang masih menyala. Ia mencari naskah Rastri di foldernya. Ini dia. Dan ia membukanya. Judul naskah itu membuatnya tertegun. Namun ia berusaha tidak menatap Rastri yang masih menantinya di samping monitor.
Vampir
Kembali
Serbu
Kota
Ketika Sam selesai dengan naskah itu, Pinto menyambanginya dari belakang. Pinto membaca tulisan yang terpampang di layar sebelum disave-and-close. Bersiul kecil, ia menyentuh pundak Sam, dan menatap Rastri yang sedang menatap ke arah mereka. Gila, desisnya. Apa maksud Rastri menulis berita seperti ini? Koran mereka bukan Metropolitan Baru. Koran mereka adalah koran nasional berkantor pusat di Jakarta yang membuka kantor di daerah—tiap daerah—untuk menyajikan berita-berita lokal. Namun mereka tetap koran nasional dengan kebijakan yang sama sekali berbeda dengan koran daerah yang dipenuhi klenik dan gugon tuhon. Dan mereka tidak memberitakan berita supernatural. No way.Pinto ingat ia pernah mendengar perdebatan ini di rapat-rapat redaksi. Sebagian wartawan merasa koran mereka perlu memberitakan kisah-kisah yang berkaitan dengan vampir, namun redaksi tetap pada putusannya bahwa berita-berita seperti itu bukan untuk mereka—meskipun Metropolitan
Di mejanya yang licin dan bersih, Rastri berkemas pulang. Beberapa pertanyaan bersemayam dan mengganjal di benaknya. Mengapa pihak pra-cetak adem-ayem saja? Mengapa naskahnya mulus begitu saja lolos? Ataukah naskahnya telah di-drop sebelum masuk ke pra-cetak? Ia harus mengeceknya. Ia telah melihatnya di layar monitor pra-cetak. Tak ada masalah.Ah, tidak.Ia harus menunggu. Ia harus melihatnya langsung di koran yang keluar panas-panas dari mesin cetak. Ini bukan masalah main-main. Dan Rastri telah siap menanggung akibatnya.Vampir bukan masalah main-main.Malam makin larut dan, setelah mencapai puncaknya yang ditandai oleh angin yang lebih dingin dan kegelapan yang lebih pekat, akan mulai tergelincir menuju dini hari. Rastri kembali duduk. Beberapa wartawan asyik menonton sebuah acara TV dari Jepang yang menampilkan cewek-cewek berwajah inosens berpakaian setengah telanjang. Tawa mereka terdengar seru, tak peduli dan menjengkelkan. B
Rastri menyumpah panjang pendek untuk sesaat. Jantungnya seakan berhenti sedetik, dan koran yang berada di genggamannya nyaris terlepas. Matanya menangkap sosok redaksi bahasa baru itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Rastri terdiam menenangkan dirinya.“Brengsek, kau membuatku kaget,” omelnya. Lalu tanpa banyak berkata lagi Rastri berbalik beranjak pergi. Sam mengikutinya tanpa suara. Di ambang pintu ke bagian pra-cetak Rastri berhenti. Tatapannya keras dan menolak.“Mengapa kau mengikutiku?” tegurnya panas.“Kau puas beritamu telah dimuat?” ulang Sam.“Apa maksudmu?”“Kau akan mendapat masalah karena berita itu.”Rastri melipat koran di tangannya, lantas mengepitnya di ketiak. Sikapnya tak peduli. Ada seringai masam di wajahnya yang dingin, tapi ia berhasil menghapusnya dengan bersikap sinis.“Jangan takut. Kau tak akan kehilangan pekerjaanmu,”
Sejak langkahnya memasuki gerbang keesokan harinya Rastri tahu ia akan menghadapi hal-hal yang tak biasa hari itu. Tapi semuanya sudah dipikirkan dan diduganya jauh-jauh hari sebelumnya. Tiga orang satpam yang mengawasinya masuk saling berbisik.Dan ia menangkap sekilas bayangan orang di jendela yang melihatnya seolah sudah mengintai sejak matahari terbit. Petugas resepsionis di lobi hanya meliriknya ketika langkah Rastri langsung berbelok ke pintu ruang redaksi. Mereka semua berusaha untuk bersikap biasa—justru hal itu membuat situasinya tampak tak biasa.Tak ada yang menyapanya.Dan ketika seseorang berusaha menyapa “hai!” kepadanya, Redaksi Pelaksananya yang botak telah menepuk bahunya, dan membisikkan bahwa ia ditunggu di ruang Pimpinan Redaksi. Meskipun ia telah menduga hal ini akan terjadi, Rastri tetap merasakan lututnya goyah.Ia meletakkan tas punggungnya asal saja di sembarang meja. Dan dengan langkah ya
Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa? Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu. “Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?” Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu. “Menurutmu bagaimana?” “Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin
Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung.Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu.Lelaki setengah baya yang berkaca
Rastri mendongak memandangnya ketika Sam masuk ke ruang kantor yang lebih dingin dan mewah dari semua yang dilihatnya di luar. Sam menatap lukisan yang tergantung di tembok di belakang meja Pimpinan Redaksi. Sebuah lukisan Kota Lama dalam versi yang lebih indah dan bersih dari aslinya dengan langit semburat jingga sebagai latar belakang. Lukisan yang dibuat untuk memesona. “Ini Sam, Pak Priyono,” tukas Redaksi Pelaksana di belakang bahu Sam. Sam mengangguk. “Sam. Sam. Sam,” desis Pimpinan Redaksi. Rastri menunduk dan melirik Sam yang duduk tak terpengaruh oleh karisma Pak Priyono yang memenuhi ruang itu. Pimpinan Redaksi itu tersenyum seolah maklum melihat sikap Sam yang sedikit tak acuh. “Kerjamu bagus, Sam. Kudengar itu. Bahkan hampir selama kau bekerja sebagai korektor, tak ada keluhan tentang kesalahan bahasa. Sekali lagi, tak ada keluhan. Entah itu karena engkau seorang atau hasil kerja redaksi bahasa sebagai sebuah tim makin se
Ketika Rastri dan Sam keluar entah bagaimana perkembangan baru itu telah tersebar cepat. Orang-orang menatap mereka berdua ketika keluar dari kantor Pimpinan Redaksi. Semula hanya tepuk tangan ragu-ragu dari sudut: Sonia. Lalu tepuk tangan itu bersahut-sahutan dengan suitan penuh kegembiraan. Dan tak berapa lama ruang redaksi dipenuhi oleh sorak membahana. Setiap orang mendadak ingin menepuk pundak Rastri. Dan setiap orang kini tahu bahwa pegawai korektor baru yang pendiam dan acuh-tak-acuh itu namanya Sam. Dan ia telah menyingkirkan naskah Manto untuk memuat naskah Rastri. Tindakan kurang ajar yang luarbiasa berani dan cukup konyol serta sekaligus menggelikan. “Bagaimana rasanya dicaci kemudian dipuji dalam waktu berurutan?” Sonia. Ia memeluk bahu Rastri dari belakang. Rastri tersenyum lebar, jawabnya, “Bagiku beban, Sonia. Sekarang aku malah diberi tugas khusus untuk lebih jauh menelusuri keberadaan vampir.” “Apapun itu, congrats on your