Share

Bab 4

Judul: Undangan pernikahan suamiku

Part: 4

***

Saat aku duduk merenung di dalam kamarku, tiba-tiba ponsel milikku berdering.

Sebuah panggilan dari satpam sekolah Salman. Seperti biasa, Pak Agus itu pasti meneleponku ketika Salman sudah waktunya pulang.

"Mbak Lita, Salman sudah menunggu untuk dijemput," ucapnya.

"Baik, Pak. Saya langsung ke sana."

Sambungan kuputus, kemudian aku langsung meraih kunci motorku.

Ya, aku hanya memiliki motor saja saat ini. Sedangkan mobil, adalah milik Mas Arifin. 

Aku tak pernah menuntut untuk dibelikan mobil juga. Karena aku berniat membelinya dengan uang hasil kerja kerasku sendiri.

"Aduh, motor butut itu udah gak layak pakai," cibir Nia saat aku hendak mengengkol motorku.

Satu kali ... dua kali ... tiga kali, barulah motor tuaku menyala. Aku melajukannya dengan pelan. Tak kuhiraukan ucapan Nia. 

Aku akan membuat perhitungan nanti saja. Nia dan keluarganya akan menyesal karena telah berani bermain-main denganku.

Mereka tak tahu, jika aku suka latihan pencak silat saat SMA dulu. Tentunya mudah bagiku untuk meremukkan rahang Nia yang sombong itu.

Kupercepat laju motor tuaku hingga sampai di depan gang sekolah Salman.

"Ibu!" teriaknya saat mendengar suara nyaring motorku ini.

Aku melempar senyum, kemudian Salman mendekat.

Segera kuputar balik arah motor menuju rumah. 

Tiba di rumah.

"Cepat ganti baju, dan belajar di kamar! Nanti Ibu siapin makanan kesukaan Salman," ujarku.

"Baik, Bu."

Putra tampanku itu memang penurut. 

Ketika aku hendak berjalan ke dapur, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Kira-kira siapa yang datang?

Mungkin pelanggan kueku.

Cletaak ....

Pintu kubuka, berdiri seorang laki-laki yang kutafsir umurnya sekitar 55 tahun.

"Selamat siang! Perkenalkan, saya Ridwan. Nia ada?" 

Degh!

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Akhirnya Pak Ridwan ini datang juga.

"Oh, ada!" ketusku.

"Ayah!" teriak Nia sambil memberi pelukan.

Aku berdehem pelan, kemudian keduanya langsung melepas diri. 

Kini Pak Ridwan itu duduk di sofa, sedangkan Nia pergi ke dapur menyiapkan minuman.

Ini kesempatanku untuk bertanya padanya.

"Mohon maaf sebelumnya, saya ingin menanyakan satu hal," ucapku.

"Tentang pernikahan Nia dan Arifin?" tanya-nya.

"Ya. Bukankah Pak Ridwan tahu, bahwa Mas Arifin sudah memiliki Anak dan istri?"

"Saya tahu. Akan tetapi saya tidak pernah memaksanya, hanya meminta dengan basa-basi saja. Lalu Arifin menerima."

Degh!

Aku terdiam sesaat. Kucerna dengan baik setiap kata-kata yang keluar dari mulut ayah Nia itu.

Detik berikutnya Nia datang membawa dua gelas minuman. Yang satu ia suguhkan untuk ayahnya, sedangkan satu lagi Nia berikan padaku.

Luar biasa. Sikap Nia bisa berubah dalam sekejap mata.

"Terima kasih, sayang. Dirimu memang putri Ayah yang terbaik," puji Pak Ridwan.

Perutku mual mendengarnya.

"Iya, Yah. Mbak Lita diminum juga, dong!" Nia menggerak-gerakkan alisnya menatapku.

Dari sini aku dapat menyimpulkan bahwa Pak Ridwan memang tidak memaksa dengan alasan pekerjaan. Namun, Mas Arifin sendiri yang dengan sukarela menerima begitu saja.

Kepalaku pusing memikirkannya. Ternyata suamiku juga pandai berdusta.

Sepulangnya Pak Ridwan dari sini, Nia kembali memancing emosiku.

"Mbak dengar sendirikan, kalau Ayahku tidak memaksa Mas Arifin," ucap Nia tersenyum bangga.

"Tetap saja, sebagai orang tua harusnya Ayahmu tidak menyerahkan Anaknya pada pria yang sudah berkeluarga. Kalian sama saja, memalukan," cibirku pula.

"Beraninya Mbak menghina Ayahku!" Nia mencoba meraih bajuku.

Namun, segera kutepis. Hingga tangan Nia kini dalam cengkramanku.

"Jangan berharap tangan kotormu ini bisa menyentuhku!"

"Argh! Sakit Mbak! Lepas!" Nia menjerit-jerit kesakitan.

Langkah kaki Salman terdengar menuju ke sini. Akhirnya aku terpaksa melepaskan Nia.

Berkali-kali kuucapkan istighfar dalam hati agar emosiku padam. 

"Bu, tadi suara apa?" tanya Salman.

"Bukan apa-apa, sayang. Tadi ada tikus yang mencoba menyelinap masuk di rumah kita. Ibu sudah memberinya pelajaran," sahutku.

"Bagus, Bu. Bunuh saja tikus itu!" ucap Salman pula.

Wajah Nia menjadi muram. Detik berikutnya Nia langsung masuk ke dalam kamar dan melototi putraku, hingga Salman bersembunyi di balik tubuhku.

"Bu, Tante itu tadi pagi baik. Tapi siang ini jadi jahat."

"Makanya Salman jangan dekat-dekat."

Mengangguk kepala bocah polosku itu. 

Hari ini tak sabar aku menunggu kepulangan Mas Arifin. Akan banyak pertanyaan yang nanti aku coba lontarkan padanya.

***

Waktu berjalan ....

Tepat pukul 17:30 Mas Arifin pulang.

"Lit, kok diam aja? Biasanya langsung membawakan tas kerja Mas masuk," ucap Mas Arifin.

"Itu kan biasanya Mas," ketusku.

Terdengar suara napas Mas Arifin yang ia hembuskan kasar. 

"Biar aku saja Mas yang membawakannya," sambung Nia.

Aku melihat pandangan Mas Arifin berbinar-binar ke arah Nia. Hatiku semakin panas, ingin rasanya aku melayangkan pukulan, tetapi takut Salman mendengar.

"Mas aku mau bicara di kamar!"

"Nanti saja, Lit. Mas capek."

"Aku serius." Sengaja aku pasang wajah garang.

Akhirnya Mas Arifin menurut. Ia melangkah ke kamar sambil merangkul pundakku. 

Mata Nia terbelalak melihat kemesraan kami. Aku bahkan tak senang diperlakukan seperti ini sebelum ada kejelasan pasti.

Di dalam kamar.

"Jawab aku dengan jujur, Mas. Apakah Pak Ridwan memaksa untuk menikahi Putrinya?"

Mas Arifin bergeming. Tatapannya jadi panik, seolah-olah ingin mencari alasan untuk pertanyaanku.

"Kenapa diam?" tanyaku lagi.

"Em, iya. Pak Ridwan memaksa Mas, Lit. Beliau mengancam untuk memecat Mas dari perusahaannya kalau Mas menolak."

Aku tersenyum getir. Entah siapa yang berdusta saat ini. Akan tetapi aku sudah menyiapkan rekaman di ponselku secara diam-diam. Pengakuan Mas Arifin akan kujadikan senjata untuk bertemu dengan Pak Ridwan lagi nanti.

"Keterlaluan sekali dia, Mas. Lalu Mas menikahi Nia karena terpkasa saja dong? Tidak karena cinta?" tanyaku lagi.

"Tentu saja tidak, sayang. Mas hanya mencintaimu. Mana mungkin Mas mencintai Nia, apa lagi rupanya tak sedap dipandang mata."

Aku tertawa geli mendengar pengakuan Mas Arifin. Namun, bukan berarti aku percaya begitu saja.

Tunggulah, aku akan membuat gempar keluarga itu. Tentunya aku juga akan menyelidiki lagi tentang kebenaran ucapan Mas Arifin.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing, anak orang kaya koq mau tinggal sekandang dg madunya. dasar g waras dan terlalu dipaksakan alur ceritanya njing. udah bisa ditebak gimana endingnya. cerita sampah yg g layak dibaca krn bertentangan dg akal sehat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status