Judul: Undangan pernikahan suamiku
Part: 7
***Saat Mas Arifin meminta izin untuk keluar, aku tahu pasti dia sedang menyembunyikan sesuatu. Terlebih lagi Nia juga beralasan ingin pulang ke rumah.Jika aku dari semula tak tahu permainan mereka, mungkin saja aku bisa terpedaya. Namun, aku sudah membaca semua kebusukan dua manusia tak punya nurani itu.Sakit hati?Tentu saja. Aku hanya wanita biasa. Munafik sekali jika kukatakan aku baik-baik saja.12 tahun bukan waktu yang singkat. Selama ini aku mengira Mas Arifin adalah suami yang sempurna. Kesederhanaan yang Mas Arifin berikan, sudah sangat aku syukuri. Aku tak menuntut lebih. Hingga kebutuhan semakin membesar, aku memutuskan untuk membantunya dalam mencari rezeki.Namun, tak kusangka Mas Arifin tega mendua. Apa pun alasannya, tetap saja aku tak akan terima.Ingin rasanya hari ini aku pulang ke rumah orang tua. Akan tetapi tak puas hatiku sebelum membalas mereka.Drrrrrngg ... Drrrnggg....Bel rumahku berbunyi, aku bergegas membukakan pintu. Sepertinya ayahku yang datang.Dan ternyata benar."Assalamualaikum, Lit.""Walaikumsalam. Ayo masuk, Yah!" Aku suguhkan senyum termanisku untuk mengecoh suasana hati saat ini.Setelah ayahku duduk, cepat-cepat aku ingin membuatkan minum."Lit, duduklah Nak! Jangan repot-repot. Ayah hanya sebentar," ujar Ayah.Aku pun menurut. Entah kenapa, tiba-tiba aku menjadi lemah saat berada di dekatnya."Ayah sudah mendengar kabar pernikahan Mas Arifin?" tanyaku bergetar."Iya, sayang. Ayah ke sini untuk menjemputmu dan Salman."Aku langsung terdiam, sebenarnya sudah kuduga ke datangan ayah ke sini untuk menjemputku."Tidak, Yah. Biarkan masalah ini Lita selesaikan dulu. Ayah percaya pada Lita kan? Putri Ayah ini tidak mungkin bertindak bodoh," paparku dengan air mata yang tertahan."Baiklah, sayang. Lakukanlah yang menurutmu memang pantas untuk dilakukan. Namun, setelah itu berjanjilah agar segera keluar dari rumah ini. Kau adalah anak satu-satunya yang Ayah miliki. Selama ini, Ayah membesarkanmu seorang diri, dan penuh dengan kasih sayang. Tidak akan pernah Ayah relakan siapa pun yang mencoba melukai perasaanmu. Tidak akan!"Pecah tangisanku ketika mendengar perkataan ayah. Bahkan beliau yang selama ini tampak sangat tegar pun turut menangis.Hancur sudah kepercayaan ayahku. Ternyata sangat sulit mencari sosok lelaki yang setia seperti ayah. Bahkan setelah ibu tiada, ayah masih sendiri tak mencari pengganti..Malam semakin larut, ayahku pun sudah pulang. Namun, tak terlihat tanda kehadiran Mas Arifin. Sedangkan Nia, dia memang berkata tak pulang malam ini. Aku tahu, mereka tentunya sedang bersama.Air mataku ini bukan lagi air mata kelemahan, melainkan air mata yang menambah kekuatan.Aku akan menyelidiki siapa saja yang terlibat dalam permainan ini. Pasalnya ibu mertuaku belum membuka suara sama sekali. Sangat mustahil jika berita pernikahan Mas Arifin belum sampai ke telinganya.***Malam berganti pagi ....Mas Arifin pulang dengan tubuh yang segar, tampak seperti orang yang baru mandi."Dari mana saja Mas? Biasanya tak pernah tidur di luar.""Iya, Lit. Semalam keasikan ngobrol, jadi kebablasan sampai subuh. Kamu gak marah kan?" Kugelengkan kepala dan tersenyum. "Kamu memang istri pengertian," pujinya."Selama tak ada kebohongan diantara kita, aku mana mungkin marah, Mas. Oya, semalam Ayah ke sini," ucapku dengan tenang."Terus Ayah bilang apa, Lit?!" Raut wajah Mas Arifin langsung berubah tegang. Aku tahu, Mas Arifin sangat takut dengan ayahku. Padahal selama ini mana pernah ayah bersikap kasar padanya."Ayah bilang sudah mendengar kabar pernikahanmu itu. Tapi aku menjelaskan, kalau pernikahan Mas dan Nia cuma sandiwara.""Bagus, sayang. Mas juga akan menjelaskan nanti, kalau Ayah datang lagi."Cerah kembali wajah tampan lelaki buaya yang berstatuskan suamiku itu..Setelah selesai berbasa-basi. Mas Arifin berangkat bekerja. Salman juga ikut diantar olehnya.Tak lama kemudian, Nia datang. Wajahnya semakin berseri-seri. Kedua tangannya membawa banyak belanjaan . Seperti habis shoping."Duh, capek juga mau habisin uang, tapi malah gak habis-habis," ucap Nia sambil tersandar di sofa.Aku yang hendak melangkah ke dapur, hanya berdehem pelan. Menghadapi orang seperti Nia tak boleh memakai kekerasan. Aku harus memutar otak untuk berpikir, bagaimana caranya mendapat informasi lebih.Urung langkahku ke dapur, akhirnya aku kembali ke ruang tengah, dan duduk di sebelah Nia."Nia, boleh aku bertanya sesuatu?"Seketika tatapan Nia mengarah serius kepadaku."Silakan!" jawabnya dengan gaya acuh tak acuh.Uh, gemes sekali hatiku. Kalau bukan karena turut bersandiwara dalam permainan mereka, tentunya aku sudah mempeyotkan mulutnya itu."Kenapa diundangan pernikahan itu tertulis nama Mas Arifin? Bukankah kau harusnya menikah dengan Rio?"Nia bergeming, bola matanya bergerak ke sana ke mari. Tampak jelas, kalau Nia sangat gugup dan resah menerima pertanyaanku."Hem, sebenarnya itu undangan khusus untukmu, Mbak. Aku hanyan membuat satu saja yang bertuliskan nama Mas Arifin, lagi pula aku juga menyamarkan nama orang tua Mas Arifin," paparnya dengan keringat yang mulai bercucuran."Hanya untukku? Apa alasanmu?""Biar Mbak hadir."Tampaknya Nia memang sengaja mengundangku dan menyamarkan nama orang tua Mas Arifin. Namun, aku belum tahu apa tujuannya."Kenapa sih, Mbak nanya hal yang udah berlalu itu? Terima ajalah takdir Mbak yang memiliki madu kaya sepertiku. Kalau Mbak mau berdamai, aku akan memberikan Mbak imbalan yang besar. Jadi Mbak tidak usah repot-repot membuat kue lagi."Nia bicara sambil melentik-lentikkan jemarinya yang panjang. Dipamerkan pula kuku yang baru diwarnainya itu."Ah, kau ternyata baik juga. Tapi aku lebih merasa terhormat memiliki penghasilan dari hasil keringatku sendiri, daripada terus memeras harta orang tua," sindirku.Wajah Nia langsung berubah kesal. Aku segera berlalu dari hadapannya.__
Langkah berikutnya, aku harus bertemu lagi dengan Pak Ridwan. Akan kuperjelas tentang siapa yang berdusta. Satu-satunya orang yang bisa membuat aku bertemu dengan beliau, hanyalah Nia. Jadi aku akan mencoba mencari cara agar Nia mau mengundang ayahnya ke sini lagi. Ya, nanti akan kupikirkan. Sekarang aku harus menjemput Salman.Bersambung.Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 8***Setelah menjemput Salman, aku pun kembali mendekati Nia. Namun, sebelum itu, tentunya aku menyuruh putra tampanku masuk ke dalam kamar dulu."Nia, apa kau tak mau mengundang orang tuamu makan malam di sini?" tanyaku."Kok kayak ada udang di balik batu ya, Mbak." Nia menyindirku.Nia benar-benar tidak bisa diremehkan. Otaknya berjalan cukup lancar."Gak ada untungnya juga kok. Aku cuma sekedar basa-basi aja. Lagi pula, biasanya aku selalu mengundang Ayahku ke sini saat awal-awal menikah dulu," ucapku memanasi."Hem, aku juga bisa mengundang Ayahku ke sini. Bahkan aku akan membuat jamuan yang mewah."Akhirnya terpancing juga anak orang kaya itu. Aku tersenyum getir. Sudah aku siapkan semua rencanaku untuk menyambut Om Ridwan..Waktu berjalan ....Mas Arifin pulang dari kantor, kemudian langsung masuk ke dalam kamar.Aku sudah tak peduli, biasanya aku memang selalu menyusulnya untuk membantu menaruhkan jas, dan tas kerjanya. Namun, sekaran
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 9.***"Maaf, Ayah! I-itu hanya salah paham." Semakin gelabakan Mas Arifin di hadapan mertuanya. Suasana sudah memanas, aku pun membisikkan Salman untuk membawa makanannya ke dalam kamar. Putraku itu selalu menurut, tak pernah aku berkata dua kali padanya."Ayah, sudahlah! Apa pun yang Mas Arifin coba katakan pada Mbak Nia, itu hanya untuk menenangkan Mbak Nia saja. Mas Arifin tidaklah bersungguh-sungguh dalam ucapannya," papar Nia.Wah, maduku ini memang luar biasa. Dia masih bersikeras membela Mas Arifin.Aku semakin yakin, bahwa pernikahan mereka memang sudah direncanakan."Diam! Masalah ini bukan masalah sepele. Kalian sudah mempermainkan kejujuran. Jika Lita tak ridho maka pernikahan ini diselesaikan saja," sambung Bunda Nia.Aku cukup terharu. Ternyata keluarga Nia tak seperti yang kubayangkan."Nak Lita, maafkan kami. Sebenarnya memang kami meminta Arifin untuk menggantikan pernikahan Nia yang batal. Namun, sebelumnya kami juga menyur
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 10.***Nia tersenyum senang mendengar ucapan mertua. Sedangkan aku semakin geram."Bukankah Mama sendiri, memilih bercerai dari pada dimadu?" Aku sengaja mengungkit masalah rumah tangga Mama. Karena beliau pun sudah mengalami, bagaimana rasanya diduakan. Lalu sekarang, bisa-bisanya Mama meminta aku menerima Nia."Jangan mengungkit luka lama, Lit. Mama tak mau mengingat hal itu lagi," ucap Mama."Kenapa, Ma? Sakit ketika mengingatnya? Lalu bagaimana dengan perasaanku saat ini?"Mertuaku bergeming, matanya berkaca-kaca. Sepertinya ucapanku berhasil mengahantam hatinya."Mbak Lita ini memang keterlaluan! Bisa-bisanya, Mbak membuat Mama bersedih dengan ucapan lancang Mbak itu!" hardik Nia.Oh, maduku ingin mencari muka.Baiklah, aku akan ikuti permainannya."Tak apa, Nia. Lita berhak bicara begitu. Mama memang pernah mengalaminya. Namun, ini beda."Beda pula dibilangnya. Ah, mertuaku ini lama-lama jadi menyebalkan juga."Bedanya?" tanyaku singka
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 11***Hari berganti ....Pagi ini Nia keluar dengan membawa koper miliknya. Kira-kira mau ke mana Nia?"Lit, Mas minta izin untuk mengantar Nia pindah ke rumah barunya, ya."Oh, ternyata Nia sudah membeli rumah."Hem, iya Mas. Akhirnya hilang juga ulat bulu di rumah ini," sindirku."Ya, iyalah. Mana betah aku tinggal lama-lama di rumah yang kecil begini. Kalau Mbak sih betah-betah saja. Toh tidak punya duit buat beli rumah mewah."Aku berdehem pelan. Jika disinggung masalah harta, biarkan saja. Aku tak mau menunjukkan uang yang berhasil aku tabung dari pekerjaanku sendiri.Semua itu ada waktunya."Hus, jangan bicara begitu, Nia! Rumah yang kamu hina ini adalah milik Mas." "Eh, maaf Mas. Ayo kita pergi sekarang."Nia dan Mas Arifin berlalu. Aku hanya memperhatikan. Setelah ini pastinya Mas Arifin bisa dengan bebas bersenang-senang dengan Nia. .Siang berganti malam ....Benar saja, Mas Arifin belum juga pulang. Aku tak peduli dengan kehadi
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 12.***Menyerocos mulut Nia tanpa henti. Bahkan Mas Arifin seperti seeokor tikus yang siap diterkam kucing. Menununduk dan tak berani mengangkat wajah lagi. Ini giliranku beraksi."Jadi ternyata yang Nia katakan adalah benar, Mas? Pernikahan kalian memang sudah direncanakan? Mas keterlaluan, pendusta dan mata keranjang," ucapku dengan memainkan nada suara agar terdengar sedih."Suami seperti Mas Arifin ini tidak akan puas dengan satu atau dua istri. Aku ingin memberi pelajaran pada senjatanya agar tak berani nakal di luaran lagi," sambung Nia.Mataku melotot tak percaya mendengar ucapan Nia.Dari tadi aku terus menahan tawa. Nia selain mudah dimanfaatkan, ternyata dia juga kejam.Aku semakin bersemangat. Kulipat kedua tangan di dada, kini tinggal duduk manis menyaksikan adegan bak film drama rumah tangga."A--ampun!"Mas Arifin lari terbirit-birit ke dalam kamar. Dikuncinya dan tak bisa Nia masuk.Aku turut mengahmpiri untuk memberikan kunci
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 13.***Aku berbelanja ditemani Eza. Namun, tak begitu lama. Karena sosok Eza sangat menjaga pandangan orang lain terhadapnya. Apa lagi Eza tahu, kalau statusku sudah berkeluarga.Setelah selesai semua yang aku beli, kini aku bergegas pulang. "Mbak Lita!" teriak seseorang.Aku menoleh, dan ternyata itu adalah Nia.Sedang apa dia di pasar? "Mbak Lita, tadi aku sempat melihat lelaki yang bersamamu itu. Siapa dia? Pacar baru Mbak Lita, ya?" Nia mengedip-ngedipkan matanya sambil bicara."Bukan, dia teman sekolahku dulu," jawabku seadanya."Wah, dia tampan juga Mbak. Walau tak setampan Mas Arifin," ucap Nia pula.Aku hanya berdehem pelan, sembari menjauh. Kulihat wajah Nia kesal, mungkin karena aku yang tak terlalu meresponnya.Bagiku basa-basi begitu hanya membuang waktu saja..Sampai di rumah, ternyata ada Mas Arifin.Besar juga nyali suamiku ini. Ya, sekarang statusnya masih suamiku."Mau apa kamu ke sini, Mas?" tanyaku sinis."Santai dong,
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 14.***Setelah selesai membuat rencana dengan Tante Misna. Kini aku bergegas pulang. Tak lupa aku membelikan makanan untuk Ayah dan Salman. Karena tadi aku belum masak, pasti sekarang Salman sudah pulang..Sampai di rumah."Bu, dari mana?" tanya Salman cemberut."Beli makanan kesukaan Salman," jawabku sembari memarkan dua kresek belanjaan."Asyik!" teriaknya yang seketika jadi girang.Kami bertiga makan bersama. Di setiap nasi yang masuk dalam tenggorokanku, betapa tak terasa nikmatnya. Hatiku tengah panas, bukan karena Mas Arifin sudah menyetujui perpisahannya denganku. Melainkan, aku geram dengan segala hinaannya."Lit, kenapa Nak?" Ayah sepertinya peka dengan perasaanku."Gapapa, Yah""Jangan menutupi dari Ayah," ucapnya pula.Aku berdehem pelan, kemudian berkata. "Mas Arifin, dia bilang jika Lita tak mampu menghidupi Salman, maka dia akan mengambil Salman dari Lita. Mas Arifin sombong sekali, Lita mau membuktikan padanya, kalau Lita b
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 15***Aku semakin fokus menyaksikan pertengkaran Nia dan Melda. Dua wanita yang perangainya tak jauh beda.Sudah tahu status Mas Arifin beristri tapi masih juga dipertahankan. Menyedihkan, seperti tak ada pria lain saja di dunia ini."Beraninya kau menghina saya! Apa kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa?! Setelah ini saya pastikan kau akan segera membusuk di sel tahanan. Saya akan melaporkanmu!" hardik Nia sambil mengancam.Asisten rumah tangga Nia tampak gelisah dan bingung. Sedari tadi ia terlihat mondar-mandir ingin menengahi, tapi seperti ragu-ragu."Kamu kira saya takut? Sadar diri dong, ngaca itu muka. Kalau duitmu banyak, harusnya buat gigimu itu masuk ke dalam," cibir Melda lagi.Nia semakin geram, detik berikutnya Nia maju ke arah Melda dan menarik kasar rambutnya."Argh!" jerit Melda terseret karena tarikan Nia yang begitu kencang."Rasakan, kau jal*ng! Beraninya membangunkan srigala di dalam rumahnya sendiri!"Plak!Plak!Du