Judul: Undangan pernikahan suamiku.
Part: 1.
"Bu, ada undangan!" teriak Salman, Putra semata wayangku.Aku pun langsung keluar menghampiri, Salman. "Siapa yang ngantar, Nak?" tanyaku sambil meraih undangan itu."Gak tahu, Bu. Tadi Salman dapat di bawah pintu."Aku bergeming mendengar penjelasan Salman. Perlahan kubuka, dan kubaca. Tertulis dua nama mempelai pengantin.Nia Surtia dan Arifin Ilham."Namanya sama seperti nama Bapak, ya, Bu." Lagi-lagi aku terdiam. Entah kenapa bisa kebetulan begini. Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak. Terlebih lagi, aku tidak mengenal nama mempelai wanita itu, dan Arifin Ilham, aku juga tak punya kenalan dengan nama itu selain suamiku.Penasaran aku dengan undangan misterius yang putraku temukan di balik pintu.Aku berniat menghadiri acara itu besok. Mungkin saja salah satu temanku memakai nama baru. Ya, mungkin saja.Akan tetapi besok aku tak bisa pergi bersama Mas Arifin. Karena suamiku itu sedang ke luar kota untuk beberapa hari.***Hari berganti ....Aku dan Salman sudah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Nia, entah Nia siapa. Aku pun tak tahu.Jaraknya tak terlalu jauh dari rumahku. Hanya berkisaran tiga puluh menit saja.Kini kupesan sebuah taksi. Kami pun segera meluncur.Di perjalanan kugenggam erat tangan kecil Salman. Entah kenapa hatiku berdebar tak menentu."Tangan Ibu dingin banget," ucap Salman, putraku yang saat ini berusia 10 tahun.Aku hanya tersenyum tanpa merespon ucapannya.Setelah menempuh jarak yang kusebutkan tadi, akhirnya aku pun tiba di depan rumah mewah yang telah ramai tamunya.Aku dan Salman segera turun, tambah gemetar langkahku saat menuju rumah itu.Kugenggam lagi tangan Salaman, kami pun melangkah bersamaan.Di depan pintu masuk."Saya terima nikah dan kawinnya, Nia Surtia binti Ridwan Hidayat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai," ucap pengantin laki-laki itu.Sah-sah-sah ....Bergema suara para saksi di ruangan tersebut. Aku belum melihat wajah kedua pengantin itu.Kuhampiri mereka lebih dekat, dan saat aku memandang wajah sang pengantin ...."Mas Arifin ...." Air mataku menetes."Bapak!" teriak Salman.Semua tamu riuh melihat kehadiran kami, serta teriakan putraku.Bersambung.Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 2***"Mas, usir mereka! Jangan membuat malu diacara kita ini," ucap wanita berkebaya merah muda itu.Mas Arifin berdiri, kemudian mendekat ke arahku dan Salman.Ditariknya tanganku agar segera keluar. "Lepas, Mas! Kau keterlaluan!" hardikku.Mas Arifin tak peduli, aku tetap ditarik paksa hingga sampai di luar ruangan. Putraku Salman berlari mengejar langkahku."Nanti Mas akan jelaskan di rumah. Sekarang pulanglah! Bawa Salman, dan jangan sampai putra tampan kita mendengar hal yang seharusnya tak ia dengar."Aku membuang napas kasar menerima perintah suamiku. Tanpa membantah, akhirnya aku membawa Salman berlalu.Hatiku remuk, pengabdianku sudah dikhianati. Mas Arifin yang 12 tahun silam mengucap janji sakral di hadapan kedua orang tuaku, kini telah mendua. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak terjatuh lagi. Aku tak mau Salman turut merasa sedih.Taksi yang kami tumpangi melaju dengan cepat. Sepanjang perjalanan aku bergeming. Bahkan pu
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 3***Malam pun tiba, Mas Arifin benar-benar tidak tidur dengan Nia. Karena saat ini ia sudah mendengkur di dalam kamarku.Ada perasaan lega di hatiku. Namun, tetap saja aku tak bisa tenang. Biar bagaimanapun Nia juga istri Mas Arifin. Lama kelamaan, tentunya Nia menuntut haknya..Pagi harinya, aku bangun seperti biasa. Lebih awal dari Mas Arifin dan Salman. Semua sarapan sudah kusediakan. Bahkan Nia belum terlihat batang hidungnya. "Dasar anak orang kaya yang manja. Bisa-bisanya masih molor di rumah orang," gumaku."Siapa yang molor, Mbak?" Aku berlonjak kaget saat menoleh ke arah suara. Ternyata Nia sudah berdiri di belakangku.Matanya melototiku, berbeda saat ada Mas Arifin. Nia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Lalu pagi ini?"Mbak aku lapar," ucap Nia melengos ingin mengambil makanan yang sudah aku siapkan."Hus! Gak sopan kamu! Tunggu sampai Mas Arifin bangun. Pantas saja calon suamimu pergi kabur, mungkin dia ilfeel dengan sika
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 4***Saat aku duduk merenung di dalam kamarku, tiba-tiba ponsel milikku berdering.Sebuah panggilan dari satpam sekolah Salman. Seperti biasa, Pak Agus itu pasti meneleponku ketika Salman sudah waktunya pulang."Mbak Lita, Salman sudah menunggu untuk dijemput," ucapnya."Baik, Pak. Saya langsung ke sana."Sambungan kuputus, kemudian aku langsung meraih kunci motorku.Ya, aku hanya memiliki motor saja saat ini. Sedangkan mobil, adalah milik Mas Arifin. Aku tak pernah menuntut untuk dibelikan mobil juga. Karena aku berniat membelinya dengan uang hasil kerja kerasku sendiri."Aduh, motor butut itu udah gak layak pakai," cibir Nia saat aku hendak mengengkol motorku.Satu kali ... dua kali ... tiga kali, barulah motor tuaku menyala. Aku melajukannya dengan pelan. Tak kuhiraukan ucapan Nia. Aku akan membuat perhitungan nanti saja. Nia dan keluarganya akan menyesal karena telah berani bermain-main denganku.Mereka tak tahu, jika aku suka latihan pe
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 5***Ketika hari semakin gelap. Aku dan Mas Arifin naik ke atas ranjang untuk tidur, setelah usai makan malam.Cukup lama aku memperhatiakan wajah Mas Arifin. Suamiku ini memang mudah terlelap ketika kepalanya menemukan bantal.Akhirnya aku pun ikut memejamkan mata..Beberapa jam kemudian aku terbangun karena hendak buang air kecil. Namun, Mas Arifin tak ada di sampingku.Kutatap jam dinding yang ada di dalam kamar. Ternyata baru pukul 01:25. Kemana perginya Mas Arifin?Aku melangkah ke dalam kamar mandi, setelah selesai. Aku pun keluar mencari keberadaan Mas Arifin.Ruang pertama yang aku datangi, adalah dapur. Mungkin Mas Arifin haus, karena biasanya aku selalu menyiapkan segelas air putih di kamar. Namun, malam ini aku lupa.Nihil.Mas Arifin tak ada di dapur. Hatiku mulai gelisah. Pikiran burukku mulai meracuni isi kepala.Jangan-jangan ....Aku langkahkan kakiku menuju kamar Salman, kubuka perlahan. Tak ada juga di sana.Tidak salah lag
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 6***POV Arifin.Pagi ini sengaja aku mengajak Salman keluar, karena aku tak mau terlalu lama di rumah. Lita bisa saja terus mengintrogasiku.Aku beruntung semalam tak kepergok oleh Lita. Kalau tidak, bisa-bisa dipatahkan leherku oleh ayahnya yang guru silat itu, jika Lita sampai mengadu.Nasib mujur masih berpihak padaku. Saat Lita menuju kamar Salman, aku sudah selesai dengan permainanku di dalam kamar Nia. Akhirnya aku bergegas keluar, dan segera mengintai Lita dari ruang tengah. .Sepanjang perjalanan menuju mall, aku memikirkan cara untuk tetap bisa bersandiwara. Bahkan berita pernikahanku dengan Nia sudah sampai ke telinga mertua. Aku yakin, pasti mereka tak lama lagi datang ke rumah untuk bertanya.Saat ini aku harus bisa berlindung dari Lita. Intinya aku akan membuat Lita percaya sepenuhnya padaku."Pak, Salman mau beli tas baru," ujar putraku."Baiklah, sayang. Salman boleh beli apa pun yang Salman mau.""Asyik!" Salman bersorak ri
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 7***Saat Mas Arifin meminta izin untuk keluar, aku tahu pasti dia sedang menyembunyikan sesuatu. Terlebih lagi Nia juga beralasan ingin pulang ke rumah.Jika aku dari semula tak tahu permainan mereka, mungkin saja aku bisa terpedaya. Namun, aku sudah membaca semua kebusukan dua manusia tak punya nurani itu.Sakit hati?Tentu saja. Aku hanya wanita biasa. Munafik sekali jika kukatakan aku baik-baik saja.12 tahun bukan waktu yang singkat. Selama ini aku mengira Mas Arifin adalah suami yang sempurna. Kesederhanaan yang Mas Arifin berikan, sudah sangat aku syukuri. Aku tak menuntut lebih. Hingga kebutuhan semakin membesar, aku memutuskan untuk membantunya dalam mencari rezeki.Namun, tak kusangka Mas Arifin tega mendua. Apa pun alasannya, tetap saja aku tak akan terima.Ingin rasanya hari ini aku pulang ke rumah orang tua. Akan tetapi tak puas hatiku sebelum membalas mereka.Drrrrrngg ... Drrrnggg....Bel rumahku berbunyi, aku bergegas membuka
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 8***Setelah menjemput Salman, aku pun kembali mendekati Nia. Namun, sebelum itu, tentunya aku menyuruh putra tampanku masuk ke dalam kamar dulu."Nia, apa kau tak mau mengundang orang tuamu makan malam di sini?" tanyaku."Kok kayak ada udang di balik batu ya, Mbak." Nia menyindirku.Nia benar-benar tidak bisa diremehkan. Otaknya berjalan cukup lancar."Gak ada untungnya juga kok. Aku cuma sekedar basa-basi aja. Lagi pula, biasanya aku selalu mengundang Ayahku ke sini saat awal-awal menikah dulu," ucapku memanasi."Hem, aku juga bisa mengundang Ayahku ke sini. Bahkan aku akan membuat jamuan yang mewah."Akhirnya terpancing juga anak orang kaya itu. Aku tersenyum getir. Sudah aku siapkan semua rencanaku untuk menyambut Om Ridwan..Waktu berjalan ....Mas Arifin pulang dari kantor, kemudian langsung masuk ke dalam kamar.Aku sudah tak peduli, biasanya aku memang selalu menyusulnya untuk membantu menaruhkan jas, dan tas kerjanya. Namun, sekaran
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 9.***"Maaf, Ayah! I-itu hanya salah paham." Semakin gelabakan Mas Arifin di hadapan mertuanya. Suasana sudah memanas, aku pun membisikkan Salman untuk membawa makanannya ke dalam kamar. Putraku itu selalu menurut, tak pernah aku berkata dua kali padanya."Ayah, sudahlah! Apa pun yang Mas Arifin coba katakan pada Mbak Nia, itu hanya untuk menenangkan Mbak Nia saja. Mas Arifin tidaklah bersungguh-sungguh dalam ucapannya," papar Nia.Wah, maduku ini memang luar biasa. Dia masih bersikeras membela Mas Arifin.Aku semakin yakin, bahwa pernikahan mereka memang sudah direncanakan."Diam! Masalah ini bukan masalah sepele. Kalian sudah mempermainkan kejujuran. Jika Lita tak ridho maka pernikahan ini diselesaikan saja," sambung Bunda Nia.Aku cukup terharu. Ternyata keluarga Nia tak seperti yang kubayangkan."Nak Lita, maafkan kami. Sebenarnya memang kami meminta Arifin untuk menggantikan pernikahan Nia yang batal. Namun, sebelumnya kami juga menyur