Judul: Undangan pernikahan suamiku
Part: 2
***"Mas, usir mereka! Jangan membuat malu diacara kita ini," ucap wanita berkebaya merah muda itu.Mas Arifin berdiri, kemudian mendekat ke arahku dan Salman.Ditariknya tanganku agar segera keluar. "Lepas, Mas! Kau keterlaluan!" hardikku.Mas Arifin tak peduli, aku tetap ditarik paksa hingga sampai di luar ruangan. Putraku Salman berlari mengejar langkahku."Nanti Mas akan jelaskan di rumah. Sekarang pulanglah! Bawa Salman, dan jangan sampai putra tampan kita mendengar hal yang seharusnya tak ia dengar."Aku membuang napas kasar menerima perintah suamiku. Tanpa membantah, akhirnya aku membawa Salman berlalu.Hatiku remuk, pengabdianku sudah dikhianati. Mas Arifin yang 12 tahun silam mengucap janji sakral di hadapan kedua orang tuaku, kini telah mendua. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak terjatuh lagi. Aku tak mau Salman turut merasa sedih.Taksi yang kami tumpangi melaju dengan cepat. Sepanjang perjalanan aku bergeming. Bahkan putraku pun tidak berkata apa-apa.Sampai di rumah, aku langsung duduk tersandar di sofa. Salman meraih tanganku dan mengusap pundakku layaknya orang dewasa.Aku terpana, sambil kutatap bola mata polosnya. Tak kusangka, air mata Salman jatuh berderai membasahi pipi putihnya."Bu, kenapa Bapak kawin lagi?" Degh!Pertanyaan Salman itu diluar dugaanku. Air mata yang aku coba tahan, akhirnya lolos seketika. "Ibu tak tahu, Nak. Kita tunggu saja sampai Bapak pulang nanti," ucapku sambil meraih tubuh kurusnya dalam pelukkanku.***Waktu berjalan.Aku sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Hari ini seharusnya aku libur membuat kue. Namun, karena pikiranku yang sedang kacau, akhirnya aku memutuskan untuk tetap membuat kue pengantin, serta kue ulang tahun. Apa lagi orderan semakin hari, semakin banyak.Seketika tanganku berhenti bekerja saat bel rumah ini berbunyi. Debar di dadaku seakan menerima tamu seorang penjahat. Aku gugup, lututku mendadak lemas. Cukup lama aku terpaku tanpa berbegerak, hingga bel itu ditekan berulang-ulang kali.Kulihat Salmanku yang membukakan pintu."Bapak!" Teriakkan Salman dapat aku dengar dari dapur. Mas Arifin sudah pulang. Aku segera ke depan untuk menyambutnya. Namun, aku lupa, bahwa saat ini kepulangan suamiku tak sendiri lagi. Ada wanita lain yang ia bawa serta."Lita," lirih Mas Arifin mencoba meraih tanganku.Dengan sigap aku menepis sentuhan Mas Arifin."Salman sayang, pergilah masuk ke kamar, Nak!" Putraku menurut, dan segera berlalu. Kini aku duduk di sofa, diiringi dengan Mas Arifin, dan Nia. Kuperhatikan fisik istri muda suamiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak ada yang istimewa, bahkan wajahnya terkesan biasa-biasa saja. Jika dibandingkan denganku yang sudah beranak satu, aku masih unggul daripadanya.Lalu apa yang membuat Mas Arifin tergoda?"Berani sekali Mas membawa pelakor ini ke rumah," ujarku datar.Nia menunduk tak berani mengangkat wajahnya."Jangan bicara begitu, sayang. Ini sudah terjadi, lagi pula berpoligami bukanlah hal yang dilarang. Mas berharap dirimu bisa rukun dan damai bersama Nia," papar Mas Arifin.Aku tersenyum getir mendengar ucapannya. Sungguh laki-laki, tak pernah mengerti perasaan wanita."Tapi Mas menikah tanpa seizinku. Dan satu hal lagi, apa alasanmu menikahi wanita ini Mas?""Maafkan Mas, Lita. Nia adalah putri dari pemilik perusahaan tempat Mas bekerja. Sebenarnya Nia akan menikah dengan Rio, tetapi Rio malah menghilang tiga hari sebelum tanggal pernikahannya. Pak Ridwan tak mau menahan malu karena rumor pernikahan putrinya sudah tersebar. Akhirnya beliau meminta Mas yang menggantikan Rio."Aku bergeming. Itu artinya suamiku tidak berselingkuh. Akan tetapi kenapa harus Mas Arifin yang menikahi Nia?Bukankah mereka bisa mencari laki-laki lain yang masih single? Kenapa memilih seorang laki-laki yang sudah beristri seperti Mas Arifin?"Apa tidak ada pemuda lain yang mau menikahimu? Hingga kau dan Ayahmu harus menunjuk suamiku?" Aku sungguh geram, akhirnya lepas sudah kendaliku. Nia menangis dan semakin menunduk. Tak ada perlawanan yang terucap dari Nia. Hanya isakan tangis yang terdengar bergema dalam ruang tamuku."Sudah, Lita! Jangan menghakimi Nia. Dia masih berduka karena kepergian Rio. Lagi pula, Mas dan Nia sudah sepakat untuk tidur terpisah. Mas hanya memintamu supaya bisa akur di dalam rumah. Mas hanya mencintaimu, tak ada ruang untuk perempuan lain. Pernikahan Mas dengan Nia hanyalah sebagai sandiwara saja."Ada sinar cahaya yang menyelinap masuk dalam hatiku saat mendengar pengakuan Mas Arifin. Perlahan aku pun mengerti.Namun, aku masih penasaran siapa pengirim undangan itu?Jika pernikahan suamiku dan Nia hanya sebatas perjanjian saja, tentunya undangan itu bukan mereka berdua yang mengirimnya. Bersambung.Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 3***Malam pun tiba, Mas Arifin benar-benar tidak tidur dengan Nia. Karena saat ini ia sudah mendengkur di dalam kamarku.Ada perasaan lega di hatiku. Namun, tetap saja aku tak bisa tenang. Biar bagaimanapun Nia juga istri Mas Arifin. Lama kelamaan, tentunya Nia menuntut haknya..Pagi harinya, aku bangun seperti biasa. Lebih awal dari Mas Arifin dan Salman. Semua sarapan sudah kusediakan. Bahkan Nia belum terlihat batang hidungnya. "Dasar anak orang kaya yang manja. Bisa-bisanya masih molor di rumah orang," gumaku."Siapa yang molor, Mbak?" Aku berlonjak kaget saat menoleh ke arah suara. Ternyata Nia sudah berdiri di belakangku.Matanya melototiku, berbeda saat ada Mas Arifin. Nia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Lalu pagi ini?"Mbak aku lapar," ucap Nia melengos ingin mengambil makanan yang sudah aku siapkan."Hus! Gak sopan kamu! Tunggu sampai Mas Arifin bangun. Pantas saja calon suamimu pergi kabur, mungkin dia ilfeel dengan sika
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 4***Saat aku duduk merenung di dalam kamarku, tiba-tiba ponsel milikku berdering.Sebuah panggilan dari satpam sekolah Salman. Seperti biasa, Pak Agus itu pasti meneleponku ketika Salman sudah waktunya pulang."Mbak Lita, Salman sudah menunggu untuk dijemput," ucapnya."Baik, Pak. Saya langsung ke sana."Sambungan kuputus, kemudian aku langsung meraih kunci motorku.Ya, aku hanya memiliki motor saja saat ini. Sedangkan mobil, adalah milik Mas Arifin. Aku tak pernah menuntut untuk dibelikan mobil juga. Karena aku berniat membelinya dengan uang hasil kerja kerasku sendiri."Aduh, motor butut itu udah gak layak pakai," cibir Nia saat aku hendak mengengkol motorku.Satu kali ... dua kali ... tiga kali, barulah motor tuaku menyala. Aku melajukannya dengan pelan. Tak kuhiraukan ucapan Nia. Aku akan membuat perhitungan nanti saja. Nia dan keluarganya akan menyesal karena telah berani bermain-main denganku.Mereka tak tahu, jika aku suka latihan pe
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 5***Ketika hari semakin gelap. Aku dan Mas Arifin naik ke atas ranjang untuk tidur, setelah usai makan malam.Cukup lama aku memperhatiakan wajah Mas Arifin. Suamiku ini memang mudah terlelap ketika kepalanya menemukan bantal.Akhirnya aku pun ikut memejamkan mata..Beberapa jam kemudian aku terbangun karena hendak buang air kecil. Namun, Mas Arifin tak ada di sampingku.Kutatap jam dinding yang ada di dalam kamar. Ternyata baru pukul 01:25. Kemana perginya Mas Arifin?Aku melangkah ke dalam kamar mandi, setelah selesai. Aku pun keluar mencari keberadaan Mas Arifin.Ruang pertama yang aku datangi, adalah dapur. Mungkin Mas Arifin haus, karena biasanya aku selalu menyiapkan segelas air putih di kamar. Namun, malam ini aku lupa.Nihil.Mas Arifin tak ada di dapur. Hatiku mulai gelisah. Pikiran burukku mulai meracuni isi kepala.Jangan-jangan ....Aku langkahkan kakiku menuju kamar Salman, kubuka perlahan. Tak ada juga di sana.Tidak salah lag
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 6***POV Arifin.Pagi ini sengaja aku mengajak Salman keluar, karena aku tak mau terlalu lama di rumah. Lita bisa saja terus mengintrogasiku.Aku beruntung semalam tak kepergok oleh Lita. Kalau tidak, bisa-bisa dipatahkan leherku oleh ayahnya yang guru silat itu, jika Lita sampai mengadu.Nasib mujur masih berpihak padaku. Saat Lita menuju kamar Salman, aku sudah selesai dengan permainanku di dalam kamar Nia. Akhirnya aku bergegas keluar, dan segera mengintai Lita dari ruang tengah. .Sepanjang perjalanan menuju mall, aku memikirkan cara untuk tetap bisa bersandiwara. Bahkan berita pernikahanku dengan Nia sudah sampai ke telinga mertua. Aku yakin, pasti mereka tak lama lagi datang ke rumah untuk bertanya.Saat ini aku harus bisa berlindung dari Lita. Intinya aku akan membuat Lita percaya sepenuhnya padaku."Pak, Salman mau beli tas baru," ujar putraku."Baiklah, sayang. Salman boleh beli apa pun yang Salman mau.""Asyik!" Salman bersorak ri
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 7***Saat Mas Arifin meminta izin untuk keluar, aku tahu pasti dia sedang menyembunyikan sesuatu. Terlebih lagi Nia juga beralasan ingin pulang ke rumah.Jika aku dari semula tak tahu permainan mereka, mungkin saja aku bisa terpedaya. Namun, aku sudah membaca semua kebusukan dua manusia tak punya nurani itu.Sakit hati?Tentu saja. Aku hanya wanita biasa. Munafik sekali jika kukatakan aku baik-baik saja.12 tahun bukan waktu yang singkat. Selama ini aku mengira Mas Arifin adalah suami yang sempurna. Kesederhanaan yang Mas Arifin berikan, sudah sangat aku syukuri. Aku tak menuntut lebih. Hingga kebutuhan semakin membesar, aku memutuskan untuk membantunya dalam mencari rezeki.Namun, tak kusangka Mas Arifin tega mendua. Apa pun alasannya, tetap saja aku tak akan terima.Ingin rasanya hari ini aku pulang ke rumah orang tua. Akan tetapi tak puas hatiku sebelum membalas mereka.Drrrrrngg ... Drrrnggg....Bel rumahku berbunyi, aku bergegas membuka
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 8***Setelah menjemput Salman, aku pun kembali mendekati Nia. Namun, sebelum itu, tentunya aku menyuruh putra tampanku masuk ke dalam kamar dulu."Nia, apa kau tak mau mengundang orang tuamu makan malam di sini?" tanyaku."Kok kayak ada udang di balik batu ya, Mbak." Nia menyindirku.Nia benar-benar tidak bisa diremehkan. Otaknya berjalan cukup lancar."Gak ada untungnya juga kok. Aku cuma sekedar basa-basi aja. Lagi pula, biasanya aku selalu mengundang Ayahku ke sini saat awal-awal menikah dulu," ucapku memanasi."Hem, aku juga bisa mengundang Ayahku ke sini. Bahkan aku akan membuat jamuan yang mewah."Akhirnya terpancing juga anak orang kaya itu. Aku tersenyum getir. Sudah aku siapkan semua rencanaku untuk menyambut Om Ridwan..Waktu berjalan ....Mas Arifin pulang dari kantor, kemudian langsung masuk ke dalam kamar.Aku sudah tak peduli, biasanya aku memang selalu menyusulnya untuk membantu menaruhkan jas, dan tas kerjanya. Namun, sekaran
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 9.***"Maaf, Ayah! I-itu hanya salah paham." Semakin gelabakan Mas Arifin di hadapan mertuanya. Suasana sudah memanas, aku pun membisikkan Salman untuk membawa makanannya ke dalam kamar. Putraku itu selalu menurut, tak pernah aku berkata dua kali padanya."Ayah, sudahlah! Apa pun yang Mas Arifin coba katakan pada Mbak Nia, itu hanya untuk menenangkan Mbak Nia saja. Mas Arifin tidaklah bersungguh-sungguh dalam ucapannya," papar Nia.Wah, maduku ini memang luar biasa. Dia masih bersikeras membela Mas Arifin.Aku semakin yakin, bahwa pernikahan mereka memang sudah direncanakan."Diam! Masalah ini bukan masalah sepele. Kalian sudah mempermainkan kejujuran. Jika Lita tak ridho maka pernikahan ini diselesaikan saja," sambung Bunda Nia.Aku cukup terharu. Ternyata keluarga Nia tak seperti yang kubayangkan."Nak Lita, maafkan kami. Sebenarnya memang kami meminta Arifin untuk menggantikan pernikahan Nia yang batal. Namun, sebelumnya kami juga menyur
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 10.***Nia tersenyum senang mendengar ucapan mertua. Sedangkan aku semakin geram."Bukankah Mama sendiri, memilih bercerai dari pada dimadu?" Aku sengaja mengungkit masalah rumah tangga Mama. Karena beliau pun sudah mengalami, bagaimana rasanya diduakan. Lalu sekarang, bisa-bisanya Mama meminta aku menerima Nia."Jangan mengungkit luka lama, Lit. Mama tak mau mengingat hal itu lagi," ucap Mama."Kenapa, Ma? Sakit ketika mengingatnya? Lalu bagaimana dengan perasaanku saat ini?"Mertuaku bergeming, matanya berkaca-kaca. Sepertinya ucapanku berhasil mengahantam hatinya."Mbak Lita ini memang keterlaluan! Bisa-bisanya, Mbak membuat Mama bersedih dengan ucapan lancang Mbak itu!" hardik Nia.Oh, maduku ingin mencari muka.Baiklah, aku akan ikuti permainannya."Tak apa, Nia. Lita berhak bicara begitu. Mama memang pernah mengalaminya. Namun, ini beda."Beda pula dibilangnya. Ah, mertuaku ini lama-lama jadi menyebalkan juga."Bedanya?" tanyaku singka