Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya.
"Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.
Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya.
"Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu.
"Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk membalas kebaikan Papa," sahut Amel.
"Kamu tinggal kuliah aja yang bener, membalas kebaikan Papa bisa nanti-nanti, Amel. Toh, Papa juga masih sehat, masih bisa meng-handle semuanya kok, jangan khawatir!" ucap Papa.
Sejenak, Amel merasa kagum kepada laki-laki yang tengah duduk di hadapannya itu. Laki-laki itu selalu saja bisa membuatnya nyaman. Ia bahkan ragu, akankah ada laki-laki lain yang bisa membuatnya nyaman seperti ini?
"Pa, sebentar lagi, aku bersedia untuk menikah dengan Lino. Kata Mama, itu akan memperbaiki kondisi keuangan kita kan? Aku juga dengar, kalau keluarga Lino itu sangat kaya dan memiliki banyak relasi. Aku harap, dengan begitu, aku bisa meringankan beban Papa nantinya," ucap Amel sembari mengulas senyumnya. Pria di hadapannya lantas mengerjapkan matanya berkali-kali.
"Jadi, kamu beneran mau menikah dengan laki-laki yang dijodohkan oleh mama kamu itu?" Pria itu menaikkan sebelah alisnya.
"Iya, Pa," sahut Amel sembari menganggukkan kepalanya.
Pria itu berjalan mendekati Amel, kemudian menepuk bahu Amel menggunakan kedua tangannya.
"Tatap mata Papa," pinta pria berkacamata itu.
Amel menuruti permintaan pria itu. Kedua matanya lantas menatap mata pria itu lekat-lekat. Entah mengapa, hati Amel tiba-tiba terasa seperti tersayat. Dalam tatapan pria itu, seolah ada luka yang sengaja ditutup rapat.
"Jika kamu tidak menyukainya, kamu boleh menolaknya, Amel. Bagi Papa, kebahagiaan putri semata wayang Papa, itu lebih penting. Papa janji, Papa akan berusaha lebih keras lagi supaya kondisi keuangan kita membaik sama seperti dulu lagi," ucap pria itu.
Amel berusaha menahan air matanya sekuat tenaga. Dalam hatinya, ia sangat tidak terima jika harus menikah dengan orang semenyebalkan Lino. Namun, di sisi lain, ia pun tidak ingin membuat papanya harus bekerja lebih keras. Jujur saja, Amel lebih takut jika kondisi kesehatan ayahnya akan memburuk jika terlalu dipaksa untuk menjadi gila kerja.
"Hahaha hanya menikah doang kok, Pa. Lagipula, Lino kan baik, ganteng, idola cewek-cewek di sekolah Amel. Harusnya Amel bersyukur kalau ada kesempatan buat menikah dengan dia, menjalin hubungan serius dengan dia. Apalagi, dengan menikah dengan Lino, itu akan bisa menjadi penyangga bisnis kita kan, Pa. Pasti keluarga Lino bakal bantu kita, supaya perusahaan keluarga kita tidak bangkrut," sahut Amel sembari menyunggingkan senyumnya. Lagi-lagi, tepukan tangan Papa sukses membuat Amel tersadar.
"Amel, menikah itu bukan hal yang bisa dibuat untuk bermain-main. Tidak seperti pacaran, yang kalau sudah bosan, bisa diakhiri dengan mudah. Dalam suatu pernikahan, tidak boleh ada kata bosan di dalamnya, sebab yang dijaga bukan lagi dua hati, tetapi hati dari dua keluarga, Amel," ucap Papa.
"Setelah menikah, kamu tidak akan bisa sebebas sekarang. Setelah menikah, Lino akan memiliki hak untuk mengatur hidup kamu. Apa kamu siap? Dari kecil, Papa selalu berusaha memberikan kamu kebebasan, Papa takut, kamu akan sulit menerima itu semua, Amel. Semuanya akan menjadi sangat berbeda setelah kamu menikah," imbuh Papa.
Untuk sekejap, Amel tidak bisa berkata-kata. Ucapan Papa ada benarnya. Selama ini, Amel selalu bebas melakukan hal apapun. Namun, Amel segera menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh membatalkan perjodohan ini begitu saja. Amel sudah telanjur menyetujuinya. Juga, demi Papa. Demi keberlangsungan hidup keluarganya juga.
"Amel paham, Pa. Papa tenang aja. Amel kan sekarang udah gedhe. Amel bisa memilih keputusan mana yang akan berdampak baik bagi Amel. Dan, inilah keputusan Amel. Amel mohon, hargai keputusan Amel ya, Pa," balas Amel sembari menggenggam kedua tangan pria itu.
"Kamu tahu? Patah hati terbesar bagi seorang ayah adalah ketika harus melepaskan putri yang sedari kecil dijaganya untuk dijaga oleh pria lain," bisik pria itu sembari memeluk tubuh Amel.
"Namun, Papa akan bahagia jika melihat kamu bahagia. Jadi, mohon tetap bahagia ya, Amel, demi Papa. Jika nantinya kamu tidak bahagia, langsung bilang ke Papa. Biar Papa yang akan mengurus semuanya, sebab kebahagiaan kamu adalah tanggung jawab Papa," sambung pria itu dengan suara yang terdengar serak.
"Iya, Pa. Pasti Amel akan bahagia kok, kan ini keputusan Amel juga hehehe," sahut Amel.
"Emm, kopinya diminum dulu, Pa, takutnya keburu dingin. Kalau udah dingin kan, rasanya gak seenak kalau diminum pas lagi hangat," ujar Amel sembari bergerak melepas pelukannya. Pria itu sejenak menatap ke atas, sebelum akhirnya terkekeh pelan dan beralih menikmati kopi buatan Amel.
"Ya sudah, kalau begitu, Amel ke kamar dulu ya, Pa! Tugas kuliah Amel masih banyak yang harus dikerjain!" izin Amel. Pria itu mengangguk pelan.
"Ya. Semangat belajarnya," ucap pria itu. Amel seketika mengembangkan senyumnya.
"Makasih, Pa. Amel permisi dulu!" pamit Amel sembari melangkahkan kakinya ke arah pintu.
Amel diam-diam menyandarkan dirinya pada pintu yang telah tertutup rapat. Tiba-tiba saja, ia teringat akan ucapan papanya tadi. Sejenak, ia menjadi ragu.
"Apa keputusan yang gue ambil sudah tepat?" pikir Amel.
"Namun, ini cara terbaik untuk bisa menyelamatkan perusahaan Papa. Gue gak tega kalau harus melihat Papa merasa bersalah ke gue dan Mama, kalau perusahaan benar-benar bangkrut. Gue juga gak mau, melihat Papa harus bekerja lebih keras hanya untuk membuat kondisi keuangan kembali stabil. Gue lebih takut, Papa akan jatuh sakit jika terlalu memaksakan diri," keluh Amel.
"Tapi, rasa sakit di hati gue, masih belum hilang. Jujur, gue masih benci banget sama Lino. Apa nanti, gue bisa hidup berdua dengan Lino? Setiap pagi, yang gue tatap adalah wajah Lino. Terus, apa kabar dengan hati gue nantinya?" Amel lantas memejamkan kedua matanya.
"Gak, gue gak boleh ragu! Setidaknya dengan menikah dengan Lino, gue gak harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko. Gue juga gak harus ngerasain ketika pagi-pagi buta diusir sama pemilik tokonya. Gue juga gak harus ngerasain, gimana sakitnya di drop out hanya gara-gara gak bisa bayar uang kuliah. Hah, Amel, semangat. Lo pasti bisa! Hidup itu memang harus penuh perjuangan, kalau gak berjuang, gak bisa hidup enak!" seru Amel menyemangati hatinya.
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke