Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe.
"Rendi!" seru wanita itu.
Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.
Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara.
"Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi.
"Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal.
"Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus sama Yia. Makanya gue dengan baik hati memperkenalkan Yia pada lo lagi," sahut Rendi dengan penuh rasa santai. Jika tidak ada Yia, Lino pasti sudah menyiramkan jus warna orennya ke muka Rendi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
"Lo ngapain di sini? Bukannya lo super duper sibuk, kenapa sempat-sempatnya datang ke kafe kayak gini?" ceplos Lino dengan raut wajah datar. Wanita itu pun segera mengibaskan rambutnya.
"Jelas dong gue sibuk, tapi demi teman, gue bakal datang. Emangnya kayak elo, udah janjian, tapi malah gak dateng!" sindir Yia dengan senyum miring menghiasi wajahnya.
"Weh, kapan gue janjian tapi gak datang! Coba jabarkan, kapan dan di mana letak kejadiannya!" tantang Lino.
"Di taman, pada hari di mana kita berdua putus!" sahut Yia penuh penekanan. Langsung saja, Lino memutar bola matanya.
"Kata siapa gue gak datang? Gue datang kok, walaupun telat. Salah lo sendiri, gak sabaran banget jadi orang! Gue gak suka banget sama cewek yang gak sabaran!" pekik Lino. Yia perlahan melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kalau gak suka, kenapa lo mau jadi pacar gue?" Satu alis terangkat di wajah Yia. Memang gadis ini, benar-benar membuat Lino mendadak bisa darah tinggi.
"Itu sebuah kesalahan. Bibir sama hati gue emang suka gak sinkron, jadi itu alasan kenapa gue nembak lo waktu itu," tegas Lino. Di sana, Rendi sudah mengukir senyuman lebarnya.
"Bibir sama hati gue emang suka gak sinkron. Hahaha, akhirnya gue menemukan kalimat ini keluar dari mulut lo, Lino!" sahut Rendi. Mendengar hal itu, Lino seketika membulatkan kedua matanya.
"Eh, bukan gitu maksud gue, Rendi! Kalau yang masalah Amel, itu emang bibir sama hati guenya yang pas lagi sinkron!" bantah Lino.
Yia mengamati Lino dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Diam-diam, ia kembali mengagumi pesona laki-laki di hadapannya itu.
"Orang bakal jauh lebih menawan kalau udah jadi mantan," pikir Yia dalam benaknya.
"By the way, setelah lo putus dari gue, lo udah punya pacar lagi?" tanya Yia sembari mendudukkan dirinya pada kursi yang menganggur.
Lino tampak asyik menyantap makanannya. Ia bahkan tak ingin menjawab pertanyaan wanita yang sudah memutuskannya secara sepihak itu.
"Bukan pacar lagi, tapi calon istrilah, Yia. Emangnya, lo belum dapat undangannya?" sela Rendi. Yia seketika membulatkan kedua matanya.
"A-apa? Lino mau nikah?" tanya Yia kaget. Mendengar hal itu, Rendi pun segera menganggukkan kepalanya.
"Sama siapa?" tanya Yia lagi.
"Sama …." Rendi menolehkan pandangannya ke arah Lino.
"Bukan urusan lo, lagipula kenapa lo kepo banget sih! Kita juga udah gak ada hubungan apa-apa!" ketus Lino. Yia seketika menghela napasnya kasar.
"Emangnya salah ya, kalau gue mau datang ke nikahannya mantan? Toh, kita pernah bermimpi untuk bersama walaupun gak jadi," sahut Yia dengan entengnya. Lino seketika tersenyum kecut.
"Sayangnya, gue gak suka ngelihat mantan datang ke pernikahan gue. Buat apa coba?" Lino menaik-turunkan kedua alisnya.
"Tapi, gue suka tuh datang ke pernikahannya mantan. Mantan itu teman, bukan musuh. Jadi, wajar dong kalau gue datang sebagai teman," sahut Yia. Mendengar hal itu, Lino seketika menghela napasnya.
"Rendi, gue balik duluan. Dan gue peringatin satu hal ya, jangan pernah lo sebarin lagi berita kalau gue mau nikah. Gue gak mau, ini jadi bahan publikasi!" peringat Lino.
Tanpa pikir panjang, Lino berjalan keluar dari area kafe. Setelah memastikan bahwa Lino memang tidak akan kembali lagi ke kafe, Yia pun seketika melemparkan tatapannya ke Rendi. Menuntut sebuah penjelasan.
"Alasan lo ngundang gue ke sini buat apa? Buat ngasih tahu kalau Lino mau nikah sama cewek lain?" tanya Yia sembari mengangkat sebelah alisnya. Mendengar hal itu, Rendi pun seketika menggelengkan kepalanya.
"Gue pengen lo perjuangin cinta lo, mumpung masih sempat," sahut Rendi.
"Maksud lo apa?" tanya Yia bingung.
"Dilihat dari tatapan lo pas ngelihat Lino, lo tuh sebenernya masih ada perasaan kan sama Lino. Gue cuma gak pengen lo nyesel aja. Nyesel ngelihat cowok yang lo sukai, nikah sama cewek lain," ujar Rendi.
"Lo mau berubah menjadi sok bijak ke gue, Ren? Lagian, mana ada cewek yang memperjuangkan cintanya? Lo pengen ngelihat gue dicap sebagai cewek agresif?!" pekik Yia. Langsung saja, Rendi menggelengkan kepalanya.
"Gue gak pengen lo nyesel, Yia. Mau gimana pun, gue sayang sama lo. Gue gak mau, lo merasakan penyesalan akibat lo terlalu gengsi untuk memperjuangkan perasaan lo," sahut Rendi.
"Tapi, elo yang bakal nyesel karena lo nyuruh gue buat memperjuangkan cinta gue ke Lino," bantah Yia.
"Gue gak akan nyesel, gue mau yang terbaik aja buat lo. Rebut balik Lino, gue gak papa," sahut Rendi. Mendengar hal itu, seketika Yia mengembangkan senyumnya. Ia pun dengan cepat memeluk tubuh Rendi.
"Apa lo mau bantu gue, Rendi?" tanya Yia. Detik itu juga, Rendi langsung menganggukkan kepalanya.
"Iyalah, Yia. Apa sih yang enggak buat seorang Yia," jawab Rendi.
Yia perlahan menatap Rendi lekat-lekat. Sesaat kemudian, ia mulai memajukan wajahnya ke wajah Rendi. Hingga tepi bibir mereka, saling menyatu untuk beberapa detik.
"Makasih, Rendi, lo emang yang terbaik," sahut Yia sembari tertawa kecil.
"Biasa aja sih. Gue kan mengenal lo sejak kecil, jelas gue tahu, kalau lo sebenarnya masih sangat menyukai Lino. Cuma ya, gengsi lo yang kegedean aja," ceplos Rendi.
"Tapi, hati gue kok jadi sakit ya, setelah bilang itu ke Yia. Harusnya kata-kata itu buat gue, gue yang harus perjuangin Yia! Ah sial!" racau hati Rendi sembari memandangi wajah Yia. Aura wanita yang ada di sampingnya ini, selalu sukses membuat Rendi terpikat dalam setiap detiknya.
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke