Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel.
"Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya.
"Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan.
"Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.
Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.
Sesampainya di sana, Lino segera mengulurkan sebuah helm kepada Amel. Tanpa basa-basi lagi, Amel bergegas memakaikan helm tersebut ke area kepalanya. Setelah memakai helm, ia segera membonceng di belakang Lino.
"Heh, No, lo gak ada niat buat batalin perjodohan kita apa?" tanya Amel ketika motor sport merah Lino telah melaju membelah jalan raya.
"Niat sih ada. Bahkan setiap detik, gue berdoa supaya gue gak berjodoh sama lo!" ceplos Lino. Sontak saja, Amel memukul punggung Lino.
"Rese amat sih lo jadi cowok! Gue juga pengennya sih, batalin perjodohan ini. But, gue gak bisa. Ah, kenapa gue bernasib buruk gini sih!" keluh Amel. Mendengar hal itu, Lino segera terkekeh pelan.
"Nasib lo baik karena yang bakal nikah sama lo tuh orangnya ganteng dan famous kek gue. Yang harusnya menyesal tuh gue, kenapa juga gue harus nikah sama cewek nyebelin, jelek, gak famous, suka ngeluh, dan gak ada bagus-bagusnya. Rugi tahu gak?!" pekik Lino.
"Ih rese amat sih lo!" omel Amel sembari memukul-mukulkan tangannya ke punggung Lino.
CHIIITTTT!Detik itu juga, Lino langsung mengerem motornya secara mendadak. Nyaris saja, ia menabrak seorang penjual cireng keliling yang tengah menyebrangi jalan.
"Ah maaf, Pak, maaf!" seru Lino kepada penjual cireng tersebut.
Namun, penjual cireng itu hanya menatap Lino sekilas dengan pandangan jengkel. Ia pun segera melanjutkan perjalanannya sembari merutuki Lino yang menunggangi motor secara sembarangan.
Saat akan melanjutkan perjalanannya, sekilas, Lino merasakan bahwa dadanya seperti sesak. Seseorang memeluknya erat dari belakang. Langsung saja, Lino mengalihkan pandangannya ke area perut. Benar saja, bisa ia lihat, tangan Amel tengah melingkari bagian perutnya.
"Kesempatan amat sih lo pakai meluk-meluk gue segala!" cibir Lino.
Detik itu juga, Amel langsung menyadari sesuatu. Ia segera mengambil alih kedua tangannya dan beralih mendorong Lino dengan penuh rasa kesal.
"Kalau boncengin gue tuh hati-hati! Gue itu barang paling berharga di keluarga gue, jadi jangan macam-macam apalagi sampai bikin gue lecet!" marah Amel. Mendengar hal itu, Lino pun langsung menolehkan kepalanya dan melemparkan tatapan tajamnya ke arah Amel.
"Kalau lo berharga, gak mungkin keluarga lo pakai acara-acara jodohin lo sama gue segala," tandas Lino.
"Ya karena gue berharga, jadi gue disuruh buat menstabilkan kondisi keuangan di keluarga gue dengan nikah sama lo!" cerocos Amel dengan perasaan penuh tidak terima.
"Nah kan! Nah kan! Bener dugaan gue! Lo pasti mengincar sesuatu dari keluarga gue! Fiks, bakal gue bilangin Mama gue, rasain lo!" pekik Lino. Sontak saja, Amel menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya.
"Awas lo, kalau sampai bilang-bilang ke nyokap lo, gue bakal—"
"Tapi tenang, gue gak akan bilang apapun asalkan lo mau kerja sama dengan gue," cetus Lino dengan memotong pembicaraan Amel. Detik itu juga, Amel langsung mengernyitkan dahinya.
"Apa-apaan! Lo mau kerja sama apa dengan gue? Jangan macam-macam ya!" ancam Amel. Namun, Lino hanya terkekeh pelan.
"Gak macam-macam kok, Mel. Gue cuma minta satu syarat doang, pas kita udah nikah, biarin gue selingkuh sama Lina. Gue bakal bawa Lina ke rumah kita nanti, dan tugas lo, lo harus merawat Lina dengan baik, kalau sampai lo ngusir Lina, gue bakal bongkar niat jahat lo itu ke Mama gue, deal?!" Lino mengulurkan jemari kelingkingnya ke arah Amel.
"What? Lo mau bawa pelakor ke rumah? Gak! Itu mah enak di elo, suram di gue!" tolak Amel mentah-mentah.
"Ya udah, sekarang gue bilangin ke Mama," cetus Lino. Mendengar hal itu, Amel langsung bergidik ngeri.
"Lebih sereman jadi gembel sih, entar kalau Lino selingkuh beneran ya gue selingkuhin balik aja biar adil," pikir Amel sembari tersenyum miring.
"Oke, deal!" sahut Amel dengan mantap.
"Gue biarin tuh cewek yang namanya Lina menginap bersama kita. Lagipula dengan begini, rumah bakalan aman kan, gak bakal ada kejadian aneh-aneh," ceplos Amel. Sontak saja, Lino melemparkan tatapan tajamnya ke arah Amel.
"Aneh-aneh gimana? Wah pikiran lo dah lari kemana nih? Gue kan udah bilang, gue gak tertarik sama lo!" pekik Lino sembari menjulurkan lidahnya.
Sesaat kemudian, Lino pun mulai menyalakan mesin motornya. Kemudian, ia segera membawanya ke jalanan dengan lebih berhati-hati.
Diam-diam, Amel pun mulai berpikir. Setahu dia, Lino itu hanya pernah dekat dengan seorang gadis bernama Yia. Setahu Amel juga, setelah Lino putus dengan Yia, Lino belum memiliki pacar lagi. Kira-kira gadis dari universitas mana yang bernama Lina itu?
Amel tampaknya terlalu sibuk dalam pikirannya. Hingga ia tak menyadari, bahwa kini, motor Lino telah berhenti tepat di depan sebuah butik.
"Yuk!" ajak Lino.
Ia bahkan berjalan meninggalkan Amel begitu saja. Tanpa melihat kondisi Amel yang saat ini tengah kesulitan melepaskan sabuk helm-nya.
"LINO!" teriak Amel. Namun, Lino masih saja berjalan masuk ke dalam butik.
"Ah terpaksa deh!" pasrah Amel.
Amel kemudian melangkahkan kakinya, menapaki jalanan yang sudah ditapaki oleh Lino terlebih dahulu. Ia segera masuk ke dalam butik. Hingga kedua matanya bisa menyaksikan Lino yang saat ini tengah bercengkrama dengan seorang pegawai butik.
"Ini calon istrinya, Mas?" tanya pegawai itu sembari menunjuk ke arah Amel. Langsung saja, Lino menganggukkan kepalanya.
"Emm, maaf, Mbak, tapi kalau mau mencoba baju pengantin, tolong helm-nya dilepas dulu ya!" pinta pegawai butik itu.
Detik itu juga, Lino memusatkan pandangannya ke arah Amel, kemudian meneloyor pelan kepala Amel yang terbungkus oleh sebuah helm tersebut.
"Ngapain helm lo pakai dibawa masuk segala sih?" tanya Lino dengan raut wajah kesal. Namun, dari sorot matanya, ia tengah menahan malu setengah mati.
"Ya salah elo! Udah tau gue panggil-panggil, eh malah nyelonong ke butik duluan! Rasain! Ikut malu kan lo?!" tandas Amel sembari mengerucutkan bibirnya.
Secara tiba-tiba, seorang pegawai butik yang sedari tadi bercengkrama dengan Lino dan Amel pun meledakkan tawanya. Hal itu tentu mengundang Lino dan Amel untuk memberikan tatapan bingungnya ke pegawai butik tersebut.
"Ada masalah?" tanya Lino dengan sorot mata tajamnya.
"Ah tidak-tidak, hanya saja, hubungan kalian harmonis dan sangat romantis. Jarang-jarang ada pasangan se-friendly kalian," sahut pegawai butik tersebut.
Detik itu juga, Amel dan Lino langsung melemparkan tatapannya ke satu sama lain. Amel pun lantas mengangkat tempurung telapak kakinya, berjinjit, hingga posisi bibirnya bisa berada persis di dekat telinga Lino.
"Dia sedang memuji kita," bisik Amel dengan nada penuh takjub.
"Bukan, dia nyindir kita, ogeb!" bisik Lino balik dengan nada kesal.
Lino pun seketika mendekatkan wajahnya ke arah Amel. Kemudian, kedua tangannya sibuk membantu Amel untuk melepaskan helm tersebut dari kepala wanita itu. Diam-diam, Amel memandangi wajah Lino dari dekat.
"Wajahnya sama, auranya juga masih sama, tapi situasinya sudah berbeda," lirih Amel dalam benaknya.
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke