Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas.
"Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.
Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.
***
Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram.
"Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca semua tulisan menjijikkan itu! Astaga!" keluh Lino sembari menjambak rambutnya dengan penuh rasa kesal.
Setelah puas merutuki dirinya, ia pun segera bergegas melangkahkan kakinya ke arah cermin. Memandangi wajahnya yang semakin lama terasa semakin membosankan.
"Lino, sadar, lo ganteng! Lo gak buluk kok! Amel aja yang katarak ngatain lo buluk di sosial media lo!" pekik Lino pada bayangannya di cermin.
DRETT! DRETT!
Lino seketika mengeluarkan sesuatu yang bergetar di saku celananya. Sebuah benda berbentuk kotak, dengan ukuran lebih kecil ketimbang buku diary. Benda berbentuk kotak yang ajaib.
"Rendi? Ngapain dia nelpon gue? Tumben!" lirih Lino.
Tanpa menunggu basa-basi lagi, ia langsung menerima panggilan telepon dari Rendi. Rendi ini merupakan sahabat dekat Lino sewaktu SMP. Mereka juga merupakan sepupu jauh. Bahkan di saat keluarga besar Lino berkumpul, pasti Rendi juga diundang untuk datang.
Lino lantas mengecek jam di tangannya sembari menganggukkan kepalanya. Bibir Lino lantas tertarik membentuk sebuah ukiran senyum. Seperti tertarik dengan ajakan Rendi.
"Oke, gue ke sana sekarang," sahut Lino sembari menutup sambungan teleponnya.
***
Lino sudah duduk berhadapan dengan Rendi. Diamatinya semua hidangan yang sudah dipesan oleh Rendi itu. Cukup menggiurkan. Sepertinya Rendi memang benar-benar mengerti tentang selera makanannya.
Lino lantas berdehem pelan, kemudian, ia bergerak mengalihkan pandangannya ke arah Rendi.
"Kira-kira, lo ngapain telepon dan ngajak gue ke sini? Ada yang penting kah? Sampai lo relain dompet lo menipis buat traktir gue segala?" Satu alis milik Lino terangkat begitu saja. Mendengar hal itu, Rendi malah terkekeh pelan.
"Santai, gue kan kaya dari orok, mau traktir lo berbulan-bulan juga gak bakal berubah jadi kismin," sahut Rendi santai. Ini bukanlah jawaban yang diinginkan oleh Lino.
"Bisa gak to the point aja? Gue keburu pengen menyantap makanan yang ada di depan gue nih!" keluh Lino. Satu cengiran lebar langsung tercetak di bibir Rendi.
"Kok lo gak bilang sih kalau udah mau nikah. Heh, pas SMP dulu kan kita pernah taruhan kalau yang nikah bakalan gue dulu. Lihat deh wajah gue, wajah-wajah orang yang pengen dimiliki kaum hawa, kenapa jadi elo duluan yang mau nikah?!" pekik Rendi. Tersirat ketidakterimaan di dalamnya.
"Terpaksa, Ren, kan Mama yang minta," sahut Lino sembari menghela napasnya.
"Terpaksa puser lo! Yang mau lo nikahin itu Amel kan? Amel! Gila! Bukannya lo dari dulu emang suka ya sama Amel!" ceplos Rendi. Lino yang bahkan baru sempat menyeruput minuman warna orennya itu seketika membelalakkan matanya.
"Eitss, jangan semprot gue, muka gue ganteng-ganteng gini masa mau di semprot!" Langsung saja, satu telapak tangan, Rendi dekatkan ke wajah Lino. Membuat Lino terlihat susah payah untuk menelan jus yang akan ia semprotkan ke Rendi.
"Kata siapa gue suka sama Amel, ngarang lo! Bukannya gue selalu cerita ke elo, kalau gue benciiiiii banget sama Amel! Lagian cewek sok gitu, ngapain juga gue sukain!" pekik Lino tidak terima. Detik itu juga, terdengar kekehan kecil dari bibir Rendi.
"Lo itu suka sama Amel, kalau lo gak suka, gak bakalan lo mau pas tahu mau dijodohin sama Amel. Percaya deh sama gue, dalam hati lo tuh sebenernya ada gelombang-gelombang cinta yang bergejolak," cetus Rendi. Mendengar hal itu, Lino langsung memutar bola matanya malas.
"Ngapain gue harus percaya sama lo, sedangkan lo aja sering menyesatkan gue! Lagian lo sok puitis bener sih jadi orang! Juga sok tahu banget, lo mau jadi titisan cenayang apa gimana sih, Ren?" Muka masam Lino seketika membuat Rendi tersenyum puas.
"Gue kan kemarin kemarinnya lagi dikirimin undangan pernikahan lo sama Amel sama nyokap lo. Nah, gue kan kepo dong, setahu gue lo sama Amel kan musuhan, kenapa tiba-tiba nikah? Dan lo tahu, nyokap lo jawab apa?" ucap Rendi. Detik itu juga, pandangan Lino menjadi antusias untuk mendengarkan jawaban dari Rendi.
"Nyokap gue bilang apa ke elo?" tanya Lino.
"Nyokap lo bilang, itu sebuah takdir," sahut Rendi sembari meledakkan tawanya. Mendengar hal itu, Lino malah mendengus kesal.
"Heh, apaan sih, bilang aja, gue ketemu dan ngomongin hal yang gak jelas bareng lo sekarang juga dibilang takdir!" keluh Lino.
"Ya emang takdir kan? Takdir lo ketemu gue sekarang hahaha!" sahut Rendi.
"Gak ding, gue mau serius. Sebenarnya nyokap lo kemarin tuh bilang sama gue, kalau sebenarnya lo itu ada rasa sama Amel. Nah, setelah gue pikir-pikir, gue percaya aja sih. Menurut ilmu cocoklogi gue, lo itu emang sebenarnya udah suka kan sama Amel, ngaku lo!" Kini, Rendi beralih menunjukkan jari telunjuknya ke arah Lino. Detik itu juga, Lino tanpa segan menginjak kaki Rendi.
"Lo kalau ngomong jangan asal ya, ya kali gue suka sama Amel!" keluh Lino sembari membuang pandangannya ke sembarang arah.
"Gue tahu, lo bukan tipikal orang yang langsung pasrah gitu aja. He, udah berapa tahun gue jadi sahabat lo. Otak lo ini rada encer, lebih encer ketimbang otak gue. Ya kali, gak ada satupun cara buat menghindar kalau lo emang bener-bener gak ada rasa sama dia," sahut Rendi, mencoba berpikir realistis.
"Ya, gimana, gue kan juga pengen berbakti sama bokap nyokap. Ngelanggar perintah mereka tuh dosa tahu," keluh Lino. Senyum seringaian pun perlahan muncul di wajah Rendi.
"Yaelah biasanya juga lo udah sering durhaka kok sama nyokap bokap lo. Ngelawan mulu kerjaannya, gak usah sok cari alasan deh lo. Tinggal jujur aja ke gue, kalau lo tuh sembunyi di balik rasa benci biar rasa cinta lo gak ketahuan. Iya kan?" cetus Rendi.
"Sekali gue bilang, gak, endingnya ya tetap gak! Udah deh, lo ke sini mau ngajakin gue makan atau ngajakin gue ribut sih sebenarnya?!" pekik Lino kesal. Langsung saja, kekehan tawa terdengar di indera pendengaran milik Lino.
"Gue mau ngajakin lo ribut, kenapa?" Rendi seketika tersenyum miring ke arah Lino.
"Gue tuh lama-lama ragu loh, Ren, sebenarnya lo tuh sahabat gue atau bukan? Jangan-jangan, lo tuh squipper yang nyamar jadi Rendi, biar gak dikejar-kejar sama Dora mulu, iya kan? Ngaku!" Sorot mata Lino mulai menajam. Langsung saja, Rendi memutar bola matanya malas.
"Waras lo gak ada obat, No!" pekik Rendi sembari bergegas menikmati hidangan di hadapannya tersebut.
"Ya emangnya sejak kapan, orang waras butuh obat, Rendi! Lama-lama, otak lo jadi terlalu pinter ya!" keluh Lino.
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Hari ini, tepat di mana hari sakral itu terjadi. Hari yang ditunggu dengan sangat antusias dari dua keluarga.Amel lantas mendudukkan diri di samping Lino. Pria dengan jas hitam yang rapi, terlihat sangat mencolok di antara tamu lain yang hadir."Bagaimana, sudah siap?" tanya seorang pria yang telah sejak tadi duduk di balik meja.Dalam hitungan detik, ingin sekali rasanya Amel menghilangkan dirinya sendiri. Hal seperti ini, bahkan dalam bayangan Amel, tak pernah terlintas sedikitpun."Saya sudah siap," jawab Lino."Baiklah, mari kita mulai," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan ke arah Lino."Saudara Lino Altezza Saputra bin Rio Saputra, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Camelia Putri Fabian binti Fabian Adijaya, dengan maskawinnya berupa logam mulia seberat sepuluh gram dengan seperangkat alat sholat, tunai!"Detik itu juga, Lino segera menarik napas panjang
Amel mengantarkan secangkir kopi ke ruang kerja ayahnya. Di sana, tampak seorang pria dengan kaca mata yang sedang fokus menatap laptop kerjanya."Papa kalau capek, mending istirahat dulu aja. Amel gak tega kalau sampai melihat Papa sakit hanya gara-gara terlalu sibuk bekerja," ucap Amel.Pria berkaca mata itu tampak menghela napasnya. Beberapa helai rambut berwarna putih bahkan sudah terlihat mencolok di antara banyak rambut berwarna hitamnya."Papa harus bekerja keras, Amel. Perusahaan kita nyaris saja gulung tikar. Papa lebih gak rela kalau melihat hidup kamu sengsara. Bagi Papa, kamu adalah sesuatu yang sungguh berharga, Amel," cetus Papa. Amel pun lantas memandang lekat laki-laki yang sukses menjadi cinta pertamanya itu."Dari kecil, Papa sudah bekerja keras untuk Amel, untuk menghidupi Amel, membahagiakan Amel juga. Apapun yang Amel minta, pasti Papa akan berusaha untuk menuruti permintaan Amel. Mungkin, ini saatnya bagi Amel untuk memb
Seorang wanita dengan rambut panjang sepunggung itu tampak berjalan anggun memasuki sebuah kafe. Kaca matanya mulai ia turunkan, untuk memancing perhatian para penghuni yang sedang asyik menyantap makanan di area kafe."Rendi!" seru wanita itu.Yang disapa hanya satu orang, tetapi yang menoleh, bahkan lebih dari satu orang. Termasuk cowok yang duduk berhadapan dengan Rendi. Tiba-tiba saja, mata Lino membelalak lebar ketika mengetahui pelaku yang sukses mengambil semua perhatian pengunjung kafe tersebut.Rendi perlahan berdiri dari duduknya, kemudian tangannya bergerak merangkul kedua bahu wanita itu. Dengan senyuman lebarnya, Rendi bersiap untuk membuka suara."Halo, Lino, kenalin, dia Yia. Dia seorang model, cantik kan? Stylish abis lagi!" seru Rendi. Sebuah pelototan pun langsung tertuju ke Rendi."Ngapain lo kenalin ke gue, Rendi. Yia kan mantan gue, geblek!" pekik Lino kesal."Yee siapa tahu lo mendadak amnesia pas putus
Buku diary itu telah berada di tangan Lino. Setelah terjadi pertarungan sengit dengan mamanya itu. Dengan cepat, Lino langsung melesat pergi ke kamar, meninggalkan Citra yang saat ini tengah senyum-senyum tidak jelas."Aishh, dasar anak itu! Apa karena pas hamil, aku ngidam peluk kucing ya, sampai-sampai Lino bisa malu-malu meong gitu sikapnya," lirih Citra sembari terkikik pelan.Ia pun sontak melangkahkan kakinya ke arah pintu. Melihat keadaan di luar rumah, kemudian bergegas menutup pintu itu kembali. Dikarenakan langit masih cerah, Citra tidak jadi mengangkat jemuran pakaiannya.***Di sisi lain, Lino langsung mengunci pintu kamarnya. Jujur saja, jantungnya langsung berdegup kencang. Sesaat kemudian, diamatinya lekat benda berbentuk kotak tersebut. Buku yang menjadi saksi, kisah percintaannya yang sangat suram."Perasaan buku ini pernah gue buang ke tong sampah, kok bisa ada di Mama sih! Arghh, Mama pasti udah baca s
Lino tanpa sengaja mendongakkan kepalanya. Kini, pandangannya langsung menangkap Amel yang tengah memandangi Lino. Sontak saja, terbitlah senyuman miring di wajahnya."Kenapa lo? Naksir?" tanya Lino dengan nada congkak.Tentu saja, Amel langsung menolehkan pandangannya. Pada detik itu juga, Lino juga turut melepaskan helm tersebut dari kepala Amel."Sampai kapanpun, gue gak akan naksir sama lo!" seru Amel sembari menjulurkan lidahnya.Amel pun bergegas melangkahkan kakinya menghampiri pegawai butik tersebut. Kemudian, ia mengikuti arahan dari sang pegawai butik.Di sisi lain, Lino hanya menghela napasnya. Ia kemudian mengikuti langkah pegawai butik untuk menemukan baju untuk pengantin pria. uwuu dah siap nikah.***Sesaat kemudian, Lino sudah selesai berganti pakaian. Dengan balutan jas berwarna hitam dengan celana berwarna sama, ia kini mengarahkan dirinya untuk duduk di area sofa. Menunggu Amel yang sangat lama walau ha
Amel mengendap-endap menjauh dari area kampus. Ia berusaha mencari tempat yang setidaknya tidak banyak orang di sana. Saat tengah melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja, seseorang memelankan laju motor sport merahnya. Ia berusaha mengimbangi langkah yang diambil oleh Amel."Ssssttt, cepetan naik!" seru orang yang tengah melakukan motor sport-nya secara pelan. Detik itu juga, Amel membelalakkan matanya."Gue udah bilang, tungguin gue di tikungan sana! Cepat lo jalan ke sana deh, gue gak mau ada seorang pun yang ngeliat lo boncengin gue nanti!" keluh Amel dengan tatapan penuh kekesalan."Ashh ribet amat sih lo, Mel!" cibir orang itu, Lino.Lino pun segera melajukan motornya dan berhenti di area tikungan. Di sana, nyaris tidak ada seorang mahasiswa pun yang lewat. Melihat Lino sudah memberhentikan motornya di area tikungan, membuat Amel buru-buru mempercepat langkah kakinya.Sesampainya di sana, Lino segera meng
Suasana di kampus sedang ramai-ramainya. Apalagi di kantin, sangat penuh dengan para mahasiswa yang kelaparan. Tak terkecuali Amel dan teman satu gengnya, Sela dan Lili. Mereka bertiga kini tengah menikmati bakso setan yang terkenal akan rasa pedasnya itu."Mel, Lino makin hari makin cakep yak!" seru Sela sembari menatap kagum ke layar ponselnya. Seketika itu juga, Amel langsung merebut ponsel itu dari tangan Sela."Lo follow Lino? Sejak kapan? Gue kan udah bilang, jangan pernah follow dia, Sela!" keluh Amel sembari memencet tombol unfollow pada Instagram Lino. Setelahnya, Amel pun mengembalikan ponsel Sela kepada pemiliknya."Yah, Amel, kok di unfollow sih!" kesal Sela."Ya, lagian. Apa bagusnya sih tuh anak! Sok kegantengan banget!" pekik Amel."Elo juga, malah pada klepek-klepek lagi sama dia!" imbuhnya."Heh, Amel, yang namanya cowok ganteng, ya wajarlah gue dan Lili naksir. Justru yang aneh itu elo, cowok seganteng Lino malah di hate! A
"Apa? Jadi, Mama ingin menjodohkanku dengan dia?"Amel menunjuk ke seorang pria yang saat ini tengah menolehkan kepala agar tak bertemu pandangan dengan Amel. Wajah pria itu juga sama kusutnya seperti wajah Amel.Namun, kedua wanita yang saat ini tengah mendudukkan tawanya berjejeran itu malah meledakkan tawanya."Tuh, Citra, anak-anak kita kayaknya sudah serasi banget ya? Tuh, sampai ekspresi wajahnya aja sama!" seru Mama Amel, Lani."Iya, Lani, bener tuh. Sepertinya keputusan kita untuk menjodohkan mereka berdua itu adalah keputusan yang sangat benar," sahut Citra, Mama pria itu.Amel pun seketika membuka mulutnya lebar-lebar. Seperti tercengang ketika mendengar penuturan dua wanita dengan usia sepantaran itu. Sontak saja, Amel memandang wajah pria itu dengan sorot mata sinis."Apa hebatnya sih dia, Ma, sampai-sampai, Mama harus jodohin aku sama dia!" keluh Amel sembari menunjukkan jarinya ke