Malam yang semakin larut rupanya tak membuat dua orang itu mengantuk. Dua gelas minuman hangat, cammomile tea pun tak segera membuat keduanya beranjak tidur. Sunyi senyap tak ada suara, hanya ada dentingan suara jam dinding yang sedari tadi ramai memenuhi indera pendengaran mereka berdua.
Si wanita menoleh. Raut wajahnya kacau. Mata dan hidungnya memerah. Urat di dahinya pun terlihat mengerut samar. Emosi yang seharusnya menguar, tertahan oleh kerutan itu.
"Kamu serius, mas Ray? Maksud aku, papa baru saja meninggal. Bisakah kamu menunggu satu tahun lagi?" pintanya memelas. Pria di sampingnya adalah Rayyan, suami yang baru dinikahi olehnya satu tahun yang lalu tepat di hari ulang tahun sang papa.
Keduanya menikah atas dasar perjodohan bisnis antara dua perusahaan, tanpa cinta sama sekali. Satu bulan berjalan sejak pernikahan itu terjadi, Lily sang istri jatuh cinta pada suaminya. Namun, seperti pungguk merindukan bulan cintanya pada sang suami tak mendapatkan respon dan berakhir bertepuk sebelah tangan.
"Aku serius. Nayya sudah menungguku lebih dari satu tahun, Lily. Haruskah aku menggantungnya lagi? Ingat, sebelum pernikahan itu terjadi bukankah sudah aku katakan kalau kamu jangan jatuh cinta padaku," pekiknya. Lily terdiam dan menunduk. Ia sadar bahwa cintanya pada sang suami tak mungkin bisa bersatu.
"Baiklah. Aku akan menandatangani surat perceraian itu," ucapnya lemas.
Tangan mungil Lily segera menyambar berkas di atas meja yang teronggok lebih dari lima jam. Ia membuka perlahan dan membacanya satu persatu. Di lembar pertama ia belum merasakan apapun, sampai lembar terakhir tak terasa ia meneteskan satu dua butir airmata yang akhirnya ikut menangisi lembaran berkas itu.
"Dalam perceraian ini, aku tak mau banyak percekcokan. Semua harta gono-gini sudah aku atur. Rumah ini, mobil dan usaha butik yang sedang kamu rintis aku berikan semuanya tanpa terkecuali dengan satu syarat." Lily menoleh, wajah Rayhan berada tepat di hadapannya. Ini membuatnya gugup.
"A-apa?"
"Jangan pernah hubungi aku lagi. Apapun masalah yang sedang kamu hadapi, karena aku akan memulai hidupku dengan Nayya setelah ini. Paham?" Lily mengangguk. "Cepat tanda tangan dan mulai besok status kita bukan lagi suami istri. Kita hanya partner."
Lily segera membubuhkan tanda tangannya tepat pada kolom nama yang tertera di lembaran itu. Jantungnya berdenyut pelan, namun terasa menyakitkan. Saat dirinya masih berduka atas kehilangan papa yang selama ini mendukungnya, ia justru harus kehilangan lagi statusnya sebagai seorang istri.
Malam ini, keduanya berpisah kamar. Lily tetap menempati kamar utama yang menjadi kamar mereka berdua selama satu tahun terakhir. Sedangkan Rayyan memilih tidur di kamar tamu. Keduanya sama berbaring di ranjang masing-masing dengan pemikiran yang berbeda.
Lily dengan kesedihannya, Rayyan dengan rasa bahagianya. Beban yang ia bawa satu tahun ke belakang akhirnya sirna. Ia bisa menikahi wanita pujaannya tanpa harus meminta restu pada siapapun.
Lily mengusap perut datarnya, sambil membayangkan sesuatu esok pagi. Bayangan papa dan masa depan yang tak tentu arah membuatnya risau.
"Izinkan mama bawa kamu pergi, nak. Pergi tanpa seorang pun tahu dimana kita tinggal,"gumamnya sendiri. Disana, di perut datar itu ada satu kehidupan yang harus Lily jaga. Ia mengetahuinya satu Minggu sebelum kecelakaan yang merenggut nyawa papanya terjadi. Hari ini, ia berencana memberitahu Rayyan namun semuanya sirna saat sang suami dengan teganya memberi surat perceraian dan rencana pernikahannya dengan mantan kekasihnya dulu.
Suasana pagi hari sama seperti biasanya. Lily menyiapkan sarapan dan berbagai keperluan Rayyan lengkap tanpa ada yang tertinggal satupun. Namun ada satu yang kurang di pagi hari ini, suara nyanyian Lily yang biasa terdengar merdu kini berganti kesunyian.
Rayyan berusaha menghalau ketidakpuasannya akan suasana sepi ini, ia memilih diam dan sesekali melirik ponsel yang ada di sebelahnya. Tak berapa lama, Lily pun muncul dari balik kamarnya. Mulanya, Rayyan terlihat acuh tapi atensinya tiba-tiba berpindah pada dua koper besar dan satu tas tangan yang diseret paksa oleh Lily.
"Kamu mau kemana? Liburan? Bagus deh, biar kamu bisa relax," ujar Rayyan di balik kepalanya yang menunduk namun masih sempat melirik Lily yang berdiri tak jauh darinya.
"Tidak. Aku mau pindah rumah. Aku merasa tak pantas lagi tinggal disini, kamu tentunya akan punya keluarga baru. Jadi, lebih baik aku mengalah."
Rayyan menaruh sendok dan sisa nasi yang baru saja akan masuk kedalam mulutnya. Tangannya membeku, matanya fokus menatap Lily yang tampak tenang seolah tak ada beban. Lily berulang kali memeriksa ponselnya. Ia duduk di sofa ruang tamu dengan kepala yang melongok keluar jendela seolah sedang menunggu kedatangan seseorang.
Seketika nafsu makan Rayyan menghilang. Ia menyudahinya lalu menyambar jas dan tas kerjanya. Tak berapa lama kemudian, pintu ruang depan terbuka. Nampak seorang pria yang ia kenal muncul dan menyapa Lily.
"Sudah menunggu lama?" sapanya. Lily mengangguk. "Hanya ini saja barangnya?" tanyanya lagi.
"Iya, sisanya aku bisa beli disana."
Tanpa banyak pertimbangan, pria itu menyeret dua koper milik Lily dan memasukkannya ke bagasi mobil miliknya yang terparkir di halaman. Rayyan mengikutinya. Tak sadar, tangannya mencegat tangan milik Lily dan membuat wanita itu berbalik menatapnya.
"Kamu pergi berduaan sama Bagas? Kita belum resmi cerai dan kamu sudah cari pengganti? Ingat, banyak wartawan yang akan membicarakan ini sebagai fitnah." nada bicara Rayyan meninggi, hampir ia membentak Lily namun ia urungkan.
"Apa bedanya dengan aku yang tinggal bersamamu? Kita sudah bercerai, mas Rayyan. We're done." Lily melepas pegangan tangan Rayyan dan menghempasnya kasar. Sejenak mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Lily masuk kedalam mobil dan pergi meninggalkan Rayyan yang masih mematung.
"Kita langsung ke rumah Tya atau ke kafenya saja?"
Lily menoleh. Ia berpikir sejenak lalu mengarahkan tangannya ke kiri. "Kita ke kafenya saja. Aku rindu strawberry float buatannya."
"Ok, laksanakan."
Tak membutuhkan waktu lama untuk tiba di kafe milik Tya, salah satu sahabat dekat Lily. Sahabat yang ia kenal sejak kecil dan sering menjadi tempatnya berkeluh kesah, termasuk perihal pernikahannya. Tya sempat menyarankan Lily untuk menolak perjodohan itu dan menikah dengan Bagas, namun sayangnya lagi-lagi Lily terlalu mengikuti keinginan orangtuanya.
Lily mengendap-endap masuk kedalam kafe dan berdiri di belakang Tya yang sedang membereskan kursi dan meja. Rupanya, ia memakai earphone sehingga tak mendengar langkah pelan Lily.
"Duarr...." kejut Lily. Tya melonjak kaget dan berbalik. Hampir saja Lily terkena pukulan sapu yang sedang dipegang oleh Tya.
"Astaga, kaget Lily. Untung aku tidak punya riwayat sakit jantung," umpatnya. Lily tertawa lalu mengatupkan kedua tangannya.
"Sorry. Kamu diam saja saat aku panggil tadi."
Tya membuka earphone dan menaruh sapunya. Ia mengajak Lily duduk di kursi dan membawakan minuman untuknya.
"Bagas mana?" tanya Tya, kepalanya melongok keluar jendela mencari sosok Bagas yang juga salah satu sahabatnya.
"Lagi bantu keluarin koper sama tas aku. Oh, iya hari ini aku tinggal di tempat kamu. Nanti kalau aku sudah punya tempat yang layak, aku janji akan pindah secepatnya."
Tangan hangat Tya menggenggam tangan Lily dan mengeratkannya. Terdiam sejenak, lalu ia menggelengkan kepalanya. Mereka bertatapan sebelum akhirnya Tya memutusnya.
"Rumah aku adalah rumah kamu. Aku tidak pernah masalah kamu mau tinggal selama apapun disana. Jangan pernah sungkan, anggap aku lebih dari sekedar teman," ungkapnya. Jihan mengangguk. Detik selanjutnya, mereka saling merangkul dan berpelukan.
"Thanks, Tya."
"Sama-sama. Nanti kamu harus cerita banyak, aku siap dengar semuanya."
'Pemandangan yang menarik.'
Melihat perlakuan Lily tadi pagi, hampir membuat Rayyan tak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Berulang kali ia tak pernah fokus saat mendengarkan temannya menyampaikan pendapat dalam meeting bulanan yang dihadiri sebagian petinggi perusahaan. Posisi penting yang dimiliki Rayyan memaksanya untuk hadir, ini yang tak disukai olehnya. Semenjak ayahnya memilih pensiun dan fokus pada hobinya, dirinyalah yang selalu dijadikan tameng untuk memimpin perusahaan.Rayyan menatap malas layar putih di depannya yang berisikan agenda perusahaan serta visi misi yang baru saja mereka rangkum. Sekilas kumpulan huruf itu nampak bagaikan serabut rumput yang menggulung di tengah sawah."Sekian pemaparan visi dan misi dari departemen marketing. Kepada pak Rayyan, kami mohon koreksinya. Terima kasih."Rayyan terkesiap kaget. Matanya yang tadi menutup sejenak seketika membola saat kalimat terakhir disampaikan oleh anak buahnya. Mata Rayy
Pintu rumah dibuka lebar oleh Tya menyusul kedatangan Bagas yang tiba-tiba saat hari menjelang malam. Seperti biasa, bila malam Sabtu tiba mereka berdua sering berbincang bersama membicarakan hal random sambil menonton televisi. Kali ini ada yang tak biasa, ada Lily yang ikut duduk bersama mereka di ruang tengah.Bagas mematikan rokok yang ia hisap dan menginjaknya hingga hancur lalu menyemprotkan pengharum ruangan. Aroma jeruk pun menguar. Lily yang baru saja duduk sedikit terganggu namun lebih baik daripada ia harus menghirup bau bakaran rokok yang lebih menyengat."Bagas, apa di kantor kamu ada lowongan pekerjaan? Maksud aku, kalau memang ada aku ingin kerja disana." pertanyaan Lily membuat kedua sahabatnya mematung seketika. Tya mengedipkan mata dan Bagas membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar."Kerja? Di kantor? No, lebih baik kamu teruskan butik peninggalan mama kamu," tolak Bagas.
Ternyata, berita perceraian Rayyan dan Lily sampai juga ke telinga Abi, sepupu Rayyan yang tinggal di luar negeri yang dengan sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menginterogasi mantan suami Lily tersebut. Satu bulan tepat berita itu merebak, tersiar juga kabar kedekatan Rayyan dan model dewasa terkenal bernama Nayya. Ini sebenarnya yang membuat Abi geram. Rayyan dengan bodohnya melepas Lily, wanita selembut bidadari demi Nayya wanita yang menurutnya murahan. Ponsel Rayyan berdering nyaring di pagi hari yang cukup cerah ini. Warna putihnya masuk melalui celah tirai dan menusuk mata Rayyan yang sudah membuka perlahan. Disambarnya ponsel genggam itu lalu membuka kunci dan melihat banyaknya panggilan dari sepupu jauhnya itu. "Ah, anak nakal itu lagi," gumamnya. Rayyan menggeliatkan tubuhnya. Matanya menyipit, perlahan membuka penuh lalu bangun dan berjalan terhuyung ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, Rayyan pun membuka tirai dan jendela membiarkan sinar mataharinya masuk k
Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari.Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya.Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul.Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan.
Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur."Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.
Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen
Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s