Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari.
Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya.
Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul.
Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan.
"Masih memikirkan om Herman?" suara serak Tya mengejutkan Lily yang masih menggenggam kalung sambil menatap bingkai foto ayahnya. Ia menoleh dan mengangguk. "Ikhlaskan, jangan sedih nanti om Herman pasti ikutan sedih."
"Aku tidak sedih kok. Hanya kangen saja."
Tya mengusap pelan lengan Lily dan mengajaknya keluar kamar, sudah waktunya sarapan. Lily pun mengikuti Tya dan ikut duduk menikmati sarapan bergizi yang sahabatnya buat.
"Hari ini kamu mau ikut ke kafe?" Lily mengangguk. Wajahnya tersenyum bahagia, karena sudah lama ia tak ikut menemani sahabatnya menjual aneka makanan dan minuman. "Butik kamu bagaimana?"
"Sudah ada yang urus. Besok saja aku kesana," jawab Lily. Di tangannya sudah ada satu sendok bubur kesukaan yang siap ia lahap.
"Tapi besok jadwalnya cek ke dokter kandungan. Nanti biar aku saja yang antar, sepertinya Bagas tidak bisa." Tya membuka ponsel dan membuka kalender. Ia mengangguk, menggumam sebentar dengan suara lirih.
"Bagas kemana?" tanya Lily penasaran. Pasalnya, sudah dua hari ini ia tak melihat Bagas bersliweran di kafe atau rumah Tya.
"Pergi ke luar kota. Katanya, dia mau kasih surprise untuk kamu. Nanti, kalau dia pulang kamu pura-pura kaget ya," saran Tya yang diangguki oelh Lily. Sahabatnya memang senang mengerjai Bagas.
"Iya kah? Kok surprise untuk aku, bukannya untuk kamu?" sindir Lily yang terasa seperti ledekan. Tya menghentikan acara makannya. Wajahnya tegang seperti ada sesuatu yang ia pikirkan. Lily merasa tak enak lalu mengoreksi ucapannya. "Maksud aku, siapa tahu kejutannya ternyata untuk kamu."
Lily tersenyum hingga terlihat seluruh giginya yang putih. Sebenarnya Tya tidak marah, hanya saja ia kesal dengan sikap Lily yang tampak berpura-pura tegar dan tak menyukai sosok Bagas.
"Ly, sampai kapan kamu mengelak? Aku sudah katakan berkali-kali kalau aku tak menyukai Bagas. Sebaliknya, Bagas menyukai kamu Lily. Kembalilah kepada dia seperti dua tahun yang lalu. Dia masih menunggumu." Tya menggenggam tangan Lily yang mulai menunduk menghindari tatapan Tya. Tangannya gemetar, begitu pula bahunya. Napasnya terdengar naik turun dengan derunya yang sesak.
"Bagas berhak dapat wanita yang lebih baik dari aku, Tya."
"Kalau dia maunya itu kamu, bagaimana? Please, lupakan masa lalu kamu dengan pria brengsek tidak punya otak itu," ujar Tya emosi.
Lily menimpali," Tapi dia adalah ayah dari anakku."
Tya menghela napas kesal. Ia berdiri dari duduknya dan menyambar piring yang masih menyisakan sepertiga bubur yang belum ia habiskan. Moodnya kembali turun tapi ia tak bisa melampiaskan. Lily masih sangat sensitif membahas perihal asmara dan hubungan dengan pria baru.
"Aku mau mandi. Kamu tunggu saja di teras."
Tya meninggalkan Lily yang masih duduk di meja makan dengan rasa bersalah yang besar. Ia telah membuat sahabat baiknya kecewa. Ia paham sepenuhnya apa yang dibicarakan, namun ia juga tak dapat mengelak bahwa dalam hatinya masih tersisa sedikit rasa cinta untuk mantan suaminya.
Suasana kafe milik Tya cukup ramai. Walaupun ukurannya tak terlalu besar, nuansa khas anak muda yang dibawanya bisa membuat banyak pelanggan datang. Khususnya mahasiswa.
Lily yang datang hanya untuk melihat, kini ikut membantu sahabatnya meracik minuman dan terkadang ikut melayani mesin kasir. Ia sudah terbiasa. Dulu, saat pertama kali Tya membuka kafe ini dialah orang pertama yang membantunya.
"Selamat datang di M kafe. Mau pesan apa kak?" sapa Lily dengan suara merdunya yang khas. Senyum manisnya terurai lembut di wajahnya.
Satu pelanggan yang memang sering datang ke kafe Tya, memesan makanan dan minuman kesukaannya. Ia terkejut melihat Lily yang sangat asing terlihat di kafe ini.
"Mbaknya baru kerja disini?" tanyanya. Tangannya menunjuk Lily, membuat wanita itu mengangguk disertai senyuman ramahnya.
"Iya, saya baru disini."
"Boleh kenalan?"
Lily membelalakkan matanya. Pasalnya, yang mengajaknya berkenalan bukanlah pelanggan yang memesan tadi, tapi seseorang yang berdiri di belakang pelanggan itu sambil melambaikan tangannya.
"Abi?"
Lily terburu-buru menyelesaikan pesanan dan menitipkan kasir pada salah satu staf disana. Wajahnya semakin sumringah melihat sosok pria yang tadi menyapanya. Lily masih ingat dengan Abizar, salah satu sepupu Rayyan yang tinggal di Surabaya. Entah harus menangis atau bahagia, ia bisa bertemu dengannya di tempat ini.
"Apa kabar, Lily?" Abi mengulurkan tangannya, Lily menyambutnya.
"Baik. Kamu apa kabar?"
Abi mengajak Lily duduk di salah satu kursi kafe. Ia ingin bicara banyak pada Lily yang sudah lama tak ia temui. Abi bersyukur mantan istri sepupunya itu terlihat cantik dan segar.
"Aku, baik. Aku cari kamu ke setiap tempat, tapi kamu tidak pernah ada. Kamu jarang ke butik?" tanya Abi. Sesungguhnya, ia sedikit curiga melihat perut Lily yang menonjol di balik dress longgarnya. Perawakan tubuh Lily pun semakin terlihat berisi.
"Iya, sangat jarang."
Abi merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu undangan yang nampak rapi. Warnanya putih dan ada hiasan pita di ujungnya. Seketika jantung Lily berdetak kian cepat hampir membuat tubuhnya jatuh karena terasa hingga ke luar.
"Ini, surat undangan dari Rayyan. Dia akan menikah Minggu depan. Tadi, dia suruh aku ke butik kamu tapi karena kamu tidak ada akhirnya aku kesini. Ingatanku cukup besar untuk mengingat bahwa kamu pernah ajak aku hang out di kafe ini setelah aku putus cinta," ujarnya sambil menunjukkan kartu undangan itu.
"I-ini..." Lily menaikkan wajahnya lalu menatap Abi dengan mata sendunya.
"Maafkan kelakuan Rayyan, ya. Aku dan keluarga besar Rahadirja sebenarnya marah besar atas perlakuan dia terhadapmu. Paman, sampai memberi ultimatum padanya namun tak digubris. Sekarang mereka lepas tangan," lanjut Abi.
Lily menarik menyambar undangan itu dan membuka lembarannya. Perlahan ia membaca nama Rayyan bersanding dengan nama Nayya. Secepat kilat ia menutupnya setelah butiran bening jatuh menuruni pipinya yang lembut. Giginya bergemeletuk dan tangannya mengepal kuat menahan kesal. Namun detik selanjutnya ia tersenyum. Senyuman yang penuh paksaan.
"Kalau tidak ada halangan mungkin aku akan datang. Terima kasih sebelumnya." Lily mengambil undangan itu dan menggenggamnya erat.
"Jika kamu tidak kuat, jangan datang. Atau kalau kamu mau, jadi pasangan aku satu hari juga tidak masalah," ujar Abi memamerkan lengannya lalu menimpali lagi," Lengan aku siap untuk menggandeng kamu."
Lily tersenyum. Abi memang seorang yang supel dan humoris. Sering Abi menghibur Lily saat sedang sedih bahkan bertengkar hebat dengan Rayyan saat berselisih. Sayangnya, Lily kehilangan sosok Abi saat pria itu memutuskan membantu perusahaan ayahnya disana. Lily merasa kehilangan salah satu orang yang menyemangatinya.
"Nanti pacar kamu cemburu."
"Kata siapa? Aku masih single. Kalau kamu mau, boleh daftar," celetuknya iseng.
Ternyata, celetukan itu membuat seseorang yang tadi berdiri di meja pantry geram. Kini orang itu berjalan mendekati meja tempat Lily dan Abi duduk berbincang.
"Kamu sepupunya Rayyan kan?" Abi menoleh, mengernyitkan dahinya sembari mengingat siapa wanita yang baru saja menegurnya. "Kenapa kesini?"
"Iya. Oh, ini mau berikan undangan untuk Lily. Terserah mau datang atau tidak, yang penting amanah sudah dijalani," ucapnya polos.
Tya menyambar undangan itu dan membacanya. "Oh, si brengsek itu akan menikah? Luar biasa. Lily, kamu datang saja bawa Bagas dan pamerkan sama tamu undangan disana."
Lily menggelengkan kepalanya lalu berkata," Bagas bukan barang mainan. Biarlah, aku datang sendiri jika memungkinkan."
Abi baru ingat. Bagas yang Lily dan sahabatnya ini katakan adalah Bagas mantan kekasihnya sebelum Lily menikah dengan Rayyan. Kabarnya, ia juga masih menunggu status Lily yang saat itu masih menjadi istri Rayyan.
"Bagas yang kerja di biro hukum?" tanya Abi. Kedua wanita di depannya menoleh dan mengangguk bersamaan.
"Kamu kenal?"
"Ehmm..pernah ketemu satu dua kali saat aku ke kantornya. Waktu urus surat perpindahan ahli waris." Abi ingat, saat itu ia berbincang dengan Bagas. Bahkan pernah makan siang bersama. Dari raut wajahnya jelas terlihat jika ia masih mencintai Lily.
Apakah penantiannya kali ini membuahkan hasil? Abi cemas. Bahkan setelah berpisah dan resmi menjanda pun Lily tetap banyak yang mengincar. Bodoh sekali Rayyan yang melepas Lily.
Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur."Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.
Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen
Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa
"Loh, sudah mau berangkat?" sapa Lily pada Bagas yang tengah asik menekuri piringnya yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi buatan Tya. Bagas menggangguk tanpa suara karena mulutnya yang sibuk mengunyah."Bagas ada panggilan dinas lagi katanya. Senin mau ada meeting di Bandung sekalian pulang menemui ibunya. Kamu ikut saja sekalian, biar ketemu lagi sama ehem..ehem," sindir Tya.Lily menunduk lalu menggeleng pelan. Ia merasa tak punya wajah jika bertemu dengan mantan calon ibu mertuanya. Apa rasanya jika calon menantu yang dulu diharapkan bisa bersanding dengan anaknya tiba-tiba datang seperti mengharap kembali pada anaknya yang dulu dicampakkan. Memalukan."Eung....""Lain kali saja. Lily kan masih masuk trimester pertama, takutnya tidak kuat jalan jauh," sahut Bagas. Ia menoleh dan tersenyum sambil terus menyuap makanannya. Tya mendesah kecewa. Seharusnya ia melihat perjuangan Bagas merebut kembal
Dua hari tinggal bersama, hari-hari sepasang pengantin baru terasa sedikit berbeda. Nayya sedikit lebih bertanggungjawab dengan rumah tangganya dan juga Rayyan suaminya. Bukan hanya sekedar memberi perhatian, ia juga memberi semua yang Rayyan butuhkan. Semuanya terasa berwarna, hingga Rayyan berpikir keluarganya telah salah menilai sosok Nayya.Sarapan sudah tersedia. Seperti biasa, setelah merapikan meja Nayya memanggil sang suami yang masih berkutat dengan kemeja dan jasnya. Rayyan pun keluar kamar lalu duduk di kursi makan bersama istrinya.Rayyan mengunyah roti bakarnya lalu bertanya pada Nayya," Nay, hari ini aku pulang sedikit terlambat."Nayya yang sedang mengiris sosis kesukaannya tiba-tiba terdiam. Tangannya berhenti dan pandangannya mengarah ke suaminya. "Kenapa tiba-tiba? Kita tidak bulan madu, tapi kamu tidak pulang tepat waktu juga."Nayya melempar garpunya dan menyingkirkan piring hingga ke
Seperti perkiraan Lily sebelumnya, Bagas pulang lebih cepat dari waktu sebenarnya. Dulu, sewaktu mereka masih menjalani hubungan sebelum akhirnya berpisah Bagas sering sekali pulang ke Bandung dan kembali lebih awal. Katanya, ia rindu ingin bertemu. Bisa dibilang, saat itu Bagas dan Lily adalah pasangan yang romantis dan bahagia.Bagas tak langsung pulang ke rumah kontrakannya, ia memilih singgah lebih dulu ke tempat Tya dan Lily karena tak sabar menyampaikan sebuah berita yang harus mereka dengar."Sepertinya Bagas sudah pulang," ucap Tya yang masih sibuk membereskan cucian piring. Ia menoleh ke belakang memberi kode pada Lily.Lily mengerti. Ia beranjak dari sofa lalu berjalan menuju pintu depan dan membuka pintunya. Terlihat jelas Bagas yang sibuk membuka bagasi kendaraannya dan menurunkan beberapa koper ke lantai.Lily tak curiga. Ia berjalan menghampiri sosok Bagas yang masih sibuk sementara m
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s