Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.
Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur.
"Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.
Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.
"Nanti aku pulang cepat. Hari ini ada rapat dengan departemen marketing. Ada kesalahan mingggu lalu yang ia belum sempat diperbaiki." Rayyan mengecup kening Nayya lalu beranjak keluar meninggalkannya.
Nayya mendengus sebal. Pertemuannya dengan keluarga Rayyan membuatnya pusing kepala. Waktu dulu saja sebelum Rayyan dijodohkan dengan Lily, ibu Rayyan tak menyukai dirinya. Mengancamnya bahkan hampir pernah mencelakai dirinya. Hanya saja Nayya bertahan karena janji yang Rayyan berikan padanya.
Selepas kepergian Rayyan ke kantor, Nayya bersiap juga untuk pergi ke rumah calon mertua. Berkali-kali ia mematut diri di depan cermin tapi tetap saja terasa ada yang kurang. Bukan karena wajahnya, tapi penampilan dan pakaian yang ia pakai.
"Aku tidak punya dress, aku harus pakai apa? Lagipula, kenapa sih Rayyan harus meladeni keinginan orangtuanya?" gumam Nayya.
Nayya memutar otak pintarnya. Pikirannya mengajak langkahnya berjalan menuju kamar lantai bawah tempat Lily dulu tinggal. Ia masuk dan membuka pintu lemari Lily yang terlihat berdebu. Matanya membelalak senang, seperti mendapat undian. Bibirnya tersenyum melihat apa yang ia dapatkan dari isi lemari tersebut.
"Wah, masih ada pakaian Lily. Aku harus coba."
Nayya menyambar satu dress berbahan satin lembut berwarna hijau tosca. Dress cantik selutut dengan lengan pendek yang terlihat elegan. Ia menyimpulkan bahwa ini adalah dress mahal, terlihat dari bahannya yang terlihat mewah.
Nayya mematut kembali dirinya di depan cermin. Menggoyangkan dress itu lalu tersenyum.
"Ternyata aku lebih cantik dari Lily."
Setelah persiapan selesai, ia pun berangkat menuju mansion keluarga Rahadirja. Keluarga yang terkenal dermawan dan banyak dihormati oleh kalangan pengusaha dan pejabat. Harta kekayaannya yang tak habis tujuh turunan tak membuat keluarga itu congkak. Malah, mereka terlalu baik pada para pesaing yang tak suka dengan kehebatan mereka.
Mansionnya begitu besar. Nayya sampai berdecak kagum pada nuansa exterior yang kelihatan seperti rumah klasik namun tetap terlihat minimalis dan indah. Senyumnya makin terbuka lebar tatkala satu orang asisten membukakan pintu pagar.
"Mbak Nayya ya? Masuk mbak, sudah ditunggu tuan dan nyonya," ujarnya sambil mengantar Nayya masuk kedalam mansion.
Pertama kali melihat interiornya, ternyata tak berbeda jauh dengan eksteriornya. Unik tapi tetap terlihat menarik. Tangan Nayya refleks memegang benda yang terpajang di kiri dan kanan sepanjang jalan masuk ke ruangan tamu.
Nayya menganga lebar melihat pemandangan yang terlihat di depannya. Asisten yang mengantarnya tadi menghilang, Nayya ditinggal sendiri di ruangan besar seperti lobby hotel. Namun senyuman Nayya luntur seketika saat ia sadar jika yang ia lihat tadi adalah keluarga besar Rayyan.
Duduk di tengah, ibu dan ayah Rayyan lalu di samping kiri dan kanannya adalah kakak Rayyan beserta suaminya. Lalu sebelah kanan ada Abizar yang waktu itu datang ke rumah.
Nayya tersenyum kikuk, ia pun membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat dan perkenalan.
"Selamat pagi, ayah ibu. Mbak Kirey dan juga Abizar. Ah, sama mas Jana dan Adit," sapa Nayya.
Tak ada senyuman. Hanya raut wajah datar yang mereka tunjukkan hingga membuat Nayya terus menerus menelan ludahnya.
"Silakan duduk," ujar ibu Rayyan mempersilakan Nayya untuk duduk di salah satu kursi.
"Pertama-tama, selamat untuk kamu karena telah berhasil membuat menantu kesayangan keluarga Ardiwira Rahadirja bercerai dengan anak saya. Niat kamu mendekati Rayyan dan menikahinya sudah hampir terwujud. Saya dan keluarga besar tak bisa berbuat banyak. Inginnya, melarang namun ternyata Rayyan malah menantang," ujar Ardiwira, ayah Rayyan.
Nayya menginterupsi perkataan calon mertuanya, lalu tersenyum merasa menang di atas angin. Ia pun menimpali," Berarti, Rayyan benar-benar tulus mencintai saya. Dia tidak mau kehilangan saya dan memilih kebahagiaannya. Bukankah itu benar, tuan Ardiwira?"
Senyum kemenangan menguar di wajah Nayya. Ia berhasil menskak calon ayah mertuanya. Namun, ternyata pemikirannya salah, Ardiwira tak terpengaruh sedikitpun. Ia malah tertawa mengejek jawaban yang baru saja Nayya berikan. Apalagi istrinya, orang yang amat sangat menentang wanita yang akan dinikahi anaknya ini. Dia malah terlihat sinis seperti ingin mencibir habis-habisan calon menantunya.
"Kamu percaya diri sekali. Bedakan antara ia mencintai kamu atau hanya memanfaatkan saja. Tapi, terserah pemikiran Rayyan. Dia yang punya hidup, biar dia yang menjalani," ketus Ardiwira.
Air muka Nayya berubah merah padam. Andai saja ia sudah menikah dengan Rayyan, akan ia balas semua kata-kata kasar keluarga Rahadirja.
"Baiklah, mari kita makan siang. Katanya, Rayyan juga akan datang sehabis meeting. Ah, Abizar coba cek agenda hari ini apakah meetingnya sudah selesai? Suruh Rayyan segera pulang," titah Ardiwira yang diangguki Abizar.
Makan siang berlangsung khidmat. Semua anggota keluarga menikmati santapan tanpa ada suara sedikitpun. Memang, keluarga Ardiwira terkenal akan sopan santunnya. Tak jarang orang yang baru melihat terasa segan dekat dengannya.
Setelah selesai, Ardiwira dan keluarganya kembali mengajak Nayya berbincang di ruang tamu sembari menunggu Rayyan yang sedang dalam perjalanan pulang. Mereka semua terdiam, Nayya kikuk dan canggung untuk memulai obrolan. Tapi, ia memberanikan diri untuk bertanya lebih dulu walau pastinya akan ditimpali dengan kalimat yang kurang enak.
"Adit, sudah kelas berapa?" sapa Nayya sambil mendekati Adit, anak Kirey yang sedang berlarian di ruangan dengan mainan di tangannya.
"Kelas 1 A," jawabnya singkat. Lalu anak itu berlarian lagi sambil mengoceh tak jelas.
Mata Lydia, ibu Rayyan menyipit. Tiba-tiba saja pandangannya fokus pada gaun yang dipakai oleh Nayya. Sejenak ia mengingat kembali apakah pernah ia melihatnya atau hanya ingatannya saja yang memudar.
"Nayya, kamu beli gaun itu dimana?" tanya Lydia. Nayya tersentak kaget dan menoleh. Wajahnya pucat, bingung harus menjawab apa.
"I-ini. Ehm, Rayyan yang belikan. Cantik sekali kan, Tante. Rayyan memang paling tahu yang terbaik untuk saya," ujarnya sambil terkekeh pelan.
Alis Lydia menukik. Raut wajah bingungnya membuat Nayya pucat. Apa mungkin Lydia sedang mengingat sesuatu? Pikir Nayya.
"Pa, masih ingat tidak waktu kita liburan sama Lily keliling Eropa tahun lalu. Kita kan mampir Paris, mama beli gaun satin untuk dia. Terus, pernah dipakai ke pesta ulang tahun kantor juga. Kenapa mirip sekali dengan yang Nayya pakai?" tanya Lydia pada sang suami. Ardiwira juga sempat menaksir sebentar hingga akhirnya ia pun bertanya. " Kamu beli dimana gaun itu?"
"Ehmm, Rayyan yang belikan," jawab Nayya gugup. Ia meremat gaun hingga membuatnya sedikit kusut.
"Ckck. Ternyata, selain merampas suaminya kamu juga merampas barang-barang milik Lily? Memalukan," sindir Lydia. Nayya terhenyak mendengar sindiran pedas itu. Kesabaran di dalam dirinya sudah habis. Dari dulu memang ia tak pernah dan tak akan direstui oleh keluarga besar Rayyan.
"Sudahlah, ma. Biarkan saja. Lagipula itu kan bekas dipakai Lily, mungkin saja sudah tidak muat atau memang Lily sengaja mengembalikan lagi pada Rayyan. Siapa tahu, anak itu akan berubah pikiran." Ardiwira membujuk sang istri. Nayya kira, ia akan dibela tetap saja ia yang dijadikan bahan bully oleh mereka.
Suasana kembali hening, namun sekejap saja keheningan itu hilang. Terdengar langkah kaki seseorang masuk kedalam rumah dan semakin mendekat ke ruang tamu. Semua menoleh, ternyata Rayyan yang datang.
"Apapun yang papa katakan tentang Nayya, tidak akan mengubah keputusan aku untuk menikahinya. Kalau memang kalian tak suka, harap tidak meninggalkan komentar tak baik. Nayya juga manusia, dia punya rasa sakit hati," ujar Rayyan yang tampaknya marah karena mendengar Nayya diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya.
"Kamu pikir Lily tidak sakit hati?" timpal Lydia. Rayyan pun balas menyerangnya lagi. Ia pun berkata lantang pada ibu kandungnya," Bukankah kalian yang memaksa aku menikahinya? Kalian juga tak mengindahkan perasaan aku sebagai anak kalian. Bukankah aku juga pantas sakit hati?"
Lydia tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia mengeratkan tangannya, menahan emosi. Sedangkan Ardiwira masih tampak tenang menghadapi anaknya yang memang sudah buta akan cinta. Tak bisa membedakan mana intan mana pasir.
Ia pun angkat bicara," Terserah kamu saja. Papa sudah tak peduli. Mau kamu jatuh, mau kamu hancur pun papa tidak peduli. Jangan salahkan papa yang lebih sayang pada Abizar dibandingkan dirimu."
Rayyan beralih menatap Abizar yang kini tersenyum menang melihat adegan di hadapannya.
"Baik. Saya terima semuanya."
"Satu lagi. Tinggalkan rumah yang kalian tempati sekarang, karena itu adalah rumah pemberian alm. Ayah mertuamu untuk Lily. Hanya Lily yang pantas menerimanya dan sementara biar Abizar yang tempati," tegas Ardiwira. Ia berdiri sambil menyilangkan tangan di punggung belakangnya. Satu tangannya maju dan mempersilakan sepasang calon pengantin tadi ke luar dari rumah.
"Silakan ke luar dari rumah saya. Hadapi hidup kalian, jangan sampai menyesal," tambahnya.
Lalu, Rayyan pun menarik Nayya ke luar meninggalkan mansion Ardiwira. Nayya ikut terseret hingga keduanya pun akhirnya berhenti saat tiba di luar rumah. Rayyan menarik napasnya lalu mengusak rambutnya kasar. Ia tak tahu harus pindah kemana sehabis ini.
"Ray, kita diusir dari rumah? Memangnya itu bukan rumah kamu?" rengek Nayya. Rayyan hanya diam tak menjawab. Lalu ia tersenyum menenangkan Nayya yang tampaknya ragu dan takut.
"Tenang sayang, aku akan cari rumah lagi yang lebih besar. Sabar, ya."
"Tapi atas nama aku, ya?" Rayyan mengangguk ragu. Nayya tersenyum lalu mengecup dahi Rayhan. "Terima kasih ya, sayang."
Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen
Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa
"Loh, sudah mau berangkat?" sapa Lily pada Bagas yang tengah asik menekuri piringnya yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi buatan Tya. Bagas menggangguk tanpa suara karena mulutnya yang sibuk mengunyah."Bagas ada panggilan dinas lagi katanya. Senin mau ada meeting di Bandung sekalian pulang menemui ibunya. Kamu ikut saja sekalian, biar ketemu lagi sama ehem..ehem," sindir Tya.Lily menunduk lalu menggeleng pelan. Ia merasa tak punya wajah jika bertemu dengan mantan calon ibu mertuanya. Apa rasanya jika calon menantu yang dulu diharapkan bisa bersanding dengan anaknya tiba-tiba datang seperti mengharap kembali pada anaknya yang dulu dicampakkan. Memalukan."Eung....""Lain kali saja. Lily kan masih masuk trimester pertama, takutnya tidak kuat jalan jauh," sahut Bagas. Ia menoleh dan tersenyum sambil terus menyuap makanannya. Tya mendesah kecewa. Seharusnya ia melihat perjuangan Bagas merebut kembal
Dua hari tinggal bersama, hari-hari sepasang pengantin baru terasa sedikit berbeda. Nayya sedikit lebih bertanggungjawab dengan rumah tangganya dan juga Rayyan suaminya. Bukan hanya sekedar memberi perhatian, ia juga memberi semua yang Rayyan butuhkan. Semuanya terasa berwarna, hingga Rayyan berpikir keluarganya telah salah menilai sosok Nayya.Sarapan sudah tersedia. Seperti biasa, setelah merapikan meja Nayya memanggil sang suami yang masih berkutat dengan kemeja dan jasnya. Rayyan pun keluar kamar lalu duduk di kursi makan bersama istrinya.Rayyan mengunyah roti bakarnya lalu bertanya pada Nayya," Nay, hari ini aku pulang sedikit terlambat."Nayya yang sedang mengiris sosis kesukaannya tiba-tiba terdiam. Tangannya berhenti dan pandangannya mengarah ke suaminya. "Kenapa tiba-tiba? Kita tidak bulan madu, tapi kamu tidak pulang tepat waktu juga."Nayya melempar garpunya dan menyingkirkan piring hingga ke
Seperti perkiraan Lily sebelumnya, Bagas pulang lebih cepat dari waktu sebenarnya. Dulu, sewaktu mereka masih menjalani hubungan sebelum akhirnya berpisah Bagas sering sekali pulang ke Bandung dan kembali lebih awal. Katanya, ia rindu ingin bertemu. Bisa dibilang, saat itu Bagas dan Lily adalah pasangan yang romantis dan bahagia.Bagas tak langsung pulang ke rumah kontrakannya, ia memilih singgah lebih dulu ke tempat Tya dan Lily karena tak sabar menyampaikan sebuah berita yang harus mereka dengar."Sepertinya Bagas sudah pulang," ucap Tya yang masih sibuk membereskan cucian piring. Ia menoleh ke belakang memberi kode pada Lily.Lily mengerti. Ia beranjak dari sofa lalu berjalan menuju pintu depan dan membuka pintunya. Terlihat jelas Bagas yang sibuk membuka bagasi kendaraannya dan menurunkan beberapa koper ke lantai.Lily tak curiga. Ia berjalan menghampiri sosok Bagas yang masih sibuk sementara m
Rayyan mengusap keningnya lalu memijitnya perlahan sembari mengeluh melihat tumpukan kertas yang berisikan laporan dari anak buahnya. Tugas rutinnya sudah menumpuk di hari pertama bekerja. Apalagi ditambah peristiwa tadi pagi yang membuatnya semakin emosi. Masalah yang seharusnya tak terjadi antara ia dan Nayya. Rasanya ratusan obat sekalipun tak bisa membuatnya mereda. Saat ia tengah dipusingkan dengan segala urusan kantor, Nayya tiba-tiba saja datang dan mengagetkan dirinya. Nayya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung duduk di pangkuan Rayyan yang masih terlihat bingung. "Nay, minggir dulu. Aku lagi sibuk," tolak Rayyan saat tangan Nayya menggerayangi tubuhnya. Tak peduli jika Rayyan memprotesnya. Sekali lagi Rayyan menolaknya dengan menyingkirkan tangan Nayya. "Nay, aku lagi kerja." Rayyan menaikkan satu oktaf suaranya membuat Nayya mendengus. Ia berdiri dan tangannya menyambar gelas di atas meja Rayyan lalu menuangkan isinya
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s