Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.
Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.
Sayangnya tidak.
"Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah.
"Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya datang lalu pergi. Bodohnya," kekehan Bagas terdengar keras. Tya yang berasa di sampingnya tak merasa jengah sama sekali. Hebatnya.
"Maklum, bule kampung. Muka saja yang ganteng, tapi otaknya minus," ujar Tya menimpali.
Lily pun ikut bergabung. Ia duduk di samping Tya yang kakinya menjulur ke meja. Begitu sadar ada Lily, kakinya pun diturunkan kembali. Tya menggeser tempat duduknya hingga ke tengah dan Bagas lebih ke pinggir.
"Lily mau makan? Atau aku ambil cemilan?" tanya Tya. Lily menggeleng. Ia malah menyambar minuman kaleng di meja dan hampir saja meneguknya namun ditarik oleh Tya. "Ibu hamil dilarang minum cola. Aku buatkan susu dulu ya."
Lily pun mengangguk. Tya bangun dan segera beranjak menuju dapur. Sebenarnya ini hanya alasannya saja, agar kedua insan tadi jadi lebih dekat dan tidak canggung.
Saat melihat Bagas, tiba-tiba saja Lily menjadi gugup. Ia ingin berkata sesuatu. Ah tidak, dia menginginkannya. Bagas menoleh, tak tega melihat raut wajah tegang Lily ia pun bertanya," Ada yang ingin kamu katakan?"
Lily mengangguk. "Bagas, boleh aku minta sesuatu sama kamu? Kalau kamu tidak mau, ya tidak masalah."
Bagas mengerutkan dahinya, coba menerka apa keinginan yang akan disampaikan oleh Lily. Bagas mengubah posisi duduknya. Menepuk sofa bagian tengah dan mengajak Lily duduk disana, di sampingnya.
"Katakan."
Lily bergerak lebih ke tengah, lebih dekat dengan Bagas. Tangannya terulur menarik tangan Bagas lalu menaruhnya di atas perutnya. Kini Bagas yang merasa panas dingin. Bahkan jantungnya berdebar semakin kencang. Lily menunduk karena malu, mungkin karena ia dengan berani menaruh tangan Bagas di atas perutnya.
"Aku hanya minta tolong usap perut saja. Maaf kalau terkesan aneh."
"Sure. Hanya usap perut tidak membuat nyawaku habis, kan?" Bagas pun menuruti keinginan Lily. Ia memang belum berpengalaman dengan ibu hamil. Tapi, sepengetahuannya seorang ibu hamil hormonalnya akan selalu naik turun. Kadang terasa ingin dimanja, terkadang enggan.
"Terima kasih."
Dalam hati Bagas, ia sedikit miris melihat nasib Lily. Perempuan cantik, berpendidikan tinggi dan punya hati bak malaikat tapi harus berakhir seperti ini pernikahannya. Kenapa pula tuhan menjodohkannya dengan orang sekejam Rayyan.
"Lily, kalau kamu ingin seperti ini atau ingin apapun tolong kasih tahu aku. Jangan sungkan," ujar Bagas. Lily mengangguk.
"Kalau aku minta makanan juga?" tanya Lily.
"Tentu. Apa saja."
Ekhem
Tya datang dari arah dapur membawa segelas susu untuk Lily, Tya memberikan gelas itu yang langsung disambar oleh Lily, "Ayo diminum dulu susunya."
"Terima kasih."
"Lily, besok jadi ke butik? Kamu juga harus cek sesekali takutnya ada manipulasi keuangan disana," tanya Tya.
Lily menaruh gelas di meja sambil membersihan bibirnya dari sisa susu yang menempel. Ia pun menjawab pertanyaan Tya yang masih penasaran dengan cara Lily mengelola butik pemberian orangtuanya. "Aku sudah percayakan pada seseorang disana. Rencananya, aku akan menghilang sementara hingga melahirkan. Aku harus mengambil alih perusahaan papa sebelum jatuh ke tangan Rayyan."
Tya hampir tersedak mendengarnya. Bagas pun sama, hanya saja dia lebih terlihat cool saat terkejut. Lily melirik keduanya bergantian. Tya dan Bagas terdiam saat Lily mengatakan hal tadi.
"Yang kamu katakan tadi serius, Lily?" Lily mengangguk. "Maksud kamu?"
Dengan tenang Lily mengambil satu bongkah kue kering buatan Tya, ia mengunyahnya pelan. Wajahnya datar menatap televisi sebelum menjawab pertanyaan Tya. "Sebenarnya, perusahaan yang sekarang ditempati Rayyan adalah milik papa aku. Karena dia adalah suamiku, jadi aku serahkan pengelolaannya padanya. Sekarang, pimpinan tertinggi diambil oleh Abizar."
Lily menatap kedua sahabatnya lalu menarik napas panjang dan menghempasnya perlahan. "Aku akan ambil hak yang memang sedari awal adalah milikku."
Perusahaan yang dimaksud Lily adalah perusahaan patungan milik ayah dan tuan Ardiwira. Selama lily dan Rayyan dalam status menikah, perusahaan itu dikelola oleh Rayyan sebagai perwakilan.
Sebelumnya, Lily pikir pernikahan mereka akan berlangsung lama jadi tak apa jika perusahaan itu dikelola oleh Rayyan. Tapi ternyata semuanya berubah. Rayyan membuangnya. Ini yang membuat Lily berpikir lagi untuk mengambil kembali hak ayahnya di perusahaan itu.
"Berapa persen saham yang dimiliki papa disana?" tanya Bagas. Ia ahli keuangan, setidaknya ia tahu seluk beluk kepemilikan usaha.
"Hampir setengahnya," jawab Lily.
Tya menutup mulutnya dengan tangan, lebih terkejut dari yang tadi. Lily mempunyai rahasia yang bisa membuat orang lain tercengang. Tya mengira jika Lily seorang wanita biasa yang membutuhkan tempat tinggal. Tapi ternyata lbih dari itu.
"Lalu apa rencanamu?"
"Aku tarik semua saham milik papa."
"Itu bagus, Lily. Aku dukung," ujar Tya.
"Terima kasih."
Lily teringat kembali kalimat yang menyakitkan hatinya yang terlontar dari mulut Rayyan. Kalimat yang mengatakan bahwa Lily seharusnya sadar diri dengan status dirinya sebagai istri yang tak diinginkan. Lily menahannya saat itu. Tapi sekarang tidak. Ia tidak akan kembali mengalah.
Lily berpamitan masuk kedalam kamarnya meninggalkan Tya dan Bagas yang masih ingin menonton tv di ruang tengah. Lily duduk menatap langit malam dari dalam ruangan kamar yang ia tempati.
'Andai saja mama masih hidup.'
Tya memukul lengan Bagas yang tampak acuh saat Lily bercerita tadi. Bagas memutar matanya malas, namun tetap fokus pada layar tv. Ia kembali memungut sisa popcorn karamel kesukaannya yang sekarang sudah habis tak tersisa.
"Kamu tidak merespon dia? What the? Katanya mau menunjukkan kalau kamu serius sama dia?" desak Tya. Bagas masih mengunyah popcorn di sela giginya. Berpikir sejenak apakah respon yang ia berikan tadi masih kurang.
"Tya, bukannya aku tidak mau. Tapi, kamu bisa lihat kan apakah aku masuk ke dalam prioritasnya dia?" Bagas terdiam. "Aku sebenarnya kecewa," ujarnya lirih.
Tya tak dapat memaksa. Memang dalam suatu hubungan harus ada timbal balik yang sesuai. Jika salah satunya tak mencintai, apakah pihak yang lain harus memaksanya?
"Yah, semoga dia berubah pikiran."
"Hmm.."
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa
"Loh, sudah mau berangkat?" sapa Lily pada Bagas yang tengah asik menekuri piringnya yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi buatan Tya. Bagas menggangguk tanpa suara karena mulutnya yang sibuk mengunyah."Bagas ada panggilan dinas lagi katanya. Senin mau ada meeting di Bandung sekalian pulang menemui ibunya. Kamu ikut saja sekalian, biar ketemu lagi sama ehem..ehem," sindir Tya.Lily menunduk lalu menggeleng pelan. Ia merasa tak punya wajah jika bertemu dengan mantan calon ibu mertuanya. Apa rasanya jika calon menantu yang dulu diharapkan bisa bersanding dengan anaknya tiba-tiba datang seperti mengharap kembali pada anaknya yang dulu dicampakkan. Memalukan."Eung....""Lain kali saja. Lily kan masih masuk trimester pertama, takutnya tidak kuat jalan jauh," sahut Bagas. Ia menoleh dan tersenyum sambil terus menyuap makanannya. Tya mendesah kecewa. Seharusnya ia melihat perjuangan Bagas merebut kembal
Dua hari tinggal bersama, hari-hari sepasang pengantin baru terasa sedikit berbeda. Nayya sedikit lebih bertanggungjawab dengan rumah tangganya dan juga Rayyan suaminya. Bukan hanya sekedar memberi perhatian, ia juga memberi semua yang Rayyan butuhkan. Semuanya terasa berwarna, hingga Rayyan berpikir keluarganya telah salah menilai sosok Nayya.Sarapan sudah tersedia. Seperti biasa, setelah merapikan meja Nayya memanggil sang suami yang masih berkutat dengan kemeja dan jasnya. Rayyan pun keluar kamar lalu duduk di kursi makan bersama istrinya.Rayyan mengunyah roti bakarnya lalu bertanya pada Nayya," Nay, hari ini aku pulang sedikit terlambat."Nayya yang sedang mengiris sosis kesukaannya tiba-tiba terdiam. Tangannya berhenti dan pandangannya mengarah ke suaminya. "Kenapa tiba-tiba? Kita tidak bulan madu, tapi kamu tidak pulang tepat waktu juga."Nayya melempar garpunya dan menyingkirkan piring hingga ke
Seperti perkiraan Lily sebelumnya, Bagas pulang lebih cepat dari waktu sebenarnya. Dulu, sewaktu mereka masih menjalani hubungan sebelum akhirnya berpisah Bagas sering sekali pulang ke Bandung dan kembali lebih awal. Katanya, ia rindu ingin bertemu. Bisa dibilang, saat itu Bagas dan Lily adalah pasangan yang romantis dan bahagia.Bagas tak langsung pulang ke rumah kontrakannya, ia memilih singgah lebih dulu ke tempat Tya dan Lily karena tak sabar menyampaikan sebuah berita yang harus mereka dengar."Sepertinya Bagas sudah pulang," ucap Tya yang masih sibuk membereskan cucian piring. Ia menoleh ke belakang memberi kode pada Lily.Lily mengerti. Ia beranjak dari sofa lalu berjalan menuju pintu depan dan membuka pintunya. Terlihat jelas Bagas yang sibuk membuka bagasi kendaraannya dan menurunkan beberapa koper ke lantai.Lily tak curiga. Ia berjalan menghampiri sosok Bagas yang masih sibuk sementara m
Rayyan mengusap keningnya lalu memijitnya perlahan sembari mengeluh melihat tumpukan kertas yang berisikan laporan dari anak buahnya. Tugas rutinnya sudah menumpuk di hari pertama bekerja. Apalagi ditambah peristiwa tadi pagi yang membuatnya semakin emosi. Masalah yang seharusnya tak terjadi antara ia dan Nayya. Rasanya ratusan obat sekalipun tak bisa membuatnya mereda. Saat ia tengah dipusingkan dengan segala urusan kantor, Nayya tiba-tiba saja datang dan mengagetkan dirinya. Nayya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung duduk di pangkuan Rayyan yang masih terlihat bingung. "Nay, minggir dulu. Aku lagi sibuk," tolak Rayyan saat tangan Nayya menggerayangi tubuhnya. Tak peduli jika Rayyan memprotesnya. Sekali lagi Rayyan menolaknya dengan menyingkirkan tangan Nayya. "Nay, aku lagi kerja." Rayyan menaikkan satu oktaf suaranya membuat Nayya mendengus. Ia berdiri dan tangannya menyambar gelas di atas meja Rayyan lalu menuangkan isinya
Wajah masam nan datar Rayyan tercetak jelas saat ia memasuki halaman rumahnya. Penyebabnya, dua mobil sedan terparkir memenuhi bagian luar garasinya. Alis Rayyan berkerut. Keduanya tampak asing, pasalnya ia hapal benar nomor plat kendaraan keluarganya. Tak mungkin pula mereka datang ke rumahnya tanpa memberitahu lebih dulu.Di dalam rumah, Nayya dan sahabatnya berkumpul membicarakan sesuatu yang tampaknya serius. Nayya hanya mengangguk ringan sementara yang lain memberikan saran dan arahan pada Nayya.Satu orang pria dewasa yang duduk dekat Nayya tiba-tiba saja menghampiri dan duduk bersebelahan lalu tangannya merangkul ke belakang punggung hingga dadanya bertabrakan dengan bahu Nayya.Nayya tersentak kaget. Tangannya menyingkirkan rangkulan itu namun si pria tampak memaksa."Lepas, Ben. Suami gue pulang kena pukul baru tahu rasa," celetuk Nayya. Tak punya malu, pria itu malah makin mendekat dan merangkul Nayya lagi."Gue en
"Sudah siap semua?" suara ibu Bagas mengagetkan Lily yang sedang menunduk menghitung banyaknya kardus makanan yang sudah terkumpul di ruang tamu. Lily mengangguk. Tangannya masih sibuk menunjuk puluhan kardus kecil lalu menghitungnya dan menulis di buku catatannya."Ma, bolu yang kemarin mama buat sudah dipotong?" tanya Tya setengah berteriak dari dapur. Ibu Bagas menepuk dahinya lalu berlari kecil menuju dapur. Lily tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Di luar, Bagas tengah sibuk menata kursi yang selesai ia bereskan. Lily mengambil satu botol air mineral lalu membawanya untuk Bagas. Ia yakin pasti pria yang saat ini menjadi kekasihnya itu sedang kehausan."Diminum dulu." botol air mineral yang dibawa Lily pun berpindah ke tangan Bagas."Ah, nikmatnya. Di dalam sudah beres kan?" Lily mengangguk dan menjawab pelan. "Kamu di dalam saja. Kasihan dedeknya nanti kecapekan."Lily tersenyum lalu menggeleng. Tampaknya ia tak setuju
Nayya dan pesta adalah satu kesatuan yang tak bisa dihindari lagi. Dimana ada pesta disitu ada Nayya. Dulu, sebelum ia menikah dengan Rayyan ia senang berpindah dari satu pesta ke pesta yang lain. Sekarang pun sama namun sedikit berubah waktunya. Bila dulu ia sering datang ke pesta pada malam hari, saat ini di pindah jadi siang hari. Memangnya, siapa makhluk gila mengadakan pesta di siang hari? Semua pasti bilang tidak ada tapi untuk Nayya dan teman-temannya itu pasti ada.Seperti biasa, setelah ritual makan pagi selesai Nayya akan bersiap-siap pergi bersama teman-temannya. Acara hari ini adalah mengunjungi rumah salah satu temannya yang baru saja menikah dengan pengusaha kaya raya yang juga seorang anak tunggal dari keluarga pejabat terkenal di Indonesia.Menyambangi rumah mewah berharga milyaran rupiah, membuat Nayya membelalakkan matanya. Mulutnya menganga tak habis-habisnya ia menggumam betapa kaya rayanya temannya itu. Raut wajahn
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s