Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.
Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.
Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.
Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga.
"Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yang ia tunjukkan.
"Kak, kenapa harus ada prosesi sungkeman sih? Ini kan bukan acara halal bi halal?" Nayya berkilah. Ia tak mau prosesi itu dilaksanakan apalagi ini dilakukan di depan orang banyak. Nayya berpikir buruk, apa mungkin keluarga Ardiwira akan mempermalukan dirinya?
"Memang kenapa? Saat Lily menikah dengan adik aku juga ada acara sungkeman. Tidak usah rewel," ketus Kirey.
"Aku tidak mau. Aku akan bilang Rayyan."
Nekat, Nayya berlari keluar dari kamar rias menuju tempat ijab kabul berada. Nayya membuka pintu ruangan dengan kasar lalu kembali berlari menuju tempat suaminya berdiri setelah mengikrarkan janji suci. Rayyan membelalakkan matanya, kaget dengan apa yang dilakukan oleh Nayya.
"Kamu kenapa lari?" tanya Rayyan. Nayya menghambur ke pelukan suaminya lalu mulai memainkan dramanya. Ia menangis sesenggukan membuat para saksi yang hadir kebingungan. Dari balik pintu, tampak kakaknya terengah-engah seperti habis berlari kencang. Mereka bertatapan, antara kakak dan adik. Rayyan yakin, Nayya menangis karena kakaknya mengatakan sesuatu yang membuat ia terluka.
"Nayya, kenapa kamu keluar kamar sebelum ada aba-aba dari dalam?" tanya Kirey, napasnya masih terengah-engah karena mengejar Nayya. Rayyan menatap keduanya, antara istri dan kakaknya secara bergantian.
"Ini kenapa kak?" kini Rayyan yang bertanya. Kirey baru akan membuka mulutnya namun Nayya lebih dulu menjawabnya." Rayyan, kata kak Kirey aku tidak seperti Lily. Aku bukan menantu yang baik. Aku sedih, Rayyan. Makanya aku lari dari kamar ingin bertemu kamu. Hiks hiks."
Kirey membelalakkan matanya. Tangannya melambai tanda penolakan. Ia mengumpat dalam hati dan rasanya ingin sekali membalas fitnah kejam dari Nayya yang kini menampakkan smirknya dari balik pelukan Rayyan.
Mendengar istrinya disakiti, tentu saja membuat Rayyan naik pitam. Ia sudah mengalah atas perlakuan keluarganya pada Nayya, tapi mengapa hal itu terus terjadi hingga mereka sudah resmi jadi suami istri?
"Kak, sudah cukup pertengkaran kita Minggu lalu. Kalian boleh tak menyukainya, tapi mohon jangan membuat ia merasa buruk dan hancur karena omongan kalian. Aku sudah mengalah, apalagi yang kalian inginkan?" jelas Rayyan panjang lebar. Ia kembali memeluk Nayya. Disaksikan banyak saksi undangan, pertengkaran keluarga itu tetap berlanjut. Kini, Lydia juga ikut menimpali perselisihan mereka berdua.
"Kamu menuduh kakakmu? Kenapa kamu tidak tanya lebih dulu padanya dan lebih mendengarkan istrimu? Kakakmu yang menemani kamu sedari kecil dan kamu lebih percaya sama istri kamu yang baru kenal 3 tahun? Luar biasa," sindir Lydia. Matanya melirik Nayya yang masih mengintip dari balik pelukan Rayyan. Nayya tak berani menatap balik mata mertuanya. Menakutkan, pikir Nayya.
"Ma, jangan menjatuhkan Nayya begitu dalam. Dia wanita yang baik. Mama terlalu menyanjung Lily hingga tutup mata tentang Nayya," protes Rayyan.
Saat akan membalas, tiba-tiba Ardiwira datang. Ikut menenangkan pertengkaran yang hampir meluas antara ibu dan anak. Ardiwira menarik lengan Lydia dan Kirey, mengajaknya pergi dari gedung pernikahan.
"Ayo, kita pulang. Percuma berdebat dengan orang bodoh dan buta," sindir Ardiwira. Namun sebelum Lydia pergi meninggalkan ruangan ia kembali menatap anak serta menantunya dan berkata sesuatu yang membuat seisi ruangan gempar. " Demi tuhan, karena kamu sudah memfitnah anak saya dan sebagai ibunya saya tidak rela. Saya menyumpahi kalian berdua, suatu hari nanti kalian akan bertekuk lutut di hadapan kakak kalian. Camkan itu!!"
Lydia pergi dengan luka hatinya yang teramat dalam. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya sambil terus berjalan meninggalkan gedung pernikahan. Kirey menatap sebentar lalu ikut pergi dengan orangtuanya, sedangkan suami dan anaknya menyusul dari belakang.
Para saksi mulai ramai memperbincangkan masalah keluarga tadi. Mereka ada yang menyalahkan keluarga Ardiwira dan ada yang menyalahkan Nayya selaku menantu barunya.
Abi, berdiri di belakang Rayyan. Ia menepuk bahu sepupunya itu dan membisikkan sesuatu di telinga Rayyan. " Sebenarnya mama dan kakak kamu ingin mengadakan acara sungkeman untuk meminta restu. Tapi, istri kamu menolak dan malah memfitnah mereka. Cepat minta maaf, hati mama kamu terluka."
Abi pun ikut pergi meninggalkan ruangan. Ia berjalan sambil melepas jas hitam yang ia kenakan. Kini tersisa Rayyan dan Nayya di ruangan itu beserta tamu undangan. Nayya memandang raut wajah suaminya yang tiba-tiba pucat dan terdiam mematung cukup lama, lalu ia mengguncang tubuhnya.
"Sayang, jangan diam saja. Acaranya akan dimulai," rengeknya. Rayyan tersenyum canggung lalu mengangguk mengikuti keinginan istrinya. Hatinya masih kacau karena pertengkaran tadi. Bagaimana caranya ia minta maaf pada kakak dan ibunya nanti?
Sementara itu, di luar gedung Abi melihat suatu pemandangan indah yang menarik perhatiannya. Ada seseorang yang datang, dengan menggunakan gaun cantik dan wajah berbinar berjalan menuju gedung pernikahan. Wajah yang sangat ingin ia pandangi setiap hari, jika memungkinkan.
Abi pun berjalan menghampiri dan menyapanya," Hei, Lily. Apa kabar? Kamu datang juga?"
Yang disapa pun menoleh. Ia tersenyum lalu membalasnya," Hei, Abi. Aku datang memenuhi undangan. Pestanya sudah dimulai?"
Abi mengangguk. Pandangannya tertuju pada satu pria di belakangnya yang berjalan menghampiri Lily lalu berdiri berdampingan. Seperti sepasang kekasih. Abi, cemburu.
"Lily, mau langsung masuk atau kalian akan mengobrol lebih dulu?" tanya Bagas sambil melirik Abi dan Lily bergantian.
"Ee..."
"Lebih baik kalian pulang saja. Aku menyesal memberi surat undangan. Rayyan tak seperti dulu lagi, ia bahkan sudah mengusir keluarganya demi wanita yang ia nikahi sekarang," jelas Abi. Lily dan Bagas saling bertatapan lalu mengerutkan dahi mereka.
"Ini serius?" tanya Lily. Abi mengangguk. Tangannya membalik bahu Lily dan mengajaknya berjalan menjauhi gedung. Bagas mengikutinya dari belakang. "Kenapa bisa? Bukankah Rayyan sayang sekali sama mama?"
"Itu dulu. Untuk mengobati rasa kecewa kalian, bagaimana kalau siang ini aku ajak kalian makan bersama. Kamu masih suka shabu-shabu kan?" tanyanya pada Lily, yang ditanya pun mengangguk.
"Iya. Kamu mau traktir aku?"
"Of course. Bagaimana, Bagas?" tanya Abi pada Bagas.
"Boleh. Kita ke tempat langganan Lily saja," tawarnya.
"Ok. Saya duluan jalan, kalian menyusul ya."
Setibanya di tempat yang diinginkan, mereka pun segera memesan makanan terbaik dari resto tersebut. Resto kenangan antara Rayyan dan Lily saat pertama kali makan bersama satu tahun yang lalu. Lily menatap sekeliling, ia tersenyum lalu menunduk. Ia menghela napas panjang, berusaha melepaskan keresahannya.
"Kamu mau aku pesankan bento?" tanya Bagas. Jihan menggeleng. Ia rasa sudah cukup menikmati makanan yang ada di depannya kini. Sayuran dan daging yang dicelupkan kedalam kuah panas, membuatnya berbinar.
"Aku ingin makan hotpot."
"Kamu masih kelola butik kamu kan? Aku rencananya mau kesana," tanya Abi membuka obrolan. Lily mengangguk, mulutnya masih penuh dengan makanan. Abi tersenyum melihat pemandangan itu. Sungguh lucu sekali.
"Masih. Kapan kamu mau kesana?" tanya Lily.
"Minggu depan. Teman wanitaku akan ada acara, aku diminta mencarikan butik terbaik. Aku rekomendasikan butik milikmu."
"Kekasih?"
"Uhm, entahlah."
Sedang asiknya makan, tiba-tiba Abi dikejutkan oleh suara deringan telpon yang ia taruh di sebelahnya. Ia berdiri dan pergi dari meja lalu menjawabnya di luar ruangan. Selang sepuluh menit ia datang kembali dengan raut wajah khawatir.
"Kenapa, Abi?" tanya Lily.
"Aku harus pulang. Mama butuh bantuan. Thanks atas obrolannya. Untuk makanan sudah aku bayar. Permisi."
"Hati-hati, salam untuk mama."
Abi berpamitan pulang. Lily melambaikan tangannya hingga sosok itu ke luar dari area resto. Ia kembali menyantap dan menghabiskan makanannya lalu pulang bersama Bagas. Beruntungnya, ia hari ini hatinya terselamatkan oleh Abi.
'Setidaknya, hari ini aku tidak sakit hati.'
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa
"Loh, sudah mau berangkat?" sapa Lily pada Bagas yang tengah asik menekuri piringnya yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi buatan Tya. Bagas menggangguk tanpa suara karena mulutnya yang sibuk mengunyah."Bagas ada panggilan dinas lagi katanya. Senin mau ada meeting di Bandung sekalian pulang menemui ibunya. Kamu ikut saja sekalian, biar ketemu lagi sama ehem..ehem," sindir Tya.Lily menunduk lalu menggeleng pelan. Ia merasa tak punya wajah jika bertemu dengan mantan calon ibu mertuanya. Apa rasanya jika calon menantu yang dulu diharapkan bisa bersanding dengan anaknya tiba-tiba datang seperti mengharap kembali pada anaknya yang dulu dicampakkan. Memalukan."Eung....""Lain kali saja. Lily kan masih masuk trimester pertama, takutnya tidak kuat jalan jauh," sahut Bagas. Ia menoleh dan tersenyum sambil terus menyuap makanannya. Tya mendesah kecewa. Seharusnya ia melihat perjuangan Bagas merebut kembal
Dua hari tinggal bersama, hari-hari sepasang pengantin baru terasa sedikit berbeda. Nayya sedikit lebih bertanggungjawab dengan rumah tangganya dan juga Rayyan suaminya. Bukan hanya sekedar memberi perhatian, ia juga memberi semua yang Rayyan butuhkan. Semuanya terasa berwarna, hingga Rayyan berpikir keluarganya telah salah menilai sosok Nayya.Sarapan sudah tersedia. Seperti biasa, setelah merapikan meja Nayya memanggil sang suami yang masih berkutat dengan kemeja dan jasnya. Rayyan pun keluar kamar lalu duduk di kursi makan bersama istrinya.Rayyan mengunyah roti bakarnya lalu bertanya pada Nayya," Nay, hari ini aku pulang sedikit terlambat."Nayya yang sedang mengiris sosis kesukaannya tiba-tiba terdiam. Tangannya berhenti dan pandangannya mengarah ke suaminya. "Kenapa tiba-tiba? Kita tidak bulan madu, tapi kamu tidak pulang tepat waktu juga."Nayya melempar garpunya dan menyingkirkan piring hingga ke
Seperti perkiraan Lily sebelumnya, Bagas pulang lebih cepat dari waktu sebenarnya. Dulu, sewaktu mereka masih menjalani hubungan sebelum akhirnya berpisah Bagas sering sekali pulang ke Bandung dan kembali lebih awal. Katanya, ia rindu ingin bertemu. Bisa dibilang, saat itu Bagas dan Lily adalah pasangan yang romantis dan bahagia.Bagas tak langsung pulang ke rumah kontrakannya, ia memilih singgah lebih dulu ke tempat Tya dan Lily karena tak sabar menyampaikan sebuah berita yang harus mereka dengar."Sepertinya Bagas sudah pulang," ucap Tya yang masih sibuk membereskan cucian piring. Ia menoleh ke belakang memberi kode pada Lily.Lily mengerti. Ia beranjak dari sofa lalu berjalan menuju pintu depan dan membuka pintunya. Terlihat jelas Bagas yang sibuk membuka bagasi kendaraannya dan menurunkan beberapa koper ke lantai.Lily tak curiga. Ia berjalan menghampiri sosok Bagas yang masih sibuk sementara m
Rayyan mengusap keningnya lalu memijitnya perlahan sembari mengeluh melihat tumpukan kertas yang berisikan laporan dari anak buahnya. Tugas rutinnya sudah menumpuk di hari pertama bekerja. Apalagi ditambah peristiwa tadi pagi yang membuatnya semakin emosi. Masalah yang seharusnya tak terjadi antara ia dan Nayya. Rasanya ratusan obat sekalipun tak bisa membuatnya mereda. Saat ia tengah dipusingkan dengan segala urusan kantor, Nayya tiba-tiba saja datang dan mengagetkan dirinya. Nayya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung duduk di pangkuan Rayyan yang masih terlihat bingung. "Nay, minggir dulu. Aku lagi sibuk," tolak Rayyan saat tangan Nayya menggerayangi tubuhnya. Tak peduli jika Rayyan memprotesnya. Sekali lagi Rayyan menolaknya dengan menyingkirkan tangan Nayya. "Nay, aku lagi kerja." Rayyan menaikkan satu oktaf suaranya membuat Nayya mendengus. Ia berdiri dan tangannya menyambar gelas di atas meja Rayyan lalu menuangkan isinya
Wajah masam nan datar Rayyan tercetak jelas saat ia memasuki halaman rumahnya. Penyebabnya, dua mobil sedan terparkir memenuhi bagian luar garasinya. Alis Rayyan berkerut. Keduanya tampak asing, pasalnya ia hapal benar nomor plat kendaraan keluarganya. Tak mungkin pula mereka datang ke rumahnya tanpa memberitahu lebih dulu.Di dalam rumah, Nayya dan sahabatnya berkumpul membicarakan sesuatu yang tampaknya serius. Nayya hanya mengangguk ringan sementara yang lain memberikan saran dan arahan pada Nayya.Satu orang pria dewasa yang duduk dekat Nayya tiba-tiba saja menghampiri dan duduk bersebelahan lalu tangannya merangkul ke belakang punggung hingga dadanya bertabrakan dengan bahu Nayya.Nayya tersentak kaget. Tangannya menyingkirkan rangkulan itu namun si pria tampak memaksa."Lepas, Ben. Suami gue pulang kena pukul baru tahu rasa," celetuk Nayya. Tak punya malu, pria itu malah makin mendekat dan merangkul Nayya lagi."Gue en
"Sudah siap semua?" suara ibu Bagas mengagetkan Lily yang sedang menunduk menghitung banyaknya kardus makanan yang sudah terkumpul di ruang tamu. Lily mengangguk. Tangannya masih sibuk menunjuk puluhan kardus kecil lalu menghitungnya dan menulis di buku catatannya."Ma, bolu yang kemarin mama buat sudah dipotong?" tanya Tya setengah berteriak dari dapur. Ibu Bagas menepuk dahinya lalu berlari kecil menuju dapur. Lily tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Di luar, Bagas tengah sibuk menata kursi yang selesai ia bereskan. Lily mengambil satu botol air mineral lalu membawanya untuk Bagas. Ia yakin pasti pria yang saat ini menjadi kekasihnya itu sedang kehausan."Diminum dulu." botol air mineral yang dibawa Lily pun berpindah ke tangan Bagas."Ah, nikmatnya. Di dalam sudah beres kan?" Lily mengangguk dan menjawab pelan. "Kamu di dalam saja. Kasihan dedeknya nanti kecapekan."Lily tersenyum lalu menggeleng. Tampaknya ia tak setuju
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s