Rayyan mengusap keningnya lalu memijitnya perlahan sembari mengeluh melihat tumpukan kertas yang berisikan laporan dari anak buahnya. Tugas rutinnya sudah menumpuk di hari pertama bekerja. Apalagi ditambah peristiwa tadi pagi yang membuatnya semakin emosi. Masalah yang seharusnya tak terjadi antara ia dan Nayya. Rasanya ratusan obat sekalipun tak bisa membuatnya mereda.
Saat ia tengah dipusingkan dengan segala urusan kantor, Nayya tiba-tiba saja datang dan mengagetkan dirinya. Nayya masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan langsung duduk di pangkuan Rayyan yang masih terlihat bingung.
"Nay, minggir dulu. Aku lagi sibuk," tolak Rayyan saat tangan Nayya menggerayangi tubuhnya. Tak peduli jika Rayyan memprotesnya. Sekali lagi Rayyan menolaknya dengan menyingkirkan tangan Nayya.
"Nay, aku lagi kerja." Rayyan menaikkan satu oktaf suaranya membuat Nayya mendengus. Ia berdiri dan tangannya menyambar gelas di atas meja Rayyan lalu menuangkan isinya ke atas kemeja Rayyan.
"Ini akibatnya jika mengabaikan aku," ujar Nayya. Ia menarik dasi Rayyan dan membisikkan sesuatu di telinganya," Kita main disini bagaimana? Aku suka suasana kantor kamu."
Rayyan menutup matanya menahan sesuatu yang mendesah dari balik bibirnya. Rupanya Nayya tengah berbisik sambil mengumpat kata-kata kotor yang membuat pikiran suaminya melayang entah kemana.
"Nay, jangan sekarang. Kalau ada orang kantor lihat tidak hanya aku yang malu, tapi juga papa aku," tolak Rayyan kembali.
Nayya kecewa namun ia tak menyerah. Bagi Nayya, tak ada sesuatu yang bisa menghalangi keinginannya.
Nayya mengunci pintu ruangan Rayyan dan tirai kedua jendela ruangan itu. Lalu tangannya sigap mencari benda pengontrol ruangan dan menyetelnya menjadi kedap suara.
"Aku tidak ingin ditolak, Rayyan." Nayya menyingkirkan kertas dari tangan Rayyan dan memaksa duduk di pangkuannya. Nayya membuka satu persatu kancing kemeja Rayyan. Nayya mulai menggerayangi dada bidang suaminya tak lupa dengan bibir sensualnya yang bergerilya dari leher hingga dadanya.
"N-nay..." Rayyan menggeram pelan. Nayya semakin bersemangat. Ia bergerak menggoyangkan pinggulnya hingga geraman Rayyan semakin terdengar jelas.
"Belum pernah merasakan seperti ini, kan. Sensasi bermain di kantor dengan pacuan adrenalin yang membuat semuanya semakin sexy," bisik Nayya di telinga Rayyan. Deruan napasnya yang merdu di telinga Rayyan membuat tangan Rayyan tak sadar menggerayangi punggung Nayya.
Setelah puas menggerayangi, ia pun dengan sigap membuka resleting belakang gaun Nayya dan menurunkannya perlahan. Satu tangannya berhasil membuka pengait di belakang punggungnya.
"Arghh..Nayya," desah Rayyan. Napasnya mulai memburu dan tak kuasa menahan nafsunya. Ia berdiri dan mengangkat tubuh Nayya dan menjatuhkannya di atas sofa besar di dalam ruangannya.
Rayyan menumpukan tangannya pada sisi sofa dan mulai mencecapi bibir ranum Nayya yang seksi. Kemejanya sudah terlepas entah kemana menyisakan dada bidang yang masih digerayangi Nayya.
"Celana kamu sesak, sayang. Perlu aku buka?" Rayyan mengangguk. Perlahan Nayya membuka sabuk lalu menurunkan resleting celana Rayyan dan tersenyum puas melihat apa yang ingin ia lihat sebelumnya.
"Nay, ahhh. Please Nay, lebih cepat." Rayyan terus meracau saat Nayya memegang bagian pusat bawah Rayyan.
Karena tak kuat, Rayyan membuka kasar gaun Nayya dan melakukan penetrasi tanpa memberi aba-aba pada Nayya.
"Auww..kasar banget. Tapi aku suka."
Menit demi menit desahan mereka mengalun memenuhi ruangan. Berbagai macam posisi mereka lakukan tanpa mengenal lelah. Nayya pun semakin liar. Ia mengajak Rayyan ke pinggir jendela kaca yang mengarah ke jalan besar dan meminta Rayyan untuk melakukannya disana.
"Kamu suka yang seperti ini? Hmm.." tanya Rayyan sambil berbisik di telinga Nayya dan sedikit mengecupinya.
"I like it. Lebih cepat, sayang. Eunghh..." Nayya meminta lebih. Rayyan mempercepat gerakannya dengan posisi berdiri menghadap kaca dengan satu tangan melingkar di pinggang Nayya.
Napas mereka memburu lagi. Kali ini keduanya merasakan pelepasan yang sungguh nikmat. Keduanya pun ambruk di atas sofa dengan posisi saling memeluk.
"Kamu puas, sayang?" Rayyan mengecup pipi Nayya sekilas dan dibalas anggukan olehnya.
"Kamu tidak pernah mengecewakan. Aku suka," jawab Nayya. Tangannya masih memegang bagian bawah Rayyan hingga suaminya itu menggeram kembali.
"Lain kali kamu jangan minum pil itu, sayang. Aku mau kamu hamil," saran Rayyan. Nayya tak menggubris namun tiba-tiba ia duduk di atas tubuh Rayyan.
"Aku belum mau hamil, sayang. Karirku masih bagus. Lagipula, kita kan masih muda. Masih butuh waktu untuk berdua. Iya kan, sayang?" rayu Nayya. Rayyan pun luluh. Ia hanya bisa mengangguk dan matanya terpejam menikmati sentuhan tangan Nayya yang membuatnya mendesah lagi.
"Iya, sayang. Lakukan sesukamu."
Selagi mereka berdua berada di dalam, Abi yang terus menerus mengetuk pintu ruangan Rayyan mendecak sebal. Pasalnya, hari ini ada pertemuan penting dengan beberapa klien penting dan Rayyan harus ikut serta.
Abi berkali-kali menghubungi ponsel Rayyan namun nihil jawaban. Sampai ia tak sabar lalu menyuruh sekretaris Rayyan untuk menghubunginya melalui interphone.
"Fa, tolong telpon pak Rayyan," perintahnya pada Farah, sekretaris Rayyan.
"Maaf, Pak. Di dalam ada istrinya pak Rayyan. Tadi ruangan dikunci dan peredamnya juga dinyalakan," jawab Farah. Abi membelalakkan matanya. Tangannya mengepal kesal.
"Sejak kapan?" tanyanya lagi.
"Dua jam yang lalu," jawab Farah.
Abi menggerutu. Tak sadar kakinya menendang pintu ruangan Rayyan lalu pergi menuju ruangannya lagi sambil menoleh ke arah sekretarisnya.
"Bilang sama bos kamu, dicariin sama saya dan harus segera menghadap ke ruangan. Segera," perintahnya membuat Farah ketakutan dan akhirnya mengangguk.
'Rayyan...Rayyan..sejak kapan tidak profesional seperti ini.'
Selesai makan siang, Rayyan yang sudah mengusir Nayya bersiap menuju ruangan Abi. Ia tahu pasti ada sesuatu yang akan dibicarakan oleh adik sepupunya sekaligus bos besarnya di kantor. Tak hanya itu, sialnya hari ini Rayyan lupa jika ada janji dengan salah satu petinggi perusahaan yang akan mengajukan kerjasama. Bisa dipastikan Abi akan marah besar padanya.
Rayyan mengetuk pintu ruangan. Terdengar suara menyuruhnya masuk dari dalam. Raut wajah sangar Abi adalah pemandangan pertama yang ia lihat saat memasuki ruangan. Tak pelak itu membuat Rayyan sedikit ketakutan.
"Kamu tahu kan, ini kantor?" tegur Abi. Rayyan mengangguk pelan. "Lain kali pergunakan jam besuk tamu dengan baik. Pilah, mana tamu yang penting dan tidak penting." kata-kata ketus Abi membuat Rayyan teringat kembali tindakannya tadi di ruang kerja.
"Maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ujar Rayyan. Abi menyuruhnya untuk duduk dan menyerahkan dokumen pertemuan yang seharusnya ia ikuti tadi pagi. Abi sudah mengetiknya dengan rapi.
"Ini notulen yang tadi?" tanya Rayyan yang diangguki oleh Abi.
"Pelajari. Sebenarnya om Ardi mau menyerahkan seluruh aset kantor ini sama kamu. Tapi melihat kinerja kamu yang seperti ini, jadi niatnya pun diurungkan." Abi menyindir Rayyan secara terang-terangan.
"Benarkah?" Rayyan terlihat penasaran. Abi mengangguk dan menceritakan sebagian perbincangan ia dan pamannya.
"Iya. Bahkan sebelum kamu dan Lily bercerai. Ah omong-omong soal Lily, kamu diperintahkan paman untuk mencari mantan istrimu itu," ujar Abi di tengah pembicaraan penting tadi. Raut wajah Rayyan berubah masam. Nama Lily telah mengubah isi kepalanya tentang ayahnya. Ia kira hanya dengan menaikkan kinerja sudah cukup untuk membuatnya menduduki tahta tertinggi di perusahaan.
"Untuk apa aku mencarinya? Sama saja papa menyuruh aku kembali sama dia. Tetap saja, jawabannya adalah tidak," tegas Rayyan.
Abi mengikik mendengar jawaban Rayyan yang arogan dan sombong. Andai saja dia tahu bagaimana kehidupan Lily saat ini, dia pasti akan menyesal telah mengatakan sesuatu yang memalukan tadi.
"Jangan terlalu percaya diri, bung. Belum tentu Lily menginginkan kamu lagi. Paman menyuruhmu mencarinya karena ada suatu hal yang harus kalian bicarakan," jelas Abi panjang lebar.
"Tetap jawabannya tidak. Aku tidak mau ambil resiko Nayya marah jika mengetahuinya," tegas Rayyan kembali.
Abi Tersenyum sinis. Tak habis pikir dengan pikiran picik dan bodoh Rayyan yang membuatnya seperti kerbau dicucuk hidungnya. Rayyan terlalu menuruti keinginan Nayya bahkan sampai mengabaikan keluarga dan kerabatnya. Bukankah itu konyol?
"Serius? Ini pertaruhannya jabatan kamu. Begini saja, kamu cari dia lalu beritahu aku biar aku yang bicara," usul Abi membuat alis Rayyan berkerut.
"Tidak. Jawabannya tetap tidak akan. Karena ini pertaruhannya dengan pernikahan aku," ujar Rayyan tak mau kalah. Abi menggedikkan bahu. Tampaknya ia pasrah akan kerasnya keinginan Rayyan.
"Ya sudah. Tapi jangan menyesal suatu hari nanti."
Wajah masam nan datar Rayyan tercetak jelas saat ia memasuki halaman rumahnya. Penyebabnya, dua mobil sedan terparkir memenuhi bagian luar garasinya. Alis Rayyan berkerut. Keduanya tampak asing, pasalnya ia hapal benar nomor plat kendaraan keluarganya. Tak mungkin pula mereka datang ke rumahnya tanpa memberitahu lebih dulu.Di dalam rumah, Nayya dan sahabatnya berkumpul membicarakan sesuatu yang tampaknya serius. Nayya hanya mengangguk ringan sementara yang lain memberikan saran dan arahan pada Nayya.Satu orang pria dewasa yang duduk dekat Nayya tiba-tiba saja menghampiri dan duduk bersebelahan lalu tangannya merangkul ke belakang punggung hingga dadanya bertabrakan dengan bahu Nayya.Nayya tersentak kaget. Tangannya menyingkirkan rangkulan itu namun si pria tampak memaksa."Lepas, Ben. Suami gue pulang kena pukul baru tahu rasa," celetuk Nayya. Tak punya malu, pria itu malah makin mendekat dan merangkul Nayya lagi."Gue en
"Sudah siap semua?" suara ibu Bagas mengagetkan Lily yang sedang menunduk menghitung banyaknya kardus makanan yang sudah terkumpul di ruang tamu. Lily mengangguk. Tangannya masih sibuk menunjuk puluhan kardus kecil lalu menghitungnya dan menulis di buku catatannya."Ma, bolu yang kemarin mama buat sudah dipotong?" tanya Tya setengah berteriak dari dapur. Ibu Bagas menepuk dahinya lalu berlari kecil menuju dapur. Lily tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Di luar, Bagas tengah sibuk menata kursi yang selesai ia bereskan. Lily mengambil satu botol air mineral lalu membawanya untuk Bagas. Ia yakin pasti pria yang saat ini menjadi kekasihnya itu sedang kehausan."Diminum dulu." botol air mineral yang dibawa Lily pun berpindah ke tangan Bagas."Ah, nikmatnya. Di dalam sudah beres kan?" Lily mengangguk dan menjawab pelan. "Kamu di dalam saja. Kasihan dedeknya nanti kecapekan."Lily tersenyum lalu menggeleng. Tampaknya ia tak setuju
Nayya dan pesta adalah satu kesatuan yang tak bisa dihindari lagi. Dimana ada pesta disitu ada Nayya. Dulu, sebelum ia menikah dengan Rayyan ia senang berpindah dari satu pesta ke pesta yang lain. Sekarang pun sama namun sedikit berubah waktunya. Bila dulu ia sering datang ke pesta pada malam hari, saat ini di pindah jadi siang hari. Memangnya, siapa makhluk gila mengadakan pesta di siang hari? Semua pasti bilang tidak ada tapi untuk Nayya dan teman-temannya itu pasti ada.Seperti biasa, setelah ritual makan pagi selesai Nayya akan bersiap-siap pergi bersama teman-temannya. Acara hari ini adalah mengunjungi rumah salah satu temannya yang baru saja menikah dengan pengusaha kaya raya yang juga seorang anak tunggal dari keluarga pejabat terkenal di Indonesia.Menyambangi rumah mewah berharga milyaran rupiah, membuat Nayya membelalakkan matanya. Mulutnya menganga tak habis-habisnya ia menggumam betapa kaya rayanya temannya itu. Raut wajahn
Usia kandungan Lily sudah masuk bulan ketujuh. Rencananya mama Bagas akan membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakannya. Lily sebenarnya tidak setuju, tapi atas paksaan Tya ia pun menyetujuinya. Awalnya hanya pihak keluarga dari Bagas dan Tya yang datang, namun mama Bagas tidak setuju. Ia juga mengundang teman-teman sejawatnya yang tinggal di Jakarta untuk datang ke acara tersebut. Mau tidak mau, Lily pun menyetujuinya karena ia tak ingin mama Bagas kecewa atas penolakannya."Sudah siap kan semua?" tanya mama Bagas. Tya mengangguk. Sudut rumah sudah dirapikan dan dihias olehnya."Beres, ma." Tya menunjuk sudut rumah memperlihatkan hasil pekerjaannya. Mama Bagas tersenyum, ia puas dengan hasilnya.Sementara itu, Lily juga ikut membantu menata makanan kecil di belakang. Ditemani para pekerja dari catering milik mama Bagas, mereka saling bercanda berbagi cerita. Lily senang, ia punya banyak teman mengobrol. Ia
"Sayang, kita belum bulan madu loh," rayu Nayya. Wanita cantik yang menyandang gelar sebagai nyonya Rayyan itu bergelayut manja di tangan suaminya. Rayyan sedikit risih. Perlahan ia mengibaskan tangan lalu menghindar."Mau kemana? Aku masih sibuk, belum dapat cuti."Nayya mengerucutkan bibirnya. Usaha pertama memang gagal, ia akan usaha untuk kedua kalinya."Aku mau ke Maldives. Teman arisan habis liburan ke sana. Please..." Nayya semakin merengek. Rayyan kembali tidak fokus pada pekerjaannya. Ia melirik arloji sekilas. Satu jam lagi waktunya pulang."Berapa hari?""Satu Minggu." Nayya menunjukkan jari telunjuknya lalu menyeringai menampilkan deretan giginya yang putih."Aku usahakan bulan depan. Tapi aku enggak janji," jawab Rayyan tak percaya diri. Nayya mengerutkan dahinya."Kenapa?"
Keduanya diam, Abi dan Bagas tak banyak bicara semnejak mereka tiba di sebuah taman kecil di pinggiran Jakarta. Awalnya mereka akan bertemu di restoran biasa, tapi suasananya tak mendukung.Bagas menarik napasnya perlahan. Tatapannya datar ke atas langit menantikan pembicaraan yang dimaksud oleh Abi. Kalau ini berkaitan dengan Lily, apakah ini juga berkaitan dengan anak yang sedang dikandungnya?"Kamu keceplosan bilang kalau Lily sedang hamil?" tanya Bagas membuka percakapan. Abi menggeleng. "Lalu kenapa?""Justru itu. Mantan ayah mertua Lily sedang sibuk mencari keberadaan dia. Rapat pemegang saham akan dilaksanakan dua bulan lagi sedangkan calon pengganti tidak ada. Satu-satunya adalah Lily, dia yang berhak."Bagas tak sengaja membuka lebar mulutnya lalu mengatupnya lagi. Apa ia tak salah dengar? Lily calon pewaris perusahaan?"Bukannya itu jabatan kamu?" Abi mengan
Tak biasanya di pagi yang masih sepenuhnya matahari belum menampakkan sinarnya, tuan Ardiwira datang mengunjungi kantornya. Sudah lama ia tidak berkunjung. Dulu, lima tahun lalu kantor ini di bawah kepemimpinannya. Sempat berpindah ke orang luar dan kembali ke tangannya lalu akhirnya sekarang dipimpin oleh keponakannya.Ardiwira memang mempunyai anak laki-laki satu-satunya yang diisukan akan menjadi pengganti Abi kelak. Tapi itu hanya isu.Ardiwira masuk ke dalam ruangan Rayyan dan duduk nyaman di dalamnya. Ia melipat tangannya di atas meja dan matanya berkeliling memindai ruangan yang tak berubah sedikitpun."Ruangan yang nyaman," gumamnya.Ardiwira pun berdiri. Ia berjalan ke arah jendela, matanya terpusat pada lemari besar di hadapannya. Ada banyak buku tebal dan piagam serta bingkai foto Rayyan beserta keluarga besarnya. Ardiwira menyentuh bingkai itu. Bingkai yang berusia
Bagas menutup pintu ruangan yang masih terbuka sedikit lalu duduk di sofa diikuti oleh Tia yang membawa minuman dingin untuk mereka. Keduanya masih penuh dengan tanda tanya di kepala, apa rencana Rayyan selanjutnya? Pria itu sudah berhasil menemui Tia, bukan tidak mungkin suatu hari nanti ia akan menemukan Lily.Bagas menggigit bibir bawahnya sembari mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Sedangkan Tia, ia lebih santai sambil memainkan gadget sambil sesekali melirik ke arah Bagas."Bagaimana kalau Lily aku bawa ke Bandung?" suara Bagas mengagetkan Tia yang sedang fokus dengan ponselnya. Ia mendengus kesal karena permainan game onlinenya harus terhenti karena ulah pria di sebelahnya."Nanti siapa yang akan merawat dia? Lily itu sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang belum pernah ia lihat," ketus Tia yang masih kesal dengan Bagas."Kan ada mama aku. Lagipula, Lily pernah tin
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s