Ternyata, berita perceraian Rayyan dan Lily sampai juga ke telinga Abi, sepupu Rayyan yang tinggal di luar negeri yang dengan sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menginterogasi mantan suami Lily tersebut.
Satu bulan tepat berita itu merebak, tersiar juga kabar kedekatan Rayyan dan model dewasa terkenal bernama Nayya. Ini sebenarnya yang membuat Abi geram. Rayyan dengan bodohnya melepas Lily, wanita selembut bidadari demi Nayya wanita yang menurutnya murahan.
Ponsel Rayyan berdering nyaring di pagi hari yang cukup cerah ini. Warna putihnya masuk melalui celah tirai dan menusuk mata Rayyan yang sudah membuka perlahan. Disambarnya ponsel genggam itu lalu membuka kunci dan melihat banyaknya panggilan dari sepupu jauhnya itu.
"Ah, anak nakal itu lagi," gumamnya. Rayyan menggeliatkan tubuhnya. Matanya menyipit, perlahan membuka penuh lalu bangun dan berjalan terhuyung ke kamar mandi.
Selesai membersihkan diri, Rayyan pun membuka tirai dan jendela membiarkan sinar mataharinya masuk kedalam kamar. Di sisi ranjang Rayyan, masih nampak sesosok wanita yang masih terlelap sambil menaikkan selimut ke kepalanya. Rayyan tersenyum, berdiri di hadapannya lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh polosnya itu.
"Eungghh..." lenguhannya membuat Rayyan tak tahan untuk menarik pelan hidung dan pipi wanita itu.
"Bangun sayang. Sudah pagi." Rayyan mengusak rambut si wanita, lalu ia pun terbangun.
"Jam berapa ini?" mata sipit khas bangun tidurnya terbuka sedikit, tangannya tergerak mencari ponsel di atas nakas.
"Jam tujuh pagi. Ayo mandi, aku buatkan sarapan."
Rayyan berbalik, namun tangan Nayya si wanita tadi mencegahnya. Rayyan menaikkan dua alisnya.
"Kapan kita menikah? Ini sudah satu bulan sejak perceraian kamu dan Lily," rengeknya. Rayyan mendesah pelan. Napasnya memberat. Ia belum mampu mengatakan iya untuk hal yang satu ini.
"Aku masih sibuk Nayya. Nanti ya."
"Tiap malam aku selalu temani kamu tidur. Belum cukupkah penantian aku?" Nayya terbangun dan duduk di atas ranjang. Terlihat dada putihnya tersingkap dari balik selimut. Semalam mereka melakukan pergumulan panas diatas ranjang hingga pagi menjelang.
"Sabar, Nay. Semua butuh proses. Apa kata orang nanti kalau tiba-tiba aku menikahi kamu saat perceraian aku baru menginjak satu bulan?" tolak Rayyan. Bibir Nayya mencebik. Matanya berkaca-kaca, lalu dua bulir airmata jatuh melewati pipinya yang putih.
"Lalu, apa kata orang nanti jika ternyata aku hamil anak kamu?" teriak Nayya. Rayyan terdiam. Matanya terpaku pada perut datar Nayya yang tak terbungkus apapun. Ia menahan hasratnya untuk menyentuh Nayya pagi ini. Pikirannya masih kacau dari semalam.
"Baiklah. Kamu siapkan saja tanggalnya, kita menikah bulan depan."
Rayyan berbalik, meninggalkan Nayya yang masih terduduk di atas ranjang. Senyumnya melebar setelah ia berhasil membuat Rayyan tunduk di atas perintahnya. Bukankah Rayyan amat sangat mencintainya?
Ting nong
Bel pintu depan berbunyi nyaring. Satu dua kali Rayyan abaikan, lama kelamaan suaranya semakin memekakkan telinga. Dengan berat hati Rayyan menghentikan sejenak aktivitas memasaknya lalu berlari menuju pintu depan. Nayya yang baru saja ke luar dari dalam kamar tiba-tiba mencegahnya.
"Biar aku saja."
Rayyan kembali ke dapur dan membereskan sisa masakan. Nayya pun bergegas ke arah pintu depan dan membuka pintunya.
Klekk
"Rayyan ada?" tanpa salam seseorang di balik pintu itu tiba-tiba bertanya. Nayya mendecih pelan, menggumam sambil mengumpat kasar pada orang itu dengan cebikan bibirnya.
"Kamu siapa?" tanya Nayya ketus. Abi, sosok itu memindai dari ujung kaki hingga ujung kepala sosok wanita di hadapannya. Lalu, smirk pun menguar dari bibirnya.
"Kamu yang namanya Nayya?" seketika Nayya tersentak. Pria yang berdiri di hadapannya ini mengetahui namanya sebelum ia memperkenalkannya diri.
"I-iya. Kamu siapa ya?" tunjuk Nayya. Abi tak menjawab, ia masuk tanpa permisi sambil menyeret koper yang ia sembunyikan di belakangnya. Nayya berteriak memanggil Abi," Heh." tangannya menarik lengan pria itu hingga hampir terjerembab ke belakang.
"Apaan sih?" Abi menarik lengannya. Pakaiannya berantakan dan kusut karena tarikan tadi. "Seharusnya aku yang tanya kamu siapa?"
Abi menunjuk dahi Nayya lalu mendorongnya ke belakang. Nayya tak terima, ia pun mendorong dada Abi namun tak berhasil karena tangannya dihempas kasar oleh pria kekar itu.
"Aku calon istrinya Rayyan," teriak Nayya lantang. Mata Abi melotot tajam ke arah Nayya, lagi-lagi senyum smirknya menguar. Ia kembali memindai Nayya lalu mencibirnya dengan suara pelan.
"Calon istri? Punya apa kamu, berhalusinasi ingin jadi istrinya Rayyan Adimas? Hei, keluarga Rahadirja adalah keluarga terpandang dengan titel darah biru mengalir di setiap keturunannya. Yang seperti ini ingin jadi nyonya Rayyan? Mimpi!!" tangan Abi mendorong dahi Nayya. Seketika wanita itu terdiam, ia merasa sakit hati dilecehkan oleh pria yang tidak ia ketahui namanya ini. Tapi, dari penjelasannya tadi bisa dipastikan dia adalah orang terdekat Rayyan.
"Abizar!!" teriak Rayyan dari dapur. Ia sempat mendengar pertengkaran antara Abizar dan Nayya barusan. Apalagi, Abizar sempat meremehkan Nayya yang berpenampilan seksi, yang mungkin sangat aneh di mata bangsawan seperti Abizar.
Abi menoleh. Mereka bertatapan, saling mengunci satu sama lain. Tatapan teduh yang biasa Abizar berikan pada sepupunya, kini berubah datar dan terlihat sangar.
"Oh, sekarang tinggal berdua ya? Apa tuh namanya, kumpul kebo?" sindir Abi. Rayyan tak bisa marah jika berhadapan dengan Abi dan mulut pedasnya. Apalagi, Abi adalah cucu paling disayang oleh mendiang eyangnya. Tentu saja sekarang masih jadi kesayangan keluarga besarnya juga.
"Jangan berkata kasar, dia adalah calon istri aku. Namanya Nayya. Kami tinggal bersama untuk saling mengetahui pribadi dan kehidupan masing-masing," jelas Rayyan. Bibirnya bergetar menahan sesuatu yang ia sembunyikan. Abi sebenarnya tak mau ambil pusing dengan semua kelakuan bejat sepupunya ini, hanya saja pastinya nama besar kakeknya akan tercoreng nantinya.
"Terserah kamu sajalah. Aku kesini, atas perintah om Ardiwira Rahadirja. Mulai besok, aku didaulat untuk menggantikan posisi CEO lama perusahaan om Ardi yang sudah pensiun dan mulai jadi atasan kamu." tunjuknya pada Rayyan. Mata Abi berpindah pada sosok Nayya yang terdiam tanpa suara. Tangannya menyenggol tangan Rayyan seolah meminta pertolongan. "Dan wanita ini, jangan sampai ketahuan om Ardi. Cukup dengan perceraian kamu dan Lily yang membuat keluarga murka."
"Ayah tahu?"
Abi mengangguk. "Iya, dia tahu. Wartawan gosip yang waktu itu kamu bayar ternyata tak mempan melawan mata-mata om Ardi."
"Apa dia juga mencari Lily?" tanya Rayyan lagi. Abi yang semula akan melangkah masuk kedalam kamar tamu, tiba-tiba berbalik.
"Belum, tapi om Ardi sepertinya akan mencarinya." Abi melirik sekilas lalu masuk kedalam kamar tamu yang biasa ia tempati saat Lily dan Rayyan masih bersama.
Dulu, mereka bertiga sering mengadakan pesta kebun bersama. Setiap weekend akhir bulan, Lily selalu membuat pesta kecil untuk melepas penat setelah satu bulan mereka berkutat dengan pekerjaan. Abi masih sering pulang pergi Jakarta Surabaya, terkadang ia mampir hanya untuk menghadiri pesta kecil itu.
Ia bahkan masih mengingat keinginan terbesar Lily saat itu. Keinginan yang mungkin belum bisa ia raih selama satu tahun pernikahan bersama Rayyan, suaminya saat itu.
"Aku ingin punya anak. Tapi, mas Rayyan sepertinya belum mau," ucapnya sendu saat itu. Abi merasakan kesedihan yang tertahan di balik senyuman indah Lily yang saat itu ia umbar hanya untuk suaminya.
Berdiri di samping jendela kamar tamu menghadap langsung taman belakang yang asri, membangkitkan kembali memori kala itu. Abi memejamkan matanya, membayangkan sosok itu masih ada di rumah ini. Sayangnya, itu semua tinggal kenangan. Bahkan, bayangannya pun kini ikut menghilang bersama angin.
'Andai kakek menjodohkan aku dengan Lily. Pasti dia bahagia sekarang.'
Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari.Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya.Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul.Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan.
Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur."Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.
Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen
Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa
"Loh, sudah mau berangkat?" sapa Lily pada Bagas yang tengah asik menekuri piringnya yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi buatan Tya. Bagas menggangguk tanpa suara karena mulutnya yang sibuk mengunyah."Bagas ada panggilan dinas lagi katanya. Senin mau ada meeting di Bandung sekalian pulang menemui ibunya. Kamu ikut saja sekalian, biar ketemu lagi sama ehem..ehem," sindir Tya.Lily menunduk lalu menggeleng pelan. Ia merasa tak punya wajah jika bertemu dengan mantan calon ibu mertuanya. Apa rasanya jika calon menantu yang dulu diharapkan bisa bersanding dengan anaknya tiba-tiba datang seperti mengharap kembali pada anaknya yang dulu dicampakkan. Memalukan."Eung....""Lain kali saja. Lily kan masih masuk trimester pertama, takutnya tidak kuat jalan jauh," sahut Bagas. Ia menoleh dan tersenyum sambil terus menyuap makanannya. Tya mendesah kecewa. Seharusnya ia melihat perjuangan Bagas merebut kembal
Dua hari tinggal bersama, hari-hari sepasang pengantin baru terasa sedikit berbeda. Nayya sedikit lebih bertanggungjawab dengan rumah tangganya dan juga Rayyan suaminya. Bukan hanya sekedar memberi perhatian, ia juga memberi semua yang Rayyan butuhkan. Semuanya terasa berwarna, hingga Rayyan berpikir keluarganya telah salah menilai sosok Nayya.Sarapan sudah tersedia. Seperti biasa, setelah merapikan meja Nayya memanggil sang suami yang masih berkutat dengan kemeja dan jasnya. Rayyan pun keluar kamar lalu duduk di kursi makan bersama istrinya.Rayyan mengunyah roti bakarnya lalu bertanya pada Nayya," Nay, hari ini aku pulang sedikit terlambat."Nayya yang sedang mengiris sosis kesukaannya tiba-tiba terdiam. Tangannya berhenti dan pandangannya mengarah ke suaminya. "Kenapa tiba-tiba? Kita tidak bulan madu, tapi kamu tidak pulang tepat waktu juga."Nayya melempar garpunya dan menyingkirkan piring hingga ke
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s