Pintu rumah dibuka lebar oleh Tya menyusul kedatangan Bagas yang tiba-tiba saat hari menjelang malam. Seperti biasa, bila malam Sabtu tiba mereka berdua sering berbincang bersama membicarakan hal random sambil menonton televisi. Kali ini ada yang tak biasa, ada Lily yang ikut duduk bersama mereka di ruang tengah.
Bagas mematikan rokok yang ia hisap dan menginjaknya hingga hancur lalu menyemprotkan pengharum ruangan. Aroma jeruk pun menguar. Lily yang baru saja duduk sedikit terganggu namun lebih baik daripada ia harus menghirup bau bakaran rokok yang lebih menyengat.
"Bagas, apa di kantor kamu ada lowongan pekerjaan? Maksud aku, kalau memang ada aku ingin kerja disana." pertanyaan Lily membuat kedua sahabatnya mematung seketika. Tya mengedipkan mata dan Bagas membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar.
"Kerja? Di kantor? No, lebih baik kamu teruskan butik peninggalan mama kamu," tolak Bagas. Ia tak setuju jika sahabat kecilnya ini ingin bekerja di perusahaan yang notabene amat sangat keras persaingannya.
"Tapi butik itu sudah dibeli Rayyan."
"Bukankah butik itu atas nama kamu?" tanya Tya. Lily mengangguk, lalu menunduk. Jari tangannya berputar-putar diatas tangannya yang lain. Tya mengembus napas kasar. Ini cara Lily merajuk, diam dan menunduk.
"Lily, atmosfer kantor kurang cocok untuk kamu. Teruskan saja butik, nanti kami bantu jika ada yang kamu perlukan," ujar Tya menenangkan Lily. Tya banyak tahu cara membujuk sahabatnya itu, sedikit banyak lebih seperti anak kecil yang meminta mainan.
"T-tapi aku..."
Bagas memotong kalimat Lily dengan memasukkan sesuap es krim ke dalam mulutnya. Lily mencebikkan bibirnya membuat Bagas terkekeh melihatnya.
"Sudah, jangan banyak mikir ini itu. Anak kamu butuh ketenangan, kita berdua siap sedia membantu. Iya kan, Tya?" Bagas menyenggol lengan Tya, tergagap Tya mengacungkan satu jempolnya.
"Terima kasih. Aku tidak tahu caranya membalas budi kalian."
"Tidak usah dibalas, cukup buat dirimu bahagia." Tya memeluk Lily begitupun dengan Bagas. Walau pelukan itu adalah pelukan persahabatan, sedikit banyak ia merasa canggung.
Malam semakin larut. Lily sudah masuk ke peraduannya bergelut dengan mimpi indah yang membuatnya terlelap. Sementara itu di luar kamar, tampak dua orang berbeda jenis masih duduk menekuri film yang baru saja mereka tonton. Film action tentang superhero yang menyelamatkan manusia dari kepunahan. Sedikit tegang namun seru.
"Kapan kamu mulai masuk lagi ke hati Lily? Maksud aku, memulai hubungan lagi dengannya," ujar Tya, kalimatnya memecahkan keheningan. Rayyan menoleh. Matanya mengerjap perlahan sambil memikirkan maksud kalimat yang ditanyakan oleh Tya. Ia pun mengembus napasnya perlahan, tangannya menyilang di dada.
"Lily masih mencintai Rayyan. Bagaimana aku bisa masuk ke hidupnya?" jawab Bagas pasrah.
Plakk
"Bodoh!!" Tya mengeplak kepala Bagas cukup keras hingga si korban kesakitan. Tya memang sedikit kasar dan keras jika menyangkut percintaan.
"Kasar ihh. Bagaimana laki-laki mau sama kamu?" Bagas mengumpat pelan sambil mengusap pelan kepala belakangnya. Tya tak berkomentar. Ia sibuk mengupas kacang kulit dan membuang sampahnya ke plastik.
"Aku tidak butuh laki-laki. Ini kesempatan kamu untuk mendekatinya lagi. Lily butuh pria lembut seperti kamu. Ayolah, rebut hatinya lagi." Tya mengunyah biji kacang yang tadi ia buka. Matanya melirik ke samping, melihat Bagas yang malah terdiam dengan tangan masih memegang belakang kepala.
"Apa dia mau?" gumam Bagas yang ternyata Tya dengar.
"Mau. Asal kamu buktikan kalau kamu benar-benar tulus mencintainya. Bagas, dua tahun kamu menunggu dia kan? Ini kesempatan, mendengarnya dibuang oleh pria gila itu membuat aku panas." Tya begitu bernafsu ingin menghajar Rayyan. Berkali-kali ia mengumpati mantan suami Lily dengan kata-kata kasar. Sesekali matanya berkilat mengeluarkan energi emosi.
"Baiklah. Aku coba. Tapi bantu aku, ya."
"Pasti."
Malam itu, Bagas putuskan untuk menginap di kediaman Tya. Ia memilih tidur di sofa karena kamar tamu satu-satunya di tempati oleh Lily. Sebelum tidur, ia membuka perlahan pintu kamar Lily yang terkunci. Pandangannya jatuh pada sosok Lily yang tertidur lelap dengan tangan ada di atas perutnya.
Bagas mendesah lega. Ia sempat mengira Lily akan depresi atau stress berkepanjangan karena perceraian itu. Ternyata tidak. Lily mungkin sedih, tapi ia juga bahagia karena calon anaknya.
Sinar mentari masuk melalui celah jendela yang masih tertutup rapat tirai. Lily terbangun karena sinarnya cukup silau menusuk mata. Ia melirik jam dinding yang samar ia lihat sudah menunjukkan pukul enam kurang. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri. Langkahnya terseok pelan menuju dapur.
Brakk
Lily melonjak ketakutan saat satu tangan dan satu kaki tiba-tiba naik ke atas sofa. Jantungnya berdetak kencang, ia mengusapnya beberapa kali agar hilang. Lily mengendap mencari tersangka yang telah membuatnya kaget di pagi hari.
'Bagas?'
Plukk
Lily terkesiap. Sekali lagi ia kaget seperti sebelumnya, ia menoleh ternyata tangan Tya yang tadi merangkul pundaknya dari belakang.
"Bagas sering menginap disini kalau weekend. Biasanya di kamar tamu, sekarang di sofa. Dia takut didatangi perempuan yang tinggal di sebelah rumahnya," jelas Tya panjang lebar.
"Perempuan sebelah rumah? Sering ganggu?" Tya mengangguk. "Kenapa tidak diusir?"
"Bagaimana mau diusir, perempuannya nempel di pohon," celetuk Tya sambil menyeret langkahnya menuju dapur. Lily masih belum paham apa maksud celetukan Tya tadi. Sejenak dia diam dan berpikir. Detik kelima ia baru paham lalu tiba-tiba lehernya merinding.
"Maksud kamu Kunti?" tanya Lily dengan suara lantang. Tya membelalakkan matanya dan menaruh telunjuknya di bibir yang langsung diikuti oleh Lily.
"Jangan teriak. Jangan dibahas juga, yang penting kamu tahu." Lily mengangguk.
Kedua sahabat itu saling membantu membuat sarapan pagi. Seperti biasa, sandwich dan nasi goreng ala kafe yang sering Tya buat. Lily sangat cekatan memasak. Sudah terbiasa dan terlatih.
Setengah jam kemudian, masakan selesai. Lily pun membangunkan Bagas yang masih terlelap tidur. Bagas bangun di hitungan ketiga, matanya membuka pelan dan melihat ada bayangan Lily berdiri di hadapannya. Ia tersenyum seketika. Membayangkan sesuatu yang indah di depan sana.
Namun kebahagiaannya pudar. Wajah lembut Lily berganti wajah sangar Tya yang mendengus karena Bagas tak kunjung bangun.
"Loh, kok malaikatnya berubah jadi genderuwo?" Bagas menunjuk wajah Tya yang tanpa sadar mencelanya.
Plakk
Kali ini Tya memukul lengan pria itu, membuatnya meringis menahan sakit. "Bangun, kebiasaan deh. Tuh, Lily sudah masak banyak buat kamu."
"Bisa tidak sih, kamu jangan sering mukul aku? Sakit tahu!!" rengek Bagas. Lily tersenyum sambil menutup mulutnya. Mimik wajah Bagas lucu, sayang untuk tidak ditertawakan.
"Mungkin, Tya suka sama kamu jadinya sering mukul," celetuk Lily. Tiba-tiba suasana jadi canggung. Ketiganya terdiam, termasuk Lily yang menatap kedua sahabatnya. Merasa bersalah, Lily pun mengulang lagi maksud perkataannya. "Maksud aku, kalau sering bercanda gitu nanti lama kelamaan jadi suka. Ehm, kita sarapan dulu yuk."
Lily lebih dulu berjalan menuju dapur meninggalkan kedua sahabatnya. Mereka saling melirik dalam diam. Tya yang biasanya berkata kasar, kini diam bagaikan anak kecil kehilangan permennya.
"Jangan diambil hati ucapan Lily. Dia hanya tidak tahu bahwa yang aku sukai hanya dia. Sorry, Tya."
Bagas berdiri menuju kamar mandi dekat dapur dan membersihkan dirinya disana. Tya masih diam. Jantungnya berdebar kencang. Kata-kata Lily tadi masuk kedalam relung hatinya. Ia meraba dada sebelah kirinya dan merasakan debaran itu lagi.
'Apa itu benar?'
Ternyata, berita perceraian Rayyan dan Lily sampai juga ke telinga Abi, sepupu Rayyan yang tinggal di luar negeri yang dengan sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menginterogasi mantan suami Lily tersebut. Satu bulan tepat berita itu merebak, tersiar juga kabar kedekatan Rayyan dan model dewasa terkenal bernama Nayya. Ini sebenarnya yang membuat Abi geram. Rayyan dengan bodohnya melepas Lily, wanita selembut bidadari demi Nayya wanita yang menurutnya murahan. Ponsel Rayyan berdering nyaring di pagi hari yang cukup cerah ini. Warna putihnya masuk melalui celah tirai dan menusuk mata Rayyan yang sudah membuka perlahan. Disambarnya ponsel genggam itu lalu membuka kunci dan melihat banyaknya panggilan dari sepupu jauhnya itu. "Ah, anak nakal itu lagi," gumamnya. Rayyan menggeliatkan tubuhnya. Matanya menyipit, perlahan membuka penuh lalu bangun dan berjalan terhuyung ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, Rayyan pun membuka tirai dan jendela membiarkan sinar mataharinya masuk k
Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari.Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya.Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul.Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan.
Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur."Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.
Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen
Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan
Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d
Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa
"Loh, sudah mau berangkat?" sapa Lily pada Bagas yang tengah asik menekuri piringnya yang berisi nasi goreng dan telur mata sapi buatan Tya. Bagas menggangguk tanpa suara karena mulutnya yang sibuk mengunyah."Bagas ada panggilan dinas lagi katanya. Senin mau ada meeting di Bandung sekalian pulang menemui ibunya. Kamu ikut saja sekalian, biar ketemu lagi sama ehem..ehem," sindir Tya.Lily menunduk lalu menggeleng pelan. Ia merasa tak punya wajah jika bertemu dengan mantan calon ibu mertuanya. Apa rasanya jika calon menantu yang dulu diharapkan bisa bersanding dengan anaknya tiba-tiba datang seperti mengharap kembali pada anaknya yang dulu dicampakkan. Memalukan."Eung....""Lain kali saja. Lily kan masih masuk trimester pertama, takutnya tidak kuat jalan jauh," sahut Bagas. Ia menoleh dan tersenyum sambil terus menyuap makanannya. Tya mendesah kecewa. Seharusnya ia melihat perjuangan Bagas merebut kembal
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s