Beranda / Romansa / Two Seasons of Marriage / Perbedaan yang nyata

Share

Perbedaan yang nyata

Penulis: Uwie_bee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Melihat perlakuan Lily tadi pagi, hampir membuat Rayyan tak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Berulang kali ia tak pernah fokus saat mendengarkan temannya menyampaikan pendapat dalam meeting bulanan yang dihadiri sebagian petinggi perusahaan. Posisi penting yang dimiliki Rayyan memaksanya untuk hadir, ini yang tak disukai olehnya. Semenjak ayahnya memilih pensiun dan fokus pada hobinya, dirinyalah yang selalu dijadikan tameng untuk memimpin perusahaan. 

Rayyan menatap malas layar putih di depannya yang berisikan agenda perusahaan serta visi misi yang baru saja mereka rangkum. Sekilas kumpulan huruf itu nampak bagaikan serabut rumput yang menggulung di tengah sawah. 

"Sekian pemaparan visi dan misi dari departemen marketing. Kepada pak Rayyan, kami mohon koreksinya. Terima kasih." 

Rayyan terkesiap kaget. Matanya yang tadi menutup sejenak seketika membola saat kalimat terakhir disampaikan oleh anak buahnya. Mata Rayyan yang masih buram akibat tertidur, ia pejamkan sejenak lalu ia usap. 

Berulang kali ia menghela napas panjang lalu menghempasnya perlahan. Matanya mengedar ke sekeliling ruangan, terhenyak karena semua memandang datar pada dirinya. 

"Yah, pemaparannya bagus. Saya suka. Hanya saja kurang inovasi. Saya banyak menerima keluhan seputar biaya produksi iklan, budgetnya tinggi namun hasilnya biasa saja. Mungkin bisa sedikit diperkecil. Itu saja saran dari saya," jelas Rayyan panjang lebar.

Seketika ruangan menjadi riuh rendah usai Rayyan memberikan wejangan. Banyak dari mereka berbisik-bisik sambil melirik sekilas pada sosok bosnya itu. Rayyan menaikkan dua alisnya, bermaksud ingin bertanya ada apakah gerangan?

"Maaf pak, yang baru saja bicara adalah perwakilan dari departemen marketing. Kalau iklan, itu bagian dari departemen advertising," jawab salah satu peserta rapat. 

Wajah Rayyan memerah. Ia malu. Sangat terlihat sekali ia tak fokus hari ini. Jabatannya sebagai kepala departemen yang bertanggungjawab langsung di bawah CEO membuatnya semakin tak punya muka bertemu puluhan staf yang terkikik heran menertawakan dirinya. 

Rayyan pun berdiri. Wajah datarnya membuat sebagian dari mereka yang hadir kembali terdiam. Mata Rayyan liar mencari siapa yang masih menertawainya. Ia berjalan pelan mengitari ruangan dan berdiri di kursi paling belakang dengan pandangan lurus ke depan. 

"Kalian menertawakan saya? Kalian tahu siapa saya?" ujar Rayyan lantang. Semua peserta rapat menunduk. Tak ada yang berani mengangkat wajahnya. Aura Rayyan saat ini bagaikan malaikat maut yang siap mencabut nyawa siapapun yang menantang. 

"Baiklah. Rapat diakhiri. Mood saya sedang buruk hari ini." Rayyan lantas ke luar ruangan tanpa bicara satu katapun. Staf yang masih di dalam ruangan pun menghela napas lega dan mulai berbisik-bisik lagi. 

"Bisa repot nih. Sial!" umpat Sean salah satu staf Rayyan yang juga sahabat Rayyan. 

Sean terpaksa mengikuti Rayyan ke ruangannya. Sebenarnya, kalau ini tak terlalu penting ia malas sekali bertemu muka dengan atasannya itu. Proposal yang harus ditandatangani Rayyan terbengkalai karena ketidakprofesionalannya saat rapat berlangsung.

Tokk tokk

"Masuk," jawab Rayyan. 

Sean masuk lalu menutup pintu dan duduk manis di kursi yang berhadapan langsung dengan Rayyan. Tak menyapa, ia begitu saja menyerahkan proposal yang tadi ia dan timnya paparkan. 

"Tanda tangan. Aku dan tim sudah panjang lebar menjelaskannya tapi kamu tidak profesional. Seharusnya, kamu bisa bedakan antara urusan pribadi dan urusan kantor," oceh Sean panjang lebar. 

Rayyan menaikkan wajahnya dan menatap Sean malas. Bosan ia dicekoki nasihat yang sama seperti ayahnya ucapkan dulu. 

"Cerewet juga ya, kamu." Rayyan menarik proposal dan menandatanganinya. Setelah selesai ia menyerahkannya lagi pada Sean. 

"Kalau ini masalah rumah tangga kamu, cepat selesaikan." 

Rayyan menghempas sebagian tubuhnya dan mengangkat kaki setinggi mungkin lalu meletakkannya di meja. Dua tangannya ia letakkan di belakang kepala lalu memejamkan matanya perlahan.

"Aku cerai, Sean. Dia pergi meninggalkan aku. Padahal, aku berharap dia mau mencegah perceraian itu dan kini dia pergi dengan pria yang juga mantan kekasihnya," ucapnya memulai pembicaraan serius. Sean yang baru saja akan melangkah keluar ruangan, kembali menduduki kursi dan menatap kasihan pada sahabatnya itu.

"Lily maksud kamu? Kalian benar bercerai?" Rayyan mengangguk. Ujung bibirnya berkedut. Ingin mengumpat tapi ia tahan. Sean mendecak heran, ia pun sama ingin mengumpat tapi urung ia lakukan mengingat statusnya saat ini. "Lily adalah berlian diantara tumpukan jerami. Kenapa kamu sia-siakan?"

Rayyan menurunkan kaki dan tangannya. Kini kedua tangannya bertumpu pada meja dan wajahnya sengaja ia arahkan pada Sean. Mereka saling beradu pandang sejenak lalu Rayyan memutusnya. 

"Bagaimana dengan Nayya? Dia sudah menunggu satu tahun lebih untuk aku nikahi." 

Sean terkekeh. Smirknya melengkung tajam bermaksud mengejek si pembuat ulah yang sialnya adalah sahabatnya sendiri. Rayyan memang sering berbuat sesuatu kebodohan tanpa dipikir dahulu, tapi ini yang paling bodoh menurutnya. Di luar sana, banyak yang mengincar Lily sebagai pasangannya tapi mengapa ia malah membuangnya?

"Cerai? Sama Lily? Kalau yang ini sih aku tidak bisa membantu. Sorry, Ray sepertinya aku juga akan sama seperti mantan kekasihnya. Mengejar bidadari yang turun dari khayangan. Atau, kita bisa bersaing nantinya? Menarik, bukan?" jelasnya panjang lebar. Sean menangkup dagunya dan mengusap pelan sambil tertawa membayangkan Lily. Wajah Rayyan merah padam mendengar ocehan Sean. 

"Kamu kalau hanya mengejek aku lebih baik pergi sana," usirnya. Aura di ruangan Rayyan seketika memburuk. Sean pun berdiri, namun sebelumnya ia memandang sejenak wajah semrawut Rayyan akibat ejekannya tadi.

"Ray, aku serius. Andaikan dulu Lily menolak menikah dengan kamu, mungkin sekarang aku masuk dalam jajaran pria yang mengejar dia. Saran saja, seharusnya kamu bisa melihat mana perempuan yang pantas dan tidak pantas kamu perjuangkan. Permisi," pamit Sean. Ia berbalik meninggalkan ruangan.

Baru saja tangganya menggenggam pegangan pintu, seseorang sudah membukanya dari luar. Hampir saja Sean terjerembab ke belakang kalau saja ia tidak memegangnya. 

"Halo sayang. Hei, kenapa wajah kamu kusut? Banyak pekerjaan ya? Yuk kita jalan-jalan hari ini. Kita jarang loh shopping. Mau kan?" 

Seseorang yang tidak lain adalah mantan kekasih Rayyan datang berkunjung ke ruangannya. Sean menghela napas panjangnya. Ia menggelengkan kepala lalu melanjutkan lagi niatnya ke luar ruangan. 

"Kamu kenapa tidak menghubungi aku?" ujar Rayyan lirih. Ia menepuk satu pahanya dan menyuruh Nayya duduk disana. Nayya dengan senang hati menerima. Tak peduli ada orang yang melihatnya.

"Aku mau buat kejutan. Bagaimana kamu dan Lily, ada perkembangan kah?" 

Nayya memainkan dasi Rayyan, lalu mengusap dada bidangnya yang terbalut kemeja hitam. Usapannya sensual hingga menyebabkan Rayyan seakan melayang. Nayya mendekatkan wajahnya hingga napasnya mengembus pelan di pipi Rayyan. 

Usapannya semakin sensual dan merayap hingga ke arah bawah. Tubuh Rayyan menegang, rasanya ia semakin terbang tak tentu arah sekarang. Nayya paling tahu apa yang ia mau. Satu kecupan di bibir Rayyan awal mula kegiatan panas mereka disana. 

Tak mau kalah, Rayyan juga ikut mengusap punggung Nayya dan menyelusup masuk kedalam pakaiannya. Kecupan ringan pun berubah menjadi ciuman liar dan panas. Keduanya seakan lupa, mereka berada dimana sekarang. 

"Nay, kita lanjutkan nanti. Aku mau kerja dulu." Rayyan memutus lebih dulu. Ia menyuruh Nayya turun dan merapikan dasi dan kemejanya kembali. Nayya tampak sebal karena hampir saja ia mendapatkan yang ia mau. 

"Ray, kamu sudah cerai kan sama Lily? Kapan kamu nikahi aku?" rengek Nayya. Rayyan menghentikan tangannya yang baru saja mengetik di atas laptopnya. Ia memalingkan wajahnya tepat berhadapan dengan Nayya yang kini duduk di meja kerjanya.

"Aku belum resmi, Nay. Sabar ya, nanti aku beritahu kamu lagi." Rayyan pun melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda. Nayya turun dan menghentak kakinya kesal. Ia lalu duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. 

"Selalu saja," gumamnya pelan. Rayyan mendengar, namun ia hanya menggelengkan kepalanya. 

'Berbeda sekali dengan Lily.'

Bab terkait

  • Two Seasons of Marriage   Cinta itu

    Pintu rumah dibuka lebar oleh Tya menyusul kedatangan Bagas yang tiba-tiba saat hari menjelang malam. Seperti biasa, bila malam Sabtu tiba mereka berdua sering berbincang bersama membicarakan hal random sambil menonton televisi. Kali ini ada yang tak biasa, ada Lily yang ikut duduk bersama mereka di ruang tengah.Bagas mematikan rokok yang ia hisap dan menginjaknya hingga hancur lalu menyemprotkan pengharum ruangan. Aroma jeruk pun menguar. Lily yang baru saja duduk sedikit terganggu namun lebih baik daripada ia harus menghirup bau bakaran rokok yang lebih menyengat."Bagas, apa di kantor kamu ada lowongan pekerjaan? Maksud aku, kalau memang ada aku ingin kerja disana." pertanyaan Lily membuat kedua sahabatnya mematung seketika. Tya mengedipkan mata dan Bagas membuka mulutnya lebar-lebar. Tak percaya dengan apa yang mereka dengar."Kerja? Di kantor? No, lebih baik kamu teruskan butik peninggalan mama kamu," tolak Bagas.

  • Two Seasons of Marriage   Pertemuan keluarga

    Ternyata, berita perceraian Rayyan dan Lily sampai juga ke telinga Abi, sepupu Rayyan yang tinggal di luar negeri yang dengan sengaja datang ke Jakarta hanya untuk menginterogasi mantan suami Lily tersebut. Satu bulan tepat berita itu merebak, tersiar juga kabar kedekatan Rayyan dan model dewasa terkenal bernama Nayya. Ini sebenarnya yang membuat Abi geram. Rayyan dengan bodohnya melepas Lily, wanita selembut bidadari demi Nayya wanita yang menurutnya murahan. Ponsel Rayyan berdering nyaring di pagi hari yang cukup cerah ini. Warna putihnya masuk melalui celah tirai dan menusuk mata Rayyan yang sudah membuka perlahan. Disambarnya ponsel genggam itu lalu membuka kunci dan melihat banyaknya panggilan dari sepupu jauhnya itu. "Ah, anak nakal itu lagi," gumamnya. Rayyan menggeliatkan tubuhnya. Matanya menyipit, perlahan membuka penuh lalu bangun dan berjalan terhuyung ke kamar mandi. Selesai membersihkan diri, Rayyan pun membuka tirai dan jendela membiarkan sinar mataharinya masuk k

  • Two Seasons of Marriage   Mencari dirinya

    Kebiasaannya di pagi hari, kini berubah bagi seorang Lily. Dulu, ia sangat senang sekali membuat beraneka macam sarapan kesukaan Rayyan. Menyiapkan kemeja kerjanya, membersihkan sepatunya hingga memakaikan dasi pun ia lakukan setiap hari.Sejak satu bulan lalu, semenjak ia melepas status sebagai istri sah Rayyan kebiasaannya di pagi hari adalah memandangi foto mendiang ayahnya yang terpajang rapi dalam bingkai pigura emas. Ia merindukan ayahnya.Ia belum siap untuk ditinggal, namun takdir seolah memaksanya. Lily selalu menggenggam kalung pemberian ayahnya dua tahun lalu sebelum pernikahannya dengan Rayyan. Kalung emas putih dengan bandul bintang dan bulan berukirkan namanya di salah satu bandul.Kata ayahnya, bandul itu mempunyai fiosofi. Jadilah seperti bintang, walau letaknya jauh namun sinarnya terang hingga ke bumi dan jadilah bulan yang tetap setia mengitari bumi walau kadang terabaikan.

  • Two Seasons of Marriage   Menginginkan semuanya

    Nayya mendumal. Pagi ini ia sedikit kecewa dengan calon suaminya yang menyuruhnya bertandang ke rumah orangtuanya. Pernikahan mereka tinggal menghitung hari. Satu Minggu dari sekarang tepatnya. Rencananya, pernikahan ini akan diadakan secara pribadi tanpa keluarga dan teman yang tahu. Namun, Nayya selalu merengek setiap malam. Ia merayu Rayyan hingga akhirnya pria berstatus duda itu luluh.Alasan Nayya mendumal adalah karena ia datang bertandang sendiri tanpa ditemani oleh Rayyan. Nayya tahu, pastinya ada konsekuensinya jika pernikahan dilaksanakan terbuka. Salah satunya ini, pihak keluarga yang akan ikut campur."Kamu tidak datang ke rumah orangtuamu? Aku takut kesana sendiri," rayu Nayya. Tangannya mengusap pinggiran lengan jas Rayyan. Bibirnya mencebik lucu dengan pipi yang menggembung.Rayyan menoleh. Masih membereskan dasinya, ia merapikan semuanya sendiri. Nayya, bahkan tidak ada kesadaran untuk membantunya.

  • Two Seasons of Marriage   Pengganti yang baru

    Hari ini, wajah Lily terus tersenyum sepanjang hari. Tak lagi ada galau ataupun rasa sedih seperti beberapa bulan yang lalu saat ia bercerai. Bagas yang baru tiba di Jakarta kemarin, sengaja meluangkan waktunya untuk mengantar Lily periksa ke dokter kandungan. Ah, ini jadi salah satu penyebab Lily amat bahagia hari ini.Sepanjang jalan Lily terus mengoceh. Ia bercerita setiap harinya ia punya banyak pelanggan di kafenya Tya yang terus mengajaknya berkenalan. Katanya, tak hanya pria bahkan wanita dan anak kecil pun ada."Seru dong. Kamu suka?" tanya Bagas. Lily mengangguk senang. Ia menyebutkan satu persatu nama pelanggannya dan anehnya ia pun hapal."Bagas, terima kasih ya.""Terima kasih untuk apa?" tanya Bagas. Ia berpura tak tahu. Ia yakin, ini menyangkut kehadirannya menemani Lily untuk periksa kandungan."Sudah mau jadi seseorang yang sayang sama aku," ujarnya dengan sen

  • Two Seasons of Marriage   Gagal bertemu mantan

    Hari pernikahan pun tiba. Nayya telah selesai bersolek sejak pagi. Gaun pengantin cantik yang ia beli dari butik langganan, membuatnya cantik. Warna putih dengan manik silver dan sedikit aksen pita di salah satu sudut membuatnya tampak seperti putri dongeng.Begitupun dengan Rayyan. Tuxedo hitam dengan bahan beludru dengan dasi kupu-kupu membuatnya tampak seperti pangeran. Serasi jika disandingkan dengan Nayya.Pernikahan Rayyan dan Nayya memang tak sepenuhnya mendapat restu dari kedua orangtuanya. Namun mereka memilih datang sebagai rasa tanggung jawabnya sebagai orangtua.Prosesi ijab kabul berlangsung lancar, Rayyan sangat lancar mengucapkan ikrar sehidup semati dengan Nayya. Betapa bahagianya Nayya, dari balik pintu penghubung ia tersenyum sambil terus memegang buket bunga."Nayya, prosesi ijab kabul sudah selesai. Kamu segera ke luar untuk acara sungkeman," ujar Kirey dengan nada ketus dan wajah seram yan

  • Two Seasons of Marriage   Masih mencoba

    Malam belum sepenuhnya larut. Lily yang akan beranjak tidur tiba-tiba teringat dengan pengakuan cinta dari Bagas beberapa hari yang lalu. Pengakuan cinta dan memintanya kembali lagi bersama seperti dahulu. Kembali mencintai dan menjalin kasih.Lily duduk sambil mengusap perutnya yang mulai sedikit membuncit. Ini sudah masuk trimester kedua. Seharusnya disaat-saat seperti ini, suaminya mendukung dan memberikan banyak cinta padanya. Andai saja ia seperti Nayya, yang dicintai dan disayangi sepenuh jiwa pastinya ia dan anaknya akan bahagia saat ini.Sayangnya tidak."Semoga Bagas bisa menjadi ayah yang baik untuk kalian," gumam Lily. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Karena belum terlalu mengantuk, ia pun bangun dan ingin sekali bergabung dengan Bagas dan Tya yang sedang bersantai di ruang tengah."Haa...haaa..itu bule gegabah. Kenapa dia tidak tunggu pesanannya d

  • Two Seasons of Marriage   Malam pengantin kedua

    Sepasang pengantin baru itu tertawa riang memasuki kamar hotel yang telah mereka pesan sebelumnya. Rayyan bergegas membaringkan tubuh mungil Nayya di atas ranjang putih dengan serakan potongan mawar merah memenuhi hampir seluruhnya. Nayya menarik tuxedo Rayyan yang membuatnya terhuyung ke depan. Rayyan mengukung tubuh Nayya lalu membisikkan sesuatu di telinganya." I love you."Rayyan membuka tuxedonya dan membuangnya ke segala arah. Lalu diikuti pakaiannya dan Nayya pun melakukan hal yang sama."Aku lelah. Aku mau tidur." Rayyan berguling ke arah samping dan merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Nayya berbalik, tidur tengkurap dan memeluk Rayyan dengan erat."Kamu kenapa?""Aku hanya sedang lelah, Nayya." Rayyan memiringkan tubuhnya menghindari Nayya. Ia belum sepenuhnya tidur. Bayangan kata-kata ibunya membuat pria itu merinding. Bayangan wajahnya bahkan cara dia menatap, membuatnya merasa

Bab terbaru

  • Two Seasons of Marriage   Rayyan menghilang

    Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam

  • Two Seasons of Marriage   Perjanjian terselubung

    Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany

  • Two Seasons of Marriage   Perjanjian dengan Ardiwira

    Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma

  • Two Seasons of Marriage   Niat terselubung mantan mertua

    Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan

  • Two Seasons of Marriage   Menyembunyikan sesuatu

    "Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me

  • Two Seasons of Marriage   Iming-iming

    "Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me

  • Two Seasons of Marriage   Interogasi

    Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak

  • Two Seasons of Marriage   Ikut campur

    Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La

  • Two Seasons of Marriage   Ancaman

    Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s

DMCA.com Protection Status