Ketika akan melakukan sebuah kegiatan baru bersama seseorang yang kita putuskan akan terhubung dengan dunia kita sebagai pasangan tentu terasa asing dan membuat canggung dalam keseharian kita, pastinya kita akan membutuhkan adaptasi yang waktunya tentatif bagi setiap orang. Perasaan asing dan canggung tersebut ada kemungkinannya di masa mendatang akan menjadi perasaan nyaman dan tentu menyenangkan saat kegiatan tersebut benar-benar berubah menjadi kebiasaan yang intensitasnya cukup tinggi dalam keseharian.
Namun tidak bisa menutup mata ketika kebiasaan tersebut harus berhenti karena alasan-alasan tertentu. Ada yang terpaksa harus merubah kebiasaan tersebut karena ternyata ada kesalahan yang membuat tidak nyaman selama kebiasaan tersebut dilakukan, ada yang merubah kebiasaan tersebut karena dipaksa oleh keadaan dan menggantinya dengan kebiasaan baru seperti ketika tiba-tiba harus menjalani hubungan jarak jauh atau karena urusan pribadi seperti urusan akademik dan urusan pekerjaan yang menguras waktu begitu banyak.
Apa perubahan kebiasaan yang paling menyakitkan? Ketika kebiasaan yang selama ini membuat kita merasa nyaman dan senang harus berhenti begitu saja karena hubungan kita dengan orang yang selama ini menjalankan kebiasaan tersebut bersama kita harus berakhir.
Beberapa orang yang menjalani kehidupan percintaannya berusaha untuk serealistis mungkin, bahkan sampai ditahap membicarakan bagaimana jika hubungan yang sedang mereka jalani nantinya berakhir. Tentang bagaimana mereka berdua harus bersikap nantinya, bagaimana penyelesaian masalah-masalah yang mereka miliki nantinya, bagaimana urusan pekerjaan nantinya bagi mereka yang bekerja bersama, dan lainnya.
Kebiasaan-kebiasaan yang harus berhenti tersebut akan memberikan rasa hampa sebagai gantinya, rasa canggung yang sedikit membuat dada sesak ketika tidak sengaja bertemu di tempat yang sama, bahkan tidak jarang juga yang justru nantinya memberikan rasa benci satu sama lain.
“Dulu gue sering banget kesini sendirian, terus ngajak lo sama Angga, terus sama Radit entah buat pribadi atau kerjaan, kemaren-kemaren sempet sendirian, sekarang bareng lo sama Angga lagi” kataku pada Manda sambil mendorong troli belanja.
“Gimana rasanya Sya?” tanya Manda hati-hati.
“Aneh rasanya. Ya seneng karena ini tempat favorit gue entah ketika gue dateng kesini sendiri, bareng lo sama Angga, bareng Radit. Tapi satu sisi gue juga ngerasa sedih karena sekarang kalo dateng kesini gue jadi inget kebiasaan gue sama Radit, atau kalo lagi belanja banyak banget pasti inget dulu kita berdua heboh belanja buat coffee shop” jawabku.
“Emang pas lo sama Radit kerja di coffee shop tuh sering banget ya Sya? Jujur gue nggak tau soalnya pas itu kan gue juga ambil cuti.”
“Lumayaaaan. Yaaa sekitar 2 sampai 3 kali deh sebulan, kadang jadinya bisa tiap minggu sekalian belanja bulanan pribadi” kataku sambil menatap nanar ke arah rak barang.
“Apa sih Sya yang bikin lo keinget selain lo sama Radit sering banget dateng kesini?” tanya Angga yang sedari tadi berjalan dibelakangku dan Manda.
“Kebiasaan pas belanjanya Ngga hahaha.”
“Contohnya?”
“Gue sama Radit tuh karena ngurusin stok barang-barang kedai jadi suka survei ke beberapa tempat buat bandingin harga, bahkan kita sampe nyari supplier sendiri. Terus kita suka heboh aja kalo diskon. Intinya seru aja belanja sama Radit, semua produk kayaknya kita komentarin” jawabku sambil tertawa. Aneh sekali rasanya menceritakan ini sambil tertawa, kupikir tidak akan bisa.
Tiba-tiba aku terlarut dalam pikiranku sendiri, perlahan kenanganku dan Radit tentang tempat ini muncul dengan jelas.
“Tasyaaaaa, cek dong di list ini kita beli susu tuh satuan karton atau dus ya?” tanya Radit.
“Bentar ih bawel banget kamu. Ini sinyalnya jeleeeek” jawabku kesal.
“Eh Sya tapi kayaknya buat non-coffee enakan merk ini nggak sih? Soalnya ini beneran plain aja gitu di lidah gue. Yang kita pake kan ada rasa manisnya, jadi kalo ada ditambahin gula tuh bikin manis banget” kata Radit sambil memberikan sekotak susu kepadaku.
“Oh iya ya kenapa gue nggak sadar ya? Padahal gue selalu minum ini kan. Iya gue setuju karena lebih aman buat mix sama bahan lain dan lebih tahan lama juga Dit. Yang kita pake tuh 4 udah nggak bisa dipake, bahkan 3 hari aja kadang nggak bisa lagi. Tapi yang ini tuh gue pernah seminggu di kulkas masih aman. Cuma minusnya emang di harga sih. Rada susah emang nyari yang totally plain gini dengan budget under 20 ribu, beli fresh milk ya murah tapi cepet banget rusaknya” jawabku sambil menjelaskan pengalamanku dengan produk-produk yang sedang kami bandingkan.
Tepukan di bahuku pun menyadarkanku kembali.
“Sya pasta sama bumbu-bumbu instan dimana sih? Lupa gue” kata Manda.
Aku pun mengarahkan troli ke bagian tersebut. Sambil sesekali mengecek daftar belanjaku aku kembali teringat bagaimana Radit akan membantuku memilihkan produk yang akan aku beli, juga membantuku mengambil produk di rak tinggi yang tidak bisa kugapai tanpa kuminta karena aku pasti fokus dengan daftar belanjaku sendiri.
“Eh gue mencar dulu deh ya” kata Angga memecah hening.
“Mau ngapain lo?’ tanya Manda.
“Ngambil keranjang, terus beli snack.”
“Gimana deh lo bukannya tadi sekalian aja ambil keranjangnya!” kata Manda ketus.
“Lupaaaaa. Yaudah nanti telepon gue aja ya kalian di sebelah mana nanti” kata Angga yang berlari meninggalkan aku dan Manda.
Sambil mengambil produk yang masing-masing kami cari, aku kembali bernostalgia. Dulu Radit suka sekali meminta padaku untuk dibuatkan lasagna. Kadang Radit memasukkan sendiri bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat lasagna tanpa sepengetahuanku lalu kami berdua akan berdebat ketika sedang merapikan semua belanjaan di apartemenku.
“Sya mau tanya dong” kata Manda yang sedang melihat ke arah rak bumbu.
“Apa?” jawabku singkat.
“Lo tuh jadi benci sama tempat-tempat atau barang-barang yang ada kaitannya sama Radit nggak sih? Gue kan dulu putus sama Dimas kan jadi benci banget ke beberapa tempat, ya casenya beda sih emang. Kalo gue kan karena tempat-tempat itu beneran ngasih luka ke gue ya. Nah kalo ke lo gimana? Kalo lo nggak mau jawab nggak apa-apa kok Sya” tanya Manda.
“Nggak kok Man, gue jawab aja. Gimana ya, gue ngerasa gue nggak bisa benci sama tempatnya mau gimanapun juga. Gue lebih mempertanyakan diri gue sendiri aja, apa gue bisa untuk ngerasa nyaman nantinya ketika gue dateng kesini lagi sendiri?” jawabku.
“Aaaah I see. Terus kalo sekarang banget nih ya, apa yang paling lo rasain?” tanya Manda lagi.
“Honestly gue seneng sih, udah lama banget gue nggakk belanja bareng gini.”
“Sya, kalo tiba-tiba ngerasa nggak nyaman disini bilang ya biar kita buru-buru kelarin aja” ucap Manda dengan nada khawatir.
“Iyaaa. Tapi serius kok sekarang lagi nggak gloomy banget. Lebih ke kangen aja kali ya sama momennya” jawabku sambil menatap nanar ke arah Manda.
Tak lama kemudian Angga menelepon Manda dan menyusul kami berdua yang sudah hampir selesai berbelanja.“Udah selesai semua apa gimana nih?” tanya Angga.“Gue tinggal beli buah sama sayur” jawabku.“Lo udah selesai Man?” tanya Angga lagi.“Sama sih tinggal beli buah aja gue” jawan Manda setelah mengecek daftar belanja miliknya.Kami bertiga pun berjalan menuju bagian buah-buahan dan sayur-sayuran. Aku mengecek kembali daftar belanjaku, takut-takut ada yang terlupakan olehku. Bagian buah dan sayur memiliki kenangan lainnya tentangku dan Radit. Kenangan yang kami buat entah kami membeli buah dan sayur ataupun tidak setiap kali kami berdua datang kemari. Tentu aku menyimpannya di galeri handphoneku.“Radiiiit, sini cepetaaaan!” ucapku heboh.Radit yang menghampiriku dengan tergopoh-gopoh pun bertanya keheranan padaku, “Kenapaaa? Sampe heboh banget begitu mangg
Setelah menempuh 25 menit perjalanan yang disebabkan oleh macet karena jam pulang kerja, kami bertiga pun akhirnya sampai di apartemenku. Dengan hati-hati aku dan Manda menurunkan barang belanjaan kami. Angga pun dengan sigap segera membantu kami berdua yang kerepotan di depan bagasi mobil."Lo berdua bawain tas gue deh biar gue yang bawa belanjaan lo berdua. Sekarang yang sekiranya lo berdua nggak kuat bawa pisahin aja biar itu gue yang bawa" kata Angga.Aku dan Manda hanya mengikuti perkataan Angga karena memang tidak mungkin kami berdua kuat membawa barang belajaan kami masing-masing. Aku yang hendak mengambil tas milik Angga terkejut karena tiba-tiba Manda menyambar tas tersebut dan langsung membawakannya. Aku hanya bengong menatap Manda karena masih kaget."Gue aja yang bawa tasnya Angga, kan belanjaan gue lebih sedikit dari lo" kata Manda seolah mengerti kebingunganku.Kami bertiga bergegas menuju lift yang terletak tidak jauh dari tem
"Katanya sih disini enak Sya gue liat di IG, temen-temen gue juga bilang gitu" ucap Radit sambil melihat-lihat sekitar."Hmm ambience sih oke ya, design juga sesuai selera gue. Ini karena kita dateng sore kayaknya bisa deh liat disini tuh customer mulai rame di jam berapa" kataku mengiyakan perkataan Radit."Untung kita nggak shift hari ini ya jadi bisa santai dulu sebelum nganter belanjaan" Radit bersandar di bangku dan memejamkan matanya, membiarkan hembusan angin sore menerpa wajahnya."Eh tapi serius kan ini nggak ada yang urgent? Males banget buru-buru ngopinya kalo ada yang urgent" ucapku berusaha memastikan."Iyaaa bener kok. By the way makasih ya Sya mau nemenin gue belanja.""Sama-sama Dit. Ini biar gue nyatet uang keluar masuknya cepet aja, lagian gue nggak ada kerjaan. By the way lo beneran baru pertama kali ngopi disini?" jawabku sambil menggoda Radit."Ooooh kebetula
Kala itu bulan ke-dua puluhku bersama Radit, sejak awal kami berdua berusaha untuk realistis dengan hubungan yang kami berdua jalani. Kami berdua selalu membicarakan apa yang ingin, akan ataupun sedang kami kerjakan untuk mendapatkan kritik dan saran dari masing-masing. Kami sadar kalau kehidupan dewasa sedang menunggu kami sebentar lagi, aku dan Radit berusaha menyiapkan diri kami sebaik mungkin. Kami berdua ingin berkembang menjadi lebih baik lagi baik untuk diri kami sendiri, ataupun untuk hubungan kami.Malam itu aku dan Radit pergi ke Cup of Yours setelah menyelesaikan shift kami di sore tadi. Ada yang ingin kami berdua bicarakan tanpa gangguan orang-orang yang mengenal kami disana.“Sya tolong cek dong di tas aku, ada di jok belakang. Kamu buka resleting kedua dari depan, diantara sekat-sekat tuh ada notes aku nggak? Sampulnya Navy. Sama mau minta cek di bagian paling depan ada charger aku nggak ya? Tanya Radit sambil menyetir.“Iya sebentar ak
“Ayo balik sekarang” kata Angga yang tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.Aku melihat arah jam tangan, pukul 21.18, tumben. Biasanya kami bertiga baru pulang ketika coffee shop yang kami datangi sudah bersiap untuk tutup.“Aneh banget sumpah balik jam segini” keluh Manda. Aku hanya membereskan barang-barangku tanpa bersuara sedikitpun.“Ya balik aja sendiri kalo gitu, susah amat” balas Angga sewot.“UUUUU CAYAAAAANG. Gitu aja marah, heran deh aku ckck” ledek Manda sambil mencubit lengan Angga.Angga hanya membalas Manda dengan melihatnya sinis, lalu berjalan menjauh.Aku hanya berjalan pelan dibelakang Angga dan Manda yang sibuk melanjutkan candaan mereka. Kepalaku rasanya sakit setelah mengingat kembali tentang kenanganku bersama Radit di Cup of Yours. Jelasnya kenangan yang teringat kembali itu membawa kembali perasaan yang sama jelasnya ketika aku dan Radit melakukannya.
Aku menghela napas panjang, meneguk teh hangat milikku, lalu menyalakan rokok. Alih-alih melakukan itu semua untuk merasa lebih tenang sebelum memulai cerita, yang ada justru hampir saja aku tersedak saat meminum tehku karena Manda dan Angga menatapku lekat-lekat menunggu aku memulai obrolan. Akhirnya aku menatap mereka berdua bergantian karena merasa canggung dengan cara mereka yang sedang menatapku saat ini. Well, let them know now. “I broke up with him about 3 months ago and it still feels unreal for me” ucapku memulai semua ini. “As you guys know gue paling nggak tahan dengan LDR. But I tried my best with him, for him. Gue selalu berusaha sabar selama LDR sekalipun kelakuan dia bener-bener bikin kepala gue sakit. Gue tau gue salah ketika gue meledak marah ke dia, gue sadar banget penyampaian gue pasti nyakitin dia. Tapia pa dia pernah mikir kalo gue selama ini udah berusaha sabar dan maklumin dia?” tambahku. Aku menghisap rok
Aku membiarkan diriku menangis karena kesal untuk sejenak. Manda dan Angga tidak berkomentar apapun dan membiarkanku menangis sendiri begitu saja agar aku merasa lebih tenang untuk bercerita kembali kepada mereka. Kini mereka berdua sibuk dengan laptopnya masing-masing mengerjakan apa yang perlu mereka kerjakan sambil menungguku menangis.Setelah sekitar 15 menit kuhabiskan untuk menangis dan menenangkan diri, laptop-laptop tersebut sekarang sudah berpindah posisi ke pojok ruangan.“Masih ada nggak yang bikin lo kesel Sya?” tanya Angga.“Bingung. Apa ya? Campur aduk semua rasanya dan itu saling berkaitan buat gue” jawabku.“Hmm perasaan yang paling bikin lo tertekan deh Sya kira-kira ada lagi nggak selain yang udah lo sebutin tadi?” Angga membantu menyederhanakan agar aku bisa meluapkan isi hatiku.“Oh, gue tuh kesel dan sedih setiap kali Radit bilang gue cuma nyalahin Radit setiap ada masalah ketika gue po
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam.Kami bertiga masih berbincang di ruang TV. Aku merasa masih banyak yang sebenarnya ingin aku sampaikan kepada Manda dan Angga namun aku sendiri tidak tahu aku harus berbicara apa lagi. Aku hanya mampu bercerita ketika mereka sendiri yang bertanya langsung kepadaku apa yang ingin mereka tahu tentangku dan Radit.Aku masuk ke dalam kamar, mencarikan selimut dan mengambilkan bantal untuk Angga yang nanti akan tidur di sofa bed. Senang rasanya bisa ditemani mereka berdua setelah seharian ini aku harus menghadapi ketakutanku secara langsung. Yah, meskipun aku yakin ini pasti ada campur tangan Mama, tapi aku sangat bersyukur punya mereka disisiku.“Nih” ucapku sambil melempar selimut dan bantal yang dengan sigap langsung tertangkao oleh tangan Angga.“Udah mau tidur ini?” tanya Manda bingung setelah aku memberikan selimut dan bantal untuk Angga.“Gue sih belum mau tidur” jawab Ang