Tak lama kemudian Angga menelepon Manda dan menyusul kami berdua yang sudah hampir selesai berbelanja.
“Udah selesai semua apa gimana nih?” tanya Angga.
“Gue tinggal beli buah sama sayur” jawabku.
“Lo udah selesai Man?” tanya Angga lagi.
“Sama sih tinggal beli buah aja gue” jawan Manda setelah mengecek daftar belanja miliknya.
Kami bertiga pun berjalan menuju bagian buah-buahan dan sayur-sayuran. Aku mengecek kembali daftar belanjaku, takut-takut ada yang terlupakan olehku. Bagian buah dan sayur memiliki kenangan lainnya tentangku dan Radit. Kenangan yang kami buat entah kami membeli buah dan sayur ataupun tidak setiap kali kami berdua datang kemari. Tentu aku menyimpannya di galeri handphoneku.
“Radiiiit, sini cepetaaaan!” ucapku heboh.
Radit yang menghampiriku dengan tergopoh-gopoh pun bertanya keheranan padaku, “Kenapaaa? Sampe heboh banget begitu manggilnya!”
“Ayo foto disini hahaha” jawabku sambil tertawa. Aku mengajak Radit untuk berfoto di cermin besar yang memisahkan bagian buah dan sayur.
“Hah kenapa disini?” tanya Radit yang bingung dengan ajakanku barusan.
“Ya nggak apa-apa. Lucu nggak sih background fotonya rak buah sama sayur? Kan orang biasanya mirror selfie di toko baju, kita bikin juga tapi backgroundnya buah sama sayur” jawabku penuh antusias.
Radit pun pasrah mengikuti keinginanku. Lalu 2 minggu kemudian pun aku dan Radit kembali berbelanja disini. Setelah membeli semua barang yang ada di catatan belanja kami, aku pun menaarik tangan Radit agar Radit langsung mengikutiku dengan cepat. Aku berlari-lari kecil dengan penuh semangat.
“Syaaa mau kemanaaaa? Pelan-pelan dong ini kan bawa troli!” kata Radit mengingatkanku.
“Ikut ajaaaa” jawabku sambil tertawa.
Kami berdua pun tiba di bagian buah dan sayur. Dengan sigap, aku langsung mengajak Radit untuk berfoto di tempat yang sama seperti waktu itu.
“Kok foto disini lagi? Buat apa?” tanya Radit bingung.
“Buat kenang-kenangan. Biar nanti bisa diliat aja berapa kali kita dateng kesini dan pasti ada perubahan kan di kita berdua? Hahaha” jawabku.
“Jadi setiap belanja kesini kita bakal foto disitu?” tanya Radit berusaha memastikan maksud ucapanku.
Aku mengangguk penuh semangat sambil tersenyum lebar menjawab pertanyaan Radit.
“Yaudah kalo gitu, kita liat nanti besar apa nggak perubahan kita selama dateng kesini. Tapi gue sih udah yakin kalo gue bakal berubah jauh lebih keren sih dari sekarang Sya” goda Radit.
“Yeeee khayal babu lo ya ckck. Sadar Dit sadar. Lo kalo jadi keren juga karena ketularan dari gue kali! Lo tau kan pesona gue gimana?” aku membalas menggoda Radit sambil mengibaskan rambutku.
“Yaudah kita buktiin aja nanti omongan siapa yang bener” tantang Radit yang tiba-tiba menggandeng tanganku sambil berjalan menuju kasir. Aku menahan diri untuk tidak bersikap cangung atas apa yang Radit lakukan saat ini. Rasanya aneh bagiku.
Setelah itu, kami berdua menepati ucapan untuk selalu berfoto di tempat yang sama. Lucunya, beberapa kali pun Radit yang bersemangat mengingatkanku. Akhirnya berfoto di cermin besar tersebut menjadi kebiasaan kami berdua yang tidak bisa dilupakan setiap kali kami berbelanja. Kami membuat album foto khusus untuk foto-foto yang kami ambil di pasar swalayan ini. Jumlahnya? Aku tidak ingat berapa jumlah pastinya, namun sepertinya hampir menyentuh angka seratus.
Sambil bernostalgia tentang salah satu kenanganku dan Radit di pasar swalayan ini, tanpa terasa aku, Manda, dan Angga sudah sampai di bagian buah dan sayur. Aku menatap nanar ke arah cermin besar tersebut sambil tersenyum kecil. Aku tidak bisa membohongi perasaanku saat ini yang merasakan sedikit kesedihan saat melihat cermin besar itu.
“Dulu gue sama Radit sering banget foto disitu” kataku sambil menunjuk ke arah cermin besar itu.
“Hah? Jadi foto-foto mirror selfie yang sering lo pake untuk profile picture itu tuh diambilnya disini?” tanya Manda kaget, tidak menyangka dengan apa yang aku katakana barusan.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Masih ada foto-fotonya Sya? Nggak lo delete?” tanya Angga to the point.
“Wah emang nggak punya hati lo ya” kata Manda menyikut perut Angga.
“Aaaaw! Aduh sakit anjir! Gila lo ya Man?” keluh Angga sambil meringis memegangi perutnya.
“Ya lo lagian nanya begitu. Tasya padahal masih berusaha cerna semuanya, termasuk perasaan dia. Eh rahang lo enteng banget tuh nyeletuk begitu” kata Manda sewot dengan kelakuan Angga.
“Hmm emang masih ada sih semua foto gue sama Radit. Ya bener kata Manda, gue masih proses semuanya dulu karena bagi gue rasanya masih nggak nyangka aja kalo jadi begini. Tapi emang gue udah ada pikiran buat delete semuanya sih, entah kapan. Mungkin setelah gue selesai cerna semuanya dan udah bisa berdamai sama keadaan?” jawabku untuk menghindari Manda dan Angga yang bisa saja bertengkar karena masalah tadi.
Aku dan Manda pun dengan segera mengambil barang-barang di daftar belanja kami yang belum kami dapatkan. Angga hanya menunggu kami berdua dengan bersandar ke tembok sambil sesekali melihat-lihat buah dan sayur di dekatnya.
“Nggaaa udah beres nih!” kata Manda sambil menepuk bahu Angga.
“Cek dulu ada yang kelupaan apa nggak, gue nggak mau ya disuruh puter balik lagi kayak tadi. Udah abis jatah puter balik hari ini” ucap Angga.
“Hiiiih sama temen aja itung-itungan lo ya keterlaluan banget!” Manda sedikit kesal mendengar perkataan Angga barusan.
Karena Angga sudah berkata demikian, aku dan Manda tidak punya alasan mengelak lagi. Mau tidak mau sekarang kami berdua harus mengecek kembali seluruh barang belanjaan kami apakah sudah kami ambil semua atau belum, karena kalau tidak kami hanya bisa kembali kesini sendirian nanti untuk membeli barang yang terlupa.
“Abis ini mau kemana dulu jadinya?” tanyaku.
“Ngopi? Tapi kesorean nggak sih? Baru jam 5 kurang. Masih panas nggak ya di luar?” tanya Manda kepada kami.
“Takeaway aja lah. Minum di apartemen lo aja Sya” usul Angga.
“Yaaa bisa aja sih. Mau takeaway, minum disana terus balik, atau ke apartemen gue dulu terus baru ngopi?” aku coba memberikan opsi kepada mereka.
Opsi yang aku berikan sebenarnya berkaitan dengan jadi atau tidaknya nanti aku untuk mulai sedikit bercerita kepada mereka tentang keadaanku. Tapi bukan berarti aku memaksakan, kslaupun nanti jadinya kami bertiga akan pergi ke coffee shop setelah menaruh belanjaan di apartemenku ya kemungkinan besar aku akan mencari waktu lagi untuk bercerita, tidak mungkin aku akan menceritakan tentangku ketika kami di luar, yang ada nanti aku malah menangis di depan umum.
“Gue antara opsi 1 sama 3 sih. Lo gimana Man?” jawab Angga.
“Gue juga sama sih kayak Angga” kata Manda.
“Tapi kayaknya mending ke apartemen gue dulu aja sih baru nanti maleman kita keluar buat ngopi, ini kan gue beli daging-dagingan sama fresh milk takut rusak kalo kelamaan di luar kulkas. Soalnya kan kalo kita ngopi sekarang tuh waktunya tentative, terus takut bau kalo ditinggal di mobil, takut bau juga kalo dibawa” kataku.
“Yaudah gitu aja nggak apa-apa” balas Manda.
Kami bertiga pun berjalan ke arah kasir untuk membayar semua belanjaan kami. Aku baru sadar setelah melirik ke arah troli yang Angga bawa.
“Jadi tadi ujung-ujungnya lo belanja juga?” tanyaku.
“Gue beli stok buat kebutuhan di kamar mandi aja sih mostly, soalnya nggak inget juga gue masih punya apa nggak stoknya di apartemen. Terus ya stok kopi instan, mie, roti tawar sama telur gue kebetulan abis. Sama ini paling snacks aja” jawab Angga sambil menunjukkan kepadaku apa saja yang ia beli.
“Lo mau jualin lagi apa gimana itu beli snack banyak banget begini Ngga?” godaku sambil tertawa karena snack yang Angga beli rasanya cukup untuk persediaan selama 2 bulan.
“Anjir mulutnya ya bener-bener, awas lo Sya” balas Angga.
Setelah membayar barang belanjaan pun kami bertiga langsung menuju ke apartemenku, benar-benar tanpa mampir ke tempat lain lagi selain ke minimarket untuk membeli rokok. Tumben sekali seperti ini, biasanya Manda akan heboh meminta kami berdua mampir membeli jajanan. Aku yang sekarang duduk di bangku depan pun kembali hanya memandangi jalanan di sore hari. Jalanan kini sudah nampak jauh lebih ramai dari siang hari tadi.
Dalam hati, aku merasa lega karena meskipun aku menjawab pertanyaan-pertanyaan soal diriku dan Radit tadi, bahkan beberapa kali bernostalgia tentang kebiasaan kami pun aku tidak menangis, mataku berkaca-kaca pun tidak sama sekali.
Aku sangat bersyukur karena aku merasa baik-baik saja ketika berada disana dengan kenanganku bersama Radit. Sulit sekali memang untuk merasa baik-baik saja ketika kebiasaan yang memberikan kenyamanan dan kesenangan kepada kita harus selesai begitu saja.
Setelah menempuh 25 menit perjalanan yang disebabkan oleh macet karena jam pulang kerja, kami bertiga pun akhirnya sampai di apartemenku. Dengan hati-hati aku dan Manda menurunkan barang belanjaan kami. Angga pun dengan sigap segera membantu kami berdua yang kerepotan di depan bagasi mobil."Lo berdua bawain tas gue deh biar gue yang bawa belanjaan lo berdua. Sekarang yang sekiranya lo berdua nggak kuat bawa pisahin aja biar itu gue yang bawa" kata Angga.Aku dan Manda hanya mengikuti perkataan Angga karena memang tidak mungkin kami berdua kuat membawa barang belajaan kami masing-masing. Aku yang hendak mengambil tas milik Angga terkejut karena tiba-tiba Manda menyambar tas tersebut dan langsung membawakannya. Aku hanya bengong menatap Manda karena masih kaget."Gue aja yang bawa tasnya Angga, kan belanjaan gue lebih sedikit dari lo" kata Manda seolah mengerti kebingunganku.Kami bertiga bergegas menuju lift yang terletak tidak jauh dari tem
"Katanya sih disini enak Sya gue liat di IG, temen-temen gue juga bilang gitu" ucap Radit sambil melihat-lihat sekitar."Hmm ambience sih oke ya, design juga sesuai selera gue. Ini karena kita dateng sore kayaknya bisa deh liat disini tuh customer mulai rame di jam berapa" kataku mengiyakan perkataan Radit."Untung kita nggak shift hari ini ya jadi bisa santai dulu sebelum nganter belanjaan" Radit bersandar di bangku dan memejamkan matanya, membiarkan hembusan angin sore menerpa wajahnya."Eh tapi serius kan ini nggak ada yang urgent? Males banget buru-buru ngopinya kalo ada yang urgent" ucapku berusaha memastikan."Iyaaa bener kok. By the way makasih ya Sya mau nemenin gue belanja.""Sama-sama Dit. Ini biar gue nyatet uang keluar masuknya cepet aja, lagian gue nggak ada kerjaan. By the way lo beneran baru pertama kali ngopi disini?" jawabku sambil menggoda Radit."Ooooh kebetula
Kala itu bulan ke-dua puluhku bersama Radit, sejak awal kami berdua berusaha untuk realistis dengan hubungan yang kami berdua jalani. Kami berdua selalu membicarakan apa yang ingin, akan ataupun sedang kami kerjakan untuk mendapatkan kritik dan saran dari masing-masing. Kami sadar kalau kehidupan dewasa sedang menunggu kami sebentar lagi, aku dan Radit berusaha menyiapkan diri kami sebaik mungkin. Kami berdua ingin berkembang menjadi lebih baik lagi baik untuk diri kami sendiri, ataupun untuk hubungan kami.Malam itu aku dan Radit pergi ke Cup of Yours setelah menyelesaikan shift kami di sore tadi. Ada yang ingin kami berdua bicarakan tanpa gangguan orang-orang yang mengenal kami disana.“Sya tolong cek dong di tas aku, ada di jok belakang. Kamu buka resleting kedua dari depan, diantara sekat-sekat tuh ada notes aku nggak? Sampulnya Navy. Sama mau minta cek di bagian paling depan ada charger aku nggak ya? Tanya Radit sambil menyetir.“Iya sebentar ak
“Ayo balik sekarang” kata Angga yang tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya.Aku melihat arah jam tangan, pukul 21.18, tumben. Biasanya kami bertiga baru pulang ketika coffee shop yang kami datangi sudah bersiap untuk tutup.“Aneh banget sumpah balik jam segini” keluh Manda. Aku hanya membereskan barang-barangku tanpa bersuara sedikitpun.“Ya balik aja sendiri kalo gitu, susah amat” balas Angga sewot.“UUUUU CAYAAAAANG. Gitu aja marah, heran deh aku ckck” ledek Manda sambil mencubit lengan Angga.Angga hanya membalas Manda dengan melihatnya sinis, lalu berjalan menjauh.Aku hanya berjalan pelan dibelakang Angga dan Manda yang sibuk melanjutkan candaan mereka. Kepalaku rasanya sakit setelah mengingat kembali tentang kenanganku bersama Radit di Cup of Yours. Jelasnya kenangan yang teringat kembali itu membawa kembali perasaan yang sama jelasnya ketika aku dan Radit melakukannya.
Aku menghela napas panjang, meneguk teh hangat milikku, lalu menyalakan rokok. Alih-alih melakukan itu semua untuk merasa lebih tenang sebelum memulai cerita, yang ada justru hampir saja aku tersedak saat meminum tehku karena Manda dan Angga menatapku lekat-lekat menunggu aku memulai obrolan. Akhirnya aku menatap mereka berdua bergantian karena merasa canggung dengan cara mereka yang sedang menatapku saat ini. Well, let them know now. “I broke up with him about 3 months ago and it still feels unreal for me” ucapku memulai semua ini. “As you guys know gue paling nggak tahan dengan LDR. But I tried my best with him, for him. Gue selalu berusaha sabar selama LDR sekalipun kelakuan dia bener-bener bikin kepala gue sakit. Gue tau gue salah ketika gue meledak marah ke dia, gue sadar banget penyampaian gue pasti nyakitin dia. Tapia pa dia pernah mikir kalo gue selama ini udah berusaha sabar dan maklumin dia?” tambahku. Aku menghisap rok
Aku membiarkan diriku menangis karena kesal untuk sejenak. Manda dan Angga tidak berkomentar apapun dan membiarkanku menangis sendiri begitu saja agar aku merasa lebih tenang untuk bercerita kembali kepada mereka. Kini mereka berdua sibuk dengan laptopnya masing-masing mengerjakan apa yang perlu mereka kerjakan sambil menungguku menangis.Setelah sekitar 15 menit kuhabiskan untuk menangis dan menenangkan diri, laptop-laptop tersebut sekarang sudah berpindah posisi ke pojok ruangan.“Masih ada nggak yang bikin lo kesel Sya?” tanya Angga.“Bingung. Apa ya? Campur aduk semua rasanya dan itu saling berkaitan buat gue” jawabku.“Hmm perasaan yang paling bikin lo tertekan deh Sya kira-kira ada lagi nggak selain yang udah lo sebutin tadi?” Angga membantu menyederhanakan agar aku bisa meluapkan isi hatiku.“Oh, gue tuh kesel dan sedih setiap kali Radit bilang gue cuma nyalahin Radit setiap ada masalah ketika gue po
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam.Kami bertiga masih berbincang di ruang TV. Aku merasa masih banyak yang sebenarnya ingin aku sampaikan kepada Manda dan Angga namun aku sendiri tidak tahu aku harus berbicara apa lagi. Aku hanya mampu bercerita ketika mereka sendiri yang bertanya langsung kepadaku apa yang ingin mereka tahu tentangku dan Radit.Aku masuk ke dalam kamar, mencarikan selimut dan mengambilkan bantal untuk Angga yang nanti akan tidur di sofa bed. Senang rasanya bisa ditemani mereka berdua setelah seharian ini aku harus menghadapi ketakutanku secara langsung. Yah, meskipun aku yakin ini pasti ada campur tangan Mama, tapi aku sangat bersyukur punya mereka disisiku.“Nih” ucapku sambil melempar selimut dan bantal yang dengan sigap langsung tertangkao oleh tangan Angga.“Udah mau tidur ini?” tanya Manda bingung setelah aku memberikan selimut dan bantal untuk Angga.“Gue sih belum mau tidur” jawab Ang
Setelah puas menertawakan kejadian teraneh yang pernah aku alami itu, kami pun memutuskan untuk beristirahat karena hari sudah semakin pagi. Manda berjalan mengikutiku dari belakang menuju ke kamar, sedangkan Angga berencana untuk mengerjakan kembali skripsinya sebelum tidur.Aku menatap langit-langit kamarku sambil berbaring, hampir saja terlarut dalam pikiranku sendiri. Manda yang awalnya tidur terlentang tiba-tiba mengubah posisinya menjadi menghadapku.“Sya” panggil Manda pelan.“Kenapa Man?” tanyaku.“Lo masih sayang nggak sih sama Radit?” tanya Manda tiba-tiba.“Hah? Kok tiba-tiba nanya gitu?” tanyaku balik.“Hmm penasaran aja. Gue kan sekarang tau nih apa yang lo rasain ketika putus, mostly ya lo tuh marah sama Radit dan itu ketahan dari lama. Gue pengen tau aja dengan marah lo itu, masih ada nggak sih perasaan sayang lo buat dia?” Manda menjelaskan maksud pertanyaannya.