Darren tidak tahu apa yang terjadi, hanya saja di hari pertama menggantikan Daffa, dia dipertemukan oleh orang yang sepertinya pernah dia lihat.
Seorang cowok; ganteng, tinggi, berwajah tirus dan punya postur semampai (mungkin umurnya sekitar 18 tahun untuk hitungan rata-rata usia kelas 3 SMA).
Dan Darren ingat fitur cowok ini, yang memang pernah muncul di rumahnya dengan kesan yang sedikit tidak elit.
Serta merta Darren langsung menarik lengan cowok itu ke arah taman sekolah yang masih terlihat sepi.
"Hoi, kenapa sih? Kalau lo megang tangan gue seintim itu yang ada kita dikira homo," tegur si cowok.
Darren melepaskan tangannya dengan ekspresi jijik yang kentara.
"Elah... Manis banget sampe nyari tempat sepi buat ngobrol berdua," ujar cowok itu sambil mengedipkan satu matanya.
Darren melepas kacamatanya. "Lo kenal gue?" tanyanya.
"Ultramen?"
"Gak lucu!"
"Jangan sinis gitu dong. Gue takut nih, berasa istri yang lagi diintimidasi suami gitu," ucap cowok itu sok manis.
Menjijikan.
"Gue ingat kalau lo pernah dateng ke rumah gue, dan lo teriak macam banci pas lihat gue ada dua trus pingsan gitu aja."
Ouch! Ingatan yang bagus Darren.
Cowok itu langsung gelagapan.
"Oh, oke. Jadi kenapa lo tiba-tiba ngungkit masalah itu lagi?" tanyanya gusar. "Lo mau nyebarin cerita memalukan kalau gue pingsan itu untuk ngancam gue? Lo pengen popularitas gue turun dan meras duit gue? Ya lord, gue abis beli komik lima dus untuk koleksi rak buku yang baru gue beli kemarin, Daffa!"
Darren tidak menjawab. Sebaliknya dia menatap si cowok dengan tatapan yang terlampau sinis.
"Err, ya, gue bohong sih. Jadi lo mau dibeliin apa? Cilok? Siomay? Batagor kuah? Mie ayam? Atau apa? Please, apapun bakal gue turutin asal lo nggak nyebarin cerita memalukan itu di sekolah," katanya, nadanya resah. "Inget, Daff, persahabatan kita bisa putus kalau lo ngelanggar itu."
Darren mendesah. "Gue bukan Daffa."
"Dan gue bukan Rendy. Gue adalah peri khayangan yang jatuh miskin dan dibuang ke bumi," balas cowok yang bernama Rendy itu dengan tampang serius.
"Ya udah, kayanya gue salah orang. Permisi."
Darren malas menanggapi orang bodoh itu dan hampir meninggalkannya sebelum dia merasakan pundaknya dicengkeram kuat.
"Darren?" ulang Rendy, akhirnya sadar.
.
"Jadi Daffa sekarang dibawa ke Singapura?" tanya Rendy sambil menyeruput es jeruknya. Mereka berdua sedang menikmati jam istirahat sambil melahap satu mangkok bakso.
Yah, berdua.
"Kenapa lo cuma makan sepotong bakso? Ini enak, ayo, makan lagi," suruhnya.
"Nggak, buat lo aja."
Sebenarnya Darren sangat malas dengan orang macam Rendy. Tapi mau bagaimana lagi, setahunya baru Rendy saja orang yang pernah diajak Daffa ke rumah. Dia mengenal Rendy ketika pulang ke Indonesia pada saat liburan semester. Rendy dan Daffa sedang mengobrol di kamar dan turun untuk minum. Saat itu Rendy yang melihat Darren langsung pingsan karena mengira kalau yang dilihatnya adalah hantu.
Akhirnya setelah dia siuman Daffa menceritakan semuanya, bahwa mereka adalah saudara kembar.
Sekarang Darren butuh bantuan Rendy untuk mengetahui siapa saja teman Daffa di sekolah, apa saja kegiatan Daffa dan bagaimana cara dia bergaul.
Semua itu harus Darren lalukan supaya perannya sebagai Daffa benar-benar terlihat natural. Semoga Rendy adalah orang yang bisa dipercaya untuk menjaga rahasia ini.
"Jadi lo ninggalin pacar lo yang cantik di Singapura dan datang ke sini cuma untuk ngegantiin Daffa?" tanya Rendy masih sambil mengunyah bakso.
"Bukan 'hanya untuk'," ralat Darren. "Dan itu bukan urusan lo juga."
Yah, Darren memang meninggalkan Zania, pacarnya, hanya demi Daffa.
Darren dan Zania sudah berhubungan dengan lebih dari setahun. Zania adalah idola di kampusnya. Dia adalah cewek yang sangat perhatian dan pengertian. Sikapnya yang lemah lembut membuat Darren takluk padanya.
Rasanya dia juga pasti bersedih kalau tahu kekasihnya sedang sakit. Sejujurnya Darren beralasan sakit pada pihak kampus untuk mendapatkan izin. Tidak mungkin pihak kampus menyuruhnya masuk sedangkan Darren koma di rumah sakit. Ya, Daffa juga yang menggantikan perannya sekarang dengan menjadi Darren.
"Baiklah, ceritain gimana Daffa di sekolah?" Darren melihat Rendy baru saja menyelesaikan makannya, dan bertanya to the point.
"Hm... biasa aja."
Darren mengernyit, tak puas dengan jawaban itu.
"Daffa itu nggak populer kaya gue," lanjutnya. "Di mata anak-anak, dia itu cuma nerd berkacamata tebal dan nggak terlalu menonjol di sekolah. Dia juga pendiam. Beda banget sama gue yang populer dan ganteng. Wajar aja sih, semua cewek di sini lebih kepincut sama gue soalnya gue kapten basket paling famous. Lo tanya semua murid di sini satu persatu, mereka pasti kenal gue. Dan gue juga--"
"Stop! Stop it!"
"Why?"
"Karena gue nggak pengen tau tentang lo."
Rendy tertawa pelan. "Sebenarnya ada satu hal yang bikin gue iri sama Daffa."
"Apa?"
"Nanti juga lo tau."
Darren menatap Rendy dengan kesal. Dia lantas mengambil uang di saku dan meletakkanya di meja. "Ini untuk bayar makanannya. Lain kali pesan dua porsi."
Lalu dia pergi setelah mengatakan hal itu. Dari jauh suara Rendy masih terdengar,
"Elah, sensi banget. Romantis dikit kek. Makan semangkuk berdua gini gue sama Daffa juga udah sering kali," tutur Rendy, yang kini lengannya udah nangkring di bahu Darren. "Oi, Darren, jawab."
"Jangan manggil gue Darren di sini," bisik Darren memperingatkan.
"Ups. Ya, Daffa. Sorry, lupa."
Demi Tuhan, Darren tidak menyukai Rendy. Pun fakta bahwa cowok itu memang populer seantero sekolah. Beberapa murid cewek di sini terlihat tidak melepaskan mata mereka dari sosok Rendy ketika dia lewat.
Dan fakta menyebalkan lain; bahwa ada saja cewek yang mengirimi Rendy surat cinta di laci meja begitu mereka tiba di kelas.
Dasar aneh.
Selera cewek-cewek di sini memang payah.
.
"Kak Daffa!"
Teriakan seorang cewek sukses membuat Darren menengok. Darren sedang membereskan buku-bukunya karena bel tanda istirahat kedua baru saja berbunyi.
Darren mengerutkan dahinya dan menatap ke arah Rendy yang ada di sebelahnya. Wajahnya menyiratkan pertanyaan "siapa dia?" tetapi Rendy hanya tersenyum.
Cewek itu semakin mendekat ke arah Darren dengan membawa sebuah kotak dan air mineral.
"Kak Daffa?" sapanya. "Kakak udah sembuh? Aku denger kakak sakit makanya kemarin absen, ya?"
Karena tidak mengenal cewek ini, Darren bingung mau menjawab apa.
"Oh iya, sampe lupa. Aku bawa bekal makan siang buat Kak Daffa. Abisin ya, Kak, soalnya aku buatnya pake bumbu cinta yang lumer-lumer gitu," ujar gadis itu sumringah sambil menyerahkan kotak bekal pada Darren.
Darren melihatnya dengan terbengong-bengong. "Siapa dia? Apa pacar Daffa?" batinnya.
Rendy menyerobot kotak yang disodorkan ke Darren. "Terima kasih, Mika cantik," ucapnya sambil tersenyum.
"Ih, itu bukan buat Kak Rendy. Awas kalau kakak berani makan sesendok aja. Besok-besok aku racunin bekalnya!"
Rendy terkekeh. "Mau ngeracun kok bilang-bilang."
Cewek itu mendengus, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Darren. Dengan tiba-tiba memegang kening Darren hingga empunya terkejut.
"Kak Daffa udah bener-bener sembuh kan? Suhunya normal sih," ucap cewek berambut ikal itu sambil tersenyum. "Abisin ya, Kak, bekalnya. Aku nggak bisa lama-lama nih soalnya mau ngerjain tugas presentasi abis ini. Huft! Aku sebel banget tau, Kak! Rasanya pengen bangeeet nyumpahin guru itu bisulan karena udah ganggu waktu aku untuk berduaan sama Kak Daffa."
Darren hanya terdiam melihat cewek itu berbicara tanpa henti. Darren mulai tidak nyaman ketika semua mata memandang ke arahnya dengan tatapan iri dan beberapa cowok yang sedang tersenyum memandang ke arah cewek (cantik?) itu.
"Udah selesai ngomongnya?" tanya Darren.
Cewek itu memandang Darren dengan heran.
"Kalau udah, kerjain tugas lo sana sebelum dinyinyirin tuh guru dan akhirnya lo yang disumpahin bisulan."
Gadis itu tersenyum lebar. "Wah, badass. Aku baru tau kakak bisa seperhatian itu dengan cara yang sedikit frontal. Aku terharu. Oke, Kak, nanti biar kita aja kan yang nyumpahin guru itu bisulan," dia terkikik. "Ya udah, Kak, aku balik ke kelas dulu. Bye, Kak. Love yaaa."
Cewek itu melambaikan tangan dan beranjak pergi dari kelas Darren.
Darren akhirnya bisa bernapas lega karena bisa lepas dari orang yang tidak dikenalnya. Huh, perhatian katanya? Jelas-jelas Darren melakukan itu untuk mengusirnya.
"Siapa dia?" tanya Darren akhirnya setelah dirinya dan Rendy sampai ke bangku taman.
"Namanya Mikaela Cindy, kelas dua, salah satu most wanted di sekolah ini." Rendy menjelaskan, matanya agak menerawang. "Dan sebenernya itulah yang bikin gue iri sama Daffa."
"Ha?"
"Cewek sepopuler Mika di sekolah ini ngejar-ngejar Daffa. Bukannya itu sulit dipercaya?"
"Cewek cerewet itu tadi?"
Rendy mengangguk.
"Apa dia sama Daffa pacaran? Gue nggak kebayang." Darren berdecak.
Rendy tertawa. "Nggak kok. Daffa selalu cuek sama Mika, kadang-kadang sih. Lagian Daffa bakal jadi orang yang paling ingin dibunuh di sekolah ini kalau dia berani pacaran sama Mika," kata Rendy. "Gue juga pengen bunuh dia rasanya. Gue nggak sanggup menerima beban ini, ngeliat orang yang gue suka, suka sama Daffa. Dan Daffa-nya malah cuek, njir. Nyesek."
Darren hanya terdiam membiarkan Rendy dan komentar gilanya.
"By the way... Lo mau makan ini?" tanya Rendy sambil membuka kotak bekal Mika dengan air liur yang hampir menetes.
"No, thanks. Kayanya lo lebih butuh." Darren mulai membuka buku yang dibawanya dari kelas.
"Lo nggak denger tadi Mika bilang dia bakal ngeracunin gue kalau berani makan bekal ini meskipun cuma sesendok?" Rendy bergidik ngeri.
"Dan lo percaya?"
"Nggak." Rendy tersenyum sumringah sambil mulai memakan bekal Mikaela. "Lo tau nggak...?"
"Hm?"
"Lo itu baiiik bangeeet! Kalau Daffa nih ya, dia pasti bakalan ngabisin bekal ini sendirian tanpa disisain buat gue sedikitpun. Kalau sendok ini bisa dimakan, udah ditelen kali sama dia," ucap Rendy sambil mengunyah makanannya.
Darren hanya diam masa bodo sambil melanjutkan membaca bukunya.
.
Mika sangat bahagia, akhirnya Mika bisa melihat wajah kak Daffanya kembali dan Mika rasa dia baik-baik saja. Mikaela sempat Kuatir karena sudah tiga hari dia tidak masuk sekolah. Apa yang terjadi padanya? Kak Rendy bilang kalau Daffa sakit. Yang membuat Mika sedih adalah karena Mika tidak bisa menjenguknya. Jangankan untuk merawatnya, rumahnya saja Mika tidak tahu. Daffa tidak mau memberi tahu dimana rumahnya, Rendy juga sama saja, dia tidak mau memberi tahu dimana rumah Daffa.
Daffa sangat tertutup.
Sudah lima bulan ini Mika mengejar Daffa, itu pun karena hal yang sangat sepele. Dia menyelamatkan seekor kucing yang tercebur ke drum sampah yang sangat dalam. Tanpa takut dirinya menjadi bau dan kotor, dia masuk ke dalam drum itu untuk menyelamatkan kucing malang itu. Menurut Mika itu sangat manis, dan dia terlihat sangat tampan ketika tersenyum pada kucing itu.
Pernah sekali Mikaela melihat Daffa melepas kacamatanya, dan wah.. dia benar-benar tampan!
"Mika? Hoi, Mika!"
Dodi, teman yang kebetulan satu kelompok dengan Mika membuyarkan lamunannya. Mika memukul kepala Doni dengan pulpen karena sebal.
"Kaget gue!"
"Buruan nyalinnya," suruh Dodi.
Mika mengabaikan Dodi. Pikirannya masih terpaku dengan Daffa yang ditemuinya barusan. Bukan hal yang mengherankan kalau Mika terus memikirkan kakak kelas yang disukainya itu, hanya saja Mika terus terpikir bahwa sikap yang cowok itu tunjukkan hari ini tidak seperti sifat yang biasanya.
Belum lagi, postur tubuhnya yang tiba-tiba berubah sedikit berisi sejak tiga hari mereka tidak bertemu. Daffa yang sekarang lebih terlihat besar dan berotot.
Apa dia pergi ke gym?
Mustahil juga.
Memang tidak terlalu kentara sih, tapi Mika yakin kalau Daffa yang dilihatnya tadi terlihat lebih... sexy.
Ugh!
"Astaga, Mika!!!" salah satu temannya tiba-tiba berteriak. Ah, Siska. Si cewek rambut kotak; sahabatnya.
"Kenapa sih, Siska sayang?" tanyaku kesal.
"Earth, Mika! Lo yang kenapa? Ngelamun sampe nggak inget bumi lagi. Lo lagi mikir yang nggak-nggak, ya?"
"Ha? Serius?" Mika refleks menengok kanan dan kiri. "Apa muka gue kelihatan kaya orang bego barusan?"
"Bukan kelihatan lagi, emang udah bego!"
Siska tampak menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Mika memeletkan lidahnya. "Peduli amat kalau orang-orang ngelihat tampang bego gue, yang penting Kak Daffa jangan."
"Daffa lagi? Yah. Semerdeka lo aja," sahut Siska jengkel.
.
Darren merebahkan tubuhnya ke tempat tidur besarnya. Dia sangat lelah. Ini adalah hari pertamanya menjadi Daffa di sekolah dan tidak ada masalah. It's easy.
Tidak ada yang menaruh curiga kepadanya. Sekarang Darren bisa bersyukur karena sifat pendiam saudara kembarnya itu, jadi dirinya bisa fokus belajar dan cukup pasang tampang kalem sambil membaca buku; seperti apa yang Daffa lakukan setiap harinya.
"Kenapa masa SMA lo membosankan banget sih?" gumamnya.
Daffa tidak mengikuti ekskul apapun di sekolahnya.
Darren mengerti mengapa Daffa sangat menutup dirinya dari kehidupan sosial. Mungkin jika Darren menjadi Daffa dia akan melakukan hal yang sama.
Darren bangun dari tempat tidurnya dan membuka baju seragamnya, mungkin dia akan berendam sejenak untuk melepaskan penat.
Darren meraih tasnya dari meja belajar dan mengambil ponselnya, berharap sang ayah menghubunginya untuk memberitahu kabar tentang Daffa.
Hm...
Darren bergumam sebentar ketika melihat kotak bekal terselip di tasnya, kotak bekal berwarna pink berbentuk hati.
Oh, God, pink!
Dan bentuknya... hati.
Sial. Darren sangat membenci perpaduan pink dan bentuk hati.
"Pasti Rendy sialan itu yang masukin. Bagus. Dia yang makan, gue yang suruh nyuci," umpat Darren, dia menaruh kotak itu sembarang dan mulai mengecek ponselnya.
Hasilnya; nihil.
Tidak ada satu pesan atau miscall dari sang ayah. Akhirnya Darren memilih untuk membuka random beberapa sosial medianya--juga milik Zania.
"Zania tidak juga nggak ada kabar. Lagi ngapain, ya? Kangen suaranya," gumam Darren.
Akhirnya Darren memutuskan untuk menghubungi ayahnya dan tidak ada jawaban. Ayahnya tidak mengangkat telpon, dan begitu juga dengan ibunya. Darren membuang ponselnya ke kasur empuknya, kemudian mengambil handuk dan memutuskan untuk segera berendam air hangat.
Mungkin hari ini dia memang ditakdirkan untuk tidak mengusik dan diusik.
Besok dia harus fokus sekolah lagi.
"Get well really soon, Daff."
.
Klakson bersahutan di traffic light sepuluh menit sejak Darren keluar rumah. Macet parah.
"Kenapa pagi-pagi begini jalanan udah macet sih?"
Darren melihat antrean mobil di jalanan yang sudah sepanjang omelan ibunya ketika dia malas untuk mandi.
Rasanya sangat kesal, apalagi ditambah bisingnya klakson mobil yang seolah-olah sedang berlomba mana yang paling kuat sejak tadi menandakan sang empunya sudah tidak sabar ingin menerobos kemacetan.
Darren menengok ke kanan dan kiri, membuang sedikit kesal. Lebih bagus jika dia menemukan celah yang tepat untuk bisa melewati kemacetan.
Nihil.
Jalanan sudah sangat padat, bergerak juga tidak bisa.
Tiba-tiba dikejauhan ada seseorang yang menarik perhatian Darren. Tidak begitu jelas. Namun Darren sangat yakin kalau dia pernah melihat orang itu. Hm, siapa ya?
Postur tubuh mungil dan rambut ikal yang sama dengan cewek bawel yang menyapanya kemarin.
Darren lupa siapa namanya.
Darren bertanya-tanya apa yang cewek itu lakukan di trotoar sambil menenteng beberapa kotak makanan. Ada beberapa anak kumuh yang mengikutinya di belakang. Tak lama kemudian mereka berhenti dan duduk di dekat taman jalan yang terdapat bangku panjang.
Mata Darren terus memperhatikan gerak gerik cewek itu. Apalagi ketika cewek itu menurunkan beberapa plastik yang berisikan kotak nasi dari mobilnya (dibantu seorang laki-laki tua; yang Darren duga sebagai supir) dan membagikan kepada anak-anak lain yang belum mandapat jatah.
Tin... Tin...
Tiba-tiba Darren melonjak terkejut karena mobil belakangnya menekan klakson beberapa kali. Dia baru menyadari bahwa mobil di depannya sudah mulai berjalan, dan dia justru membuat mobil lain menunggu. Segera saja Darren menjalankan mobilnya dan tidak terlalu peduli lagi pada apa yang cewek itu lakukan.
Sesampainya di sekolah, Darren mulai berperan. Kacamata dipakai, rambut dirapikan, pakaian dan sebagainya. Dia segera menuju ke kelas, bel masuk mungkin berbunyi sebentar lagi.
Dalam perjalanan, terlihat Rendy mengejarnya dan Darren mengabaikan. Pura-pura tidak mendengar.
"Kejam banget! Gue panggil-panggil juga," keluh Rendy setelah berhasil mengejar Darren.
Darren malas menanggapinya dan terus berjalan ke bangku untuk kemudian menaruh tasnya.
Rendy juga melakukan hal yang sama.
Menolak lupa, Darren juga mengeluarkan kotak bekal pink milik Mika ke meja Rendy. Dan dia mendapatkan tatapan bingung.
"Balikin ke cewek bawel itu," katanya.
"Kenapa nggak lo balikin sendiri? Kalau gue yang balikin nanti dia curiga, dikira gue yang makan."
"Emang lo yang makan 'kan?"
Rendy nyengir, tapi dia belum siap diracuni Mika. Jadi, dia menaruh lagi bekal itu di meja Darren.
Yang dilakukan Darren hanya mendengus. Dia sama sekali tidak ingin berdebat dan lagipula Rendy orang yang terlihat cukup keras kepala jika diajak beragumentasi.
"Jadi, dimana kelasnya?" tanya Darren.
"Di bawah."
"Please... Di bawah ada banyak kelas," Darren memutar bola matanya.
Rendy mengambil kotak bekal itu dan menaruhnya di laci. "Nggak usah repot balikin. Mika tiap hari bakal ke kelas ini untuk ngasih bekal makanan."
"Tiap hari?"
"Ya nggak tiap hari juga sih, tapi hampir tiap hari"
"Gila," umpat Darren.
Rendy berdecak. "Hati-hati kalau ngomong, hampir semua cowok di sini ngarep bisa ngegantiin posisi Daffa yang bisa dapet perhatian lebih dari Mika."
"Gue nggak tertarik."
"Baguslah, saingan gue jadi berkurang," Rendy terkekeh.
Bel tanda istirahat kedua berbunyi. Darren terlihat sibuk memasukan bukunya ke tas. Rendy buru-buru menghampirinya."Makan yuk! Gue laper," ajak Rendy manja."Sejak kapan gue akrab sama lo?" tanya Darren sarkas."Sejak lo bantu gendong gue pas gue pingsan di dapur rumah lo. Daffa cerita sama gue kalau lo ngegendong gue ala tuan puteri gitu," kata Rendy semangat. Matanya mengedip-ngedip. "Aih, malunya..."Darren mendengus jijik."Kak Daffa..."Baru saja Darren berniat keluar dari kelasnya, ada suara cewek yang memanggilnya."Siapa namanya? Lupa gue," bisik Darren pada Rendy sambil m
Pagi harinya di kelas, Darren masih merasa heran kenapa risoles yang dia beli di toko kue kemarin tak seenak buatan Mika. Darren terus bertanya-tanya sejak kemarin, meskipun akhirnya risoles yang dia beli juga dilahap hingga tandas.Apa benar kata salah satu anak kumuh itu kalau kue buatan Mika selalu enak?Ah, mustahil. Cewek itu bahkan terlihat seperti cewek centil kebanyakan; yang lebih suka nyentrik di make up daripada panas-panasan di dapur. Bahkan dilihat dari kuku-kukunya yang terawat juga mustahil dia bisa memasak.Tapi meskipun Darren sudah meyakinkan dirinya kalau Mika tidak sehebat itu, rasa penasarannya tetap tidak terbayar. Apa dia harus menanyakan hal itu pada Mika sendiri?"Hoi, Darren! Iu muka serius amat. Lag
Malam itu Darren sedang menganggur. Tubuhnya merebah pada tumpukan bantal di ranjangnya sambil bertopang kaki. Untuk membunuh waktu, dia iseng membuka salah satu akun sosial medianya dan juga mengecek akun milik Zania. Ada satu postingan baru dari pacarnya itu yang membuatnya tersenyum kecut.Cepat sembuh, sayang. Aku kangen kamu.Dilemparnya ponsel itu hingga melesak ke bawah bantal. Rambut digusak asal. Setelah menahannya cukup lama, akhirnya rasa bersalah Darren terhadap Zania hampir tidak bisa terbendung lagi.Dia merasa sangat bersalah karena telah membohongi gadis sebaik Zania. Dia juga sangat merindukan pacar kesayangannya itu. Tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.Sesungguhnya Darren ingin ber
"Lo udah siap?" tanya Rendy di seberang telpon pada Darren."Ya.""Oke, gue jemput 20 menit lagi ya, soalnya supir gue lagi buang hajat.""Oke."Malam ini Darren dan Rendy akan berangkat ke Singapura menjenguk Daffa sesuai rencana mereka. Sabtu malam berangkat, Minggu malam pulang.Darren menaruh tas ransel berisi 2 T-shirt dan celana serta beberapa keperluan lainnya di sofa kemudian menjatuhkan diri di sampingnya. Setelah menelpon orang tuanya dan mengabarkan bahwa Darren akan berkunjung bersama Rendy kesana, Darren merasa bingung.Ibunya mengatakan bahwa Zania datang setiap hari ke rumah sakit untuk menu
Keesokan harinya Darren dan Rendy sudah berada di sekolah lagi."Gila! Gue jetlag nih kayanya," keluh Rendy.Darren tidak menanggapi dan sibuk mengeluarkan buku-bukunya."Harusnya gue nggak usah masuk sekolah hari ini, gue ngantuk berat. God gue butuh vitamin," Rendy mengumpat. "Gue pengen ke lapangan rasanya Secara kalau gue maen basket bakalan ada dedek-dedek gemes yang ngelihatin gue sambil teriak-teriak manja. Kyaa kak Rendy keren, kak Rendy ganteng, kak Rendy hot, kak Ren--"Darren menutup mulut Rendy dengan kertas. Entah cewek seperti apa yang bisa mengidolakannya."Bah, jahatnya!""Telinga gue budeg dengerin
"Kenapa, Ma?"Darren sedang mempersiapkan bukunya ke dalam tas sambil mengangkat telpon dari Ibunya."Temen Mama baru pindah ke Jakarta, dan anaknya baru masuk ke sekolah Daffa.""Jadi?""Mama minta tolong sama kamu, untuk temenin dia. Soalnya Mama nggak enak, Ibunya udah minta tolong ke Mama. Dia belum punya temen di Jakarta.""Oke, Ma.""Jangan lupa, ya. Tante Rina itu udah baik sama kita. Jadi Mama harap kamu bisa baik-baik ya sama anaknya Tante Rina.""Iya, Ma."Darren menenteng tas ranselnya dan men
Sebuah tepukan kecil di bahu mengagetkan Mika yang sedang berjalan ke kelasnya. Ia menengok, dilihatnya Michelle, si gadis setengah bule sudah berada di belakangnya sambil tersenyum manis."Pagi, Kak Mika.""Pagi," jawab Mika malas-malasan."Kak, kok ngelamun aja, mikirin apa sih?"Nih anak sok akrab banget."Nggak ngelamun kok, perasaan lo aja kali.""Kelas kakak dimana?"Mika menunjuk kelas yang berderet paling ujung di samping pohon beringin yang rindang."Kakak pacarnya Kak Daffa ya?"
Sejak kejadian di perpustakaan rasa kesal Mika menguap hilang entah kemana. Tetapi ucapan manis Daffa itu hanyalah ucapan manis belaka. Mungkin hanya untuk membuatnya senang. Buktinya sampai sekarang Daffa sama sekali tidak pernah memberitahukan keinginannya. Terhitung sudah beberapa hari semenjak Daffa mengatakan bahwa dirinya akan bilang ke Mika kalau ingin makan masakannya. Kenyataannya Mika-lah yang selalu mengirim pesan duluan untuk menanyakan apakah Daffa ingin dibawakan bekal atau tidak.Dan tidak.Sampai hari ini Mika tidak pernah membawakan Daffa bekal lagi.Mika memandang ke arah lapangan basket yang tidak jauh darinya. Sekarang dia, Siska, dan Michelle sedang duduk di bangku bawah pohon beringin samping kelasnya sambil melihat Daffa dan Rendy yang sedang melatih junior-junio
7 years later..."Hi Darren, long time no see.""I'm very busy, Mr. Leo." Darren menjabat uluran tangan salah satu teman berbisnisnya itu."I know, ngomong-ngomong, selamat atas pertunanganmu dengan Dr. Caroline.""Thanks.""Dia sangat cantik.. dan sexy." bisik Mr. Leo sambil mengedipkan sebelah matanya genit."I agree with you. Aku sangat beruntung bukan?""Yes, you are. Dia adalah perempuan yang sangat dewasa dan pintar." puji Mr. Leo. "Oh, iya, silahkan duduk dulu. Kau mau minum apa?"
"Non Mika, makan dulu.""Nggak mau bi, bi Salma aja yang makan. Tadi saya udah makan.""Tapi non belum makan siang tadi.""Kita harus hemat bi, kita udah nggak punya apa-apa lagi." ucap Mikaela parau kembali memandangi sekeliling rumah megah yang akan segera ia tinggalkan. Rumah itu bukan haknya lagi. "Jadi kapan kita harus ninggalin rumah ini bi?""Kata pak Danu, kita cuma diberi waktu satu Minggu buat ngosongin rumah ini non."Memejamkan matanya, Mikaela berusaha kuat menghadapi semua hal buruk yang menimpanya. "Bi...saya bakal kasih separuh asuransi saya untuk bi Salma sama pak Tarjo. Bi Salma bisa bikin usaha kue di kampung bibi."
Sudah dua hari berlalu sejak ayah Mikaela meninggalkan dirinya seorang diri di dunia ini. Gadis itu mengurung diri dikamar selama itu tanpa mau makan dan minum kecuali ketika bi Salma menangis tersedu-sedu memohon agar Mikaela makan. Tiwi dan Siska setiap harinya datang ke rumah Mikaela sepulang sekolah untuk menghibur gadis malang itu."Mika, makan dulu yuk." Siska membawakan makan siang untuk Mikaela masih dengan memakai seragam sekolahnya."Tiwi udah bawain roti.""Iya, tapi kan Lo makan roti dikit banget, Lo kan orang Indo, makannya kudu nasi." sanggah Tiwi menerima piring yang disodorkan Siska.Siska dan Tiwi ikut duduk di ranjang Mikaela, duduk berdekatan dengan Mikaela yang sedang memeluk lututnya erat. Mata Mikaela sembab mena
Singapura, 18:07 PM"Kami sudah pindahkan Daffa ke ruang ICU, kalian sudah bisa tenang sekarang, kondisinya sudah sangat stabil, saya harap kondisinya besok sudah lebih membaik."Terlihat Dr. Matt beserta timnya yang dulu pernah merawat Daffa sedang memberikan keterangan pada Brata. Darren dan Ema hanya bisa menyimak apa yang dokter itu katakan."Terima kasih dok." Wajah Brata berangsur tenang setelah tegang beberapa saat."Tuan tenang saja, saya dan tim saya akan berusaha sebaik mungkin untuk anak anda." lanjutnya dengan bahasa Inggris yang sudah bercampur dengan Melayu itu.Darren berdecak. Semua dokter selalu mengatakan hal yang sama. Tapi mau bag
Bagai tersambar petir disiang bolong, Mikaela tidak percaya apa yang baru saja Darren katakan padanya. Darren memintanya untuk menerima Daffa."Ma..maksud kakak?""Maksud gue cukup jelas Mika. Ikut gue ke rumah sakit sekarang. Bilang sama Daffa kalau Lo juga cinta sama dia.""Aku nggak cinta sama dia kak.""Belajar buat cinta lagi sama dia."Plak.Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi Darren. Mikaela sangat marah, tega sekali Darren mengatakan hal itu padanya."Kakak pikir hati aku ini apa?""...."
Begitu Darren berlari meninggalkan Mikaela dan mengendarai mobilnya dengan asal, cewek itu langsung berpamitan kepada anak-anak didiknya dan menyetop taksi untuk mengikuti Darren.Dia juga merasa cemas dengan keadaan Daffa, apalagi Darren terlihat kacau dan ketakutan setelah mendapat telpon dari ibunya.Ternyata Darren pergi ke salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta, Mikaela yakin Daffa dilarikan ke rumah sakit itu.Mikaela tidak bisa menyamai langkah Darren yang berlalu dengan cepat. Dia hanya mengetahui jika Darren pergi ke ruang IGD dan Mikaela tidak dapat sembarangan masuk ke dalam. Jadi dia putuskan untuk menunggu Darren di lorong.Dengan sangat cemas Mikaela menunggu, sudah kurang lebih 30 menit bolak balik ia melihat jarum
Hari Minggu yang cerah, secerah hati Mikaela. Hari ini ia sudah membuat janji dengan Darren untuk pergi bersama. Walaupun Mikaela harus merengek-rengek sebelumnya agar Darren bersedia pergi kencan dengannya.Tidak masalah, yang penting hati Mikaela senang karena akhirnya Darren meng-iya-kan permintaan Mikaela.Cewek itu sudah menge-roll rambutnya sejak malam dan berdandan secantik mungkin. Dia menunggu Darren di ruang tengah bersama ayahnya. Dua hari ini ayah Mikaela tidak bekerja, dia seharian menemani Mikaela di rumah dan itu menambah kebahagiaan Mikaela."Pa, papa kerja lusa ya?""Iya, papa mau ke Bandung." Ayah Mika sedang membaca koran sambil menyeruput kopi panasnya."Hmmmm...
Begitu membaca pesan dari Daffa, Mikaela langsung berlari keluar tanpa menggunakan jaket dengan rambut yang masih setengah basah. Ia memakai baju tidur lengan pendek yang membuat kulitnya tertembus dinginnya angin malam."Masuk ke dalem aja kak, di luar dingin banget." Ajak Mikaela sambil mengusap-usap lengannya setelah melihat Daffa yang sepertinya juga ikut kedinginan."Disini aja, aku cuma sebentar." Jawab Daffa menatap Mikaela lekat sambil tersenyum.Hawa tajam seperti es semakin menusuk-nusuk kulit, Mikaela merasakan sesuatu yang aneh pada Daffa. Tatapan cowok itu berbeda dari biasanya. Tatapan yang sangat terluka.Daffa tidak mau membuang banyak waktu, dia harus mengatakannya sekarang juga.
"I miss you so bad, I'm not lying."Mikaela tertegun dengan apa yang Darren lakukan. Cowok itu dengan lembut mengatakan bahwa ia merindukan Mikaela, ditelinganya.Bulu kuduk Mikaela meremang, seperti ada perasaan yang meluap-luap dalam dadanya, apalagi tangan Darren sedang memeluknya dari belakang. Mikaela tidak dapat bersikap dengan normal."Do you miss me?" tanya Darren, masih dengan posisi yang sama.Mikaela menelan ludah, sangat susah baginya menjawab pertanyaan Darren ketika dalam posisi saat ini. Ia hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya, sudah tidak dapat berkonsentrasi menyuci piring lagi. Ia taruh piring itu di wastafel, tangannya masih penuh dengan buih-buih busa sabun cuci piring.