Malam itu Darren sedang menganggur. Tubuhnya merebah pada tumpukan bantal di ranjangnya sambil bertopang kaki. Untuk membunuh waktu, dia iseng membuka salah satu akun sosial medianya dan juga mengecek akun milik Zania. Ada satu postingan baru dari pacarnya itu yang membuatnya tersenyum kecut.
Cepat sembuh, sayang. Aku kangen kamu.
Dilemparnya ponsel itu hingga melesak ke bawah bantal. Rambut digusak asal. Setelah menahannya cukup lama, akhirnya rasa bersalah Darren terhadap Zania hampir tidak bisa terbendung lagi.
Dia merasa sangat bersalah karena telah membohongi gadis sebaik Zania. Dia juga sangat merindukan pacar kesayangannya itu. Tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Sesungguhnya Darren ingin berkata jujur.
Darren bersumpah akan mengatakan semuanya pada Zania jika waktunya telah tepat. Meskipun dia tidak tahu itu kapan itu terwujud. Tapi mungkin saja setelah dia datang ke rumah sakit untuk menjenguk Daffa, dia bisa mengatakan kesalahpahaman ini.
Ya, tepat sekali.
"Tapi kapan gue ke Singapur, ya?"
Bosan, Darren mengambil remot dan menyalakan TV-nya. Tayangan di layar memutar dimana acara komedi tengah berlangsung, Darren menatapnya tanpa minat. Dia menyalakan benda itu semata-mata untuk menghilangkan senyap di kamarnya saja.
Maklumlah, sekarang Darren hanya tinggal berdua dengan pembantunya. Sedangkan Ibu dan ayahnya masih berada di Singapura menjaga Daffa. Dan sampai sekarang kondisi Daffa juga belum ada perkembangan yang pasti.
Tiba-tiba ponsel miliknya bergetar di atas meja. Diraihnya ponsel itu dan dibukanya. Ada pesan dari Rendy.
Rendy
'Gue nginep boleh kali.' 19:48Darren
'Why?' 19:50Rendy
'Gue bosen di Rumah. Maen PES, yuk! 😘' 19:51Darren
'Oke.' 19:52Rendy
'Yes! Gue OTW. I love you, Darren 😘' 19:52Dahi Darren mengernyit, terang-terangan jijik pada balasan pesan itu. That's a jokes. Darren tahu karena Rendy memang tipikal orang yang suka genit sana sini. Jadi untuk menghindari kalimat ngawur lanjutan, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan teman baik saudaranya itu.
Darren melihat-lihat lagi ponselnya untuk membunuh suntuk. Ada dua pesan dari nomor yang tidak dikenal sejak tadi, tetapi Darren enggan membukanya. Akhirnya Darren putuskan untuk membuka pesan itu.
Unknown
'Kak, aku tidur pakai jaketmu lhoo.' 19:20.Unknown
'Oh iya, ini aku Mikaela. Kakak save nomor aku di HP 'kan?' 19:22.Ternyata si Mika; cewek bawel yang benar-benar mengganggu kehidupannya sekarang. Dia pasti akan bertanya-tanya besok kalau Darren tidak membalasnya. Akhirnya dengan terpaksa dia putuskan untuk membalas pesan itu.
Darren
'Iya.' 20:01.Tidak sampai satu menit Mika sudah membalasnya.
Unknown
'Kakak udah ngantuk? Jangan tidur dulu dong, aku masih kangen 😘😘😘' 20.01.Demi siput balapan, ini masih jam 8. Mana mungkin Darren yang doyan begadang, udah ngantuk?
Darren
'Belum.' 20:04.Unknown
'Kakak lagi apa? Mikirin aku ya? ^_____^' 20:05.Darren enggan membalasnya.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar lagi.
Unknown
'Hari ini anak-anak muridku nanyain kakak. Kok ga dateng?' 20:08.Darren
'Salam aja ya buat mereka.' 20:10.Unknown
'Besok kakak mau makan apa? Semur bakso? Semur ayam? Tumis jamur?' 20:11.Darren meneguk air liurnya. Tiba-tiba lapar melanda ketika Mika menyebutkan nama makanan. "Ni cewek nggak rugi, heh?" gumam Darren.
Darren
'Lo ga bangkrut tiap hari bawain makan buat gue?' 20:14.Unknown
'Gak dooong~~~ Aku 'kan calon istri yg baik ^____^' 20:14.Darren tersenyum melihat jawaban Mika.
Darren
'Bodoh.' 20:16.Unknown
'Kak??? Sejak kapan kakak ngatain aku bodoh??? 😞 Terus kenapa ya kakak sekarang ngomongnya Lo-Gue gitu sama aku??? Hm???' 20:18."Sejak gue jadi Daffa," gumam Darren.
Tiba-tiba pintu kamar Darren diketuk.
"Mas, ada teman Mas Darren yang nunggu di bawah," kata seseorang dari balik pintu.
"Iya, Bi," jawab Darren singkat sambil bangun dari ranjangnya dan segera turun ke bawah. Rendy sudah duduk dengan manisnya di ruang tengah depan TV sambil mengunyah sesuatu.
"Cepet banget?" Darren duduk di sebelah Rendy.
"Ya, tadi gue emang udah di jalan."
Darren segera mempersiapkan peralatan PES di depan TV flat besarnya. Rendy membuka jaketnya dan terlihat sedang memilih-milih stik PES.
Darren merasa sedikit terhibur karena Rendy datang dan dia tidak merasa sendirian lagi. Setidaknya dia membutuhkan hiburan, dan bermain game adalah salah satu alternatif yang tepat untuk penghilang suntuk.
"Gimana keadaan Daffa?" tanya Rendy yang sudah menemukan stik yang pas di tangannya.
"Belum ada perkembangan."
"Kita berdoa aja supaya dia cepet sembuh dan sadar."
Rendy menepuk-nepuk bahu Darren.
"Gimana kalau Minggu depan kita jenguk Daffa?" usulnya.
Darren mengerutkan dahi. "Jangan ngaco. Bentar lagi ujian."
"I'm not kidding, next week we will go to Singapore," Rendy menjawab dengan ekspresi serius. "Gue kangen sama sahabat gue."
"Okay, then," ucap Darren akhirnya.
.
Sekitar lima orang siswi sedang mengerubungi Rendy begitu Darren masuk ke kelasnya. Darren berputar arah keluar kelas karena tidak ingin terlibat dalam dramanya Rendy. Berniat menunggu sampai kelima siswi itu pergi.
"Daffa?"
Belum sempat Darren menghilang, Rendy sudah memanggilnya. Darren menoleh.
"Hm?"
Darren melihat beberapa siswi sekitar Rendy sedang berbisik-bisik. Salah satu dari mereka tersenyum manis ke arahnya.
Rendy terlihat mengusir mereka dan melambaikan tangan pada Darren untuk mendekat.
Darren langsung menuju ke bangkunya di samping Rendy sambil mengeluarkan buku bacaan yang kemarin dia pinjam di perpustakaan. Rendy pindah duduk tepat di depan Darren.
"Ada salam," lapor Rendy.
"Tadi gue udah papasan sama dia." Darren tahu siapa yang dimaksud oleh Rendy.
"Siapa?" Rendy mengerutkan alisnya menjadi satu garis.
"Mika."
Rendy tertawa. "Bukan dia!"
Darren mengalihkan pandangan dari bukunya ke Rendy.
"Dari cewek-cewek tadi," ucap Rendy kemudian. "Cieee... yang punya fans sekarang."
Darren masa bodoh. Dia melanjutkan untuk membaca. Kalau cuma fans, dulu di SMA dia termasuk jajaran cowok yang punya banyak fans. Jadi Darren sudah tidak heran lagi. Darren memang merasa dirinya tampan.
"Muka lo flat banget."
"Terus gue harus gimana? Naek pohon sambil teriak; 'pucuk pucuk pucuk' gitu?" jawab Darren dengan ekspresi datarnya.
Rendy terkekeh. "Kita jadi 'kan?"
Darren mengerutkan keningnya.
"Ke Singapura."
"Hm, ya."
"Beneran? Oke, biar gue yang pesen tiketnya, biar poin gue nambah. Lumayan kalau dapet diskonan 'kan?" Rendy mulai membuka salah satu aplikasi untuk memesan tiket pesawat secara online.
"Serah deh." Darren melanjutkan membacanya sebelum bel masuk berbunyi.
.
Mika menggosok-gosok kukunya sambil bersenandung riang.
"Girang amat lo." Siska menyenggol tangan Mika.
"Ya dooong. Pagi-pagi gue udah dapet vitamin."
Siska hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Pasti Daffa."
Mika nyengir. "Siapa lagi kalau bukan dia, Sis? Eh, tapi gue aneh deh sama dia."
"Kenapa?"
"Masa dia panggil gue; lo, dan nyebut dirinya; gue. Setelah sakit itu kak Daffa jadi agak beda, Sis."
"Cuma perasaan lo aja kali. Atau jangan-jangan dia sakit kepalanya kepentok, jadinya beda." Siska tertawa.
"Gue serius, ih." Mikaela memukul pundak Siska.
"Daripada lo gila nggak jelas mikirin itu jantan, mending ikut gue yuk ke perpus."
Mika berdiri mengikuti Siska berjalan ke perpustakaan.
"Lo tau ga, Mik?"
"Apa?"
"Tadi waktu gue mau masuk kelas, anak-anak kelas satu heboh deh pada ngomongin kekasih tak sampai lo itu."
"Maksud lo?"
"Mereka ngomongin kak Daffa, Mik."
Mikaela berfikir sejenak. "Trus?"
"Ya... trus ngomong kalau Kak Daffa kerenlah, gantenglah dan sebagainya gitu. Gue rasa lo bakalan banyak saingan deh. Setelah tau Kak Daffa jago maen basket, dan pas kacamatanya dilepas, Mik, astaga dia ganteng banget ya."
Mika melotot ke arah Siska. Dan Siswa membalasnya dengan tawa keras.
"Gue bercanda kali, tapi mereka emang pada ngomongin Kak Daffa."
Mika memberengut. "Terus gue harus gimana dong?"
"Menurut gue ya lo nggak harus gimana-gimana; cukup jadi diri lo yang biasanya aja. Karena rasa suka lo ke Kak Daffa itu tulus, nggak kaya mereka yang suka begitu tau kalau kak Daffa kerennya kebangetan. Lagian gue rasa, Kak Daffa juga suka sama lo, Mik."
"Masa sih?"
"Lo inget nggak pas lo kena lempar bola sama Kak Rendy?"
Mika mengangguk.
"Kak Daffa yang paling panik waktu itu kan?"
"Apa iya?"
Siska menghela napas. Waktu itu dia pernah bercerita pada Mika, mungkin dia lupa. Maklum saja, Mika memang agak pikun.
Flashback on.
Duag.
Bola yang dipegang Rendy terlepas. Benda itu tanpa sengaja terlempar kuat ke pinggir lapangan karena Rendy melakukannya dengan emosi yang meluap-luap setelah putus dari pacarnya.
Mungkin hari itu adalah hari sialnya Mika, dengan tepat sasaran bola yang tidak berdosa itu meluncur mulus mengenai wajahnya hingga dia oleng dan hidungnya mengeluarkan darah. Dan akhirnya jatuh pingsan.
"Mika!" teriak Siska yang berada di sampingnya.
Daffa yang berdiri di pinggir lapangan langsung berlari menghampiri Mika, begitu juga Rendy yang baru sadar bahwa bolanya mengenai cewek itu.
Banyak siswa siswi yang mengerumuni mereka karena ingin tahu apa yang terjadi. Rendy yang merasa bersalah berniat menggotong Mika ke UKS, tetapi saat itu Daffa dengan sigap merebut tubuh Mika dari tangan Rendy dan berlari ke UKS.
Wajah Daffa sangat panik. Dia takut jika tulang hidung Mika patah atau terjadi sesuatu pada wajahnya sampai berdarah dan pingsan. Daffa akan menjadi orang pertama yang akan memukul sahabatnya sendiri karena telah membuat Mika pingsan.
Dokter UKS membersihkan darah di hidung Mika. Rendy hanya terdiam, mungkin dia merasa takut. Siska dan Daffa memperhatikan dokter itu memeriksa.
"Gimana, Dok?" tanya Daffa masih agak panik setelah dokter selesai memeriksa Mika.
"Nggak apa-apa kok. Tulang hidungnya baik-baik aja, mungkin dia kaget dapat hantaman tiba-tiba di wajahnya makanya pingsan," kata dokter wanita yang berumur sekitar 30 tahunan itu.
Daffa bernapas lega. Dia langsung menarik sekat antara ruangan dokter dengan ruangan dimana Mika berada. Dilihatnya cewek itu sudah mulai sadar. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
Mika masih sedikit bingung dan pusing, dia hanya menggeleng lemah. "Aku oke, Kak," katanya, tersenyum.
Siska ikut mendekat ke ranjang. "Ya ampun, Mik. Untung lo nggak kenapa-kenapa. Gue yakin Rendy bakalan habis jadi bulan-bulanan fans lo kalau seandainya lo kenapa-kenapa. Bukan nggak mungkin kalau para fans lo bakal ngubur dia hidup-hidup ke liang lahat."
Siska melirik ke arah Daffa untuk melihat ekspresinya.
Daffa menatap Mika dengan lembut.
"Jadi yang ngelempar bola ke gue itu Kak Rendy?"
Siska mengangguk-angguk.
Tak lama kemudian si tersangka utama muncul. Dia hanya tersenyum tanpa dosa sambil membuat tanda peace di tangannya. "Maaf Mika, gue nggak sengaja."
Mika memasang ekspresi cemberut. Tiba-tiba Daffa maju ke arah Rendy dan memukul perutnya dengan siku.
Mika dan Siska meringis bersamaan.
Meski bukan pukulan yang keras, tapi mereka berdua yakin kalau perut Rendy akan mulas karena hal itu.
"Istirahat ya," suruh Daffa kepada Mika lalu melirik Siska di sebelahnya. "Jagain Mika ya, Sis."
"Siap!"
Daffa berlalu keluar dari UKS. Di ikuti Rendy.
"Hoi, Daffa! Tungguin gue!!!" Rendy berteriak kuat sampai-sampai Siska harus memukul kepalanya. Dia terkekeh. "Sekali lagi maafin gue ya, Mika cantik."
Dan Rendy segera melesat keluar ruangan.
Flashback off.
"Gue jadi dendam sama Kak Rendy kalau inget kejadian itu," Mika cemberut.
Siska tertawa. "Sumpah itu lucu banget. Lo harus ceritain itu ke anak-anak lo nantinya, kalau primadona sekolah kaya lo pernah kena tampol bola sampe mimisan dan pingsan."
Mika mendorong pelan bahu Siska. Lalu mereka tertawa bersama.
Keduanya sudah berada di dalam perpustakaan untuk mengembalikan buku pinjaman Siska. Mika memisahkan diri dan memilih untuk melihat buku-buku novel baru yang terletak paling sudut dekat dengan jendela.
Tepat di meja bundar yang berada tunggal di belakang rak, ada sekitar empat cewek yang sedang berbincang-bincang tanpa memegang satupun alat bacaan.
Mika memutar bola mata. Anak-anak jaman sekarang kalau datang ke perpustakaan hanya untuk bergosip saja.
"Lo tau Daffa temennya si Rendy itu?"
Mendengar nama Daffa, Mika tertegun. Refleks mempertajam pendengarannya.
"Iya yang itu, yang kemaren maen basket sama Rendy."
"Dia itu yang gantiin Brian ngelatih anak-anak buat tanding basket nanti."
"Lumayan juga ya anaknya, gue mau kali deketin dia."
"Bukannya dia udah punya pacar, ya?"
Mika makin mempertajam pendengarannya. Dia merasa seperti penguntit yang sedang mencuri dengar (emang iya sih). Dia berada di sudut diam seperti patung agar lebih khikmad mendengar bisik-bisik tetangga.
"Itu si Mikaela anak kelas XI IPA 'kan pacarnya Daffa."
Mika tersenyum, ternyata selama ini mereka mengira dirinya dan kak Daffa pacaran. Baguslah. Fufufu.
"Mereka nggak pacaran. Mika aja tuh yang kegatelan ngejar-ngejar Daffa."
Bugh.
Serasa ada kepalan tak kasat mata yang menonjok perutnya.
"Apa seisi sekolah tahu kalau gue ini ngejar-ngejar Kak Daffa?" batinnya.
"Udah sikat aja sebelum janur kuning melengkung. Lo masih punya kesempatan buat deketin Daffa kok. Lagian Daffa itu orangnya kalem-kalem ramah."
"Emberrr. Bikin meleleh, cyin."
Sekumpulan siswi itu akhirnya tertawa setelah asyik membicarakan Daffa.
"Eh, lo ngapain sih?" Siska menepuk pundak Mika.
Mika menaruh telunjukknya di bibir, memberi isyarat untuk diam.
"Why?" Siska mengintip apa yang Mika lihat, hanya sekumpulan cewek yang sedang bergosip.
"Lo udah selesai?" bisik Mika.
Siska mengangguk, tapi karena Mika tidak melihatnya dia berkata, "Udah."
"Ya udah yuk! Balik ke kelas nanti gue ceritain deh, nggak jauh beda sama cerita lo yang tadi."
Siska menelengkan kepala. "Cerita yang mana?"
Tapi Mika keburu menyeretnya cepat-cepat keluar dari perpustakaan.
"Lo udah siap?" tanya Rendy di seberang telpon pada Darren."Ya.""Oke, gue jemput 20 menit lagi ya, soalnya supir gue lagi buang hajat.""Oke."Malam ini Darren dan Rendy akan berangkat ke Singapura menjenguk Daffa sesuai rencana mereka. Sabtu malam berangkat, Minggu malam pulang.Darren menaruh tas ransel berisi 2 T-shirt dan celana serta beberapa keperluan lainnya di sofa kemudian menjatuhkan diri di sampingnya. Setelah menelpon orang tuanya dan mengabarkan bahwa Darren akan berkunjung bersama Rendy kesana, Darren merasa bingung.Ibunya mengatakan bahwa Zania datang setiap hari ke rumah sakit untuk menu
Keesokan harinya Darren dan Rendy sudah berada di sekolah lagi."Gila! Gue jetlag nih kayanya," keluh Rendy.Darren tidak menanggapi dan sibuk mengeluarkan buku-bukunya."Harusnya gue nggak usah masuk sekolah hari ini, gue ngantuk berat. God gue butuh vitamin," Rendy mengumpat. "Gue pengen ke lapangan rasanya Secara kalau gue maen basket bakalan ada dedek-dedek gemes yang ngelihatin gue sambil teriak-teriak manja. Kyaa kak Rendy keren, kak Rendy ganteng, kak Rendy hot, kak Ren--"Darren menutup mulut Rendy dengan kertas. Entah cewek seperti apa yang bisa mengidolakannya."Bah, jahatnya!""Telinga gue budeg dengerin
"Kenapa, Ma?"Darren sedang mempersiapkan bukunya ke dalam tas sambil mengangkat telpon dari Ibunya."Temen Mama baru pindah ke Jakarta, dan anaknya baru masuk ke sekolah Daffa.""Jadi?""Mama minta tolong sama kamu, untuk temenin dia. Soalnya Mama nggak enak, Ibunya udah minta tolong ke Mama. Dia belum punya temen di Jakarta.""Oke, Ma.""Jangan lupa, ya. Tante Rina itu udah baik sama kita. Jadi Mama harap kamu bisa baik-baik ya sama anaknya Tante Rina.""Iya, Ma."Darren menenteng tas ranselnya dan men
Sebuah tepukan kecil di bahu mengagetkan Mika yang sedang berjalan ke kelasnya. Ia menengok, dilihatnya Michelle, si gadis setengah bule sudah berada di belakangnya sambil tersenyum manis."Pagi, Kak Mika.""Pagi," jawab Mika malas-malasan."Kak, kok ngelamun aja, mikirin apa sih?"Nih anak sok akrab banget."Nggak ngelamun kok, perasaan lo aja kali.""Kelas kakak dimana?"Mika menunjuk kelas yang berderet paling ujung di samping pohon beringin yang rindang."Kakak pacarnya Kak Daffa ya?"
Sejak kejadian di perpustakaan rasa kesal Mika menguap hilang entah kemana. Tetapi ucapan manis Daffa itu hanyalah ucapan manis belaka. Mungkin hanya untuk membuatnya senang. Buktinya sampai sekarang Daffa sama sekali tidak pernah memberitahukan keinginannya. Terhitung sudah beberapa hari semenjak Daffa mengatakan bahwa dirinya akan bilang ke Mika kalau ingin makan masakannya. Kenyataannya Mika-lah yang selalu mengirim pesan duluan untuk menanyakan apakah Daffa ingin dibawakan bekal atau tidak.Dan tidak.Sampai hari ini Mika tidak pernah membawakan Daffa bekal lagi.Mika memandang ke arah lapangan basket yang tidak jauh darinya. Sekarang dia, Siska, dan Michelle sedang duduk di bangku bawah pohon beringin samping kelasnya sambil melihat Daffa dan Rendy yang sedang melatih junior-junio
Besoknya Mika memutuskan untuk langsung ke kelas Daffa setelah bel Istirahat pertama berbunyi sebelum Daffa menghilang dari kelas. Mika lupa men-charge ponselnya semalam. Alhasil ponselnya mati dan tidak bisa mengirimi Daffa pesan.Panggilan Siska tidak dihiraukannya. Dia sudah menyiapkan kue sendiri untuk Siska tadi di tasnya. Tapi sebelumnya dia ingin memberikan kuenya untuk Daffa.Begitu sampai di kelas Mika menghentikan langkahnya melihat Michelle yang sudah duduk manis di samping Daffa sambil memegang buku dan alat tulis."Hei, Mika, kok nggak masuk?" Rendy muncul dari belakang Mika dan mendorongnya pelan untuk masuk ke kelas.Mika tersadar dan jalan beriringan dengan Rendy menuju bangku mereka.
Denting jam tangan Mika terdengar sangat halus menandakan waktu yang terus berjalan. Suara bising di kejauhan menggema seantero sekolah pertanda para siswa sibuk dengan segala aktivitas mereka masing-masing, memanfaatkan waktu istirahat singkat semaksimal mungkin.Begitu juga dengan Mikaela. Sekarang ia sedang menunggu cowok super cuek bernama Daffa yang membuatnya harus jungkir balik supaya cowok itu menengok padanya.Kebiasaan Mika, selalu tidak sabar untuk bertemu Daffa. Bolak balik dia menengok ke jarum arlojinya yang berdetak pelan tapi pasti, tetapi cowok yang ia tunggu belum datang juga. Padahal baru lima menit Mika tiba di taman tempatnya biasa berkencan.Mika ingin tertawa jika menyebut itu kencan, karena pada kenyataannya mereka tidak punya hubungan apapun. Hanya saja Mika se
Mikaela terduduk di ruang makan, menegak susu cokelat hangat sambil mengecek ponselnya. Pagi-pagi sekali ayah Mika sudah meninggalkan gadis itu pergi dengan para koleganya. Padahal hari ini hari Minggu, waktu yang tepat untuk berkumpul bersama keluarga. Tetapi ayah Mika malah pergi memancing bersama teman-temannya.Sebenarnya Mikaela tidak terlalu memikirkan hal itu selama bisa membuat ayahnya senang. Toh masih ada bi Salma, pak Tarno supirnya dan Seno anak Pak Tarno yang menjadi satpam di rumah Mika.Mika mengecek pesan yang ia dapat dari Daffa semalam. Hanya kata 'tidur' yang tertera di akhir pesan mereka. Mika berusaha untuk mengirim pesan lagi pada Daffa pagi ini. Ia melirik jam dinding sekilas, jam menunjukan pukul setengah delapan."Kak Daffa udah bangun belum ya?" Gumamnya.
7 years later..."Hi Darren, long time no see.""I'm very busy, Mr. Leo." Darren menjabat uluran tangan salah satu teman berbisnisnya itu."I know, ngomong-ngomong, selamat atas pertunanganmu dengan Dr. Caroline.""Thanks.""Dia sangat cantik.. dan sexy." bisik Mr. Leo sambil mengedipkan sebelah matanya genit."I agree with you. Aku sangat beruntung bukan?""Yes, you are. Dia adalah perempuan yang sangat dewasa dan pintar." puji Mr. Leo. "Oh, iya, silahkan duduk dulu. Kau mau minum apa?"
"Non Mika, makan dulu.""Nggak mau bi, bi Salma aja yang makan. Tadi saya udah makan.""Tapi non belum makan siang tadi.""Kita harus hemat bi, kita udah nggak punya apa-apa lagi." ucap Mikaela parau kembali memandangi sekeliling rumah megah yang akan segera ia tinggalkan. Rumah itu bukan haknya lagi. "Jadi kapan kita harus ninggalin rumah ini bi?""Kata pak Danu, kita cuma diberi waktu satu Minggu buat ngosongin rumah ini non."Memejamkan matanya, Mikaela berusaha kuat menghadapi semua hal buruk yang menimpanya. "Bi...saya bakal kasih separuh asuransi saya untuk bi Salma sama pak Tarjo. Bi Salma bisa bikin usaha kue di kampung bibi."
Sudah dua hari berlalu sejak ayah Mikaela meninggalkan dirinya seorang diri di dunia ini. Gadis itu mengurung diri dikamar selama itu tanpa mau makan dan minum kecuali ketika bi Salma menangis tersedu-sedu memohon agar Mikaela makan. Tiwi dan Siska setiap harinya datang ke rumah Mikaela sepulang sekolah untuk menghibur gadis malang itu."Mika, makan dulu yuk." Siska membawakan makan siang untuk Mikaela masih dengan memakai seragam sekolahnya."Tiwi udah bawain roti.""Iya, tapi kan Lo makan roti dikit banget, Lo kan orang Indo, makannya kudu nasi." sanggah Tiwi menerima piring yang disodorkan Siska.Siska dan Tiwi ikut duduk di ranjang Mikaela, duduk berdekatan dengan Mikaela yang sedang memeluk lututnya erat. Mata Mikaela sembab mena
Singapura, 18:07 PM"Kami sudah pindahkan Daffa ke ruang ICU, kalian sudah bisa tenang sekarang, kondisinya sudah sangat stabil, saya harap kondisinya besok sudah lebih membaik."Terlihat Dr. Matt beserta timnya yang dulu pernah merawat Daffa sedang memberikan keterangan pada Brata. Darren dan Ema hanya bisa menyimak apa yang dokter itu katakan."Terima kasih dok." Wajah Brata berangsur tenang setelah tegang beberapa saat."Tuan tenang saja, saya dan tim saya akan berusaha sebaik mungkin untuk anak anda." lanjutnya dengan bahasa Inggris yang sudah bercampur dengan Melayu itu.Darren berdecak. Semua dokter selalu mengatakan hal yang sama. Tapi mau bag
Bagai tersambar petir disiang bolong, Mikaela tidak percaya apa yang baru saja Darren katakan padanya. Darren memintanya untuk menerima Daffa."Ma..maksud kakak?""Maksud gue cukup jelas Mika. Ikut gue ke rumah sakit sekarang. Bilang sama Daffa kalau Lo juga cinta sama dia.""Aku nggak cinta sama dia kak.""Belajar buat cinta lagi sama dia."Plak.Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi Darren. Mikaela sangat marah, tega sekali Darren mengatakan hal itu padanya."Kakak pikir hati aku ini apa?""...."
Begitu Darren berlari meninggalkan Mikaela dan mengendarai mobilnya dengan asal, cewek itu langsung berpamitan kepada anak-anak didiknya dan menyetop taksi untuk mengikuti Darren.Dia juga merasa cemas dengan keadaan Daffa, apalagi Darren terlihat kacau dan ketakutan setelah mendapat telpon dari ibunya.Ternyata Darren pergi ke salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta, Mikaela yakin Daffa dilarikan ke rumah sakit itu.Mikaela tidak bisa menyamai langkah Darren yang berlalu dengan cepat. Dia hanya mengetahui jika Darren pergi ke ruang IGD dan Mikaela tidak dapat sembarangan masuk ke dalam. Jadi dia putuskan untuk menunggu Darren di lorong.Dengan sangat cemas Mikaela menunggu, sudah kurang lebih 30 menit bolak balik ia melihat jarum
Hari Minggu yang cerah, secerah hati Mikaela. Hari ini ia sudah membuat janji dengan Darren untuk pergi bersama. Walaupun Mikaela harus merengek-rengek sebelumnya agar Darren bersedia pergi kencan dengannya.Tidak masalah, yang penting hati Mikaela senang karena akhirnya Darren meng-iya-kan permintaan Mikaela.Cewek itu sudah menge-roll rambutnya sejak malam dan berdandan secantik mungkin. Dia menunggu Darren di ruang tengah bersama ayahnya. Dua hari ini ayah Mikaela tidak bekerja, dia seharian menemani Mikaela di rumah dan itu menambah kebahagiaan Mikaela."Pa, papa kerja lusa ya?""Iya, papa mau ke Bandung." Ayah Mika sedang membaca koran sambil menyeruput kopi panasnya."Hmmmm...
Begitu membaca pesan dari Daffa, Mikaela langsung berlari keluar tanpa menggunakan jaket dengan rambut yang masih setengah basah. Ia memakai baju tidur lengan pendek yang membuat kulitnya tertembus dinginnya angin malam."Masuk ke dalem aja kak, di luar dingin banget." Ajak Mikaela sambil mengusap-usap lengannya setelah melihat Daffa yang sepertinya juga ikut kedinginan."Disini aja, aku cuma sebentar." Jawab Daffa menatap Mikaela lekat sambil tersenyum.Hawa tajam seperti es semakin menusuk-nusuk kulit, Mikaela merasakan sesuatu yang aneh pada Daffa. Tatapan cowok itu berbeda dari biasanya. Tatapan yang sangat terluka.Daffa tidak mau membuang banyak waktu, dia harus mengatakannya sekarang juga.
"I miss you so bad, I'm not lying."Mikaela tertegun dengan apa yang Darren lakukan. Cowok itu dengan lembut mengatakan bahwa ia merindukan Mikaela, ditelinganya.Bulu kuduk Mikaela meremang, seperti ada perasaan yang meluap-luap dalam dadanya, apalagi tangan Darren sedang memeluknya dari belakang. Mikaela tidak dapat bersikap dengan normal."Do you miss me?" tanya Darren, masih dengan posisi yang sama.Mikaela menelan ludah, sangat susah baginya menjawab pertanyaan Darren ketika dalam posisi saat ini. Ia hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya, sudah tidak dapat berkonsentrasi menyuci piring lagi. Ia taruh piring itu di wastafel, tangannya masih penuh dengan buih-buih busa sabun cuci piring.