Pagi harinya di kelas, Darren masih merasa heran kenapa risoles yang dia beli di toko kue kemarin tak seenak buatan Mika. Darren terus bertanya-tanya sejak kemarin, meskipun akhirnya risoles yang dia beli juga dilahap hingga tandas.
Apa benar kata salah satu anak kumuh itu kalau kue buatan Mika selalu enak?
Ah, mustahil. Cewek itu bahkan terlihat seperti cewek centil kebanyakan; yang lebih suka nyentrik di make up daripada panas-panasan di dapur. Bahkan dilihat dari kuku-kukunya yang terawat juga mustahil dia bisa memasak.
Tapi meskipun Darren sudah meyakinkan dirinya kalau Mika tidak sehebat itu, rasa penasarannya tetap tidak terbayar. Apa dia harus menanyakan hal itu pada Mika sendiri?
"Hoi, Darren! Iu muka serius amat. Lagi mikirin masalah yang berat banget ya?" tanya Rendy yang sejak tadi memerhatikan Darren.
"Jangan manggil gue Darren!" geram Darren.
"Ups. Sorry gue lupa." Rendy menutup mulutnya cepat-cepat.
"Lo tau hubungan Daffa sama anak-anak kumuhnya si Mika?" Darren tidak tahan lagi untuk tidak menanyakannya.
"Iya dong. Daffa beberapa kali ikut ngajarin mereka bareng Mika. Dan gue juga pernah diajak ketemu anak-anak itu. Tapi baru sekali sih."
"Kenapa lo nggak ngasih tau gue?"
"Lo kan nggak nanya," balas Rendy. Darren hanya diam. "Emangnya kenapa?"
"Kemarin gue ketemu sama mereka."
"Lalu?"
Darren melirik ke arah lain dengan tidak nyaman. "Gue terpaksa kejebak di sana sambil ngeliat mereka belajar, karena mereka maksa-maksa gue dan terus manggil gue Daffa."
Saat itu juga tawa Rendy meledak. Dia terlihat sangat geli dan puas. "Gue nggak bisa ngebayangin muka lo yang manis dan kebingungan itu."
Darren menatap garang ke arah Rendy.
Rendy tertawa lagi, makin keras.
"Ya udahlah. Ngomong-ngomong gue ada latihan basket sekarang. Bulan depan sekolah kita tanding. Jadi gue harus ngajarin adek kelas di klub." Rendy menghela napas. "Ini terakhir kalinya gue ngelatih buat klub basket sekolah sebagai kapten, karena sebentar lagi kelas tiga ujian dan gue bakal lepas jabatan."
"Trus lo bolos kelas?"
"Dispensasi," ralat Rendy. "Inilah enaknya ikut klub. Pas ada event kaya gini, gue selalu dapat dispensasi di kelas."
Rendy berlalu sambil melambaikan tangan.
Darren mengembuskan napas kasar. Ternyata menyamar menjadi Daffa sangat menbosankan. Apa kehidupan sekolah Daffa memang selalu datar seperti ini?
Pada awalnya Darren bisa bernapas lega karena Daffa tidak terlalu menonjol di sekolahnya, jadi Darren dapat menjadi Daffa dengan tenang. Tapi sekarang baru beberapa hari saja sudah sangat membosankan bagi Darren.
Walau Darren termasuk cowok yang kaku dan tidak banyak bicara, tetapi dulu di sekolah Darren termasuk siswa yang aktif dalam kegiatan ekskul.
Darren mengikuti pelajaran seperti biasanya sambil sesekali memperhatikan gurunya yang dianggap sedang berceramah itu. Darren menguap berkali-kali. Dia benar-benar mengantuk mendengarkan penjelasan dari guru yang materinya sudah Darren kuasai sepenuhnya.
Darren melihat ke arah lapangan basket dari kaca jendela yang ada di sampingnya. Dilihatnya Rendy sedang asik men-dribble bola basketnya. Darren merasa sedikit rindu. Tentunya bukan pada Rendy. Tetapi pada benda yang berbentuk bulat oranye yang biasa dia mainkan ketika di Singapura.
Lelah, Darren kembali memerhatikan guru di depannya sambil mengetuk-ngetukkan penanya ke meja. Sepanjang pelajaran hanya rasa kantuk saja yang ada pada dirinya sampai jam istirahat tiba. Sampai akhirnya Rendy sudah ada di sampingnya masih dengan memakai pakaian basket.
"Jadi belajar apa hari ini?" tanya Rendy sambil mengelap keringatnya dengan handuk yang diberikan salah satu siswi yang Rendy bilang dari kelas sebelah.
"Cuma ngulang materi," jawab Darren tanpa memandang Rendy.
"Oh, gitu."
Rendy meminum air dari botol air mineral yang juga diberikan oleh penggemarnya.
Darren membenarkan letak kacamata di hidungnya. "Kerjaan kita beberapa bulan ke depan cuma ngulang-ulang materi yang sama dan membahas soal-soal. Sebentar lagi kan ujian," lanjutnya lebih spesifik.
"Apa itu membosankan?" tanya Rendy.
"Banget."
"Tadi gue ketemu Mika, dia titip salam," lapor Rendy. "Katanya dia suka banget sama lo. Eh, maksud gue sama Daffa. Elah, bikin iri aja."
Darren menatap Rendy jengah.
"Gue pengen main basket," kata Darren tiba-tiba.
Rendy mengerutkan alisnya menatap Darren. "Emangnya bisa?"
Darren menyeringai. "Lo nggak ada apa-apanya dibanding gue."
Rendy tertawa. "Kebetulan banget. Teman gue lagi cidera karena jatuh dari motor, jadi dia nggak bisa ngelatih. Apa lo mau ngegantiin dia sementara? Kalau lo mampu sih."
"Lo ngeremehin gue nih? Udah gue bilang lo itu nggak ada apa-apanya dibandingin gue. Seujung kutil pun nggak."
"Sip lah. Besok ikut gue ngelatih. Nanti biar gue rundingin sama pembimbing," ucap Rendy pada akhirnya.
.
"Eh? Itu siapa?" tanya Siska pada Mika.
Mika menganga sejak tadi memerhatikan seseorang yang berada lapangan. Seseorang yang tepat berada di depannya, yang sangat Mika sukai.
Dia memakai kaus putih polos yang hampir basah karena keringat, celana basket dan rambutnya yang sedikit basah itu menambah kesan sexy.
Lalu apa itu? Kenapa dia tidak memakai kacamatanya?
Oh, my God! Tampan sekali!
Dan ngomong-ngomong... sejak kapan badan Daffa se-HOT itu? Otot-otot bahu, dada, dan lengan; bisa tercetak jelas di kausnya. Dia lebih berisi sekarang, sejak kapan dia melatih otot-ototnya itu dan sejak kapan dia pintar bermain basket?
Mika bisa mendengar beberapa cewek tidak jauh darinya sedang membicarakan Daffa. Dan dia merasa agak cemburu.
"Itu siapa? Ganteng banget," ujar salah satu cewek.
"Sexy juga. Gue nggak pernah lihat sebelumnya," kata cewek yang lain.
"Dia Daffa, yang sering sama Rendy. Gue nggak nyangka dia bisa sekeren itu. Apa dia gabung di basket juga?" kata cewek dari barisan yang lainnya lagi.
Mika merengut tidak senang melihat raut berbinar para cewek itu. Mata mereka seolah-olah ingin keluar dari tempatnya dan siap menerjang Daffanya. Iya, Daffanya.
Daffa milik Mikaela.
"Mika. Itu kak Daffa 'kan?" tanya Siska.
"Iya."
"Akhirnya gue tau kenapa lo bisa tergila-gila sama dia," Siska terkekeh. "Lihat mereka. Lalu mereka. Yang di sana, dan yang di sana itu," lanjut Siska sambil menunjuk gerombolan-gerombolan siswi yang sedang menatap Darren.
"Ya, dan gue nggak suka cara pandang mereka," keluhnya Mika sambil berlari ke lapangan.
Hari ini guru-guru ada rapat, jadi jam pelajaran 4 sampai 6 kosong. Mika cemberut merasa tidak suka kalau Daffanya menjadi pusat perhatian cewek-cewek centil itu...
Ya... termasuk dia sendiri.
Mika menghentikan langkahnya di koperasi sekolah; membeli 2 botol air mineral. Kemudian dengan sedikit berlari dia menuju ke tepi lapangan untuk menghampiri duo kakak kelasnya yang sedang beristirahat tersebut.
"Kak Daffa," panggil Mika, semangat.
"Yo, Mika."
Dan Rendy yang menjawab panggilan itu sumringah.
Darren sendiri merasa Rendy tidak keberatan dengan kedatangan Mika. Namun, jujur saja dia merasa sedikit risih melihat beberapa cowok yang memandangi mereka; tepatnya Mika.
Darren akui jika Mika adalah cewek cantik dengan rambut panjang ikal, wajahnya juga imut dan mungil. Tapi dari sekian banyak cewek, Mika bukan tipe kesukaan Darren, baginya Zania jauh lebih cantik dan lebih anggun.
"Nih, Kak." Mika memberikan 2 botol air mineral pada Darren dan Rendy.
"Makasih, Mika cantik." Rendy terlihat sangat senang.
Darren yakin seluruh cowok di sekelilingnya sekarang menatap mereka dengan pandangan iri.
Rendy duduk di tepi lapangan, Darren ikut mendaratkan pantatnya sambil membuka tutup botol air mineralnya.
"Kakak nanti aku temenin makan siang ya? Aku masak makanan kesukaan kakak hari ini," ucap Mika dengan semangat sambil ikut duduk di samping Darren.
Darren yang sedang meminum air mineralnya sedikit melotot ke arah rok Mika yang tanpa sengaja tertarik ke atas dan memerlihatkan paha mulusnya. Refleks Darren melempar jaket miliknya ke paha cewek itu sebelum Rendy atau siapapun melihat.
Awalnya Mika terlihat bingung sambil memandangi jaket Darren. Tak lama kemudian dia tersenyum. "Terima kasih, Kak," ucapnya pada Darren.
Rendy memandang Mika dan Darren bergantian. "Ada apa?"
Mika menggeleng cepat-cepat. "Nggak ada apa-apa, Kak," kilahnya. Senyumnya terus mengembang. "Aku bener-bener suka sama Kak Daffa."
Darren hanya menghela napas; bukan karena ungkapan cinta yang terus menerus dia dengar, tapi karena Mika sudah berani memegang tangannya tanpa izin.
"Entah apa yang bakal Daffa lakuin kalau lihat cewek ini bilang suka sama gue," dia membatin.
Rendy terkekeh. "Sisain sedikit rasa suka lo buat gue dong, Mika."
"No! No! No! Cintaku udah mentok di Kak Daffa."
Darren melihat wajah Rendy tampak kecewa, entah itu ekspresi yang dibuat-buat atau yang sesungguhnya. Darren tidak peduli.
"Kak Daffa sejak kapan bisa main basket?" tanya Mika tiba-tiba.
Uhuk!
Darren tersedak dengan tidak elit. Dia lupa fakta itu.
"Gue yang ngajarin Daffa. Keren 'kan?" jawab Rendy sambil menepuk-nepuk dadanya bangga.
Darren tidak terima alasan itu, tapi tidak bisa mengelak juga. Nanti kalau Mika curiga dan makin banyak bertanya repot juga.
Dan tampaknya Mika juga ikut tak puas dengan jawaban itu. "Tapi kelihatannya Kak Daffa lebih lihai dari Kak Rendy deh. Nggak kebalik?"
Rendy merengut mendengar pernyataan itu. Darren sekuat tenaga menahan tawa melihat tampang kecut Rendy.
"Mika! Oi, Mika! Mereka udah nunggu kita nih! Buruan!!!" panggil Siska tiba-tiba.
"Sebentar, Sis."
Mika mulai berdiri dari posisinya, Darren sesekali mencuri pandang ke arah rok cewek itu. Bukannya mesum atau apa, hanya saja Darren tidak suka jika ada cowok yang menatap mesum ke arah seorang cewek. Dan lagipula Darren tidak termasuk ke dalam cowok-cowok bejat macam itu.
Untungnya Mika juga mengerti dan saat dia berdiri, dia sengaja menutupi roknya dengan jaket Darren.
"Kak, pinjam dulu jaketnya. Nanti tungguin aku di taman pas istirahat kedua ya, Kak," pintanya sambil berlalu menuju siska.
"Hoi!" Darren berteriak memanggil Mika, tapi percuma.
Di sampingnya, Rendy tertawa cekikikan. "Daffa pasti cemburu lihat ini."
Dan setelah mengatakan itu, Rendy kembali ke tengah lapangan meninggalkan Darren yang mendengus kesal.
.
Mika terus tersenyum sembari membersihkan jaket yang dia pakai, seakan-akan tidak boleh ada satupun debu yang menempel di jaket itu.
Jaket milik Daffa.
"Kak Daffa ganti parfum, ya? Dulu baunya mint, sekarang musk," gumamnya.
Dia sedang duduk di bangku taman belakang menunggu Daffa. Mika sengaja datang lebih dulu agar Daffa tidak terlalu lama menunggunya. Tetapi yang ditunggu malah belum menampakan batang hidung sejak tadi.
Mika menaruh dua kotak bekal di bangku, lalu mengeluarkan ponsel dari saku bajunya; mencoba mengetik pesan pada Daffa.
Kak dimana? Aku udah di bangku taman nih.
Mika mengirim ke nomor Daffa, walaupun menurutnya percuma karena sejak Daffa sakit pesannya tidak pernah dibalas sekalipun. Bahkan dibaca pun tidak. Mika hanya melihat satu tanda ceklis.
"Apa Kak Daffa ganti nomor?"
Baru saja Mika ingin mengirim pesan ke Rendy, sepasang kaki berbalut sepatu olahraga muncul di depannya. Mika mendongak dan mengetahui bahwa pemilik sepatu itu adalah orang yang ditunggunya sejak tadi.
Daffa.
Darren yang baru saja muncul, bergeming dengan tangan yang betah bertengger di saku celana. Kacamatanya sudah terpasang. Dia menghela napas pelan lalu mengambil duduk disamping Mika.
"Kak, aku bawain makanan kesukaan kakak," tunjuk cewek itu pada kotak bekalnya.
Darren masih diam. Dia ingin tahu apa makanan kesukaan Daffa. Apakah jangkrik goreng? Atau oseng-oseng kecoa?
Mika buru-buru membuka kotak bekalnya. "Tada... sambal ikan tongkol dan ayam goreng telur."
Darren cukup terkesan dengan menu bekal itu. Ternyata makanan kesukaannya dan Daffa sama saja. Baru kali ini dia merasa mereka benar-benar kembar.
Darren mengulas senyumnya sekilas.
Dengan cekatan, Mika menyiapkan sendok untuk Darren makan. Sebelumnya dia membersihkan sendok itu terlebih dahulu dengan tisu, lalu memberikannya pada Darren.
"Silakan, Kak." Mika mengambil satu kotak bekal lain yang isinya nasi, dan memberikannya pada Darren. "Ini nasinya. Makan yang banyak lho."
Darren mengambilnya dengan sungkan, kemudian mulai memakannya.
"Enak," ucap Darren tanpa sadar.
"Kakak udah puluhan kali bilang itu."
Oh, Daffa selalu memujinya.
"Apa makanan ini lo yang masak sendiri?" tanya Darren tak percaya. Dia menduga Mika hanya membelinya di restoran atau semacamnya.
Mika mengerutkan kening. "Bukannya kakak pernah lihat langsung pas aku masak? Kakak lupa?"
Darren berdeham pelan. Dia terlalu bodoh untuk bertanya sesuatu yang bisa memancing begitu. Darren tidak pernah tahu kalau Daffa pernah berkunjung ke rumah cewek ini.
Mika memandang Darren menyelidik.
"Kenapa?" tanya Darren tak nyaman dengan pandangan itu dan menghentikan kegiatannya.
"Nggak apa-apa kok. Lanjutin aja. Aku cuma pengin mandang wajah kakak."
Darren melanjutkan makannya.
"Aku baru sadar kakak punya tahi lalat yang sangat imut di bibir bagian bawah. Katanya kalau orang punya tahi lalat di bibir itu tandanya dia cerewet. Tapi Kak Daffa kok irit ngomong, ya?" lanjut Mika sambil terus memandangi Darren.
Darren hanya diam.
"Ya udahlah. Aku bakal berhenti ngomong dan mandangin kakak, ya meskipun aku pengin banget."
Mika mengalihkan pandangannya ke depan. Keheningan itu diisi suara sendok dan kunyahan samar dari bibir Darren. Mika sesekali melirik ke arahnya. Tak lama setelah itu Darren sudah selesai dengan kegiatannya, dan Mika segera memberikan air minum.
Sambil menenggak air itu, Darren bertanya, "Kenapa lo nggak ikut makan?"
"Aku udah makan bareng Siska. Aku lebih suka merhatiin kakak makan daripada aku harus sibuk makan juga," jawab Mikaela.
Darren diam saja.
"Kakak ganti nomer HP?"
Darren mengangguk.
Ya, Darren memang benar-benar mengganti nomor ponselnya agar Zania dan teman-temannya tidak mengetahuinya. Yang mereka ketahui hanya Darren yang sedang berbaring sakit.
"Pantesan aku kirim pesan nggak pernah dijawab. Kenapa kakak nggak bilang?"
Darren menggaruk lehernya bosan. Memangnya segitu penting untuk memberi laporan kalau Daffa ganti nomor ponsel? Pacar juga bukan.
Sebelum semuanya menjadi rumit dengan kebawelan cewek ini, Darren memilih untuk menunjukan layar ponsel yang tertera nomornya yang baru.
Dengan senang hati Mika mencatat nomor itu di ponselnya sendiri.
"Kak," panggilnya.
"Hm?"
"Aku lebih suka wangi kakak yang sekarang. Kakak ganti parfum 'kan?"
For fuck sake! Kenapa nih cewek selalu nanya hal-hal yang nggak penting? Darren membatin.
"Hoi, apa gue kebagian bekal?"
Tiba-tiba Rendy datang dengan muka laparnya.
"Masih ada nih tulang ikan," jawab Mika iseng.
"Jahatnya," Rendy cemberut. "Emangnya gue kucing? Kucing aja ogah dikasih tulang doang."
Mikaela terkekeh.
"Btw, Siska nyariin lo tuh," lapor Rendy pada Mika sebelum dia lupa.
Mika mengernyit. "Kak Rendy pacaran sama Siska?"
"Nggak lah. Dia cuma teman baek gue kok. Gue sih maunya pacaran sama lo." Rendy menggoda.
"Ogah. Kak Rendy kan playboy."
Rendy tertawa keras sekali. "Gue bukan playboy, Mik. Cuma nggak mau nyakitin hati cewek aja. Susah juga jadi orang ganteng."
"Ganteng rumah?" Mika mendengus. Rendy menjawab, 'Itu genteng!' tapi Mika tidak memerdulikannya. Dia menatap Darren sebentar sebelum berdiri. "Kak Daffa, aku pergi dulu ya. Bye, Kak."
"Hoi, jaket gue!" teriak Darren.
"Aku cuci dulu, Kak!" balas Mika, ikut berteriak. Tangannya melambai-lambai di kejauhan.
"Dasar cewek aneh."
"Aneh gimana? Imut gitu," celetuk Rendy.
Masa bodoh! Seimut apapun cewek itu, di mata Darren dia cuma cewek bawel kelebihan kosakata. Bisa dipastikan satu jam bersama Mika, Darren pasti tuli mendadak.
Karena sebal, Darren akhirnya memilih kembali ke kelas dan meninggalkan Rendy yang baru saja menyamankan diri duduk di kursi taman.
"Hoi, Darr--Daffa! Gue malah ditinggal!"
Malam itu Darren sedang menganggur. Tubuhnya merebah pada tumpukan bantal di ranjangnya sambil bertopang kaki. Untuk membunuh waktu, dia iseng membuka salah satu akun sosial medianya dan juga mengecek akun milik Zania. Ada satu postingan baru dari pacarnya itu yang membuatnya tersenyum kecut.Cepat sembuh, sayang. Aku kangen kamu.Dilemparnya ponsel itu hingga melesak ke bawah bantal. Rambut digusak asal. Setelah menahannya cukup lama, akhirnya rasa bersalah Darren terhadap Zania hampir tidak bisa terbendung lagi.Dia merasa sangat bersalah karena telah membohongi gadis sebaik Zania. Dia juga sangat merindukan pacar kesayangannya itu. Tapi dia tidak tahu apa yang harus dilakukan.Sesungguhnya Darren ingin ber
"Lo udah siap?" tanya Rendy di seberang telpon pada Darren."Ya.""Oke, gue jemput 20 menit lagi ya, soalnya supir gue lagi buang hajat.""Oke."Malam ini Darren dan Rendy akan berangkat ke Singapura menjenguk Daffa sesuai rencana mereka. Sabtu malam berangkat, Minggu malam pulang.Darren menaruh tas ransel berisi 2 T-shirt dan celana serta beberapa keperluan lainnya di sofa kemudian menjatuhkan diri di sampingnya. Setelah menelpon orang tuanya dan mengabarkan bahwa Darren akan berkunjung bersama Rendy kesana, Darren merasa bingung.Ibunya mengatakan bahwa Zania datang setiap hari ke rumah sakit untuk menu
Keesokan harinya Darren dan Rendy sudah berada di sekolah lagi."Gila! Gue jetlag nih kayanya," keluh Rendy.Darren tidak menanggapi dan sibuk mengeluarkan buku-bukunya."Harusnya gue nggak usah masuk sekolah hari ini, gue ngantuk berat. God gue butuh vitamin," Rendy mengumpat. "Gue pengen ke lapangan rasanya Secara kalau gue maen basket bakalan ada dedek-dedek gemes yang ngelihatin gue sambil teriak-teriak manja. Kyaa kak Rendy keren, kak Rendy ganteng, kak Rendy hot, kak Ren--"Darren menutup mulut Rendy dengan kertas. Entah cewek seperti apa yang bisa mengidolakannya."Bah, jahatnya!""Telinga gue budeg dengerin
"Kenapa, Ma?"Darren sedang mempersiapkan bukunya ke dalam tas sambil mengangkat telpon dari Ibunya."Temen Mama baru pindah ke Jakarta, dan anaknya baru masuk ke sekolah Daffa.""Jadi?""Mama minta tolong sama kamu, untuk temenin dia. Soalnya Mama nggak enak, Ibunya udah minta tolong ke Mama. Dia belum punya temen di Jakarta.""Oke, Ma.""Jangan lupa, ya. Tante Rina itu udah baik sama kita. Jadi Mama harap kamu bisa baik-baik ya sama anaknya Tante Rina.""Iya, Ma."Darren menenteng tas ranselnya dan men
Sebuah tepukan kecil di bahu mengagetkan Mika yang sedang berjalan ke kelasnya. Ia menengok, dilihatnya Michelle, si gadis setengah bule sudah berada di belakangnya sambil tersenyum manis."Pagi, Kak Mika.""Pagi," jawab Mika malas-malasan."Kak, kok ngelamun aja, mikirin apa sih?"Nih anak sok akrab banget."Nggak ngelamun kok, perasaan lo aja kali.""Kelas kakak dimana?"Mika menunjuk kelas yang berderet paling ujung di samping pohon beringin yang rindang."Kakak pacarnya Kak Daffa ya?"
Sejak kejadian di perpustakaan rasa kesal Mika menguap hilang entah kemana. Tetapi ucapan manis Daffa itu hanyalah ucapan manis belaka. Mungkin hanya untuk membuatnya senang. Buktinya sampai sekarang Daffa sama sekali tidak pernah memberitahukan keinginannya. Terhitung sudah beberapa hari semenjak Daffa mengatakan bahwa dirinya akan bilang ke Mika kalau ingin makan masakannya. Kenyataannya Mika-lah yang selalu mengirim pesan duluan untuk menanyakan apakah Daffa ingin dibawakan bekal atau tidak.Dan tidak.Sampai hari ini Mika tidak pernah membawakan Daffa bekal lagi.Mika memandang ke arah lapangan basket yang tidak jauh darinya. Sekarang dia, Siska, dan Michelle sedang duduk di bangku bawah pohon beringin samping kelasnya sambil melihat Daffa dan Rendy yang sedang melatih junior-junio
Besoknya Mika memutuskan untuk langsung ke kelas Daffa setelah bel Istirahat pertama berbunyi sebelum Daffa menghilang dari kelas. Mika lupa men-charge ponselnya semalam. Alhasil ponselnya mati dan tidak bisa mengirimi Daffa pesan.Panggilan Siska tidak dihiraukannya. Dia sudah menyiapkan kue sendiri untuk Siska tadi di tasnya. Tapi sebelumnya dia ingin memberikan kuenya untuk Daffa.Begitu sampai di kelas Mika menghentikan langkahnya melihat Michelle yang sudah duduk manis di samping Daffa sambil memegang buku dan alat tulis."Hei, Mika, kok nggak masuk?" Rendy muncul dari belakang Mika dan mendorongnya pelan untuk masuk ke kelas.Mika tersadar dan jalan beriringan dengan Rendy menuju bangku mereka.
Denting jam tangan Mika terdengar sangat halus menandakan waktu yang terus berjalan. Suara bising di kejauhan menggema seantero sekolah pertanda para siswa sibuk dengan segala aktivitas mereka masing-masing, memanfaatkan waktu istirahat singkat semaksimal mungkin.Begitu juga dengan Mikaela. Sekarang ia sedang menunggu cowok super cuek bernama Daffa yang membuatnya harus jungkir balik supaya cowok itu menengok padanya.Kebiasaan Mika, selalu tidak sabar untuk bertemu Daffa. Bolak balik dia menengok ke jarum arlojinya yang berdetak pelan tapi pasti, tetapi cowok yang ia tunggu belum datang juga. Padahal baru lima menit Mika tiba di taman tempatnya biasa berkencan.Mika ingin tertawa jika menyebut itu kencan, karena pada kenyataannya mereka tidak punya hubungan apapun. Hanya saja Mika se
7 years later..."Hi Darren, long time no see.""I'm very busy, Mr. Leo." Darren menjabat uluran tangan salah satu teman berbisnisnya itu."I know, ngomong-ngomong, selamat atas pertunanganmu dengan Dr. Caroline.""Thanks.""Dia sangat cantik.. dan sexy." bisik Mr. Leo sambil mengedipkan sebelah matanya genit."I agree with you. Aku sangat beruntung bukan?""Yes, you are. Dia adalah perempuan yang sangat dewasa dan pintar." puji Mr. Leo. "Oh, iya, silahkan duduk dulu. Kau mau minum apa?"
"Non Mika, makan dulu.""Nggak mau bi, bi Salma aja yang makan. Tadi saya udah makan.""Tapi non belum makan siang tadi.""Kita harus hemat bi, kita udah nggak punya apa-apa lagi." ucap Mikaela parau kembali memandangi sekeliling rumah megah yang akan segera ia tinggalkan. Rumah itu bukan haknya lagi. "Jadi kapan kita harus ninggalin rumah ini bi?""Kata pak Danu, kita cuma diberi waktu satu Minggu buat ngosongin rumah ini non."Memejamkan matanya, Mikaela berusaha kuat menghadapi semua hal buruk yang menimpanya. "Bi...saya bakal kasih separuh asuransi saya untuk bi Salma sama pak Tarjo. Bi Salma bisa bikin usaha kue di kampung bibi."
Sudah dua hari berlalu sejak ayah Mikaela meninggalkan dirinya seorang diri di dunia ini. Gadis itu mengurung diri dikamar selama itu tanpa mau makan dan minum kecuali ketika bi Salma menangis tersedu-sedu memohon agar Mikaela makan. Tiwi dan Siska setiap harinya datang ke rumah Mikaela sepulang sekolah untuk menghibur gadis malang itu."Mika, makan dulu yuk." Siska membawakan makan siang untuk Mikaela masih dengan memakai seragam sekolahnya."Tiwi udah bawain roti.""Iya, tapi kan Lo makan roti dikit banget, Lo kan orang Indo, makannya kudu nasi." sanggah Tiwi menerima piring yang disodorkan Siska.Siska dan Tiwi ikut duduk di ranjang Mikaela, duduk berdekatan dengan Mikaela yang sedang memeluk lututnya erat. Mata Mikaela sembab mena
Singapura, 18:07 PM"Kami sudah pindahkan Daffa ke ruang ICU, kalian sudah bisa tenang sekarang, kondisinya sudah sangat stabil, saya harap kondisinya besok sudah lebih membaik."Terlihat Dr. Matt beserta timnya yang dulu pernah merawat Daffa sedang memberikan keterangan pada Brata. Darren dan Ema hanya bisa menyimak apa yang dokter itu katakan."Terima kasih dok." Wajah Brata berangsur tenang setelah tegang beberapa saat."Tuan tenang saja, saya dan tim saya akan berusaha sebaik mungkin untuk anak anda." lanjutnya dengan bahasa Inggris yang sudah bercampur dengan Melayu itu.Darren berdecak. Semua dokter selalu mengatakan hal yang sama. Tapi mau bag
Bagai tersambar petir disiang bolong, Mikaela tidak percaya apa yang baru saja Darren katakan padanya. Darren memintanya untuk menerima Daffa."Ma..maksud kakak?""Maksud gue cukup jelas Mika. Ikut gue ke rumah sakit sekarang. Bilang sama Daffa kalau Lo juga cinta sama dia.""Aku nggak cinta sama dia kak.""Belajar buat cinta lagi sama dia."Plak.Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi Darren. Mikaela sangat marah, tega sekali Darren mengatakan hal itu padanya."Kakak pikir hati aku ini apa?""...."
Begitu Darren berlari meninggalkan Mikaela dan mengendarai mobilnya dengan asal, cewek itu langsung berpamitan kepada anak-anak didiknya dan menyetop taksi untuk mengikuti Darren.Dia juga merasa cemas dengan keadaan Daffa, apalagi Darren terlihat kacau dan ketakutan setelah mendapat telpon dari ibunya.Ternyata Darren pergi ke salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta, Mikaela yakin Daffa dilarikan ke rumah sakit itu.Mikaela tidak bisa menyamai langkah Darren yang berlalu dengan cepat. Dia hanya mengetahui jika Darren pergi ke ruang IGD dan Mikaela tidak dapat sembarangan masuk ke dalam. Jadi dia putuskan untuk menunggu Darren di lorong.Dengan sangat cemas Mikaela menunggu, sudah kurang lebih 30 menit bolak balik ia melihat jarum
Hari Minggu yang cerah, secerah hati Mikaela. Hari ini ia sudah membuat janji dengan Darren untuk pergi bersama. Walaupun Mikaela harus merengek-rengek sebelumnya agar Darren bersedia pergi kencan dengannya.Tidak masalah, yang penting hati Mikaela senang karena akhirnya Darren meng-iya-kan permintaan Mikaela.Cewek itu sudah menge-roll rambutnya sejak malam dan berdandan secantik mungkin. Dia menunggu Darren di ruang tengah bersama ayahnya. Dua hari ini ayah Mikaela tidak bekerja, dia seharian menemani Mikaela di rumah dan itu menambah kebahagiaan Mikaela."Pa, papa kerja lusa ya?""Iya, papa mau ke Bandung." Ayah Mika sedang membaca koran sambil menyeruput kopi panasnya."Hmmmm...
Begitu membaca pesan dari Daffa, Mikaela langsung berlari keluar tanpa menggunakan jaket dengan rambut yang masih setengah basah. Ia memakai baju tidur lengan pendek yang membuat kulitnya tertembus dinginnya angin malam."Masuk ke dalem aja kak, di luar dingin banget." Ajak Mikaela sambil mengusap-usap lengannya setelah melihat Daffa yang sepertinya juga ikut kedinginan."Disini aja, aku cuma sebentar." Jawab Daffa menatap Mikaela lekat sambil tersenyum.Hawa tajam seperti es semakin menusuk-nusuk kulit, Mikaela merasakan sesuatu yang aneh pada Daffa. Tatapan cowok itu berbeda dari biasanya. Tatapan yang sangat terluka.Daffa tidak mau membuang banyak waktu, dia harus mengatakannya sekarang juga.
"I miss you so bad, I'm not lying."Mikaela tertegun dengan apa yang Darren lakukan. Cowok itu dengan lembut mengatakan bahwa ia merindukan Mikaela, ditelinganya.Bulu kuduk Mikaela meremang, seperti ada perasaan yang meluap-luap dalam dadanya, apalagi tangan Darren sedang memeluknya dari belakang. Mikaela tidak dapat bersikap dengan normal."Do you miss me?" tanya Darren, masih dengan posisi yang sama.Mikaela menelan ludah, sangat susah baginya menjawab pertanyaan Darren ketika dalam posisi saat ini. Ia hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya, sudah tidak dapat berkonsentrasi menyuci piring lagi. Ia taruh piring itu di wastafel, tangannya masih penuh dengan buih-buih busa sabun cuci piring.