Share

Bab 2. Terpaksa Setuju

"Kamu kenapa, Sya? Ini masih pagi lho, Sya. Kenapa udah nangis?” tanya Irene pada akhirnya. “Coba cerita!"

Nesya segera melepaskan pelukan mereka. Menghapus air mata yang membasahi wajah, dia menatap Irene dengan sendu. "Kamu beneran nggak mau sama abangku, Ren?"

Irene sontak menghela napas panjang. Dia kira masalah ini sudah usai, tetapi nyatanya Nesya kembali membahas hal serupa di pagi hari yang seharusnya bisa Irene nikmati dengan tenang!

"Kamu tau sendiri, kalau jalin hubungan romantis nggak pernah ada dalam list aku, Sya!" tegas Irene.

"Aku mohon, Ren!" Nesya meraih tangan Irene. "Bantu aku, please ...! Ya, Ren? Iya?"

Irene mengacak rambut frustasi. "Kenapa harus aku, Sya?! Kamu bisa minta yang lain, 'kan?"

"Aku cuman percaya kamu, Ren buat bantu aku dan Abang buat batalin pernikahan itu," jelas Nesya dengan suara bergetar.

Irene menyandarkan tubuh di pintu masuk.

Dia memandang Nesya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara perempuan itu memandang Irene dengan penuh harap.

Cukup lama, sampai akhirnya Irene kembali bersuara, "Oke, aku mau! Dengan syarat, hanya bantu batalin perjodohan itu bukan jadi pasangan Abang kamu!"

Seketika saja, tatapan sendu Nesya berganti dengan tatapan kebahagiaan.

Dia segera menghampiri Irene dan memeluk tubuh Irene dengan erat.

Rasa bahagia yang Nesya rasakan tak bisa lagi dia gambarkan, dia semakin memeluk erat tubuh Irene. "Makasih, Ren! Makasih banget. Kalau gitu, kamu nanti ketemuan sama abangku buat bicarain semuanya, ya?"

Irene hanya bisa mengangguk dan di sinilah dia … sebuah kafe tempat dia akan bertemu dengan Arsen.

Meski ada segelas jus alpukat di hadapannya, tetapi Irene hanya mengaduk-aduk jus tersebut menggunakan sedotan tanpa berniat meminumnya.

Suasana kafe yang ramai membuat kepala Irene sedikit pening, dia mengantuk sekaligus lelah. Namun, orang yang Irene tunggu belum juga datang.

"Ck! Di mana, sih? Kok gak tepat waktu gini!" gerutunya.

Seolah tahu kekesalaannya, tiba-tiba saja suara lonceng kafe yang berbunyi membuat Irene langsung mengalihkan pandangan.

Arsen atau kakak laki-laki Nesya datang dengan jas dan kacamata yang bertengger di hidung.

Kacamata minus yang bertengger di hidung Arsen justru menambah kadar ketampanan pria itu di balik fitur wajah Arsen yang nyaris sempurna.

Satu kata yang terlintas di benak Irene, yaitu tampan.

Segera Irene menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri dari apa yang dipikirkan!

"Maaf saya terlambat." Arsen menarik kursi, dia lantas mendudukkan diri di hadapan Irene.

Irene mengangguk kaku menghadapi Arsen yang tampak berwibawa?

Menelan kasar air liurnya, Irene menarik kedua sudut bibirnya memaksa untuk tersenyum. "Langsung aja, Kak. Kita pura-pura pacaran cuman buat batalin perjodohan kamu, kan?"

"Iya." Arsen mengangguk cepat. "Tapi, jika diperlukan kamu harus terlibat dengan saya juga sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan."

"Apa ...?!" Mata Irene terbelalak. "Perjanjian sama Nesya cuman bantu batalin perjodohan kamu, ya!" protesnya.

"Hubungan kamu dengan saya bukan dengan Adik saya," balas Arsen dengan tenang.

Irene yang mendengar itu mendesah panjang, dia meraup wajah. "Gila?!"

Bukannya terkejut, Arsen justru tampak tenang.

Rasanya, Irene ingin membenturkan kepala Arsen pada ujung meja!

"Sebelumnya, bukankah lebih baik kita saling mengenal? Saya Arsenio Arvys Mahardhika, kamu bisa panggil saya Mas atau Sayang untuk lebih mendalami," cetus Arsen, lagi-lagi dengan wajah datarnya.

Tidak ada kesan menggoda atau bercanda.

Itu yang membuat Irene makin frustasi!

"Argh ...! Aku bahkan belum bilang setuju!" kesal Irene.

"Dengan kamu menemui saya, sudah saya anggap sebagai persetujuan. Apa kamu mengerti Irene Acrola Zienith?" Arsen memandang Irene dengan lekat.

Sialan! Irene dijebak Nesya.

Namun, tatapan tajam pria itu berhasil membuat Irene tak berkutik.

Mau tak mau, perempuan itu menganggukkan kepala. Toh, cuma pura-pura pacaran, kan?

Tak akan ada masalah besar dari itu meski entah sampai kapan.

Yang jelas, Irene berharap segalanya akan selesai dengan cepat!

“Baiklah.”

Arsen mengangguk. "Bagus! Kalau begitu, kita akan langsung menemui keluarga saya."

"Ha ...?! Secepat itu?!" teriak perempuan itu.

"Iya, kenapa harus menunggu lama?" balas Arsen.

Sialan!

Lagi-lagi, Irene hanya bisa berkata itu dalam hatinya.

Gak abang, gak adik–sama-sama membuatnya terpaksa menurut. Kenapa genre hidup Irene begini amat, sih?

Sayangnya, keputusan Arsen untuk segera membawa Irene ke hadapan orang tuanya, nyatanya tak bisa gadis itu bantah.

Mobil yang Irene bawa bahkan sudah diambil alih oleh anak buah Arsen.

Kesal, Irene hanya bisa terdiam.

Untungnya, Arsen tak mengajaknya bicara, sehingga gadis itu bisa dengan tenang memandangi barisan gedung-gedung pencakar lain.

Ibu kota rasanya tidak banyak berubah. Banyak kenangan di kota ini yang rasanya Irene rindukan, tetapi tak akan pernah bisa kembali ke masa tersebut.

Cit!

Tiba-tiba saja, mobil yang dikendarai oleh Arsen berhenti di sebuah toko dessert.

Irene segera menoleh. “Ada apa?”

Arsen yang tengah membuka sabuk pengaman, langsung menjawab dengan datar, "Kita beli roti dulu untuk mereka. Tidak mungkin kamu ke menemui mereka dengan tangan kosong, 'kan?"

Tak hanya itu, tatapan pria itu begitu dingin pada Irene.

Kalau bukan abangnya Nesya, sudah pasti Arsen tak selamat di tangan Irene!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status