"Kamu kenapa, Sya? Ini masih pagi lho, Sya. Kenapa udah nangis?” tanya Irene pada akhirnya. “Coba cerita!"
Nesya segera melepaskan pelukan mereka. Menghapus air mata yang membasahi wajah, dia menatap Irene dengan sendu. "Kamu beneran nggak mau sama abangku, Ren?" Irene sontak menghela napas panjang. Dia kira masalah ini sudah usai, tetapi nyatanya Nesya kembali membahas hal serupa di pagi hari yang seharusnya bisa Irene nikmati dengan tenang! "Kamu tau sendiri, kalau jalin hubungan romantis nggak pernah ada dalam list aku, Sya!" tegas Irene. "Aku mohon, Ren!" Nesya meraih tangan Irene. "Bantu aku, please ...! Ya, Ren? Iya?" Irene mengacak rambut frustasi. "Kenapa harus aku, Sya?! Kamu bisa minta yang lain, 'kan?" "Aku cuman percaya kamu, Ren buat bantu aku dan Abang buat batalin pernikahan itu," jelas Nesya dengan suara bergetar. Irene menyandarkan tubuh di pintu masuk. Dia memandang Nesya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara perempuan itu memandang Irene dengan penuh harap. Cukup lama, sampai akhirnya Irene kembali bersuara, "Oke, aku mau! Dengan syarat, hanya bantu batalin perjodohan itu bukan jadi pasangan Abang kamu!" Seketika saja, tatapan sendu Nesya berganti dengan tatapan kebahagiaan. Dia segera menghampiri Irene dan memeluk tubuh Irene dengan erat. Rasa bahagia yang Nesya rasakan tak bisa lagi dia gambarkan, dia semakin memeluk erat tubuh Irene. "Makasih, Ren! Makasih banget. Kalau gitu, kamu nanti ketemuan sama abangku buat bicarain semuanya, ya?" Irene hanya bisa mengangguk dan di sinilah dia … sebuah kafe tempat dia akan bertemu dengan Arsen. Meski ada segelas jus alpukat di hadapannya, tetapi Irene hanya mengaduk-aduk jus tersebut menggunakan sedotan tanpa berniat meminumnya. Suasana kafe yang ramai membuat kepala Irene sedikit pening, dia mengantuk sekaligus lelah. Namun, orang yang Irene tunggu belum juga datang. "Ck! Di mana, sih? Kok gak tepat waktu gini!" gerutunya. Seolah tahu kekesalaannya, tiba-tiba saja suara lonceng kafe yang berbunyi membuat Irene langsung mengalihkan pandangan. Arsen atau kakak laki-laki Nesya datang dengan jas dan kacamata yang bertengger di hidung. Kacamata minus yang bertengger di hidung Arsen justru menambah kadar ketampanan pria itu di balik fitur wajah Arsen yang nyaris sempurna. Satu kata yang terlintas di benak Irene, yaitu tampan. Segera Irene menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri dari apa yang dipikirkan! "Maaf saya terlambat." Arsen menarik kursi, dia lantas mendudukkan diri di hadapan Irene. Irene mengangguk kaku menghadapi Arsen yang tampak berwibawa? Menelan kasar air liurnya, Irene menarik kedua sudut bibirnya memaksa untuk tersenyum. "Langsung aja, Kak. Kita pura-pura pacaran cuman buat batalin perjodohan kamu, kan?" "Iya." Arsen mengangguk cepat. "Tapi, jika diperlukan kamu harus terlibat dengan saya juga sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan." "Apa ...?!" Mata Irene terbelalak. "Perjanjian sama Nesya cuman bantu batalin perjodohan kamu, ya!" protesnya. "Hubungan kamu dengan saya bukan dengan Adik saya," balas Arsen dengan tenang. Irene yang mendengar itu mendesah panjang, dia meraup wajah. "Gila?!" Bukannya terkejut, Arsen justru tampak tenang. Rasanya, Irene ingin membenturkan kepala Arsen pada ujung meja! "Sebelumnya, bukankah lebih baik kita saling mengenal? Saya Arsenio Arvys Mahardhika, kamu bisa panggil saya Mas atau Sayang untuk lebih mendalami," cetus Arsen, lagi-lagi dengan wajah datarnya. Tidak ada kesan menggoda atau bercanda. Itu yang membuat Irene makin frustasi! "Argh ...! Aku bahkan belum bilang setuju!" kesal Irene. "Dengan kamu menemui saya, sudah saya anggap sebagai persetujuan. Apa kamu mengerti Irene Acrola Zienith?" Arsen memandang Irene dengan lekat. Sialan! Irene dijebak Nesya. Namun, tatapan tajam pria itu berhasil membuat Irene tak berkutik. Mau tak mau, perempuan itu menganggukkan kepala. Toh, cuma pura-pura pacaran, kan? Tak akan ada masalah besar dari itu meski entah sampai kapan. Yang jelas, Irene berharap segalanya akan selesai dengan cepat! “Baiklah.” Arsen mengangguk. "Bagus! Kalau begitu, kita akan langsung menemui keluarga saya." "Ha ...?! Secepat itu?!" teriak perempuan itu. "Iya, kenapa harus menunggu lama?" balas Arsen. Sialan! Lagi-lagi, Irene hanya bisa berkata itu dalam hatinya. Gak abang, gak adik–sama-sama membuatnya terpaksa menurut. Kenapa genre hidup Irene begini amat, sih? Sayangnya, keputusan Arsen untuk segera membawa Irene ke hadapan orang tuanya, nyatanya tak bisa gadis itu bantah. Mobil yang Irene bawa bahkan sudah diambil alih oleh anak buah Arsen. Kesal, Irene hanya bisa terdiam. Untungnya, Arsen tak mengajaknya bicara, sehingga gadis itu bisa dengan tenang memandangi barisan gedung-gedung pencakar lain. Ibu kota rasanya tidak banyak berubah. Banyak kenangan di kota ini yang rasanya Irene rindukan, tetapi tak akan pernah bisa kembali ke masa tersebut. Cit! Tiba-tiba saja, mobil yang dikendarai oleh Arsen berhenti di sebuah toko dessert. Irene segera menoleh. “Ada apa?” Arsen yang tengah membuka sabuk pengaman, langsung menjawab dengan datar, "Kita beli roti dulu untuk mereka. Tidak mungkin kamu ke menemui mereka dengan tangan kosong, 'kan?" Tak hanya itu, tatapan pria itu begitu dingin pada Irene. Kalau bukan abangnya Nesya, sudah pasti Arsen tak selamat di tangan Irene!"Mau sekalian beli beberapa buah atau camilan ringan untuk Nesya gak?" ucap Irene setelah berhasil mengendalikan keinginannya untuk mencelakai kakak sahabatnya itu. "Boleh, sekalian saja," ucap Arsen sebelum akhirnya dia membuka pintu dan keluar dari mobil–meninggalkan Irene begitu saja! "Harusnya aku nggak usah ngebantu Nesya, ternyata abangnya senyebelin ini!" batin Irene. Namun,, apa lagi yang dapat Irene lakukan selain menghela napas panjang dan ikut turun? Perempuan berusia 25 tahun itu lantas segera meraih tasnya dan keluar. Sayangnya, dia disambut suara ketus Arsen. "Jangan lelet!" "Sabar bisa, 'kan?" Irene berucap dengan ketus, wajah perempuan itu berubah datar. Tanpa memperdulikan Irene, Arsen melangkah lebih dulu meninggalkan Irene di belakang. Tindakan Arsen berhasil membuat Irene mengelus dada. Diikutinya pria itu yang mulai memperhatikan banyaknya roti yang terpampang di etalase, sedangkan Irene? Gadis itu hanya berdiri di sebelahnya. Namun, pandangan
Nesya meringis setelah mendengar cerita sang sahabat dan mungkin juga … calon kakak iparnya? Terlebih, saat melihat wajah frustasi Irene yang kini bahkan mulai menggigit bantal miliknya. Namun, Nesya tidak bisa melakukan apa pun. Orang tuanya bisa lebih marah kalau jujur sekarang. “Sya!” Suara Irene tiba-tiba terdengar dan begitu dingin. Nesya menggeleng cepat, dia bahkan enggak untuk sekadar menatap Irene. Perempuan itu benar-benar ketakutan sekarang. "I-itu. Maaf, Ren," cicit Nesya dengan tangan saling meremas. "Semudah itu?" Satu alis Irene terangkat. "Kamu tau sendiri, aku trauma sama pernikahan! Dan kamu malah jadiin aku tumbal?" cerca Irene. Tumbuh dan besar sebagai anak bungsu tak membuat Irene menjadi perempuan manja. Ia bahkan begitu mandiri dan jago mengendalikan diri. Namun, kali ini dia menunjukkan emosinya tanpa halangan. "Maaf, Ren. Aku sendiri nggak tau, kalau jadinya bakal kayak gini." Nesya menunduk, dia memainkan kuku-kuku jarinya. "Terus sekarang g
Irene menghempaskan tubuhnya di kasur–masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ya, dia baru saja pulang ke rumah diantar oleh Arsen. Sebenarnya tadi Devan meminta Irene untuk menginap saja karena sudah larut malam. Namun, perempuan itu menolak karena dia butuh waktu untuk sendiri. Irene mengembuskan napas. "Tuhan kadang-kadang suka kidding, ya." Hari ini, energinya terkuras. Dia bahkan tak ada tenaga untuk memaki sahabatnya lagi. Memperbaiki posisi berbaringnya, Irene menarik selimut sebatas dada. Perempuan itu segera mematikan lampu dan hanya menyalakan lampu tidur yang ada di salah satu nakas, lalu memilih tertidur. Sebab, dirinya harus ke rumah sakit besok. Entah berapa lama dia tertidur, Irene tak menghitung. Yang jelas, Irene terbangun kala mendengar dering ponselnya begitu nyaring. Irene sontak mencari ponsel pintar yang dia letakkan di nakas. Namun, kening perempuan itu mengerut saat melihat nomor tak dikenal menghubungi dirinya. "Hallo. Maaf, sia
Irene segera mengambil ponselnya saat mendengar suara notifikasi. Perempuan itu mengerutkan kening melihat pesan singkat itu dikirim oleh Arsen. Arsen (Kakak Nesya) : Fitting baju akan dilakukan sore, saya akan menjemput kamu.Tak ada penjelasan lebih lanjut mengapa jam fitting baju diubah begitu saja.Menyebalkan! Belum genap satu bulan menjadi "tunangan" pria itu, tetapi Irene sudah dibuat pusing sendiri. Membuang napas panjang, Irene mengedikkan bahu mencoba tak peduli. Jari-jari perempuan itu bergerak cepat membalas pesan Arsen sebab pesan tersebut sudah lama dia baca, takut jika Arsen menanti responsnya meskipun sedikit mustahil. Irene : Tidak perlu, aku membawa mobil. Di mana fitting baju akan dilakukan? Aku akan ke sana sendirian. Ting! Tak sampai lima menit ponsel Irene kembali berbunyi. Arsen (Kakak Nesya) : Baiklah, di rumah saya.Singkat, padat, dan terlalu jelas.Rasanya, Irene ingin berkata-kata. Tapi belum sempat Irene membalas pesan tersebut, sebuah kerib
Tak terasa, fitting baju selesai.Irene kini bahkan tengah memandang menu makan malam di kediaman Mahardhika. Perempuan itu mendongak, tetapi siapa sangka netra indah milik Irene justru beradu dengan netra dingin dan tajam milik Arsen. Tatapan bak elang itu membuat Irene kembali menundukkan kepala, tak ada masalah apa pun hanya saja Irene merasa kurang nyaman dengan tatapan itu."Ehem..."Suara dehaman Devan menyelamatkan Irene!Arsen langsung menundukkan kepala menatap piring di hadapannya. "Ayo dimulai makan." Devan beralih menatap Irene. "Makan yang banyak, ya! Anggap aja ini rumah kamu sendiri," cetus ayah sahabatnya itu dengan senyuman manis. Kedua sudut bibir Irene tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman tipis."Iya, Pa. Terima kasih."Sayangnya, ketenangan itu tak berlangsung lama.Usai makan, Irene harus dihadapkan dengan Nanda yang memaksa Irene untuk menginap! "Ma, Mama enggak usah khawatir. Aku bisa handle semua dengan baik kok," tolak Irene kesekian kalinya. "
Hari ini adalah pertunangan Arsen dan Irene.Namun, Irene tampak tertekan.Melihat dengan jelas raut bahagia orang-orang, ia merasa bersalah."Ren!" Seseorang menepuk bahu Irene membuat perempuan itu terkesiap. "Kamu siap, 'kan?" Irene memandang Nesya dengan datar sebelum akhirnya menganggukkan kepala, mengatakan tak siap pun rasanya percuma. Pertunangan itu akan tetap berlanjut. Ketenangan dalam diri Irene membuat banyak orang berpikir bahwa dia sudah siap, tetapi siapa sangka jika tangan perempuan itu begitu dingin. Gestur tubuh Irene benar-benar menipu semua orang. "Sopankah kamu duduk di saat aku berdiri, Sya?" sindir Irene yang dibalas cengiran oleh Nesya membuat Irene menggelengkan kepala. "Kita langsung saja ke puncak acara hari ini yang saya yakin sudah dinantikan oleh para hadirin sekalian. Kepada Arsenio Arvhy Mahardhika dan Irenia Acrola Zienith untuk naik ke atas panggung karena acara tukar cincin akan segera dilakukan." Suara dari pembawa acara berhasil memecah
Irene merenggangkan tubuh, dia merasa lelah sekaligus tubuh perempuan itu terasa pegal. Baru saja acara pertunangannya selesai dan tamu yang datang tak bisa dikatakan sedikit. Eiren melempar tubuhnya di kursi plastik, dia mendudukkan diri sana dengan mata terpejam. Acara yang berlangsung selama hampir sepuluh jam itu berhasil menguras energi dan tenaga Eiren. Irene mengibaskah tangan, dia merasa kepanasan meskipun pendingin ruangan menyala. "Ini serius aku diginiin?" batin Irene sembari memandang sekitar. "Mau pulang?" Irene tersentak, dia menoleh lantas memukul keras lengan Arsen. Kehadiran pria itu benar-benar tanpa tanda-tanda. Mengusap dadanya, Irene memandang Arsen dengan tatapan sayu. Pria dengan wajah datar itu terlihat tampan dan penuh wibawa di matanya saat ini. "Emang boleh?" Irene balik bertanya, perempuan itu takut dikira tidak sopan. "Why not?" balas Arsen dengan satu alis te
"Sejauh ini apa ada keluhan yang terlalu serius, Bu?" Eiren menatap intens seorang wanita berbadan dua di hadapannya. Wanita di hadapan Irene mengangguk perlahan, dia memperbaiki posisi duduknya berusaha untuk nyaman. Wanita itu menatap Irene dengan serius, sedangkan sang suami hanya diam dengan tatapan terfokus pada Irene.. "Saya belakangan ini jadi merasa pusing, Dok. Mual dan muntah juga di pagi hari, tapi yang keluar hanya cairan bening. Itu kenapa ya, Dok?" Irene mengangguk mengerti, perempuan itu mencatat keluhan sang pasien pada rekam medis. Irene mendorong kursinya ke belakang, perempuan itu menatap pasien dengan senyuman manis. "Baik, silakan berjalan ke arah timbangan. Kita cek dahulu berat badan dan tinggi badan, ya. Baru setelahnya kita melakukan USG ya, Bu." Irene mengarahkan dengan suara lembut, perempuan itu membersilakan pasiennya untuk berjalan ke arah timbangan. Irene mel