Irene menghempaskan tubuhnya di kasur–masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ya, dia baru saja pulang ke rumah diantar oleh Arsen. Sebenarnya tadi Devan meminta Irene untuk menginap saja karena sudah larut malam. Namun, perempuan itu menolak karena dia butuh waktu untuk sendiri. Irene mengembuskan napas. "Tuhan kadang-kadang suka kidding, ya." Hari ini, energinya terkuras. Dia bahkan tak ada tenaga untuk memaki sahabatnya lagi. Memperbaiki posisi berbaringnya, Irene menarik selimut sebatas dada. Perempuan itu segera mematikan lampu dan hanya menyalakan lampu tidur yang ada di salah satu nakas, lalu memilih tertidur. Sebab, dirinya harus ke rumah sakit besok. Entah berapa lama dia tertidur, Irene tak menghitung. Yang jelas, Irene terbangun kala mendengar dering ponselnya begitu nyaring. Irene sontak mencari ponsel pintar yang dia letakkan di nakas. Namun, kening perempuan itu mengerut saat melihat nomor tak dikenal menghubungi dirinya. "Hallo. Maaf, sia
Irene segera mengambil ponselnya saat mendengar suara notifikasi. Perempuan itu mengerutkan kening melihat pesan singkat itu dikirim oleh Arsen. Arsen (Kakak Nesya) : Fitting baju akan dilakukan sore, saya akan menjemput kamu.Tak ada penjelasan lebih lanjut mengapa jam fitting baju diubah begitu saja.Menyebalkan! Belum genap satu bulan menjadi "tunangan" pria itu, tetapi Irene sudah dibuat pusing sendiri. Membuang napas panjang, Irene mengedikkan bahu mencoba tak peduli. Jari-jari perempuan itu bergerak cepat membalas pesan Arsen sebab pesan tersebut sudah lama dia baca, takut jika Arsen menanti responsnya meskipun sedikit mustahil. Irene : Tidak perlu, aku membawa mobil. Di mana fitting baju akan dilakukan? Aku akan ke sana sendirian. Ting! Tak sampai lima menit ponsel Irene kembali berbunyi. Arsen (Kakak Nesya) : Baiklah, di rumah saya.Singkat, padat, dan terlalu jelas.Rasanya, Irene ingin berkata-kata. Tapi belum sempat Irene membalas pesan tersebut, sebuah kerib
Tak terasa, fitting baju selesai.Irene kini bahkan tengah memandang menu makan malam di kediaman Mahardhika. Perempuan itu mendongak, tetapi siapa sangka netra indah milik Irene justru beradu dengan netra dingin dan tajam milik Arsen. Tatapan bak elang itu membuat Irene kembali menundukkan kepala, tak ada masalah apa pun hanya saja Irene merasa kurang nyaman dengan tatapan itu."Ehem..."Suara dehaman Devan menyelamatkan Irene!Arsen langsung menundukkan kepala menatap piring di hadapannya. "Ayo dimulai makan." Devan beralih menatap Irene. "Makan yang banyak, ya! Anggap aja ini rumah kamu sendiri," cetus ayah sahabatnya itu dengan senyuman manis. Kedua sudut bibir Irene tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman tipis."Iya, Pa. Terima kasih."Sayangnya, ketenangan itu tak berlangsung lama.Usai makan, Irene harus dihadapkan dengan Nanda yang memaksa Irene untuk menginap! "Ma, Mama enggak usah khawatir. Aku bisa handle semua dengan baik kok," tolak Irene kesekian kalinya. "
Hari ini adalah pertunangan Arsen dan Irene.Namun, Irene tampak tertekan.Melihat dengan jelas raut bahagia orang-orang, ia merasa bersalah."Ren!" Seseorang menepuk bahu Irene membuat perempuan itu terkesiap. "Kamu siap, 'kan?" Irene memandang Nesya dengan datar sebelum akhirnya menganggukkan kepala, mengatakan tak siap pun rasanya percuma. Pertunangan itu akan tetap berlanjut. Ketenangan dalam diri Irene membuat banyak orang berpikir bahwa dia sudah siap, tetapi siapa sangka jika tangan perempuan itu begitu dingin. Gestur tubuh Irene benar-benar menipu semua orang. "Sopankah kamu duduk di saat aku berdiri, Sya?" sindir Irene yang dibalas cengiran oleh Nesya membuat Irene menggelengkan kepala. "Kita langsung saja ke puncak acara hari ini yang saya yakin sudah dinantikan oleh para hadirin sekalian. Kepada Arsenio Arvhy Mahardhika dan Irenia Acrola Zienith untuk naik ke atas panggung karena acara tukar cincin akan segera dilakukan." Suara dari pembawa acara berhasil memecah
Irene merenggangkan tubuh, dia merasa lelah sekaligus tubuh perempuan itu terasa pegal. Baru saja acara pertunangannya selesai dan tamu yang datang tak bisa dikatakan sedikit. Eiren melempar tubuhnya di kursi plastik, dia mendudukkan diri sana dengan mata terpejam. Acara yang berlangsung selama hampir sepuluh jam itu berhasil menguras energi dan tenaga Eiren. Irene mengibaskah tangan, dia merasa kepanasan meskipun pendingin ruangan menyala. "Ini serius aku diginiin?" batin Irene sembari memandang sekitar. "Mau pulang?" Irene tersentak, dia menoleh lantas memukul keras lengan Arsen. Kehadiran pria itu benar-benar tanpa tanda-tanda. Mengusap dadanya, Irene memandang Arsen dengan tatapan sayu. Pria dengan wajah datar itu terlihat tampan dan penuh wibawa di matanya saat ini. "Emang boleh?" Irene balik bertanya, perempuan itu takut dikira tidak sopan. "Why not?" balas Arsen dengan satu alis te
"Sejauh ini apa ada keluhan yang terlalu serius, Bu?" Eiren menatap intens seorang wanita berbadan dua di hadapannya. Wanita di hadapan Irene mengangguk perlahan, dia memperbaiki posisi duduknya berusaha untuk nyaman. Wanita itu menatap Irene dengan serius, sedangkan sang suami hanya diam dengan tatapan terfokus pada Irene.. "Saya belakangan ini jadi merasa pusing, Dok. Mual dan muntah juga di pagi hari, tapi yang keluar hanya cairan bening. Itu kenapa ya, Dok?" Irene mengangguk mengerti, perempuan itu mencatat keluhan sang pasien pada rekam medis. Irene mendorong kursinya ke belakang, perempuan itu menatap pasien dengan senyuman manis. "Baik, silakan berjalan ke arah timbangan. Kita cek dahulu berat badan dan tinggi badan, ya. Baru setelahnya kita melakukan USG ya, Bu." Irene mengarahkan dengan suara lembut, perempuan itu membersilakan pasiennya untuk berjalan ke arah timbangan. Irene mel
Menegakkan tubuh, perempuan itu mengambil ponsel pintar miliknya yang dia letakkan di dalam tas. Irene langsung membuka aplikasi pesan singkat, dia menekan nomor sang ayah. Pada dering pertama belum ada respons sampai pada dering ketiga barulah ada tanggapan, Irene tersenyum manis. "Kenapa, Sayang?" "Aku kangen Papi, Papi nggak mau ke Indonesia?" "Nanti Papi ke sana. Udah dulu ya, Papi harus meeting." Panggilan itu terputus secara sepihak. Irene menghela napas panjang, dia menyandarkan tubuhnya pada sofa. Mata perempuan itu perlahan tertutup, tangan kanan Irene menutupi wajahnya. Dia merasa begitu lelah saat ini. Irene berdiri, dia melangkah pergi dan berjalan menuju kamar. Tenaga perempuan itu nyaris habis, dia bahkan enggan untuk sekadar protes mengenai sikap sang ayah. Hari ini memang jauh lebih melelahkan karena perempuan itu harus menangani empat wanita melahirkan.
Saat ini, Irene sedang bersama Nanda di ruang keluarga dengan sebuah album uang yang ada di pangkuan Irene. Album itu berisikan foto-foto Arsen dari bayi sampai pria itu beranjak 19 tahun. Irene tertawa saat mendengar cerita Nanda tentang Arsen, siapa yang menyangka bahwa pria sekaku Arsen pernah menjadi sosok anak kecil yang menggemaskan? "Ini waktu dia umur empat tahun, Mama inget banget dia dulu ngompol di celana karena liat badut!" Nanda menunjuk salah satu foto di mana Arsen tengah menangis, wanita itu tertawa saat momen lama itu kembali berputar. "Mas Arsen takut badut, Ma?" tanya Irene seraya memandang Nanda. "Iya, dulu." Nanda menganggukkan kepala pelan. "Dia takut banget sama badut malah parahnya dia pingsan," sambung Nanda. Tanpa sadar Irene mengusap foto tersebut dan hal itu berhasil mencuri perhatian Nanda. Wanita itu tersenyum, dia memandang Irene dengan tatapan yang sulit diartikan. Perempuan y
"Jadi Anda memutuskan untuk melakukan bayi tabung?" Kedua pasangan di hadapan Irene mengangguk lan, sedangkan Irene menghela napas panjang. Dia tak masalah jika ada yang ingin melakukan bayi tabung, tetapi di hadapan perempuan itu justru pasangan sesama jenis yang membuat Irene harus berpikir keras. "Sebelumnya, mohon maaf. Bayi tabung sendiri belum bisa dilakukan di rumah sakit kami, silakan kalian mencari rumah sakit lain." Salah satu dari mereka menggeleng keras. "Bukan saya dan dia, Dok! Melainkan saya dan istri saya, sebentar istri saya sedang ke kamar mandi." Irene yang mendengar itu melototkan mata, dia sungguh merasa malu sekarang. Irene tersenyum canggung, sedangkan perawat di sebelah perempuan itu menundukkan kepala menahan malu. Sebenarnya wajar saja jika mereka salah paham, tetapi tetap saja rasanya malu. Tak berselang lama, pintu ruangan Irene dibuka. Seorang wanita anggun memasuki ruangan Irene dengan senyuman manis, salah satu pria berdiri dan me
Irene menuruni tangga secara perlahan, perempuan itu baru saja bangun tidur. Saat dia terbangun, Irene tak melihat ada Nesya di sebelahnya, mungkin saja sahabatnya itu telah kembali ke rumahnya sendiri. Menarik napas panjang, Irene membuka kulkas dan meminum air dingin yang ada di botol hingga tersisa setengah. Perempuan itu menutup kembali botol dan meletakkannya di dalam kulkas, dia menutup kulkas lantas mengikat asal rambutnya. "Enaknya makan apa ya?" Perempuan itu mendesah panjang. "Sarapan di kantin rumah sakit ajalah." Dia berjalan ke luar dapur, tetapi ponsel Irene berdering membuat langkah perempuan itu terhenti. Dia mengerutkan kening saat mendapatkan panggilan masuk dari seseorang. "Iya, Pi?" "Papi denger kamu mengubah beberapa peraturan rumah sakit." Irene menarik kursi yang ada di meja makan, perempuan itu mendudukkan diri di sana. Dia mengambil satu buah apel dan menggigitnya. "Iya, terutama standar operasional kita dalam penanganan pa
Irene baru saja selesai makan malam, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Dia mencari remote telivisi lantas menyalakan televisi meskipun tak tahu ingin menonton apa, tetapi perempuan itu tetap membiarkan televisi menyala. Suara bel membuat Irene mengerutkan kening, dia segera berdiri dan berjalan mendekati pintu masuk. Perempuan itu membuka pintu rumahnya dan melihat Nesya yang berdiri di depan pintu dengan senyuman lebar. "Kamu malem-malem ke sini ngapain?" tanya Irene dengan satu alis terangkat. "Bosen." Nesya menggeser tubuh Irene sedikit kasar lantas memasuki rumah perempuan itu yang membuat sang empunya mendengus kesal. "Ya udah, aku putuskan untuk ke rumah kamu hehe ...." "Terus gunanya kamu ada Abang apa?" Irene mendengus kembali, dia berjalan mengikuti langkah Nesya. "Abang di rumah bareng temennya, Mama sama Papa lagi pergi ke pesta sahabat Papa. Ya udah, aku ke sini," balas Nesya. Irene meraup kasar wajahnya, dia mendudukkan diri di samping Nesya. Irene me
"Dok, ada pasien yang mengalami kecelakaan dan dia dalam kondisi hamil." Irene langsung mendongak, perempuan itu segera berdiri dan mengambil sneli yang menggantung di kursinya. Dengan tergesa-gesa Irene memakai snelinya. "Minta Dokter Bedah, Anak, dan Anestesi siap-siap. Kita akan lakukan tindakan operasi Caesar jika diperlukan!" titah Irene. Suster itu mengangguk, dia berlari ke luar. Sementara Irene berjalan dengan tergesa-gesa bersama suster lainnya untuk memasuki ruang operasi. "Perkiraan usia kandungannya delapan bulan, Dok," ucap Suster Rahma. "Kemungkinan kita bakal lakuin Caesar," balas Irene yang diangguki oleh Rahma. Mereka memasuki ruang operasi. Irene segera memasang stetoskop di telinganya, perempuan itu mengecek kondisi jantung dan pernapasan pasien. Perempuan itu beralih mengecek kondisi janin pasien yang terbaring lemah di meja operasi. "Bersihk
Nesya memandang seorang perempuan berusia 20 tahun di hadapannya, perempuan itu memandang Nesya dengan tatapan takut. Keputusan yang dia buat untuk datang ke Psikiater tentu bukanlah keputusan yang mudah, ada banyak pergejolakan batin yang dia rasakan saat ini. Nesya berdeham, dia mengubah posisi duduknya menjadi senyaman mungkin. Kedua sudut bibir perempuan itu tertarik membentuk sebuah senyuman manis. "Hallo, Resti! Gimana hari kamu? Dalam kondisi baik?" Nesya lebih dulu memulai percakapan. Perempuan di hadapannya yang bernama Resti itu tersenyum kaku, sedangkan Nesya meneliti raut wajah perempuan yang menjadi pasiennya itu, wajah yang murung dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pun tubuh Resti yang terbilang begitu kurus kering. "Kurang baik, Dok ...," lirih Resti. Nesya tersenyum simpul. "It's okay, kita memang perlu hari yang buruk. Kira-kira hal apa yang buat kamu kurang baik?"
Irene membuka mata perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah Arsen yang memeluknya dengan erat. Irene menunduk, dia memandang Arsen yang tertidur pulas dengan kenapa menempel di dadanya. Entah dorongan darimana, tangan Irene terangkat mengelus rambut Arsen dengan erat. "Pasti habis ini dia pusing," gumam Irene. Sejujurnya, perempuan itu sedikit terkejut dengan kehadiran Arsen tengah malam dalam kondisi mabuk. Pria itu bahkan berulang kali memberikan tanda di leher dan sekitar dada Irene. Mata Irene melotot mengingat hal itu, dia segera menunduk memandangi dadanya yang penuh bercak merah. Membuang napas panjang, Irene memandang nanar dadanya itu. "Kenapa semalam nggak aku ketok pakai panci aja kepala ini orang?" kesal Irene seraya memandangi Arsen dengan sinis. "Jangan berbuat kekerasan pada tunangan sendiri," celetuk Arsen dengan suara serak. Irene mendelik saat pelukan Arsen
Irene meraih ponselnya yang terus berdering, dia menaikkan sebelah alisnya saat melihat panggilan suara itu dari Nesya. Membuang napas panjang, Irene mengangkat telepon itu dan menempelkan ponselnya ke telinga. "Hm? Kenapa?" tanya Irene seraya berjalan ke meja rias. "Kamu harus tau, kalau aku kesel banget sama Abang!" "Arsen? Ngapain kamu?" Kening Irene berkerut, dia mengambil micellar water dan kapas, Irene lantas mendudukkan diri di kursi. Di seberang sana, Nesya mengembuskan napas panjang. Perempuan itu meremas kuat bantal yang ada di pahanya, apa yang Arsen lakukan benar-benar masih mengganggu pikiran Nesya. "Abang ngasih duit ke mantan istrinya!" adu Nesya seolah dia memang tengah mengadukan kelakuan Arsen pada tunangannya sendiri. Uhuk! Irene terbatuk, kapas yang sedari membersihkan mukanya juga terjatuh. Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya.
Ting! Suara notifikasi ponsel membuat Arsen segera meraih ponselnya. Satu pesan masuk dia dapatkan, Arsen mengabaikan pesan itu. Pria itu memilih untuk membuka akun m-banking miliknya. Setelah urusannya selesai, pria itu kembali mematikan ponselnya dan memejamkan mata. "Hidup terlalu lucu," gumam pria itu dengan mata terpejam. Di tempat berbeda, Irene membanting tubuhnya di kasur. Perempuan itu menarik napas panjang, dia merasa sungguh lelah hari ini. Apa yang terjadi di kediaman Mahardhika hari ini berhasil membuat emosi Irene memuncak. Arsen, pria itu menarik Irene ke kamarnya dan memeluk Irene dengan erat. Dia bahkan melarang Irene untuk pergi dan beranjak di kasur, selama satu hari itu Irene dikurung di kamar Arsen. Hal yang lebih menyebalkan adalah saat Nesya menertawakan dirinya yang membuat Irene semakin kesal. "Sialan banget itu cowok! Dia kenapa, sih?!" gerutu Irene dengan wajah kesal.
Irene menggerutu, ingin sekali rasanya dia mengutuk Arsen yang telah membuatnya terjebak dalam percakapan menegangkan bersama Nesya. Irene berdecak kesal, tetapi raut wajah perempuan itu berubah ramah saat melihat Devan menuruni tangga bersama Nanda. "Lho, Rene? Mau ke mana?" tanya Nanda dengan tatapan heran. Irene menggeleng pelan. "Mau pulang, Ma." Nanda melepaskan tangan Devan yang merangkul pundaknya, wanita itu langsung menghampiri Irene dengan tatapan memelas. Nesya masih tak rela jika Irene harus pulang sepagi ini. "Sayang, masa pulang sekarang? Kamu belum sarapan, lho. Kita sarapan bareng, ya?" Nanda membujuk Irene dengan lembut. "Irene bisa sarapan di rumah, Ma," sahut perempuan itu dengan raut wajah tak enak. Nanda menggeleng keras, jelas wanita itu menolak keputusan Irene. Bukan bermaksud tak menghargai calon menantunya, tetapi rasanya Nanda enggan berjauhan dengan tu