Hari ini adalah pertunangan Arsen dan Irene.Namun, Irene tampak tertekan.Melihat dengan jelas raut bahagia orang-orang, ia merasa bersalah."Ren!" Seseorang menepuk bahu Irene membuat perempuan itu terkesiap. "Kamu siap, 'kan?" Irene memandang Nesya dengan datar sebelum akhirnya menganggukkan kepala, mengatakan tak siap pun rasanya percuma. Pertunangan itu akan tetap berlanjut. Ketenangan dalam diri Irene membuat banyak orang berpikir bahwa dia sudah siap, tetapi siapa sangka jika tangan perempuan itu begitu dingin. Gestur tubuh Irene benar-benar menipu semua orang. "Sopankah kamu duduk di saat aku berdiri, Sya?" sindir Irene yang dibalas cengiran oleh Nesya membuat Irene menggelengkan kepala. "Kita langsung saja ke puncak acara hari ini yang saya yakin sudah dinantikan oleh para hadirin sekalian. Kepada Arsenio Arvhy Mahardhika dan Irenia Acrola Zienith untuk naik ke atas panggung karena acara tukar cincin akan segera dilakukan." Suara dari pembawa acara berhasil memecah
Irene merenggangkan tubuh, dia merasa lelah sekaligus tubuh perempuan itu terasa pegal. Baru saja acara pertunangannya selesai dan tamu yang datang tak bisa dikatakan sedikit. Eiren melempar tubuhnya di kursi plastik, dia mendudukkan diri sana dengan mata terpejam. Acara yang berlangsung selama hampir sepuluh jam itu berhasil menguras energi dan tenaga Eiren. Irene mengibaskah tangan, dia merasa kepanasan meskipun pendingin ruangan menyala. "Ini serius aku diginiin?" batin Irene sembari memandang sekitar. "Mau pulang?" Irene tersentak, dia menoleh lantas memukul keras lengan Arsen. Kehadiran pria itu benar-benar tanpa tanda-tanda. Mengusap dadanya, Irene memandang Arsen dengan tatapan sayu. Pria dengan wajah datar itu terlihat tampan dan penuh wibawa di matanya saat ini. "Emang boleh?" Irene balik bertanya, perempuan itu takut dikira tidak sopan. "Why not?" balas Arsen dengan satu alis te
"Sejauh ini apa ada keluhan yang terlalu serius, Bu?" Eiren menatap intens seorang wanita berbadan dua di hadapannya. Wanita di hadapan Irene mengangguk perlahan, dia memperbaiki posisi duduknya berusaha untuk nyaman. Wanita itu menatap Irene dengan serius, sedangkan sang suami hanya diam dengan tatapan terfokus pada Irene.. "Saya belakangan ini jadi merasa pusing, Dok. Mual dan muntah juga di pagi hari, tapi yang keluar hanya cairan bening. Itu kenapa ya, Dok?" Irene mengangguk mengerti, perempuan itu mencatat keluhan sang pasien pada rekam medis. Irene mendorong kursinya ke belakang, perempuan itu menatap pasien dengan senyuman manis. "Baik, silakan berjalan ke arah timbangan. Kita cek dahulu berat badan dan tinggi badan, ya. Baru setelahnya kita melakukan USG ya, Bu." Irene mengarahkan dengan suara lembut, perempuan itu membersilakan pasiennya untuk berjalan ke arah timbangan. Irene mel
“Ren .…” “Gak!” "Please, tolongin aku, Ren!" "Kamu gila?! Aku mana mau nikah sama Abang kamu!" tolak Irene dengan cepat. "Lagi pula, kamu tahu betul kalau menikah nggak pernah ada di kamusku!" Kepala Irene rasanya ingin pecah. Kepulangannya ke Indonesia bukan untuk menikah, melainkan mengurus rumah sakit milik keluarganya. Namun, Nesya justru tiba-tiba meminta Irene menikahi kakak laki-lakinya agar tak dijodohkan tiga hari lagi dengan perempuan yang kata sahabatnya itu macam mak lampir? Yang benar saja! Dia bahkan baru tahu sang sahabat memiliki saudara laki-laki hari ini! Luar biasa! "Emangnya, kamu nggak kasihan sama sahabatmu ini, Ren?" "Kenapa harus kasihan? Yang harus nikah itu abangmu, kok," sahut Irene santai. Mata Nesya melotot, dia menghentakkan kaki ke lantai. "Jahat banget kamu, Ren. Tega ...!" Irene memutar malas bola mata. Nesya kembali berdrama dan tak segan untuk duduk di lantai dan menendang-nendang udara persis seperti anak kecil. Namun, Irene s
"Kamu kenapa, Sya? Ini masih pagi lho, Sya. Kenapa udah nangis?” tanya Irene pada akhirnya. “Coba cerita!" Nesya segera melepaskan pelukan mereka. Menghapus air mata yang membasahi wajah, dia menatap Irene dengan sendu. "Kamu beneran nggak mau sama abangku, Ren?" Irene sontak menghela napas panjang. Dia kira masalah ini sudah usai, tetapi nyatanya Nesya kembali membahas hal serupa di pagi hari yang seharusnya bisa Irene nikmati dengan tenang! "Kamu tau sendiri, kalau jalin hubungan romantis nggak pernah ada dalam list aku, Sya!" tegas Irene. "Aku mohon, Ren!" Nesya meraih tangan Irene. "Bantu aku, please ...! Ya, Ren? Iya?" Irene mengacak rambut frustasi. "Kenapa harus aku, Sya?! Kamu bisa minta yang lain, 'kan?" "Aku cuman percaya kamu, Ren buat bantu aku dan Abang buat batalin pernikahan itu," jelas Nesya dengan suara bergetar. Irene menyandarkan tubuh di pintu masuk. Dia memandang Nesya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara perempuan itu memandang Irene den
"Mau sekalian beli beberapa buah atau camilan ringan untuk Nesya gak?" ucap Irene setelah berhasil mengendalikan keinginannya untuk mencelakai kakak sahabatnya itu. "Boleh, sekalian saja," ucap Arsen sebelum akhirnya dia membuka pintu dan keluar dari mobil–meninggalkan Irene begitu saja! "Harusnya aku nggak usah ngebantu Nesya, ternyata abangnya senyebelin ini!" batin Irene. Namun,, apa lagi yang dapat Irene lakukan selain menghela napas panjang dan ikut turun? Perempuan berusia 25 tahun itu lantas segera meraih tasnya dan keluar. Sayangnya, dia disambut suara ketus Arsen. "Jangan lelet!" "Sabar bisa, 'kan?" Irene berucap dengan ketus, wajah perempuan itu berubah datar. Tanpa memperdulikan Irene, Arsen melangkah lebih dulu meninggalkan Irene di belakang. Tindakan Arsen berhasil membuat Irene mengelus dada. Diikutinya pria itu yang mulai memperhatikan banyaknya roti yang terpampang di etalase, sedangkan Irene? Gadis itu hanya berdiri di sebelahnya. Namun, pandangan
Nesya meringis setelah mendengar cerita sang sahabat dan mungkin juga … calon kakak iparnya? Terlebih, saat melihat wajah frustasi Irene yang kini bahkan mulai menggigit bantal miliknya. Namun, Nesya tidak bisa melakukan apa pun. Orang tuanya bisa lebih marah kalau jujur sekarang. “Sya!” Suara Irene tiba-tiba terdengar dan begitu dingin. Nesya menggeleng cepat, dia bahkan enggak untuk sekadar menatap Irene. Perempuan itu benar-benar ketakutan sekarang. "I-itu. Maaf, Ren," cicit Nesya dengan tangan saling meremas. "Semudah itu?" Satu alis Irene terangkat. "Kamu tau sendiri, aku trauma sama pernikahan! Dan kamu malah jadiin aku tumbal?" cerca Irene. Tumbuh dan besar sebagai anak bungsu tak membuat Irene menjadi perempuan manja. Ia bahkan begitu mandiri dan jago mengendalikan diri. Namun, kali ini dia menunjukkan emosinya tanpa halangan. "Maaf, Ren. Aku sendiri nggak tau, kalau jadinya bakal kayak gini." Nesya menunduk, dia memainkan kuku-kuku jarinya. "Terus sekarang g
Irene menghempaskan tubuhnya di kasur–masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ya, dia baru saja pulang ke rumah diantar oleh Arsen. Sebenarnya tadi Devan meminta Irene untuk menginap saja karena sudah larut malam. Namun, perempuan itu menolak karena dia butuh waktu untuk sendiri. Irene mengembuskan napas. "Tuhan kadang-kadang suka kidding, ya." Hari ini, energinya terkuras. Dia bahkan tak ada tenaga untuk memaki sahabatnya lagi. Memperbaiki posisi berbaringnya, Irene menarik selimut sebatas dada. Perempuan itu segera mematikan lampu dan hanya menyalakan lampu tidur yang ada di salah satu nakas, lalu memilih tertidur. Sebab, dirinya harus ke rumah sakit besok. Entah berapa lama dia tertidur, Irene tak menghitung. Yang jelas, Irene terbangun kala mendengar dering ponselnya begitu nyaring. Irene sontak mencari ponsel pintar yang dia letakkan di nakas. Namun, kening perempuan itu mengerut saat melihat nomor tak dikenal menghubungi dirinya. "Hallo. Maaf, sia