Ting!
Suara notifikasi ponsel membuat Arsen segera meraih ponselnya. Satu pesan masuk dia dapatkan, Arsen mengabaikan pesan itu. Pria itu memilih untuk membuka akun m-banking miliknya. Setelah urusannya selesai, pria itu kembali mematikan ponselnya dan memejamkan mata. "Hidup terlalu lucu," gumam pria itu dengan mata terpejam. Di tempat berbeda, Irene membanting tubuhnya di kasur. Perempuan itu menarik napas panjang, dia merasa sungguh lelah hari ini. Apa yang terjadi di kediaman Mahardhika hari ini berhasil membuat emosi Irene memuncak. Arsen, pria itu menarik Irene ke kamarnya dan memeluk Irene dengan erat. Dia bahkan melarang Irene untuk pergi dan beranjak di kasur, selama satu hari itu Irene dikurung di kamar Arsen. Hal yang lebih menyebalkan adalah saat Nesya menertawakan dirinya yang membuat Irene semakin kesal. "Sialan banget itu cowok! Dia kenapa, sih?!" gerutu Irene dengan wajah kesal.<Irene meraih ponselnya yang terus berdering, dia menaikkan sebelah alisnya saat melihat panggilan suara itu dari Nesya. Membuang napas panjang, Irene mengangkat telepon itu dan menempelkan ponselnya ke telinga. "Hm? Kenapa?" tanya Irene seraya berjalan ke meja rias. "Kamu harus tau, kalau aku kesel banget sama Abang!" "Arsen? Ngapain kamu?" Kening Irene berkerut, dia mengambil micellar water dan kapas, Irene lantas mendudukkan diri di kursi. Di seberang sana, Nesya mengembuskan napas panjang. Perempuan itu meremas kuat bantal yang ada di pahanya, apa yang Arsen lakukan benar-benar masih mengganggu pikiran Nesya. "Abang ngasih duit ke mantan istrinya!" adu Nesya seolah dia memang tengah mengadukan kelakuan Arsen pada tunangannya sendiri. Uhuk! Irene terbatuk, kapas yang sedari membersihkan mukanya juga terjatuh. Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya.
Irene membuka mata perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah Arsen yang memeluknya dengan erat. Irene menunduk, dia memandang Arsen yang tertidur pulas dengan kenapa menempel di dadanya. Entah dorongan darimana, tangan Irene terangkat mengelus rambut Arsen dengan erat. "Pasti habis ini dia pusing," gumam Irene. Sejujurnya, perempuan itu sedikit terkejut dengan kehadiran Arsen tengah malam dalam kondisi mabuk. Pria itu bahkan berulang kali memberikan tanda di leher dan sekitar dada Irene. Mata Irene melotot mengingat hal itu, dia segera menunduk memandangi dadanya yang penuh bercak merah. Membuang napas panjang, Irene memandang nanar dadanya itu. "Kenapa semalam nggak aku ketok pakai panci aja kepala ini orang?" kesal Irene seraya memandangi Arsen dengan sinis. "Jangan berbuat kekerasan pada tunangan sendiri," celetuk Arsen dengan suara serak. Irene mendelik saat pelukan Arsen
Nesya memandang seorang perempuan berusia 20 tahun di hadapannya, perempuan itu memandang Nesya dengan tatapan takut. Keputusan yang dia buat untuk datang ke Psikiater tentu bukanlah keputusan yang mudah, ada banyak pergejolakan batin yang dia rasakan saat ini. Nesya berdeham, dia mengubah posisi duduknya menjadi senyaman mungkin. Kedua sudut bibir perempuan itu tertarik membentuk sebuah senyuman manis. "Hallo, Resti! Gimana hari kamu? Dalam kondisi baik?" Nesya lebih dulu memulai percakapan. Perempuan di hadapannya yang bernama Resti itu tersenyum kaku, sedangkan Nesya meneliti raut wajah perempuan yang menjadi pasiennya itu, wajah yang murung dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pun tubuh Resti yang terbilang begitu kurus kering. "Kurang baik, Dok ...," lirih Resti. Nesya tersenyum simpul. "It's okay, kita memang perlu hari yang buruk. Kira-kira hal apa yang buat kamu kurang baik?"
"Dok, ada pasien yang mengalami kecelakaan dan dia dalam kondisi hamil." Irene langsung mendongak, perempuan itu segera berdiri dan mengambil sneli yang menggantung di kursinya. Dengan tergesa-gesa Irene memakai snelinya. "Minta Dokter Bedah, Anak, dan Anestesi siap-siap. Kita akan lakukan tindakan operasi Caesar jika diperlukan!" titah Irene. Suster itu mengangguk, dia berlari ke luar. Sementara Irene berjalan dengan tergesa-gesa bersama suster lainnya untuk memasuki ruang operasi. "Perkiraan usia kandungannya delapan bulan, Dok," ucap Suster Rahma. "Kemungkinan kita bakal lakuin Caesar," balas Irene yang diangguki oleh Rahma. Mereka memasuki ruang operasi. Irene segera memasang stetoskop di telinganya, perempuan itu mengecek kondisi jantung dan pernapasan pasien. Perempuan itu beralih mengecek kondisi janin pasien yang terbaring lemah di meja operasi. "Bersihk
Irene baru saja selesai makan malam, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Dia mencari remote telivisi lantas menyalakan televisi meskipun tak tahu ingin menonton apa, tetapi perempuan itu tetap membiarkan televisi menyala. Suara bel membuat Irene mengerutkan kening, dia segera berdiri dan berjalan mendekati pintu masuk. Perempuan itu membuka pintu rumahnya dan melihat Nesya yang berdiri di depan pintu dengan senyuman lebar. "Kamu malem-malem ke sini ngapain?" tanya Irene dengan satu alis terangkat. "Bosen." Nesya menggeser tubuh Irene sedikit kasar lantas memasuki rumah perempuan itu yang membuat sang empunya mendengus kesal. "Ya udah, aku putuskan untuk ke rumah kamu hehe ...." "Terus gunanya kamu ada Abang apa?" Irene mendengus kembali, dia berjalan mengikuti langkah Nesya. "Abang di rumah bareng temennya, Mama sama Papa lagi pergi ke pesta sahabat Papa. Ya udah, aku ke sini," balas Nesya. Irene meraup kasar wajahnya, dia mendudukkan diri di samping Nesya. Irene me
Irene menuruni tangga secara perlahan, perempuan itu baru saja bangun tidur. Saat dia terbangun, Irene tak melihat ada Nesya di sebelahnya, mungkin saja sahabatnya itu telah kembali ke rumahnya sendiri. Menarik napas panjang, Irene membuka kulkas dan meminum air dingin yang ada di botol hingga tersisa setengah. Perempuan itu menutup kembali botol dan meletakkannya di dalam kulkas, dia menutup kulkas lantas mengikat asal rambutnya. "Enaknya makan apa ya?" Perempuan itu mendesah panjang. "Sarapan di kantin rumah sakit ajalah." Dia berjalan ke luar dapur, tetapi ponsel Irene berdering membuat langkah perempuan itu terhenti. Dia mengerutkan kening saat mendapatkan panggilan masuk dari seseorang. "Iya, Pi?" "Papi denger kamu mengubah beberapa peraturan rumah sakit." Irene menarik kursi yang ada di meja makan, perempuan itu mendudukkan diri di sana. Dia mengambil satu buah apel dan menggigitnya. "Iya, terutama standar operasional kita dalam penanganan pa
"Jadi Anda memutuskan untuk melakukan bayi tabung?" Kedua pasangan di hadapan Irene mengangguk lan, sedangkan Irene menghela napas panjang. Dia tak masalah jika ada yang ingin melakukan bayi tabung, tetapi di hadapan perempuan itu justru pasangan sesama jenis yang membuat Irene harus berpikir keras. "Sebelumnya, mohon maaf. Bayi tabung sendiri belum bisa dilakukan di rumah sakit kami, silakan kalian mencari rumah sakit lain." Salah satu dari mereka menggeleng keras. "Bukan saya dan dia, Dok! Melainkan saya dan istri saya, sebentar istri saya sedang ke kamar mandi." Irene yang mendengar itu melototkan mata, dia sungguh merasa malu sekarang. Irene tersenyum canggung, sedangkan perawat di sebelah perempuan itu menundukkan kepala menahan malu. Sebenarnya wajar saja jika mereka salah paham, tetapi tetap saja rasanya malu. Tak berselang lama, pintu ruangan Irene dibuka. Seorang wanita anggun memasuki ruangan Irene dengan senyuman manis, salah satu pria berdiri dan me
“Ren .…” “Gak!” "Please, tolongin aku, Ren!" "Kamu gila?! Aku mana mau nikah sama Abang kamu!" tolak Irene dengan cepat. "Lagi pula, kamu tahu betul kalau menikah nggak pernah ada di kamusku!" Kepala Irene rasanya ingin pecah. Kepulangannya ke Indonesia bukan untuk menikah, melainkan mengurus rumah sakit milik keluarganya. Namun, Nesya justru tiba-tiba meminta Irene menikahi kakak laki-lakinya agar tak dijodohkan tiga hari lagi dengan perempuan yang kata sahabatnya itu macam mak lampir? Yang benar saja! Dia bahkan baru tahu sang sahabat memiliki saudara laki-laki hari ini! Luar biasa! "Emangnya, kamu nggak kasihan sama sahabatmu ini, Ren?" "Kenapa harus kasihan? Yang harus nikah itu abangmu, kok," sahut Irene santai. Mata Nesya melotot, dia menghentakkan kaki ke lantai. "Jahat banget kamu, Ren. Tega ...!" Irene memutar malas bola mata. Nesya kembali berdrama dan tak segan untuk duduk di lantai dan menendang-nendang udara persis seperti anak kecil. Namun, Irene s
"Jadi Anda memutuskan untuk melakukan bayi tabung?" Kedua pasangan di hadapan Irene mengangguk lan, sedangkan Irene menghela napas panjang. Dia tak masalah jika ada yang ingin melakukan bayi tabung, tetapi di hadapan perempuan itu justru pasangan sesama jenis yang membuat Irene harus berpikir keras. "Sebelumnya, mohon maaf. Bayi tabung sendiri belum bisa dilakukan di rumah sakit kami, silakan kalian mencari rumah sakit lain." Salah satu dari mereka menggeleng keras. "Bukan saya dan dia, Dok! Melainkan saya dan istri saya, sebentar istri saya sedang ke kamar mandi." Irene yang mendengar itu melototkan mata, dia sungguh merasa malu sekarang. Irene tersenyum canggung, sedangkan perawat di sebelah perempuan itu menundukkan kepala menahan malu. Sebenarnya wajar saja jika mereka salah paham, tetapi tetap saja rasanya malu. Tak berselang lama, pintu ruangan Irene dibuka. Seorang wanita anggun memasuki ruangan Irene dengan senyuman manis, salah satu pria berdiri dan me
Irene menuruni tangga secara perlahan, perempuan itu baru saja bangun tidur. Saat dia terbangun, Irene tak melihat ada Nesya di sebelahnya, mungkin saja sahabatnya itu telah kembali ke rumahnya sendiri. Menarik napas panjang, Irene membuka kulkas dan meminum air dingin yang ada di botol hingga tersisa setengah. Perempuan itu menutup kembali botol dan meletakkannya di dalam kulkas, dia menutup kulkas lantas mengikat asal rambutnya. "Enaknya makan apa ya?" Perempuan itu mendesah panjang. "Sarapan di kantin rumah sakit ajalah." Dia berjalan ke luar dapur, tetapi ponsel Irene berdering membuat langkah perempuan itu terhenti. Dia mengerutkan kening saat mendapatkan panggilan masuk dari seseorang. "Iya, Pi?" "Papi denger kamu mengubah beberapa peraturan rumah sakit." Irene menarik kursi yang ada di meja makan, perempuan itu mendudukkan diri di sana. Dia mengambil satu buah apel dan menggigitnya. "Iya, terutama standar operasional kita dalam penanganan pa
Irene baru saja selesai makan malam, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Dia mencari remote telivisi lantas menyalakan televisi meskipun tak tahu ingin menonton apa, tetapi perempuan itu tetap membiarkan televisi menyala. Suara bel membuat Irene mengerutkan kening, dia segera berdiri dan berjalan mendekati pintu masuk. Perempuan itu membuka pintu rumahnya dan melihat Nesya yang berdiri di depan pintu dengan senyuman lebar. "Kamu malem-malem ke sini ngapain?" tanya Irene dengan satu alis terangkat. "Bosen." Nesya menggeser tubuh Irene sedikit kasar lantas memasuki rumah perempuan itu yang membuat sang empunya mendengus kesal. "Ya udah, aku putuskan untuk ke rumah kamu hehe ...." "Terus gunanya kamu ada Abang apa?" Irene mendengus kembali, dia berjalan mengikuti langkah Nesya. "Abang di rumah bareng temennya, Mama sama Papa lagi pergi ke pesta sahabat Papa. Ya udah, aku ke sini," balas Nesya. Irene meraup kasar wajahnya, dia mendudukkan diri di samping Nesya. Irene me
"Dok, ada pasien yang mengalami kecelakaan dan dia dalam kondisi hamil." Irene langsung mendongak, perempuan itu segera berdiri dan mengambil sneli yang menggantung di kursinya. Dengan tergesa-gesa Irene memakai snelinya. "Minta Dokter Bedah, Anak, dan Anestesi siap-siap. Kita akan lakukan tindakan operasi Caesar jika diperlukan!" titah Irene. Suster itu mengangguk, dia berlari ke luar. Sementara Irene berjalan dengan tergesa-gesa bersama suster lainnya untuk memasuki ruang operasi. "Perkiraan usia kandungannya delapan bulan, Dok," ucap Suster Rahma. "Kemungkinan kita bakal lakuin Caesar," balas Irene yang diangguki oleh Rahma. Mereka memasuki ruang operasi. Irene segera memasang stetoskop di telinganya, perempuan itu mengecek kondisi jantung dan pernapasan pasien. Perempuan itu beralih mengecek kondisi janin pasien yang terbaring lemah di meja operasi. "Bersihk
Nesya memandang seorang perempuan berusia 20 tahun di hadapannya, perempuan itu memandang Nesya dengan tatapan takut. Keputusan yang dia buat untuk datang ke Psikiater tentu bukanlah keputusan yang mudah, ada banyak pergejolakan batin yang dia rasakan saat ini. Nesya berdeham, dia mengubah posisi duduknya menjadi senyaman mungkin. Kedua sudut bibir perempuan itu tertarik membentuk sebuah senyuman manis. "Hallo, Resti! Gimana hari kamu? Dalam kondisi baik?" Nesya lebih dulu memulai percakapan. Perempuan di hadapannya yang bernama Resti itu tersenyum kaku, sedangkan Nesya meneliti raut wajah perempuan yang menjadi pasiennya itu, wajah yang murung dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pun tubuh Resti yang terbilang begitu kurus kering. "Kurang baik, Dok ...," lirih Resti. Nesya tersenyum simpul. "It's okay, kita memang perlu hari yang buruk. Kira-kira hal apa yang buat kamu kurang baik?"
Irene membuka mata perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah Arsen yang memeluknya dengan erat. Irene menunduk, dia memandang Arsen yang tertidur pulas dengan kenapa menempel di dadanya. Entah dorongan darimana, tangan Irene terangkat mengelus rambut Arsen dengan erat. "Pasti habis ini dia pusing," gumam Irene. Sejujurnya, perempuan itu sedikit terkejut dengan kehadiran Arsen tengah malam dalam kondisi mabuk. Pria itu bahkan berulang kali memberikan tanda di leher dan sekitar dada Irene. Mata Irene melotot mengingat hal itu, dia segera menunduk memandangi dadanya yang penuh bercak merah. Membuang napas panjang, Irene memandang nanar dadanya itu. "Kenapa semalam nggak aku ketok pakai panci aja kepala ini orang?" kesal Irene seraya memandangi Arsen dengan sinis. "Jangan berbuat kekerasan pada tunangan sendiri," celetuk Arsen dengan suara serak. Irene mendelik saat pelukan Arsen
Irene meraih ponselnya yang terus berdering, dia menaikkan sebelah alisnya saat melihat panggilan suara itu dari Nesya. Membuang napas panjang, Irene mengangkat telepon itu dan menempelkan ponselnya ke telinga. "Hm? Kenapa?" tanya Irene seraya berjalan ke meja rias. "Kamu harus tau, kalau aku kesel banget sama Abang!" "Arsen? Ngapain kamu?" Kening Irene berkerut, dia mengambil micellar water dan kapas, Irene lantas mendudukkan diri di kursi. Di seberang sana, Nesya mengembuskan napas panjang. Perempuan itu meremas kuat bantal yang ada di pahanya, apa yang Arsen lakukan benar-benar masih mengganggu pikiran Nesya. "Abang ngasih duit ke mantan istrinya!" adu Nesya seolah dia memang tengah mengadukan kelakuan Arsen pada tunangannya sendiri. Uhuk! Irene terbatuk, kapas yang sedari membersihkan mukanya juga terjatuh. Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya.
Ting! Suara notifikasi ponsel membuat Arsen segera meraih ponselnya. Satu pesan masuk dia dapatkan, Arsen mengabaikan pesan itu. Pria itu memilih untuk membuka akun m-banking miliknya. Setelah urusannya selesai, pria itu kembali mematikan ponselnya dan memejamkan mata. "Hidup terlalu lucu," gumam pria itu dengan mata terpejam. Di tempat berbeda, Irene membanting tubuhnya di kasur. Perempuan itu menarik napas panjang, dia merasa sungguh lelah hari ini. Apa yang terjadi di kediaman Mahardhika hari ini berhasil membuat emosi Irene memuncak. Arsen, pria itu menarik Irene ke kamarnya dan memeluk Irene dengan erat. Dia bahkan melarang Irene untuk pergi dan beranjak di kasur, selama satu hari itu Irene dikurung di kamar Arsen. Hal yang lebih menyebalkan adalah saat Nesya menertawakan dirinya yang membuat Irene semakin kesal. "Sialan banget itu cowok! Dia kenapa, sih?!" gerutu Irene dengan wajah kesal.
Irene menggerutu, ingin sekali rasanya dia mengutuk Arsen yang telah membuatnya terjebak dalam percakapan menegangkan bersama Nesya. Irene berdecak kesal, tetapi raut wajah perempuan itu berubah ramah saat melihat Devan menuruni tangga bersama Nanda. "Lho, Rene? Mau ke mana?" tanya Nanda dengan tatapan heran. Irene menggeleng pelan. "Mau pulang, Ma." Nanda melepaskan tangan Devan yang merangkul pundaknya, wanita itu langsung menghampiri Irene dengan tatapan memelas. Nesya masih tak rela jika Irene harus pulang sepagi ini. "Sayang, masa pulang sekarang? Kamu belum sarapan, lho. Kita sarapan bareng, ya?" Nanda membujuk Irene dengan lembut. "Irene bisa sarapan di rumah, Ma," sahut perempuan itu dengan raut wajah tak enak. Nanda menggeleng keras, jelas wanita itu menolak keputusan Irene. Bukan bermaksud tak menghargai calon menantunya, tetapi rasanya Nanda enggan berjauhan dengan tu