Share

Tunangan Kontrak CEO Duda
Tunangan Kontrak CEO Duda
Penulis: Cacans Aya

Bab 1. Hah?

“Ren .…”

“Gak!”

"Please, tolongin aku, Ren!"

"Kamu gila?! Aku mana mau nikah sama Abang kamu!" tolak Irene dengan cepat. "Lagi pula, kamu tahu betul kalau menikah nggak pernah ada di kamusku!"

Kepala Irene rasanya ingin pecah. Kepulangannya ke Indonesia bukan untuk menikah, melainkan mengurus rumah sakit milik keluarganya. Namun, Nesya justru tiba-tiba meminta Irene menikahi kakak laki-lakinya agar tak dijodohkan tiga hari lagi dengan perempuan yang kata sahabatnya itu macam mak lampir?

Yang benar saja! Dia bahkan baru tahu sang sahabat memiliki saudara laki-laki hari ini!

Luar biasa!

"Emangnya, kamu nggak kasihan sama sahabatmu ini, Ren?"

"Kenapa harus kasihan? Yang harus nikah itu abangmu, kok," sahut Irene santai.

Mata Nesya melotot, dia menghentakkan kaki ke lantai. "Jahat banget kamu, Ren. Tega ...!"

Irene memutar malas bola mata. Nesya kembali berdrama dan tak segan untuk duduk di lantai dan menendang-nendang udara persis seperti anak kecil.

Namun, Irene sama sekali tak bergeming, hingga sahabatnya itu tersadar bahwa triknya gagal.

"Umur kamu udah 25 tahun, Ren. Masa kamu nggak mau nikah, sih?!" Tiba-tiba saja Nesya berdiri dan menunjuknya, kesal.

"Memang, kamu sendiri sudah menikah, Sya?"

Nesya seketika terdiam.

Irene berhasil membuat dirinya mati kutu!

Tapi, itu tak lama karena Nesya tiba-tiba memberikan tatapan penuh arti pada Irene.

"Lihat aja kamu, Ren. Kamu pikir aku bakal nyerah?" batinnya diam-diam.

Senyum terbit seketika di wajahnya kala ponselnya bergetar.

Tet!

Bersamaan dengan itu, suara bel dipencet.

Irene sontak menoleh ke arah sang sahabat, mengira ada sesuatu yang dilakukannya.

Sayangnya, Nesya hanya menggeleng dengan raut wajah polos–seolah tak mengerti.

"Siapa sih yang bertamu?" gerutu Irene dengan kesal.

Menghela napas panjang, dia segera berdiri dan berjalan menuju pintu, sedangkan Nesya menutup mulut menahan tawa.

Perempuan itu segera membuka pintu.

"Cari—" Ucapan Irene menggantung begitu saja, mata perempuan itu berkedip lambat dengan mulut terbuka.

"Hallo?" Sebuah lambaian tangan di depan wajah Irene berhasil membuat perempuan itu kembali tersadar.

Irene berdeham pelan, dia kembali menormalkan mimik wajahnya. Perempuan itu memandang heran sosok pria yang kini juga menatap dirinya dengan heran.

"Maaf, cari siapa?" tanya Irene.

"Nesya, ada?" balas pria itu.

Alis Irene menyatu, baru saja hendak menjawab. Namun, kepala Nesya sudah muncul dari balik tubuhnya dengan cengiran menyebalkan khas seorang Nesya.

“Abang!”

Irene segera memutar tubuh menghadap Nesya, perempuan itu mencubit pelan tangan Nesya. "Kamu gila?! Kamu ngundang siapa ke sini, sih?!" bisiknya.

"Aku minta jemput abangku sendiri. Emang salah?" balas Nesya tenang.

Rahang Irene terjatuh, terlebih melihat Nesya yang memeletkan lidah–membuat emosinya mendidih di puncak kepalanya.

Meski demikian, ditahannya diri.

Gadis itu menghela napas kesal sebelum akhirnya memutar tubuh menghadap pria itu. "Silakan masuk!"

Pria itu menaikkan satu alis. "Tidak perlu, saya hanya ingin menjemput Adik saya."

"Tunggu! Bang Arsen emang nggak mau kenalan sama sahabat aku dulu?" tawar Nesya, perempuan itu kembali menjalankan misi.

"Ini sudah sore, Nesya. Ayo, pulang!" tolak Arsen dengan tatapan tajam.

"Aduh ..., Abang! Aku pengen ke kamar mandi, kebelet berak nih. Abang ngobrol dulu aja sama sahabat aku, ya!" Nesya berucap buru-buru.

Perempuan itu langsung lari menjauhi keduanya!

Irene pusing sendiri dengan tingkah sang sahabat.

Irene mengusap leher, dia merasa canggung karena bingung harus bereaksi apa.

“Ekhem.” Dia lantas berdeham singkat, kedua sudut bibir Irene terpaksa tertarik ke atas dan membentuk senyuman simpul sembari menunjuk sebuah kursi yang memang ada di teras. "Silakan Anda duduk terlebih dahulu, ingin di luar atau di dalam?"

"Di sini saja," balas Arsen.

Irene menganggukkan kepala mengerti. "Akan saya buatkan minum, sebentar."

Gadis itu lantas membalikkan badan ingin kembali masuk ke dalam rumah, tetapi Arsen menahan tangan perempuan itu.

Hal tak terduga yang dilakukan Arsen berhasil membuat tubuh Irene membeku bak sebuah es, sedangkan Arsen tetap tenang.

Netra pria itu bahkan tanpa ragu memandangi netra cokelat milik Irene.

"Tidak perlu, sebentar lagi anak nakal itu pasti kembali."

Irene otomatis mengangguk kaku sebagai respon karena tak tahu harus berbuat apa?

Keduanya seketika terdiam dalam keadaan canggung, hingga suara dehaman Nesya yang tiba-tiba berhasil menyadarkan keduanya.

“Ekhem ... kok pegangan tangan?”

Arsen yang tersadar–segera melepas cekalan tangannya, sedangkan Irene membuang muka.

Nesya yang melihat itu tersenyum miring, perempuan itu berusaha menahan untuk tidak memekik.

Kepala Nesya maju perlahan, embusan napas Nesya di leher kirinya berhasil membuat Irene keheranan.

"Kamu yakin mau nolak setelah ketemu abangku?" bisiknya.

"Nesya!" tekan Irene meskipun suaranya tak kalah kecil dari sang sahabat, mata perempuan itu melotot kesal.

Sialnya, Arsen masih mendengar apa yang keduanya bisikan. Pria itu berdeham keras, berusaha menarik atensi dua perempuan di hadapannya ini.

Irene segera membuang muka, sedangkan Nesya tersenyum tipis.

Dia segera berdiri di sisi Arsen, senyuman manis Nesya nyaris membuat Irene muntah.

Perempuan itu bahkan memutar malas bola matanya, kesal sendiri dengan tingkah Nesya.

"Aku pulang dulu ya, Ren. Besok kita ketemu lagi," pamit Nesya dengan senyuman manis lantas menarik Arsen untuk segera menjauh dari sana.

Irene sontak menghembuskan napas lega.

Perempuan itu memandang kepergian mobil Alphard itu dari perkarangan rumahnya.

"Kenapa punya temen gila gitu, sih?!" Irene menggelengkan kepala tak habis pikir untuk beristirahat dan menenangkan diri.

Sayangnya, ia tak menyangka kalau temannya itu akan kembali pagi-pagi buta sembari menangis ke rumahnya.

“Irene!”

Nesya tiba-tiba menubruk tubuh Irene dan memeluknya erat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status