Share

Bab 3. Rencana ini....

"Mau sekalian beli beberapa buah atau camilan ringan untuk Nesya gak?" ucap Irene setelah berhasil mengendalikan keinginannya untuk mencelakai kakak sahabatnya itu.

"Boleh, sekalian saja," ucap Arsen sebelum akhirnya dia membuka pintu dan keluar dari mobil–meninggalkan Irene begitu saja!

"Harusnya aku nggak usah ngebantu Nesya, ternyata abangnya senyebelin ini!" batin Irene.

Namun,, apa lagi yang dapat Irene lakukan selain menghela napas panjang dan ikut turun?

Perempuan berusia 25 tahun itu lantas segera meraih tasnya dan keluar.

Sayangnya, dia disambut suara ketus Arsen. "Jangan lelet!"

"Sabar bisa, 'kan?" Irene berucap dengan ketus, wajah perempuan itu berubah datar.

Tanpa memperdulikan Irene, Arsen melangkah lebih dulu meninggalkan Irene di belakang.

Tindakan Arsen berhasil membuat Irene mengelus dada.

Diikutinya pria itu yang mulai memperhatikan banyaknya roti yang terpampang di etalase, sedangkan Irene?

Gadis itu hanya berdiri di sebelahnya. Namun, pandangan perempuan itu berfokus pada salah dessert dengan rasa matcha.

Makanan favorit perempuan itu berhasil membuatnya tergiur.

"Enaknya belikan yang mana?" tanya Arsen berhasil membuat Irene tersadar.

"Ha?" Irene gelagapan, dia lantas menatap barisan dessert dan roti itu. "Oh, beliin aja yang jadi kesukaan mereka biar kemakan," lanjut perempuan itu.

Arsen menatap Irene lekat. "Kamu belilah apa yang kamu inginkan, biar saya bayar," cetusnya sebelum akhirnya mengambil beberapa dessert untuk keluarganya.

"Eh, nggak perlu! Aku bisa bayar sendiri," balas Irene dengan kepala menggeleng.

"Kamu ke sini dengan saya yang berarti kamu tanggung jawab saya!" tegas Arsen.

Irene mengangguk lantas menghela napas panjang. "Iya, oke-oke!" pasrah perempuan itu.

Tak terasa, keduanya telah selesai membeli apa yang mereka butuhkan dan langsung memasuki mobil.

Arsen segera meletakkan apa yang dia beli di kursi belakang, sedangkan Irene memilih menikmati apa yang dia beli tanpa memperdulikan Arsen.

Anggap saja Irene tengah balas dendam sekarang.

Di sisi lain, Arsen menggelengkan kepala melihat tingkah Irene yang menurutnya seperti anak kecil yang tengah menikmati sepotong dessert.

Pria itu segera memakai sabuk pengaman dan menjalankan mobilnya menjauh dari sana menuju kediaman Mahardika.

Sayangnya, Irene tak tahu jika sesekali Arsen meliriknya dan menggelengkan kepala karena Irene persis seperti sang adik jika sedang makan sesuatu.

Untungnya, tak lama kemudian mereka tiba di tempat tujuan.

Keduanya pun turun.

Irene juga mulai memandang sekitar. Banyak aksesoris baru yang menghiasi setiap dinding rumah.

Dikarenakan tidak fokus, Irene menabrak punggung Arsen yang ternyata telah lebih dulu berhenti. Namun, belum sempat memproses semua, Arsen tiba-tiba merangkul mesra pinggang Irene?

"Ma, Pa ...!"

Irene sontak melihat ke arah dua orang paruh baya sontak saja menoleh.

Mereka tampak mengerutkan kening saat melihat kehadiran perempuan yang tak asing di mata mereka dan tangan sang putra yang melingkar di pinggang perempuan itu. Akan tetapi, Arsen sama sekali tak memperdulikan hal tersebut.

"Dia siapa, Bang?" tanya Ibu dari Arsen dan Nesya itu, bingung.

Arsen tersenyum tipis. "Dia, dia pacar Abang, Ma, Pa."

"Pacar?!" seru kedua paruh baya itu terkejut, mereka secara spontan berdiri.

Irene tersenyum kaku, dia mengusap leher belakangnya.

Tanpa diminta oleh Arsen, perempuan itu melangkah mendekati Nanda dan juga Devon yang merupakan orang tua Arsen dan juga Nesya.

Prempuan itu menyalami tangan Devon dan juga Nanda. "Hallo, Om, Tante. Lama nggak ketemu," sapa Irene dengan canggung.

"Lama nggak ketemu?" Devon mengangkat sebelah alis. "Kamu siapa? Maksudnya, saya tahu kamu pasangan anak saya. Tapi memangnya kita pernah bertemu?"

Irene mengusap leher belakangnya, dia mengangguk pelan. "Saya Irene, Om. Sahabatnya Nesya dari SMP," jawabnya.

"Lho, kamu, Ren?! Sejak kapan kamu pacaran sama anak sulung Tante?" Nanda membulatkan mata terkejut, dia memandang heran sahabat anaknya itu.

Irene membulatkan mata terkejut mendapatkan sebuah pertanyaan yang tak dia duga, perempuan itu menggigit bibir bawahnya.

Dia berharap Arsen paham akan kode yang diberikan, tetapi pria itu justru membuang muka membuat Irene melongo.

Rasanya, penyesalan untuk membantu Nesya naik 1000 persen!

"A—anu, itu, em ...." Irene kehilangan kata-kata.

"Ma, Pa, kenapa pacar Abang ditanya-tanya? Harusnya kalian suruh duduk dulu," celetuk Arsen sembari mendekat membuat Irene menghela napas panjang.

"Oh iya!" Nanda menepuk kening. "Duduk dulu, Cantik. Biar Mama buatin minuman khusus untuk kamu."

Irene tersenyum canggung, perempuan itu mendudukkan diri di sebelah Arsen. Dia berusaha untuk menyamankan dirinya, kedua tangan Irene bertumpu pada paha. Perempuan itu juga berusaha mempertahankan senyuman manisnya saat Devon menatap dirinya.

"Kamu kenapa baru bawa pacar, Bang? Pernikahan kamu gimana?" tanya Devon dengan mimik wajah serius.

Arsen menghela napas panjang, pria itu itu memperbaiki posisi duduknya.

Dia memandang Devon dengan raut wajah serius, sedangkan Irene memilih untuk diam dan memandang lurus ke depan. Dia cukup sadar tak ada hak untuk ikut campur.

"Maafin Abang, Pa. Abang tau Abang salah, seharusnya dari awal Abang kasih tau kalian," sesal Arsen.

"Terus sekarang Papa harus gimana?" Devon menarik napas panjang.

"Abang yang akan bicara sama mereka, Abang siap nanggung resikonya," balas Arsen.

Devon memijat pangkal hidungnya.

Masalahnya tak pernah semudah itu, undangan bahkan sudah disebar.

Namun, Arsen justru dengan tiba-tiba membawa seorang perempuan yang katanya seorang kekasih?

"Masalahnya bukan itu, Bang. Masalahnya undangan pernikahan kamu udah disebar, nama keluarga yang bakalan jelek nantinya. Kecuali kamu menikah dengan Irene."

"Ha ...?! Nikah?!" Kali ini, Irene tak bisa menahan teriakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status