"Mau sekalian beli beberapa buah atau camilan ringan untuk Nesya gak?" ucap Irene setelah berhasil mengendalikan keinginannya untuk mencelakai kakak sahabatnya itu.
"Boleh, sekalian saja," ucap Arsen sebelum akhirnya dia membuka pintu dan keluar dari mobil–meninggalkan Irene begitu saja! "Harusnya aku nggak usah ngebantu Nesya, ternyata abangnya senyebelin ini!" batin Irene. Namun,, apa lagi yang dapat Irene lakukan selain menghela napas panjang dan ikut turun? Perempuan berusia 25 tahun itu lantas segera meraih tasnya dan keluar. Sayangnya, dia disambut suara ketus Arsen. "Jangan lelet!" "Sabar bisa, 'kan?" Irene berucap dengan ketus, wajah perempuan itu berubah datar. Tanpa memperdulikan Irene, Arsen melangkah lebih dulu meninggalkan Irene di belakang. Tindakan Arsen berhasil membuat Irene mengelus dada. Diikutinya pria itu yang mulai memperhatikan banyaknya roti yang terpampang di etalase, sedangkan Irene? Gadis itu hanya berdiri di sebelahnya. Namun, pandangan perempuan itu berfokus pada salah dessert dengan rasa matcha. Makanan favorit perempuan itu berhasil membuatnya tergiur. "Enaknya belikan yang mana?" tanya Arsen berhasil membuat Irene tersadar. "Ha?" Irene gelagapan, dia lantas menatap barisan dessert dan roti itu. "Oh, beliin aja yang jadi kesukaan mereka biar kemakan," lanjut perempuan itu. Arsen menatap Irene lekat. "Kamu belilah apa yang kamu inginkan, biar saya bayar," cetusnya sebelum akhirnya mengambil beberapa dessert untuk keluarganya. "Eh, nggak perlu! Aku bisa bayar sendiri," balas Irene dengan kepala menggeleng. "Kamu ke sini dengan saya yang berarti kamu tanggung jawab saya!" tegas Arsen. Irene mengangguk lantas menghela napas panjang. "Iya, oke-oke!" pasrah perempuan itu. Tak terasa, keduanya telah selesai membeli apa yang mereka butuhkan dan langsung memasuki mobil. Arsen segera meletakkan apa yang dia beli di kursi belakang, sedangkan Irene memilih menikmati apa yang dia beli tanpa memperdulikan Arsen. Anggap saja Irene tengah balas dendam sekarang. Di sisi lain, Arsen menggelengkan kepala melihat tingkah Irene yang menurutnya seperti anak kecil yang tengah menikmati sepotong dessert. Pria itu segera memakai sabuk pengaman dan menjalankan mobilnya menjauh dari sana menuju kediaman Mahardika. Sayangnya, Irene tak tahu jika sesekali Arsen meliriknya dan menggelengkan kepala karena Irene persis seperti sang adik jika sedang makan sesuatu. Untungnya, tak lama kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Keduanya pun turun. Irene juga mulai memandang sekitar. Banyak aksesoris baru yang menghiasi setiap dinding rumah. Dikarenakan tidak fokus, Irene menabrak punggung Arsen yang ternyata telah lebih dulu berhenti. Namun, belum sempat memproses semua, Arsen tiba-tiba merangkul mesra pinggang Irene? "Ma, Pa ...!" Irene sontak melihat ke arah dua orang paruh baya sontak saja menoleh. Mereka tampak mengerutkan kening saat melihat kehadiran perempuan yang tak asing di mata mereka dan tangan sang putra yang melingkar di pinggang perempuan itu. Akan tetapi, Arsen sama sekali tak memperdulikan hal tersebut. "Dia siapa, Bang?" tanya Ibu dari Arsen dan Nesya itu, bingung. Arsen tersenyum tipis. "Dia, dia pacar Abang, Ma, Pa." "Pacar?!" seru kedua paruh baya itu terkejut, mereka secara spontan berdiri. Irene tersenyum kaku, dia mengusap leher belakangnya. Tanpa diminta oleh Arsen, perempuan itu melangkah mendekati Nanda dan juga Devon yang merupakan orang tua Arsen dan juga Nesya. Prempuan itu menyalami tangan Devon dan juga Nanda. "Hallo, Om, Tante. Lama nggak ketemu," sapa Irene dengan canggung. "Lama nggak ketemu?" Devon mengangkat sebelah alis. "Kamu siapa? Maksudnya, saya tahu kamu pasangan anak saya. Tapi memangnya kita pernah bertemu?" Irene mengusap leher belakangnya, dia mengangguk pelan. "Saya Irene, Om. Sahabatnya Nesya dari SMP," jawabnya. "Lho, kamu, Ren?! Sejak kapan kamu pacaran sama anak sulung Tante?" Nanda membulatkan mata terkejut, dia memandang heran sahabat anaknya itu. Irene membulatkan mata terkejut mendapatkan sebuah pertanyaan yang tak dia duga, perempuan itu menggigit bibir bawahnya. Dia berharap Arsen paham akan kode yang diberikan, tetapi pria itu justru membuang muka membuat Irene melongo. Rasanya, penyesalan untuk membantu Nesya naik 1000 persen! "A—anu, itu, em ...." Irene kehilangan kata-kata. "Ma, Pa, kenapa pacar Abang ditanya-tanya? Harusnya kalian suruh duduk dulu," celetuk Arsen sembari mendekat membuat Irene menghela napas panjang. "Oh iya!" Nanda menepuk kening. "Duduk dulu, Cantik. Biar Mama buatin minuman khusus untuk kamu." Irene tersenyum canggung, perempuan itu mendudukkan diri di sebelah Arsen. Dia berusaha untuk menyamankan dirinya, kedua tangan Irene bertumpu pada paha. Perempuan itu juga berusaha mempertahankan senyuman manisnya saat Devon menatap dirinya. "Kamu kenapa baru bawa pacar, Bang? Pernikahan kamu gimana?" tanya Devon dengan mimik wajah serius. Arsen menghela napas panjang, pria itu itu memperbaiki posisi duduknya. Dia memandang Devon dengan raut wajah serius, sedangkan Irene memilih untuk diam dan memandang lurus ke depan. Dia cukup sadar tak ada hak untuk ikut campur. "Maafin Abang, Pa. Abang tau Abang salah, seharusnya dari awal Abang kasih tau kalian," sesal Arsen. "Terus sekarang Papa harus gimana?" Devon menarik napas panjang. "Abang yang akan bicara sama mereka, Abang siap nanggung resikonya," balas Arsen. Devon memijat pangkal hidungnya. Masalahnya tak pernah semudah itu, undangan bahkan sudah disebar. Namun, Arsen justru dengan tiba-tiba membawa seorang perempuan yang katanya seorang kekasih? "Masalahnya bukan itu, Bang. Masalahnya undangan pernikahan kamu udah disebar, nama keluarga yang bakalan jelek nantinya. Kecuali kamu menikah dengan Irene." "Ha ...?! Nikah?!" Kali ini, Irene tak bisa menahan teriakannya.Nesya meringis setelah mendengar cerita sang sahabat dan mungkin juga … calon kakak iparnya? Terlebih, saat melihat wajah frustasi Irene yang kini bahkan mulai menggigit bantal miliknya. Namun, Nesya tidak bisa melakukan apa pun. Orang tuanya bisa lebih marah kalau jujur sekarang. “Sya!” Suara Irene tiba-tiba terdengar dan begitu dingin. Nesya menggeleng cepat, dia bahkan enggak untuk sekadar menatap Irene. Perempuan itu benar-benar ketakutan sekarang. "I-itu. Maaf, Ren," cicit Nesya dengan tangan saling meremas. "Semudah itu?" Satu alis Irene terangkat. "Kamu tau sendiri, aku trauma sama pernikahan! Dan kamu malah jadiin aku tumbal?" cerca Irene. Tumbuh dan besar sebagai anak bungsu tak membuat Irene menjadi perempuan manja. Ia bahkan begitu mandiri dan jago mengendalikan diri. Namun, kali ini dia menunjukkan emosinya tanpa halangan. "Maaf, Ren. Aku sendiri nggak tau, kalau jadinya bakal kayak gini." Nesya menunduk, dia memainkan kuku-kuku jarinya. "Terus sekarang g
Irene menghempaskan tubuhnya di kasur–masih memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Ya, dia baru saja pulang ke rumah diantar oleh Arsen. Sebenarnya tadi Devan meminta Irene untuk menginap saja karena sudah larut malam. Namun, perempuan itu menolak karena dia butuh waktu untuk sendiri. Irene mengembuskan napas. "Tuhan kadang-kadang suka kidding, ya." Hari ini, energinya terkuras. Dia bahkan tak ada tenaga untuk memaki sahabatnya lagi. Memperbaiki posisi berbaringnya, Irene menarik selimut sebatas dada. Perempuan itu segera mematikan lampu dan hanya menyalakan lampu tidur yang ada di salah satu nakas, lalu memilih tertidur. Sebab, dirinya harus ke rumah sakit besok. Entah berapa lama dia tertidur, Irene tak menghitung. Yang jelas, Irene terbangun kala mendengar dering ponselnya begitu nyaring. Irene sontak mencari ponsel pintar yang dia letakkan di nakas. Namun, kening perempuan itu mengerut saat melihat nomor tak dikenal menghubungi dirinya. "Hallo. Maaf, sia
Irene segera mengambil ponselnya saat mendengar suara notifikasi. Perempuan itu mengerutkan kening melihat pesan singkat itu dikirim oleh Arsen. Arsen (Kakak Nesya) : Fitting baju akan dilakukan sore, saya akan menjemput kamu.Tak ada penjelasan lebih lanjut mengapa jam fitting baju diubah begitu saja.Menyebalkan! Belum genap satu bulan menjadi "tunangan" pria itu, tetapi Irene sudah dibuat pusing sendiri. Membuang napas panjang, Irene mengedikkan bahu mencoba tak peduli. Jari-jari perempuan itu bergerak cepat membalas pesan Arsen sebab pesan tersebut sudah lama dia baca, takut jika Arsen menanti responsnya meskipun sedikit mustahil. Irene : Tidak perlu, aku membawa mobil. Di mana fitting baju akan dilakukan? Aku akan ke sana sendirian. Ting! Tak sampai lima menit ponsel Irene kembali berbunyi. Arsen (Kakak Nesya) : Baiklah, di rumah saya.Singkat, padat, dan terlalu jelas.Rasanya, Irene ingin berkata-kata. Tapi belum sempat Irene membalas pesan tersebut, sebuah kerib
Tak terasa, fitting baju selesai.Irene kini bahkan tengah memandang menu makan malam di kediaman Mahardhika. Perempuan itu mendongak, tetapi siapa sangka netra indah milik Irene justru beradu dengan netra dingin dan tajam milik Arsen. Tatapan bak elang itu membuat Irene kembali menundukkan kepala, tak ada masalah apa pun hanya saja Irene merasa kurang nyaman dengan tatapan itu."Ehem..."Suara dehaman Devan menyelamatkan Irene!Arsen langsung menundukkan kepala menatap piring di hadapannya. "Ayo dimulai makan." Devan beralih menatap Irene. "Makan yang banyak, ya! Anggap aja ini rumah kamu sendiri," cetus ayah sahabatnya itu dengan senyuman manis. Kedua sudut bibir Irene tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman tipis."Iya, Pa. Terima kasih."Sayangnya, ketenangan itu tak berlangsung lama.Usai makan, Irene harus dihadapkan dengan Nanda yang memaksa Irene untuk menginap! "Ma, Mama enggak usah khawatir. Aku bisa handle semua dengan baik kok," tolak Irene kesekian kalinya. "
Hari ini adalah pertunangan Arsen dan Irene.Namun, Irene tampak tertekan.Melihat dengan jelas raut bahagia orang-orang, ia merasa bersalah."Ren!" Seseorang menepuk bahu Irene membuat perempuan itu terkesiap. "Kamu siap, 'kan?" Irene memandang Nesya dengan datar sebelum akhirnya menganggukkan kepala, mengatakan tak siap pun rasanya percuma. Pertunangan itu akan tetap berlanjut. Ketenangan dalam diri Irene membuat banyak orang berpikir bahwa dia sudah siap, tetapi siapa sangka jika tangan perempuan itu begitu dingin. Gestur tubuh Irene benar-benar menipu semua orang. "Sopankah kamu duduk di saat aku berdiri, Sya?" sindir Irene yang dibalas cengiran oleh Nesya membuat Irene menggelengkan kepala. "Kita langsung saja ke puncak acara hari ini yang saya yakin sudah dinantikan oleh para hadirin sekalian. Kepada Arsenio Arvhy Mahardhika dan Irenia Acrola Zienith untuk naik ke atas panggung karena acara tukar cincin akan segera dilakukan." Suara dari pembawa acara berhasil memecah
Irene merenggangkan tubuh, dia merasa lelah sekaligus tubuh perempuan itu terasa pegal. Baru saja acara pertunangannya selesai dan tamu yang datang tak bisa dikatakan sedikit. Eiren melempar tubuhnya di kursi plastik, dia mendudukkan diri sana dengan mata terpejam. Acara yang berlangsung selama hampir sepuluh jam itu berhasil menguras energi dan tenaga Eiren. Irene mengibaskah tangan, dia merasa kepanasan meskipun pendingin ruangan menyala. "Ini serius aku diginiin?" batin Irene sembari memandang sekitar. "Mau pulang?" Irene tersentak, dia menoleh lantas memukul keras lengan Arsen. Kehadiran pria itu benar-benar tanpa tanda-tanda. Mengusap dadanya, Irene memandang Arsen dengan tatapan sayu. Pria dengan wajah datar itu terlihat tampan dan penuh wibawa di matanya saat ini. "Emang boleh?" Irene balik bertanya, perempuan itu takut dikira tidak sopan. "Why not?" balas Arsen dengan satu alis te
"Sejauh ini apa ada keluhan yang terlalu serius, Bu?" Eiren menatap intens seorang wanita berbadan dua di hadapannya. Wanita di hadapan Irene mengangguk perlahan, dia memperbaiki posisi duduknya berusaha untuk nyaman. Wanita itu menatap Irene dengan serius, sedangkan sang suami hanya diam dengan tatapan terfokus pada Irene.. "Saya belakangan ini jadi merasa pusing, Dok. Mual dan muntah juga di pagi hari, tapi yang keluar hanya cairan bening. Itu kenapa ya, Dok?" Irene mengangguk mengerti, perempuan itu mencatat keluhan sang pasien pada rekam medis. Irene mendorong kursinya ke belakang, perempuan itu menatap pasien dengan senyuman manis. "Baik, silakan berjalan ke arah timbangan. Kita cek dahulu berat badan dan tinggi badan, ya. Baru setelahnya kita melakukan USG ya, Bu." Irene mengarahkan dengan suara lembut, perempuan itu membersilakan pasiennya untuk berjalan ke arah timbangan. Irene mel
“Ren .…” “Gak!” "Please, tolongin aku, Ren!" "Kamu gila?! Aku mana mau nikah sama Abang kamu!" tolak Irene dengan cepat. "Lagi pula, kamu tahu betul kalau menikah nggak pernah ada di kamusku!" Kepala Irene rasanya ingin pecah. Kepulangannya ke Indonesia bukan untuk menikah, melainkan mengurus rumah sakit milik keluarganya. Namun, Nesya justru tiba-tiba meminta Irene menikahi kakak laki-lakinya agar tak dijodohkan tiga hari lagi dengan perempuan yang kata sahabatnya itu macam mak lampir? Yang benar saja! Dia bahkan baru tahu sang sahabat memiliki saudara laki-laki hari ini! Luar biasa! "Emangnya, kamu nggak kasihan sama sahabatmu ini, Ren?" "Kenapa harus kasihan? Yang harus nikah itu abangmu, kok," sahut Irene santai. Mata Nesya melotot, dia menghentakkan kaki ke lantai. "Jahat banget kamu, Ren. Tega ...!" Irene memutar malas bola mata. Nesya kembali berdrama dan tak segan untuk duduk di lantai dan menendang-nendang udara persis seperti anak kecil. Namun, Irene s