Share

Bab 5

Aku mengangguk, akhirnya tidur sembari memunggungi Mas Adnan. Maafkan aku Mas, bukannya aku tidak ingin melayanimu akan tetapi perbuatanmu sudah benar-benar tidak bisa di maafkan lagi. 

Entah kenapa bayangan menjijikan dirinya dengan perempuan itu terus terngiang di pikiranku, membuatku kadang tidak bisa mengontrol emosiku padanya. 

***

Aku menatap jam yang sudah menunjukan pukul 15.30, aku langsung menjalankan kewajibanku yaitu memasak untuknya.

"Sayang, masak apa?" tanya Mas Adnan yang baru keluar dari kamar mandi. 

"Sayur sop, sama ayam goreng. Kamu bilang, Ibu akan datang. Jadi, aku harus menyiapkan makanan spesial untuknya kan? Jika tidak, dia akan mengatakan bahwa aku istri tidak berguna." 

Ucapanku membuat Mas Adnan tampak melebarkan matanya, tapi tidak ada sepatah katapun yang dia ucapkan sampai terdengar suara ketukan pintu di depan. 

"Hm, Itu pasti Ibu ... Mas buka pintu dulu yah," ujarnya lalu melangkahkan kakinya keluar, aku menghela nafas pelan. Kedatangan Ibu pasti akan membuat drama baru. 

Tidak ingin ambil pusing, aku kembali menyiapkan makanan yang baru ku masak dan menaruhnya ke meja makan. 

Di luar, terdengar suara Ibu mertua yang begitu keras sedang mengobrol dengan Mas Adnan. 

Setelah selesai menyiapkan makanan, aku menghampiri mereka ke depan. 

Deg! 

Mataku terbelalak melihat ada Mas Zayyan juga di sana, astaga apa yang dia lakukan. 

"Sayang, apa kamu sudah selesai masak?" 

"Ii--iya ...." jawabku terbata-bata, entah kenapa bibir ini terasa kelu apalagi melihat Mas Zayyan yang terus menatapku. 

"Kebetulan, Pak Zayyan ... Ayo, kita ngobrolnya sambil makan. Istri saya baru selesai masak."

"Ayok, Nak Zayyan ... Nak Zayyan juga belum makan 'kan," ujar Ibu mertua yang terlihat begitu ramah pada Mas Zayyan. Tidak segan wanita paruh baya itu memegang tangannya dan menariknya ke meja makan. 

Aku benar-benar bingung, ada urusan apa Mas Zayyan di sini. 

"Kania, cepat ke sini. Ambilkan minumnya," teriak Ibu mertua. 

***

Aku menunduk saat Mas Zayyan terus menatapku yang sedang berdiri di sisi Mas Adnan. 

"Duduklah, makan bersama kami," ujar Mas Zayyan tiba-tiba. 

Aku tersenyum lalu menatap Mas Adnan yang memasang muka tidak enak. 

Saat hendak duduk tiba-tiba ibu mertua berteriak.

"Jangan," titahnya membuatku yang akan duduk kembali berdiri. 

"Bu ...." tegur Mas Adnan, mungkin tidak enak karna ada Mas Zayyan. 

Ibu mertua yang menyadari itu tampak salah tingkah, ia lalu tersenyum dengan wajahnya yang terlihat canggung menatap Mas Zayyan. "Maksud Ibu, Kania terbiasa makan setelah suaminya selesai makan." 

"Iya, Pak Zayyan. Kami ingin Kania bisa menghormati suami, jadi dia boleh makan jika saya sudah makan," jawab Mas Adnan. 

Aku langsung memalingkan wajahku saat merasakan air mata yang terasa akan menetes, hatiku terasa begitu sesak. Sakit dan malu bercampur jadi satu.  Entah apa yang di pikirkan Mas Zayyan tentangku, terlebih aku tidak pernah menceritakan ini semua padanya. 

"Apa hanya keluarga Adnan yang di perlakukan seperti itu?" Mas Zayyan terlihat begitu terkejut mendengarnya. Ia yang sedang makan, langsung menaruh kembali sendoknya lalu menatap heran ke arah Ibu mertua. 

"Ti--tidak ... Di keluarga kami, semua aturannya sama." 

"Lantas, kenapa ibu malah makan dan tidak menemani suami Ibu? Apakah suami Ibu sudah makan atau sudah meninggal?" 

Dam! 

Pertanyaan Mas Zayyan membuat mereka benar-benar bungkam. 

"Kenapa Nak Zayyan mengurusi urusan keluarga Ibu?"

"Bukan mengurusi, tapi saya hanya bertanya," ujarnya lalu menatap ke arahku. "Bukannya jika aturan keluarga semua harus sama, mengapa malah Ibu melanggar ... Atau seperti ini, aturan itu hanya di perlakukan untuk menantu. Dan mertua atau suaminya, bisa bebas. 

Maaf yah Bu, kadang saya melihat Adnan selalu makan di kantor. Dan kemungkinan jika dia tidak makan di rumah, istrinya ini tidak akan makan?" 

Mereka semua benar-benar melongo di tempat, nada bicara Mas Zayyan cukup santai tapi pertanyaannya membuatku yakin jika mereka tidak akan bisa menjawabnya. 

Walaupun aku tau semuanya, aku hanya diam. Biarkan mereka mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Mas Zayyan.  Meski mungkin, dia pasti tidak akan mempercayainya. 

Aku melihat ibu yang tampak resah, ia terus menatap Mas Adnan yang juga terlihat gelisah. 

"Pak Zayyan, hm ... Sebenarnya ibu hanya bercanda. Kania tidak selalu makan setelah saya makan, aturan itu di berikan jika sang istri berkenan saja untuk menjalaninya." 

"Benarkah itu?" tanya Mas Zayyan. 

Aku mengangguk, alasan Mas Adnan memang benar adanya. Tapi aku melakukan hal itu bukan karna memang berkenan, akan tetapi di paksa. Karna setiap ada Ibu, ia selalu menyuruhku untuk makan setelah selesai Mas Adnan. Kadang, ia menyuruhku untuk makan di piring bekas suamiku. Aku tidak menolak, jika saja piring itu bukan bekas kuah air atau banyak bekas tulang. 

Jika Ibu pulang, maka semuanya akan berbanding terbalik. Mas Adnan akan memanjankanku, bahkan walaupun aku tidak memasak, ia tidak akan pernah marah. Hanya saja, satu hal yang tidak bisa ia lakukan adalah melawan ucapan ibunya. 

"Nak Zayyan, di makan lagi makanannya. Kania, ayo kamu ikut makan."

Mendengar perintah Ibu mertua, akhirnya aku ikut duduk. Sedangkan Mas Zayyan, setelah melihatku ikut makan, ia juga kembali melahap makanan itu. 

"Owh, iya Nak Zayyan. Ada urusan apa Nak Zayyan sampai ke rumah karyawannya?" 

"Saya akan mengadakan pesta pernikahan saya dan istri saya, besok. Karna itu, saya ingin meminta bantuan Adnan dan istrinya untuk membantu mendekor semuanya." 

Aku mengerutkan kening, pasti Mas Zayyan punya rencana lain.

"Ibu sering melihat istri Nak Zayyan di televisi. Ia sangat hebat ya, bisa menjadi seorang model. Wajahnya juga sangat cantik, tidak seperti Kania yang mengurus penampilan saja tidak bisa. Untungnya Adnan tidak menceraikannya, meskipun ia tidak bisa memberikan anak ...."

Brak! 

Tiba-tiba, Mas Zayyan memukul meja makan dengan keras, membuatku dan semua orang begitu terkejut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status