Lilis yang sedari tadi meringkuk ketakutan dengan tubuh gemetar.
Sambil menangis dia berkata lirih, “tolong.. berhenti..” Anton dan para Anak buahnya kembali bersiap menghantam Juned beramai-ramai. Namun sebuah teriakkan kencang memekik di telinga setiap orang. “Hentikaaan!! Anton kumohon jangan sakiti dia lagi. Aku akan melakukan apa yang kamu mau. Asal berhenti menyakiti Juned.” Lilis berteriak histeris sambil menangis. Juned terkejut mendengar perkataan itu. “Apa yang kamu bicarakan, Tante? Jangan bicara yang tidak-tidak.” Lilis yang sudah dipenuhi ketakutan justru memarahi Juned. “Diamlah Juned, Aku tak ingin melihatmu dihajar seperti itu.” Sementara Anton langsung mengangkat satu tangannya memberikan isyarat berhenti kepada anak buahnya. Anton mendekati Lilis yang meringkuk, “Kalau seperti ini kan tak perlu ada kekerasan, sayang.” Tangan Anton membelai wajah Lilis hingga ke leher jenjangnya. “Tante, Jangan mau menerima tawaran bajingan itu…” “Cukup Juned, cukup, jangan bicara lagi. Ini keinginanku sendiri.” Anton berdiri kemudian diikuti oleh para Anak buahnya. “Pertukaran akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan. Jika kalian tak menepati kesepakatan, pasti tahu kan akibatnya, Ha ha ha.” Anton tertawa puas dan melenggang pergi meninggalkan klinik tersebut. Lilis bergegas menghampiri Juned, banyak sekali luka lecet di tubuh keponakannya itu. Setelah dipastikan Anton dan komplotannya sudah pergi jauh, tiba-tiba Vivi muncul dari balik semak-semak. “Juned, maafkan aku. Semuanya jadi seperti ini karena suamiku.” Kata Vivi yang langsung bersimpuh di depan Juned. “Tak perlu meminta maaf, aku akan menghajar Anton dan anak buahnya jika bertemu lagi.” Ucap Juned dengan tenang. Vivi tersipu dan merasa terharu mendengarnya. “Sudah, jangan berkata bodoh!. Kita hanya orang kecil, Mereka itu punya kuasa dan tak ada yang berani di desa ini.” Lilis marah kepada Juned yang sembrono. Juned hanya diam tak ingin berdebat lagi dengan tantenya. Meskipun tubuhnya banyak lecet namun dia tak merasakan apa-apa. Suasana kembali tenang, Lilis meminta ijin kepada Juned, “aku mau pergi sebentar, persediaan salepnya tinggal ini saja.” Sambil memberikan salep kepada Vivi. “sekalian mau beli persediaan yang lainnya” Lilis melenggang pergi meninggalkan Juned dan Vivi berdua di dalam klinik. Juned duduk di tepi ranjang , sementara Vivi berdiri di depannya. Mereka berdua dalam posisi yang sangat dekat. Vivi mengusap bekas-bekas pukulan Anton dan komplotannya, hingga gundukan nikmat miliknya yang menonjol begitu dekat dengan wajah Juned. Membuat bagian bawah Juned bereaksi. Vivi terkejut melihat barang milik Juned bereaksi. Dengan sengaja dia justru menempelkan dadanya ke wajah Juned. Mata Juned terperanjat saat semangka kembar Vivi menempel di wajahnya. Juned merasakan Jantung Vivi yang berdebar. Tiba-tiba nafas Vivi memburu kencang menuangkan hasrat yang selama ini terpendam. Istri Jawara itu terus menggesek-gesekkan dada montok nan padat di wajah Juned. “Bukannya kamu memiliki kelainan kejantanan, Jun?” Tanya Vivi tiba-tiba menghentikan aksinya dan menatap Juned. Juned menggelengkan kepala dengan muka memerah seperti tomat yang siap di panen. “Berarti kamu belum pernah melakukan begituan sama sekali?” Tanya Vivi dengan lirih. Juned kembali menggelengkan kepala dan berkata, “Engga ada wanita yang mau sama aku bahkan menghindar karena rumor itu.” “Kamu mau begituan?” Tiba-tiba tangan Vivi meraih batang Juned dan menyentuhnya dengan lembut, jari-jarinya yang lentik menarik di area sensitif milik Juned. Jantung Juned berdegup kencang serasa ingin copot, Tubuhnya menggelinjang merasakan sensasi yang luar biasa. Tangan kanan Vivi terus bergerilya di antara kedua kaki Juned yang tertutup celana berbahan kain, sementara tangan kirinya membelai tubuhnya sendiri. Seperti cacing kepanasan tubuhnya ikut menggeliat tak tentu arah. “Kalau kamu mau, lakukan sekarang denganku. Sudah lama aku tak disentuh Mas Anton, sshh.” Bibir merah yang ranum meracau tak karuan. Ini adalah pertama kali Juned merasa sama seperti laki-laki normal, Juned merasa gugup saat ini. Juned hendak membalas sentuhan Vivi ketika suara Lilis tiba-tiba terdengar. “Terima kasih ya, Vi. Sudah membantu merawat Juned.” Vivi langsung melepaskan sentuhannya dengan cepat, berharap Lilis tak melihat apa pun. “Engga apa-apa mbak, sudah tanggung jawabku. Ini semua akibat ulah suamiku.” Dia merasa bersalah dan langsung duduk di sebuah kursi. Wajahnya cantiknya memerah. “Vivi jangan terlalu dipikirkan, suamimu memang seperti itu. Kalau kita semakin melawan Dia akan semakin menjadi-jadi.” Lilis menjelaskan dengan sedikit penyesalan. Dia telah menerima tawaran untuk bertukar dengan Vivi, entah bagaimana perasaan Vivi tahu. “Mbak… soal pertukaran kita. Apa kamu benar-benar serius?” Tanya Vivi dengan wajah menunduk penuh kegelisahan. Lilis mendekati Vivi dan menepuk pundaknya, “Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku hanya ingin menyelamatkan Juned saja.” Mereka berdua berpelukan saling memberikan dukungan, Lilis sadar apa yang dikatakannya itu salah. Namun keadaanlah yang memaksa Suka ataupun tidak, tak ada daya dan upaya untuk menolaknya. Vivi kembali gelisah, dia berbohong bahwa ada urusan dan pergi tergesa-gesa. Juned memandang punggung Vivi yang pergi sambil tertegun.Beberapa saat kemudian, Lilis menatap Juned dan berkata, “Vivi cantik ya? Sayang suaminya sangat kasar kepadanya.” Juned tergagap. “Ii.. iya, tante. Aku sebenarnya kasihan sama dia, aku ingin menolongnya keluar dari jerat si Anton.” “Hush.. Sudah jangan bertindak bodoh lagi, jangan coba-coba melawan Anton. Dia itu berbahaya bagi kamu.” Lilis memberi peringatan kepada Anton untuk ke sekian kalinya. Juned merasa kesal, kali ini dia merasa bisa mengalahkan siapa pun. Namun Lilis masih menganggapnya sebagai pria lemah yang butuh perlindungan. Di lain sisi, Juned juga kesal karena Lilis menggagalkan kesempatan emas untuk menyalurkan hasrat bersama Vivi. Namun secara mengejutkan Lilis mengganti baju yang tadi sempat tersobek oleh Anton, “Oh iya, Jun. Kamu suka sama si Vivi?” kata Lilis sambil melepas kaosnya. Melihat gunung kembar Lilis yang begitu kencang dalam bungkusnya, hasrat Juned kembali menanjak. Mata Juned melotot seolah tak percaya, “kenapa kok ganti baju di sini,
Telapak tangan Juned mengeluarkan cahaya. Juned merasakan kekuatan yang besar mengalir dalam tubuhnya. “Permisi, Mbak. Apa kamu mau dipijat?.” Pertanyaan Juned seolah ambigu di kepala Marina. Dia kan hanya ingin berobat, kenapa harus di pijat. Dari sini Marina mulai ragu dengan pengobatan yang dilakukan Juned. “Kenapa kok pijat?” Juned kembali mendekat ke arah Marina, lalu memegang tengkuk leher Marina yang jenjang. “Sepertinya ada darah yang menggumpal di dada kamu.” Kata Juned sambil memijat lembut leher Marina. “Oleh sebab itu, harus dipijat seluruh badan untuk melancarkan peredaran darah.” Marina mengerutkan kening, bola matanya berkeliling mengamati sekitar “Apa benar-benar harus mas?” Dengan santai dan percaya diri Juned berkata, “ kalau tidak mau sembuh, enggak usah.” Marina tersenyum tanpa kegembiraan, “Saya mau sembuh, mas” telapak tangannya mulai berkeringat. Juned menyuruh Marina menanggalkan kemeja beserta celana jeans yang melekat, menggantinya dengan
Celana dalam itu lembut dan halus, dan seperti masih ada aroma dari Lilis yang tertinggal di dalamnya. Merasakan pakaian dalam di tangannya, Mau tak mau Juned membayangkan apa yang tadi dilihatnya. Hal yang membuat Juned semakin antusias dan bersemangat. Juned tak bisa melakukan dengan Lilis, namun dia hanya bisa berfantasi dengan barang milik Lilis saja. Di lepas ikat pinggangnya dan memasukkan celana dalam Lilis ke balik celananya. Tepat ketika Juned hendak memainkan kelima jarinya, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangnya. “Juned.. kamu sudah selesai mengobati pasiennya?” Lilis sudah berdiri di belakang Juned dalam keadaan rambut yang sudah basah. Juned sangat ketakutan hingga rohnya serasa mau keluar. Untuk beberapa saat dia menarik keluar tangannya dan membiarkan celana dalam merah tetap berada di dalam celananya. “Su.. sudah Tante.” Kata Juned dengan suara terbata-bata. “Juned, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Lilis. “eeee, enggak ngapa-ngapain
Setelah kejadian tadi Juned merenung di dalam kamarnya. Membayangkan semua kejadian tadi. Sekian lama berkutat dalam pikirannya sendiri hingga akhirnya tertidur entah berapa lama. Tidurnya terganggu ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuka. “Astagaa.. kenapa Tante Lilis ada di kamarku?” gumam Juned dalam hati sambil terus berpura-pura tidur. Sesekali dia mengintip dari kelopak matanya. Lilis hanya mengenakan daster bertali dengan motif bunga. Memperlihatkan pahanya yang mulus tanpa cacat sedikit pun. “Juned, sudah pagi. Kenapa masih....” Lilis berkata lirih sambil membuka selimut yang menutupi tubuh Juned. Dia berhenti berucap ketika melihat sesuatu yang ada di balik selimut itu. “Aduh.. aku lupa memakai bajuku semalam.” Gumam Juned penuh kekhawatiran. Juned memutuskan untuk tetap berpura-pura tidur sambil menahan malunya kepada Lilis. Barang milik Juned bereaksi ketika Lilis mendekatkan wajah ke arahnya. Lilis menelan ludah beberapa kali sambil memperhatika
Ternyata Vivi muncul di sana dengan penuh amarah kepada Sugeng. Dengan langkah yang cepat Vivi menengahi mereka berdua yang nyaris baku hantam. “Kenapa kamu selalu membuat onar di kampung ini? Jangan mentang-mentang anak kepala desa, terus kamu bisa berbuat seenaknya!.” Teriak Vivi dengan kencang. Sugeng hanya tersenyum tipis mendengar perkataan Vivi, “Kalau saja kamu bukan istri Anton, sudah aku habisi sekalian seperti si lembek ini!” Dada Juned semakin terbakar mendengar hinaan dari Sugeng. Kali ini dia tidak ingin diam saja harga dirinya terus diinjak-injak. “Sini kalau kamu berani, aku akan melawanmu.” Juned berusaha meraih Sugeng namun dihalangi oleh tubuh Vivi. Di tengah keributan antara Juned dan Sugeng, terdengar suara tawa yang menggema. “Ha ha ha ha. Sugeng, Sugeng.. Apa kamu enggak malu kalau melawan pria lemah macam Juned?” Sulastri muncul di antara mereka. Sugeng menahan amarahnya bersamaan dengan munculnya Sulastri, “Sulastri sayang, kenapa kamu kemari?
“Apakah ini nyata?” Tanya Juned lirih, Tangannya ingin meraih tubuh Vivi yang sudah sangat birahi karena ulah tangannya sendiri. “Juned!!!” “Keluar kamu, Dasar laki-laki perebut istri orang kamu!!” Terdengar suara Anton dari luar klinik yang membuyarkan hasrat dari kedua insan tersebut. Juned dan Vivi terkejut hingga jantungnya berasa mau copot. “Lebih baik kamu sembunyi saja, Vi!” Perintah Juned dengan nafas yang berembus kencang. Vivi gelagapan mencari tempat persembunyian yang aman di dalam klinik. Tanpa pikir panjang dia bersembunyi di dalam sebuah lemari. Sementara Juned mencoba mengatur nafas agar terlihat tenang. Berulang kali dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. “Juned cepat keluar!!” Anton yang berada di luar semakin berteriak semakin kencang. Juned perlahan membuka pintu kemudian berhadapan dengan Anton. “Apa-apaan kamu teriak-teriak di tempatku?!” Dengan kepala yang terangkat Juned ingin menunjukkan keberaniannya. “Halah jan
Setelah mampu mengobati 2 pasien secara ajaib dalam satu hari, Nama Juned kini menjadi buah bibir di kampungnya. Para warga yang dulu tak ingin berobat ke tempat Juned, kini berbondong-bondong mencarinya untuk berobat. “Juned, tolong obati penyakitku!!” “Aku dulu, Juned!!” “Penyakitku lebih parah, biarkan aku terlebih dulu!!.” Teriakkan para warga saling menyahut di tengah terik matahari. Kerumunan para warga membuat Juned begitu kerepotan. “Tolong sabar, saudara-saudara! Semua pasti dapat giliran masing-masing.” Kedua telapak Juned diangkat ke atas untuk menenangkan massa yang saling dorong. “Syukurlah, pengobatanmu kini jadi ramai.” Kata Lilis dengan semringah mendata satu persatu calon pasien. Satu per satu Juned mengobati penyakit setiap pasien. Dengan kemampuan ajaibnya dia dengan mudah dan cepat. “Terima kasih, Juned. Aku merasa sangat bugar sekarang.” Ujar salah satu warga yang selesai berobat kepada Juned. Juned tersenyum puas dapat berguna bagi orang lain.
Cekleekk... “Maaf, aku mengganggu kalian.” Marina terkejut melihat mereka berdua yang hampir ciuman. Juned dan Lilis gelagapan dengan kedatangan Marina yang tiba-tiba. “Marina kenapa kamu ke sini malam-malam!” Juned tak kalah terkejut dengan kehadiran Marina bersama seorang wanita yang memakai kursi roda. Untuk beberapa saat Marina kebingungan menyikapi apa yang barusan ia lihat. Tubuhnya terpaku seperti sebuah patung. “Maaf, aku permisi dulu.” Kata Lilis memecah keheningan, sambil berjalan keluar klinik melewati Marina yang masih terpaku. Sementara Juned mencoba mengatur nafasnya yang sempat tersengal-sengal menormalkan birahinya. Setelah dirasa sudah stabil, Juned kembali bertanya kepada Marina, “Mar? Ada apa?.” Marina langsung tersentak mendengar pertanyaan Juned. “Ini teman saya, dia mengalami stroke di bagian kakinya sejak 6 bulan yang lalu.” Marina masih gelagapan saat berbicara. “Baiklah bawa kemari, aku akan coba memijatnya. Siapa tahu bisa kembali normal.”
Wajah pucatnya muncul di ambang pintu rumah, matanya membulat.Juned yang sudah setengah telanjang sedang ditindih Bu Ratna yang masih mengenakan blus sutra terbuka.“Kalian...?” Rizka berbisik, suaranya getir.Juned hanya membeku, mulutnya terbuka tapi tak bersuara mampu mengeluarkan suara. Dia melihat Rizka mundur selangkah demi selangkah dengan wajah syok.“Mbak Riz, tunggu—” Juned akhirnya bersuara. Tapi Rizka sudah menghilang dari arah pintu depan, meninggalkan kekecewaan yang menggantung di udara. Bu Ratna beralih dari atas tubuh Juned, wajahnya berkerut dalam ekspresi jengah yang tertahan. “Mengganggu saja.” desisnya, kuku-kuku merahnya mencengkeram lengan Juned dengan lemah. Juned bangkit dari sofa itu, tubuhnya masih membara antara rasa malu dan dorongan untuk mengejar. “Aku harus—”“Tidak, sayang.” Bu Ratna menahan lengannya dengan gerakan cepat, suaranya mendesis seperti ular yang terganggu. “Kau pikir boleh begitu saja meninggalkanku dalam keadaan seperti ini?”J
Di dapur, Juned menuangkan air mineral ke gelas dengan tangan gemetar. Sebagian tumpah membasahi kaosnya yang sudah kotor oleh keringat dan debu jalanan. “Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini!” Gelas dilemparkannya ke wastafel hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca itu berserakan seperti keadaan pikirannya sekarang—berantakan, tajam, dan berbahaya untuk disentuh. Dia berdiri lama di depan jendela, menatap halaman kosong yang diterpa matahari siang. Seekor kucing liar melintas dengan santai, tak peduli pada drama manusia di balik kaca itu.Suara ketukan pintu yang bersemangat memecah kesunyian rumah Juned. “Permisi! Mas Juned” suara lantang Bu Ratna terdengar dari luar. Juned mengerang, baru teringat janji temu yang seharusnya dilakukannya pagi ini. Dengan wajah masih memerah, ia membuka pintu. “Maaf Bu, hari ini saya terpaksa membatalkan—” “Lho? Tapi saya sudah datang jauh-jauh ke sini!” Bu Ratna langsung melangkah masuk tanpa diminta, tas mewah kecil menggantung di lenga
Di ujung ruangan, berdiri Bu Ningsih dengan wajah pucat. Rambutnya masih acak-acakan bekas tidur, mata bengkaknya melebar dalam kejutan. “I-Ibu...” Rizka tersedak, tangan gemetar merapikan baju. Bu Ningsih melotot seolah matanya hendak melompat dari tempatnya. Matanya yang penuh darah tertancap pada Juned. “Kau... di sini?!”Juned merasa dunia berputar. “Bu Ningsih?!”Bu Ningsih menatap Juned dengan mata menyipit penuh kecurigaan. “Juned? Apa yang kau lakukan di rumah menantuku?!” Suaranya meninggi, tangan gemetar menunjuk ke arah mereka. Rizka langsung bereaksi. “Dia... dia memaksaku, Bu!” teriaknya tiba-tiba, air mata mulai mengalir deras. “Aku sedang sendirian di rumah, lalu dia masuk paksa bilang mau minum!”Juned terkesiap. ‘Apa? Tidak—” “Diam!” Bu Ningsih menghardik, wajahnya merah padam. “Aku tahu sejak dulu kau tukang pijat nakal! Sekarang berani-beraninya mengganggu menantuku?!” Rizka memanfaatkan situasi, menyembunyikan wajah di tangan sambil terisak. “Aku takut s
Rizka menoleh, matanya berbinar aneh. “Aku merasa... hidup lagi.”** Juned menghela napas panjang mendengar jawaban Rizka. Dia menyeruput kopi hitam dengan santai. “Ngomong-ngomong... Apa ibu mertuamu tidak mencarimu jika kamu terlalu lama keluar dari rumah?”Rizka mengangkat bahu dengan santai, jari-jarinya memainkan ujung baju sutra yang masih dikenakannya. “Ibu mertuaku masih terlelap di kamarnya,” ujarnya sambil mencondongkan badan ke depan. “Dia baru pulang subuh tadi dari rumah temannya.”Juned mengerutkan kening, tiba-tiba merasakan kegelisahan. “Mbak Rizka, mungkin lebih baik kau pulang sekarang,” ucapnya, suara rendah namun tegas. Rizka terkejut, senyum liciknya pudar. “Kenapa tiba-tiba? Tadi kau baik-baik saja—” “Aku hanya khawatir,” Juned menyela sambil berdiri. “Ibu mertuamu bisa saja terbangun lebih awal.”Rizka berdiri diam sejenak, wajahnya yang semula memerah perlahan kembali tenang. “Kau benar,” ujarnya dengan suara lembut sambil menghela napas. “Ini memang ter
“Tidak ada,” Rizka menggeleng, tapi senyumnya tetap tergantung di bibir. “Hanya berpikir... pagi ini terasa berbeda.”Juned mengangguk, memahami tanpa perlu penjelasan lebih. Dia melangkah menuju ke dapur.–––Ketika Juned sedang menuangkan air mendidih ke dalam cangkir. Suara langkah ringan membuatnya menoleh—Rizka berdiri di ambang pintu, mengenakan baju tidur sutra Tania yang menggoda. “Aku pinjam ini,” ucap Rizka sambil memegang ujung baju yang nyaris transparan. “Kebetulan pas di ukuranku.”Juned menelan ludah. Baju warna merah delima itu memang selalu membuat Tania terlihat memesona, tapi di tubuh Rizka—dengan lekuk gunung yang jelas terlihat dan panjang kakinya yang ramping—pakaian itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih menggoda. “Kau... kau terlihat—”“Berbeda?” Rizka menyelesaikan kalimatnya sambil berjalan mendekat, jari-jarinya membelai pinggiran baju. “Aku jarang pakai baju seperti ini. Suamiku lebih suka aku berjilbab rapi di rumah.” Juned mengalihkan pandanga
Dalam heningnya kamar yang hanya diterangi cahaya temaram, Rizka tiba-tiba membalikkan tubuhnya. Matanya yang berkaca-kaca menatap Juned dengan intens, bibirnya yang merah bergetar saat mengucapkan kata-kata yang mengubah segalanya. “Aku tidak tahan lagi, Mas Juned...”Dengan gerakan penuh keyakinan, jari-jarinya yang gemetar menyentuh pinggulnya sendiri, perlahan menurunkan pakaian dalam renda yang menjadi penghalang terakhir. Kain itu meluncur ke lantai tanpa suara, mengungkapkan keindahan yang selama ini tersembunyi. Juned menelan ludah, darahnya berdesir deras. “Mbak Rizka... kamu...” protesnya lemah, tapi matanya tak mampu berpaling dari pesona di hadapannya. Rizka menyentuh wajah Juned, pandangannya berapi-api. “Aku sudah memikirkannya sejak sesi pertama...” Udara di antara mereka terasa bergetar. Juned merasakan setiap helaan nafas Rizka yang hangat di kulitnya, mencium aroma tubuhnya yang bercampur minyak pijat – manis dan menggoda. “Kau yakin?” tanyanya terakhir kali
BAB 320Juned menyaksikan dengan nafas tertahan saat Rizka berdiri di hadapannya, jari-jarinya yang gemetar kini beralih ke resleting rok panjangnya. “Aku... aku tak terbiasa dilihat seperti itu oleh pria lain,” suara Rizka bergetar hampir berbisik karena suasana canggung. Dengan gerakan lambat, resleting itu merosot ke bawah, mengungkapkan kulit pucat di pinggulnya yang sempit. Rok panjang itu meluncur ke lantai dengan suara desiran halus, meninggalkan Rizka hanya dengan celana dalam renda warna krem yang sederhana namun menggoda. Juned tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi lekuk tubuh Rizka yang terungkap sepenuhnya – betisnya yang ramping namun berotot halus, pahanya yang padat namun lembut, dan pinggulnya yang bergerak dengan anggun setiap kali ia bernafas. “Apa ini... perlu,” Rizka menggerakkan tangan ke kancing kutangnya, wajahnya memerah tapi matanya tak melepaskan pandangan dari Juned. “Tidak perlu!” Juned buru-buru menyela, suaranya lebih keras dari yang ia ma
Rizka berdiri di ujung jalan, mengenakan jilbab krem yang menutupi rambutnya dengan rapi, dipadukan sweter tipis dan rok panjang yang sederhana namun elegan. Tangannya memegang erat tas kecil di depan tubuhnya, seperti sedang gugup. Juned menelan ludah. “Mbak Rizka? Ada... ada apa?” Perempuan itu melangkah mendekat, matanya menunduk. “Maaf mengganggu, Mas. Aku... aku perlu bicara.” Suaranya kecil, hampir seperti bisikan. Juned merasakan jantungnya berdegup kencang. “Sekarang? Mau bicara apa?”Rizka mengangguk, lalu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke tanah. “Tentang... pijatan kemarin.”Udara di sekitar mereka tiba-tiba terasa lebih panas. Juned dengan cepat membuka pintu rumah. “Mari masuk. Kita tidak perlu berbicara di jalan.”Rizka melirik sekeliling, seolah memastikan tidak ada tetangga yang melihat, sebelum melangkah masuk dengan cepat.Juned menutup pintu rumah dengan perlahan, suara *klik* kunci yang mengunci dunia luar. Rizka berdiri di tengah ruang tamu, jari-jariny
“Aaaarrgggh...”Suara lenguhan panjang Bu Ningsih mengakhiri riuh pertemuan tubuh mereka—suara yang keluar dari kedalaman jiwa yang terluka, bukan sekadar kepuasan fisik. Dadanya naik turun tak beraturan, kulitnya yang berkeringat memantulkan cahaya lampu kamar yang redup.BrukJuned ambruk di sampingnya, nafasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang masih perkasa itu kini lemas, dipenuhi rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap begitu nafsu itu reda. Matanya menatap langit-langit kamar hotel yang bernoda kuning, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. “Kita... kita seharusnya tidak melakukan ini, Bu.”Di sebelahnya, Bu Ningsih sudah tertidur dengan posisi yang tak lagi anggun—rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan di atas bantal, bibirnya yang merah masih sedikit terbuka.Dengan gerakan pelan, Juned menyelimuti tubuh Bu Ningsih yang sudah tak berdaya itu. “Sekali lagi maafkan aku, Bu Ningsih.” Bisiknya pelan.Juned menutup mata, mencoba tidur hingga akhirnya tidur menyerga