Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.
Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.
Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya.
"Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.
Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."
Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Namun, ia tidak pernah melawan. Ia hanya tersenyum, berpura-pura tak mendengar saat mereka mengejeknya.
Hari berikutnya Ia tetap kembali ke gerobak baksonya, melayani pelanggan dengan senyum. Meski hatinya terluka, ia memilih untuk tak memperlihatkannya. Di balik semua itu, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sebuah tekad baru yang diam-diam terbentuk.
Karena hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menopang hidupnya, kuliahnya dan orang tuanya serta adiknya. Dia bertekat harus berhasil.
Setiap hari, Ghenadie menghabiskan waktunya di gerobak bakso yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Di sana, ia melayani pelanggan yang datang silih berganti.
Meski kesedihan masih sering menyapa, ia tetap berusaha kuat. Baginya, hidup harus terus berjalan, dan bakso yang ia jajakan adalah sumber penghidupannya.
Ia selalu bekerja keras, meracik bakso dengan penuh hati-hati, memastikan rasa yang sempurna. Senyum ramahnya selalu menyambut para pelanggan, seolah tak ada beban di pundaknya.
Tapi di dalam hatinya, Ghenadie tahu ada luka yang belum sembuh. Luka itu tak terlihat, tapi selalu terasa.
Malam itu seperti malam-malam lainnya. Ghenadie baru saja selesai melayani pelanggan terakhir. Angin malam yang sejuk membuat suasana sedikit tenang.
Sambil membersihkan gerobaknya, ia berpikir tentang hidupnya, tentang bagaimana ia bisa bangkit dari segala luka ini.
Sebuah mobil yang dari jauh lama berhenti memperhatikannya, tiba-tiba mobil itu berjalan dan perlahan berhenti di depan gerobaknya. Ghenadie menoleh dan memperhatikan.
Dari dalam mobil, keluarlah seorang pria dengan penampilan sederhana, namun wajahnya tampak berwibawa. Ghenadie sedikit heran, tidak banyak orang berpenampilan seperti itu yang mampir di gerobaknya.
"Baksonya sudah habis," ujar Ghenadie, biar orang itu bisa mencari di tempat lain.
Pria itu tersenyum ramah. "Kamu Ghenadie, kan?" tanyanya dengan suara tenang.
Ghenadie mengangguk, sedikit heran dengan pertanyaan itu. "Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu?"
Pria itu memandangnya dengan tatapan yang penuh keyakinan. "Apakah kamu berasal dari desa Koromue?" tanyanya lagi.
Ghenadie semakin heran, tapi ia tetap menjawab, “Ya, benar. Saya berasal dari sana.”
Pria itu melirik catatan kecil di tangannya, lalu bertanya lagi, “Sekarang umurmu sekitar 22 tahun?”
Ghenadie semakin penasaran dengan maksud pria ini. "Iya, benar," jawabnya, meski pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan.
Pria itu tersenyum tipis dan memasukkan catatannya ke dalam saku. "Aku sudah lama mencarimu," katanya sambil menatap Ghenadie dengan serius.
"Mencariku? Untuk apa?" tanya Ghenadie, kini semakin penasaran.
Pria itu tampak sederhana, tapi gerak-geriknya terkesan berwibawa. Tanpa basa-basi, pria tersebut tersenyum lembut sambil berkata, "Terima kasih, akhirnya kami menemukanmu."
Ghenadie menatapnya dengan bingung. "Maksud Anda?"
Pria itu tetap tersenyum, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. “Kamu adalah putra sulung direktur kami yang selama ini hilang,” ucapnya tenang.
Ghenadie terdiam, hatinya dipenuhi kebingungan. "Direktur? Apa hubungannya denganku?" tanyanya, merasa seolah ia baru saja mendengar sesuatu yang tak masuk akal.
Pria itu membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah foto, lalu menyerahkannya kepada Ghenadie. “Ini adalah direktur kami,” katanya sambil menunjuk foto itu. “Pengusaha yang sangat terkenal di Konoha, salah satu yang terkaya.”
Ghenadie menatap foto itu. Benar, sosok di foto tersebut memang tidak asing. Wajah pria yang kini dikenalnya sebagai direktur itu sering kali muncul di televisi dan koran-koran sebagai salah satu tokoh paling sukses di Konoha.
Namun, ada sesuatu yang tidak masuk akal bagi Ghenadie. Memangnya ada hubungan apa dengan dirinya?
"Apa hubungannya denganku?" pikir Ghenadie dalam hati, sambil terus menatap foto itu.
Ia hanyalah seorang penjaja bakso, orang biasa yang hidup sederhana. Bagaimana mungkin ia bisa memiliki hubungan dengan seorang pria kaya raya dan berpengaruh seperti itu?
Sementara kata ibunya ayahnya sudah lama meninggal ketika dia masih bayi, sekarang ibu dan adiknya berada di kampung. Tinggal dirinya yang kuliah dan berjualan bakso untuk membayar kosnya, membayar kuliah dan juga mengirimi ibunya.
Melihat ekspresi bingung Ghenadie, pria tersebut tersenyum lagi, lalu berkata dengan lembut,
"Saya mengerti ini semua pasti sangat membingungkan bagimu, tapi dengarkanlah penjelasanku. Saya telah mencari putra sulung direktur selama bertahun-tahun. Kamu adalah dia."
Ghenadie menggelengkan kepalanya, tidak bisa mempercayai apa yang ia dengar. "Tapi, saya dibesarkan di desa Koromue. Orang tua saya hanyalah petani. Ayahku sudah lama meninggal, bahkan ketika aku masih kecil. Tidak mungkin saya adalah anak dari direktur terkenal."
Pria itu tampak mengerti keraguan Ghenadie.
"Saya sudah menduga akan keraguan ini. Tapi biarkan saya jelaskan lebih lanjut. Ketika kau masih sangat kecil, ada sebuah insiden yang menyebabkan keluargamu terpisah.”
“Direktur kami kehilangan putra sulungnya dalam kecelakaan yang membuat seluruh keluarganya berantakan.”
“Sejak saat itu, kami mencarimu. Kami menemukan beberapa petunjuk yang mengarah ke Koromue, dan setelah bertahun-tahun pencarian, kami akhirnya menemukanmu."
Ghenadie menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. Kenangan masa kecilnya mulai bermunculan, tentang bagaimana orang ibunya selalu mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal, tetapi mereka tak pernah memberitahunya siapa orang tua kandungnya.
Selama ini, Ghenadie tidak pernah memedulikan hal itu, karena ia merasa keluarganya sudah cukup baginya. Namun, kini kenyataan yang baru saja diungkapkan pria asing itu membuat segalanya terasa berbeda.
"Saya tidak tahu harus berkata apa," ucap Ghenadie akhirnya. "Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang penjaja bakso di jalanan. Bagaimana mungkin saya bisa memiliki hubungan dengan seorang direktur terkenal?"
***
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa meliha
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, suasana kantor sudah sangat lengang, karena para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul empat tadi, kecuali mereka yang kerjaannya masih tanggung sehingga terpaksa lembur. Di sebuah sudut ruangan, Budi, manajer HRD, berdiri di balik kaca ray ban jendela yang yang tidak bisa di lihat dari luar. Lampunya mati dan HP mereka juga dimatikan, sehingga orang lain tidak akan menyangka jika mereka berada di ruangan itu.Dia melihat ke arah ruangan Ghenadie yang kebetulan berseberangan dengan ruangannya. Sementara di ruangan lain itu, Ghenadie masih sibuk mempelajari setumpuk.Sebagai orang baru dengan perusahaan, dia harus belajar banyak. Apa lagi ada indikasi kecurangan oleh pada Budi dan keponakannya Joko. Dia dia harus belajar banyak untuk membuktikannya dalam waktu singkat.Ayah Ghenadie, pak Anton Prasetyo, pemilik perusahaan, memang kurang sehat. Pada waktu itu dia sudah berada di rumah, ditemani kawan akrabnya yang selalu setia, pak Andri.Lain h
Joko berhasil mengejar Lina ke kamar kerjanya, kemudian mengajak Lina pulang bersama. Joko masuk duluan ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara lembut AC menjadi satu-satunya latar di dalam kabin.Ia melirik Lina di kursi penumpang yang sibuk memandang ponselnya. Hening melingkupi, hanya dipecahkan oleh sesekali suara klakson dari kendaraan yang sama-sama terjebak di kemacetan panjang Jakarta.“Macetnya parah banget ya,” gumam Joko akhirnya, memecah kebisuan.“Iya, udah biasa,” jawab Lina singkat tanpa menoleh. Nada suaranya netral, tapi Joko tahu ada sesuatu yang mengganjal. Lina bukan tipe yang banyak bicara saat suasana hatinya sedang buruk.Diam kembali menguasai perjalanan mereka. Mobil perlahan merayap di antara kerumunan kendaraan lain. Joko mencoba fokus pada jalanan, tapi pikirannya melayang.Ada hal-hal yang belum terucap, kelakuan Lina tadi ke kamar Ghenadie masih misteri bagi Joko. Namun malam itu, lidahnya seperti terkunci. Ia takut merusak momen yang ada—momen sederha
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, suasana kantor sudah sangat lengang, karena para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul empat tadi, kecuali mereka yang kerjaannya masih tanggung sehingga terpaksa lembur. Di sebuah sudut ruangan, Budi, manajer HRD, berdiri di balik kaca ray ban jendela yang yang tidak bisa di lihat dari luar. Lampunya mati dan HP mereka juga dimatikan, sehingga orang lain tidak akan menyangka jika mereka berada di ruangan itu.Dia melihat ke arah ruangan Ghenadie yang kebetulan berseberangan dengan ruangannya. Sementara di ruangan lain itu, Ghenadie masih sibuk mempelajari setumpuk.Sebagai orang baru dengan perusahaan, dia harus belajar banyak. Apa lagi ada indikasi kecurangan oleh pada Budi dan keponakannya Joko. Dia dia harus belajar banyak untuk membuktikannya dalam waktu singkat.Ayah Ghenadie, pak Anton Prasetyo, pemilik perusahaan, memang kurang sehat. Pada waktu itu dia sudah berada di rumah, ditemani kawan akrabnya yang selalu setia, pak Andri.Lain h
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa meliha
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad