Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.
Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.
Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.
Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.
Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa melihat jika laki-laki itu sangat mirip dengan pak Anton dan sangat tampan.
"Aku tidak bisa diam saja," gumam Budi dalam hati. "Ghenadie mungkin sebentar lagi akan berkuasa sekarang, tapi aku harus mencari tahu kelemahannya. Aku hanya butuh cara untuk membuat dia tersingkir sebelum dia memegang kendali penuh atas perusahaan dan bisa saja menyingkirkanku."
Di sisi lain, Joko yang duduk tidak jauh darinya tampak lebih gelisah. Berulang kali ia memandang ke arah Lina, pacarnya atau istri belum resminya, yang tampak tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal, jauh di lubuk hatinya, Joko tahu Lina adalah orang yang selalu penuh perhitungan.
"Kalau Lina berpaling ke Ghenadie, aku habis," pikir Joko. Ia merasa ketakutan, apalagi mengingat Ghenadie kini bukan hanya lebih kaya, tetapi juga ahli waris dari perusahaan.
Lina dulu bisa berpaling kepadanya, karena dia lebih kaya sementara Ghenadie hanyalah tukang bakso keliling sambil kuliah. Sekarang tidak dinyana, ternyata si tukang bakso gembel itu bisa jadi ahli waris sebuah perusahaan raksasa.
Sementara itu, Lina hanya tersenyum tipis sambil memerhatikan kuku-kukunya yang baru saja dipoles. Dalam pikirannya, Ghenadie adalah peluang. Ia tahu bahwa dirinya cantik dan memiliki pesona yang sulit ditolak. Baginya, kehidupan adalah tentang memilih siapa yang bisa memberikan jaminan terbaik.
Budi akhirnya membuka pembicaraan, suaranya rendah tapi penuh tekanan. Karena Joko dan Lina dia panggil masuk ke dalam ruangannya.
"Jadi, apa rencana kalian setelah ini?" tanyanya sambil melirik ke arah Joko dan Lina.
Joko mengangkat bahu, tapi ekspresinya gugup. "Rencana? Maksudnya apa, Paman? Kita kan cuma perlu melanjutkan tugas masing-masing."
Budi tersenyum tipis, jelas ia tidak percaya. "Ah, Joko. Kau benar-benar tidak merasa terancam dengan hadirnya Ghenadie? Dia bukan sekadar mantan tukang bakso, dia sekarang adalah pemilik perusahaan."
Lina ikut angkat bicara, suaranya terdengar santai. "Kalau memang dia pemegang perusahaan, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kan? Kita hanya perlu menunjukkan bahwa kita profesional. Itu saja."
Tapi Joko langsung menatap Lina tajam, ada nada cemas dalam suaranya. "Lina, kau terlalu santai. Kau lupa siapa Ghenadie? Dia bukan cuma pemilik perusahaan, dia juga orang yang dulu kau tinggalkan."
Lina tersenyum, kali ini lebih lebar. "Dan itu salah siapa, Joko? Bukankah kau yang merebutku darinya?"
Joko terdiam, tapi matanya menyiratkan kemarahan.
Budi yang menyaksikan dinamika di antara mereka hanya menggeleng pelan. Ia tahu, Lina dan Joko adalah pasangan yang dibentuk oleh ambisi masing-masing, juga nafsu birahi, bukan cinta sejati.
Kemudian mereka terdiam dan asyik dengan pikiran masing-masing. Budi berusaha mengamankan dirinya, sementara Joko memikirkan jangan-jangan Lina berusaha kembali kepada Ghenadie sehingga hidupnya lebih terjamin.
Sedangkan Lina sedang berpikir keras, sesuatu bagaimana yabng menguntungkan dirinya. Dia tidak peduli dengan kesetiaan dan pengkhianatan, baginya hidup itu adalah kesempatan dan siapa yang bisa memberikannya kepastian hidup.
Setelah pertemuan singkat itu, Joko dan Lina kembali ke ruangannya. Sementara Budi membuka laptop dan mulai mencari data tentang Ghenadie. "Setiap orang punya kelemahan," pikirnya. "Dan aku yakin aku bisa menemukannya."
Meskipun dia baru mengenal Ghenadie, tetapi dia sangat yakin jika data tentang Ghenadie bertebaran di internet. Karena sekarang nyaris semuanya serba online di media sosial. Dia membuka F******k, I*******m, X, Tik Tok. Pokoknya semua media sosial yang dia perkirakan ada data Ghenadie.
"Aku hanya perlu orang dalam untuk menggali informasi lebih dalam," pikirnya.
Budi memutuskan untuk memanfaatkan seseorang yang ia tahu bisa dipercaya, seseorang yang punya bisa dia gunakan untuk menyingkirkan Ghenadie, bila perlu menghabisinya.
Pada saat bersamaan, Joko dan Lina sudah kembali ke ruangan mereka dan duduk berdua. Di ruangan itu hanya mereka berdua. Suasana di antara mereka terasa tegang.
"Jadi, kau ingin aku pura-pura tidak peduli dengan keberadaan Ghenadie?" tanya Joko dengan nada sinis.
Lina mengangkat bahu, sambil meminum kopinya. "Kau tidak perlu pura-pura. Aku tahu kau memang takut, Joko. Jangan kira aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu."
Joko menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Aku tahu apa yang kau pikirkan, Lina. Kau pasti melihat ini sebagai kesempatan untuk kembali mendekati dia, kan? Jangan pikir aku tidak sadar."
Lina tertawa kecil, tapi tawa itu dingin. "Oh, Joko. Kau terlalu paranoid. Lagi pula, apa salahnya kalau aku berbicara baik-baik dengan Ghenadie? Itu demi kepentingan kita juga."
"Kepentingan kita, atau kepentinganmu?" balas Joko dengan nada tajam.
Lina meletakkan cangkirnya dengan pelan, tapi tatapannya berubah serius. "Dengar, Joko. Aku tidak pernah menginginkan hidup yang biasa-biasa saja. Kau tahu itu. Dan kalau aku melihat peluang untuk memperbaiki hidupku, aku akan mengambilnya. Kalau kau tidak bisa menerima itu, terserah."
Joko terdiam, tapi dadanya terasa sesak. Ia tahu bahwa Lina memang selalu seperti ini.
Sementara itu, pada saat bersamaan, jauh di kamar yang lain, Ghenadie tidak sepenuhnya buta dengan apa yang sedang terjadi. Ia tahu bahwa kehadirannya di perusahaan telah mengguncang beberapa orang, termasuk mantan pacarnya, Lina, dan saingan, Budi.
Di saat itu, Ghenadie melihat ayahnya pak Anton dan pembantu setianya, pak Andri duduk sambil saling memandang. Pak Anton sangat tertarik dengan apa yang disampaikan pak Andri tadi.
“Apa itu pak Andri?” tanya pak Anton antusias.
Pak Andri menatap pak Anton, dari pandangannya itu pak Anton tahu jika pembantunya ini sangat setia, selama ini orang ini selalu berkorban untuknya.
Pak Anton ingat ketika itu sedang makan di sebuah restoran, dia melihat pak Andri sedang memungut sampah-sampah di sekitar itu. Dia perhatikan pak Andri bekerja sangat teliti dan telaten.
Tapi mengapa nasibnya seperti itu? Jadi gembel pemungut sampah?
Entah bagaimana, hati pak Anton yang memang sangat baik, sangat tertarik dengan pak Andri. Kelihatan oleh pak Anton jika pak Andri meskipun jadi pemungut sampah, tetapi kelihatan seorang pekerja keras.
Kalau orang seperti itu jadi pembantuku? Mungkin sangat berarti …
Seperti ada yang menggerakannya, pada saat bersamaan, pak Andri melihat pak Anton. Kebetulan pak Andri juga sedang melihat dirinya. Pak Anton melemparkan senyum, langsung di balas pak Andri dengan senyuman sangat tulus.
Sungguh orang kaya yang sepertinya baik, pikir pak Andri dalam hati. Karena hampir semua orang kaya yang dijumpainya pasti memandangnya dengan rasa jijik.
“Kamu sudah makan?” tiba-tiba pak Anton bertanya dengan wajah yang sangat lembut dan penuh rasa iba.
***
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, suasana kantor sudah sangat lengang, karena para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul empat tadi, kecuali mereka yang kerjaannya masih tanggung sehingga terpaksa lembur. Di sebuah sudut ruangan, Budi, manajer HRD, berdiri di balik kaca ray ban jendela yang yang tidak bisa di lihat dari luar. Lampunya mati dan HP mereka juga dimatikan, sehingga orang lain tidak akan menyangka jika mereka berada di ruangan itu.Dia melihat ke arah ruangan Ghenadie yang kebetulan berseberangan dengan ruangannya. Sementara di ruangan lain itu, Ghenadie masih sibuk mempelajari setumpuk.Sebagai orang baru dengan perusahaan, dia harus belajar banyak. Apa lagi ada indikasi kecurangan oleh pada Budi dan keponakannya Joko. Dia dia harus belajar banyak untuk membuktikannya dalam waktu singkat.Ayah Ghenadie, pak Anton Prasetyo, pemilik perusahaan, memang kurang sehat. Pada waktu itu dia sudah berada di rumah, ditemani kawan akrabnya yang selalu setia, pak Andri.Lain h
Joko berhasil mengejar Lina ke kamar kerjanya, kemudian mengajak Lina pulang bersama. Joko masuk duluan ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara lembut AC menjadi satu-satunya latar di dalam kabin.Ia melirik Lina di kursi penumpang yang sibuk memandang ponselnya. Hening melingkupi, hanya dipecahkan oleh sesekali suara klakson dari kendaraan yang sama-sama terjebak di kemacetan panjang Jakarta.“Macetnya parah banget ya,” gumam Joko akhirnya, memecah kebisuan.“Iya, udah biasa,” jawab Lina singkat tanpa menoleh. Nada suaranya netral, tapi Joko tahu ada sesuatu yang mengganjal. Lina bukan tipe yang banyak bicara saat suasana hatinya sedang buruk.Diam kembali menguasai perjalanan mereka. Mobil perlahan merayap di antara kerumunan kendaraan lain. Joko mencoba fokus pada jalanan, tapi pikirannya melayang.Ada hal-hal yang belum terucap, kelakuan Lina tadi ke kamar Ghenadie masih misteri bagi Joko. Namun malam itu, lidahnya seperti terkunci. Ia takut merusak momen yang ada—momen sederha
Malam telah jauh menyelubungi kota, dan lampu-lampu jalan berpendar redup di tengah kesunyian. Di dalam kantornya yang megah, Ghenadie duduk di belakang meja besar yang penuh dengan tumpukan kertas.Di hadapannya, laporan keuangan perusahaan tergeletak dengan angka-angka mencurigakan yang seolah berteriak untuk diperhatikan. Ia mengerutkan kening, membaca dengan seksama.Semakin dalam ia menggali, semakin jelas kecurigaannya: dua orang kepercayaannya ayahnya, Budi dan Joko, telah melakukan penggelapan besar-besaran.Bukti-bukti mulai terkumpul di tangannya. Kejanggalan transaksi, aliran dana yang tidak wajar, hingga perbedaan laporan internal dan eksternal membuat segalanya menjadi terang.“Berani sekali mereka,” gumamnya, suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam. Ia tahu, langkah selanjutnya adalah membongkar semuanya. Namun, ia juga sadar, ini bukan urusan kecil. Ini melibatkan uang dalam jumlah besar, dan jika ia tidak berhati-hati, bukan hanya perusahaan yang akan hancur, tetapi
Pak Anton duduk di kursi kayu tua di teras rumahnya, mengenakan sarung yang melilit lututnya yang sedikit bengkak. Pagi itu tenang, hanya suara angin dan kicauan burung yang mengisi udara.Meski jalannya kini pincang dan lambat akibat asam urat serta kolesterol yang kerap menyerang sendi-sendi tubuhnya, ia bersyukur bisa menikmati sisa hidupnya. Namun, di balik senyumnya yang tenang, ada luka yang tidak semua orang tahu.“Pak, minum obatnya dulu,” kata Bulan, anak tetangga yang merawatnya.Anak tetangga ini sudah kehilangan kedua orang tuanya, sehingga dianggap sebagai anak oleh pak Anton dan dihidupinya.Bulan yang datang membawa segelas air putih dan beberapa tablet kecil di tangannya. Pak Anton memandang Lina sejenak, lalu tersenyum samar. “Obat lagi, Lan? Sudah seperti permen saja hidup ini, setiap hari mesti ditelan.”“Bapak ini suka bercanda,” Bulan mencoba tersenyum, meski hatinya was-was. “Kalau Bapak nggak minum obat, nanti tambah parah. Nggak mau kan, saya bawain kursi roda
Langit malam menyelimuti kota dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu jalan. Suasana di dalam ruangan itu terasa menekan, seperti ada badai yang siap meledak kapan saja. Cahaya redup dari lampu meja memantulkan bayangan tajam di dinding, membuat wajah Budi terlihat semakin menyeramkan.Joko duduk di kursi tua di seberang Budi, tapi rasa gelisahnya membuat tubuhnya terasa berat. Tangannya masih bergetar sejak telepon dengan Lina tadi. Ia tidak yakin apakah semua ini benar-benar bisa berjalan sesuai rencana, terutama jika Lina mulai curiga.“Apakah Lina curiga?” suara Budi terdengar rendah, tapi nada bicaranya seperti pisau yang tajam menusuk. Ia menatap Joko dengan mata yang penuh tekanan.Joko mencoba menenangkan diri, menggeleng pelan meskipun gerakannya kaku. “Dia tidak tahu, Paman,” katanya dengan suara yang nyaris bergetar.Namun, di dalam hatinya ada keraguan, ada celah kecil yang takut Lina benar-benar mengetahui apa yang mereka sembunyikan.Budi tersenyum tipis, tapi
Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya."Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suara
Langit malam menyelimuti kota dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu jalan. Suasana di dalam ruangan itu terasa menekan, seperti ada badai yang siap meledak kapan saja. Cahaya redup dari lampu meja memantulkan bayangan tajam di dinding, membuat wajah Budi terlihat semakin menyeramkan.Joko duduk di kursi tua di seberang Budi, tapi rasa gelisahnya membuat tubuhnya terasa berat. Tangannya masih bergetar sejak telepon dengan Lina tadi. Ia tidak yakin apakah semua ini benar-benar bisa berjalan sesuai rencana, terutama jika Lina mulai curiga.“Apakah Lina curiga?” suara Budi terdengar rendah, tapi nada bicaranya seperti pisau yang tajam menusuk. Ia menatap Joko dengan mata yang penuh tekanan.Joko mencoba menenangkan diri, menggeleng pelan meskipun gerakannya kaku. “Dia tidak tahu, Paman,” katanya dengan suara yang nyaris bergetar.Namun, di dalam hatinya ada keraguan, ada celah kecil yang takut Lina benar-benar mengetahui apa yang mereka sembunyikan.Budi tersenyum tipis, tapi
Pak Anton duduk di kursi kayu tua di teras rumahnya, mengenakan sarung yang melilit lututnya yang sedikit bengkak. Pagi itu tenang, hanya suara angin dan kicauan burung yang mengisi udara.Meski jalannya kini pincang dan lambat akibat asam urat serta kolesterol yang kerap menyerang sendi-sendi tubuhnya, ia bersyukur bisa menikmati sisa hidupnya. Namun, di balik senyumnya yang tenang, ada luka yang tidak semua orang tahu.“Pak, minum obatnya dulu,” kata Bulan, anak tetangga yang merawatnya.Anak tetangga ini sudah kehilangan kedua orang tuanya, sehingga dianggap sebagai anak oleh pak Anton dan dihidupinya.Bulan yang datang membawa segelas air putih dan beberapa tablet kecil di tangannya. Pak Anton memandang Lina sejenak, lalu tersenyum samar. “Obat lagi, Lan? Sudah seperti permen saja hidup ini, setiap hari mesti ditelan.”“Bapak ini suka bercanda,” Bulan mencoba tersenyum, meski hatinya was-was. “Kalau Bapak nggak minum obat, nanti tambah parah. Nggak mau kan, saya bawain kursi roda
Malam telah jauh menyelubungi kota, dan lampu-lampu jalan berpendar redup di tengah kesunyian. Di dalam kantornya yang megah, Ghenadie duduk di belakang meja besar yang penuh dengan tumpukan kertas.Di hadapannya, laporan keuangan perusahaan tergeletak dengan angka-angka mencurigakan yang seolah berteriak untuk diperhatikan. Ia mengerutkan kening, membaca dengan seksama.Semakin dalam ia menggali, semakin jelas kecurigaannya: dua orang kepercayaannya ayahnya, Budi dan Joko, telah melakukan penggelapan besar-besaran.Bukti-bukti mulai terkumpul di tangannya. Kejanggalan transaksi, aliran dana yang tidak wajar, hingga perbedaan laporan internal dan eksternal membuat segalanya menjadi terang.“Berani sekali mereka,” gumamnya, suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam. Ia tahu, langkah selanjutnya adalah membongkar semuanya. Namun, ia juga sadar, ini bukan urusan kecil. Ini melibatkan uang dalam jumlah besar, dan jika ia tidak berhati-hati, bukan hanya perusahaan yang akan hancur, tetapi
Joko berhasil mengejar Lina ke kamar kerjanya, kemudian mengajak Lina pulang bersama. Joko masuk duluan ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara lembut AC menjadi satu-satunya latar di dalam kabin.Ia melirik Lina di kursi penumpang yang sibuk memandang ponselnya. Hening melingkupi, hanya dipecahkan oleh sesekali suara klakson dari kendaraan yang sama-sama terjebak di kemacetan panjang Jakarta.“Macetnya parah banget ya,” gumam Joko akhirnya, memecah kebisuan.“Iya, udah biasa,” jawab Lina singkat tanpa menoleh. Nada suaranya netral, tapi Joko tahu ada sesuatu yang mengganjal. Lina bukan tipe yang banyak bicara saat suasana hatinya sedang buruk.Diam kembali menguasai perjalanan mereka. Mobil perlahan merayap di antara kerumunan kendaraan lain. Joko mencoba fokus pada jalanan, tapi pikirannya melayang.Ada hal-hal yang belum terucap, kelakuan Lina tadi ke kamar Ghenadie masih misteri bagi Joko. Namun malam itu, lidahnya seperti terkunci. Ia takut merusak momen yang ada—momen sederha
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, suasana kantor sudah sangat lengang, karena para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul empat tadi, kecuali mereka yang kerjaannya masih tanggung sehingga terpaksa lembur. Di sebuah sudut ruangan, Budi, manajer HRD, berdiri di balik kaca ray ban jendela yang yang tidak bisa di lihat dari luar. Lampunya mati dan HP mereka juga dimatikan, sehingga orang lain tidak akan menyangka jika mereka berada di ruangan itu.Dia melihat ke arah ruangan Ghenadie yang kebetulan berseberangan dengan ruangannya. Sementara di ruangan lain itu, Ghenadie masih sibuk mempelajari setumpuk.Sebagai orang baru dengan perusahaan, dia harus belajar banyak. Apa lagi ada indikasi kecurangan oleh pada Budi dan keponakannya Joko. Dia dia harus belajar banyak untuk membuktikannya dalam waktu singkat.Ayah Ghenadie, pak Anton Prasetyo, pemilik perusahaan, memang kurang sehat. Pada waktu itu dia sudah berada di rumah, ditemani kawan akrabnya yang selalu setia, pak Andri.Lain h
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa meliha
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang