Joko berhasil mengejar Lina ke kamar kerjanya, kemudian mengajak Lina pulang bersama. Joko masuk duluan ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara lembut AC menjadi satu-satunya latar di dalam kabin.Ia melirik Lina di kursi penumpang yang sibuk memandang ponselnya. Hening melingkupi, hanya dipecahkan oleh sesekali suara klakson dari kendaraan yang sama-sama terjebak di kemacetan panjang Jakarta.“Macetnya parah banget ya,” gumam Joko akhirnya, memecah kebisuan.“Iya, udah biasa,” jawab Lina singkat tanpa menoleh. Nada suaranya netral, tapi Joko tahu ada sesuatu yang mengganjal. Lina bukan tipe yang banyak bicara saat suasana hatinya sedang buruk.Diam kembali menguasai perjalanan mereka. Mobil perlahan merayap di antara kerumunan kendaraan lain. Joko mencoba fokus pada jalanan, tapi pikirannya melayang.Ada hal-hal yang belum terucap, kelakuan Lina tadi ke kamar Ghenadie masih misteri bagi Joko. Namun malam itu, lidahnya seperti terkunci. Ia takut merusak momen yang ada—momen sederha
Malam telah jauh menyelubungi kota, dan lampu-lampu jalan berpendar redup di tengah kesunyian. Di dalam kantornya yang megah, Ghenadie duduk di belakang meja besar yang penuh dengan tumpukan kertas.Di hadapannya, laporan keuangan perusahaan tergeletak dengan angka-angka mencurigakan yang seolah berteriak untuk diperhatikan. Ia mengerutkan kening, membaca dengan seksama.Semakin dalam ia menggali, semakin jelas kecurigaannya: dua orang kepercayaannya ayahnya, Budi dan Joko, telah melakukan penggelapan besar-besaran.Bukti-bukti mulai terkumpul di tangannya. Kejanggalan transaksi, aliran dana yang tidak wajar, hingga perbedaan laporan internal dan eksternal membuat segalanya menjadi terang.“Berani sekali mereka,” gumamnya, suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam. Ia tahu, langkah selanjutnya adalah membongkar semuanya. Namun, ia juga sadar, ini bukan urusan kecil. Ini melibatkan uang dalam jumlah besar, dan jika ia tidak berhati-hati, bukan hanya perusahaan yang akan hancur, tetapi
Pak Anton duduk di kursi kayu tua di teras rumahnya, mengenakan sarung yang melilit lututnya yang sedikit bengkak. Pagi itu tenang, hanya suara angin dan kicauan burung yang mengisi udara.Meski jalannya kini pincang dan lambat akibat asam urat serta kolesterol yang kerap menyerang sendi-sendi tubuhnya, ia bersyukur bisa menikmati sisa hidupnya. Namun, di balik senyumnya yang tenang, ada luka yang tidak semua orang tahu.“Pak, minum obatnya dulu,” kata Bulan, anak tetangga yang merawatnya.Anak tetangga ini sudah kehilangan kedua orang tuanya, sehingga dianggap sebagai anak oleh pak Anton dan dihidupinya.Bulan yang datang membawa segelas air putih dan beberapa tablet kecil di tangannya. Pak Anton memandang Lina sejenak, lalu tersenyum samar. “Obat lagi, Lan? Sudah seperti permen saja hidup ini, setiap hari mesti ditelan.”“Bapak ini suka bercanda,” Bulan mencoba tersenyum, meski hatinya was-was. “Kalau Bapak nggak minum obat, nanti tambah parah. Nggak mau kan, saya bawain kursi roda
Langit malam menyelimuti kota dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu jalan. Suasana di dalam ruangan itu terasa menekan, seperti ada badai yang siap meledak kapan saja. Cahaya redup dari lampu meja memantulkan bayangan tajam di dinding, membuat wajah Budi terlihat semakin menyeramkan.Joko duduk di kursi tua di seberang Budi, tapi rasa gelisahnya membuat tubuhnya terasa berat. Tangannya masih bergetar sejak telepon dengan Lina tadi. Ia tidak yakin apakah semua ini benar-benar bisa berjalan sesuai rencana, terutama jika Lina mulai curiga.“Apakah Lina curiga?” suara Budi terdengar rendah, tapi nada bicaranya seperti pisau yang tajam menusuk. Ia menatap Joko dengan mata yang penuh tekanan.Joko mencoba menenangkan diri, menggeleng pelan meskipun gerakannya kaku. “Dia tidak tahu, Paman,” katanya dengan suara yang nyaris bergetar.Namun, di dalam hatinya ada keraguan, ada celah kecil yang takut Lina benar-benar mengetahui apa yang mereka sembunyikan.Budi tersenyum tipis, tapi
Sudah bertahun-tahun Anton berjuang untuk mempertahankan usahanya dari ancaman selama ini. Selama itu pula, dia selalu mengandalkan kecerdasannya untuk tetap selamat, berusaha untuk menjaga jarak dari orang-orang yang tidak bisa dipercaya.Budi adalah salah satunya—seorang pria yang berpura-pura menjadi teman, namun di balik senyum ramahnya, ia adalah musuh yang paling berbahaya. Anton tahu, meski suara Budi terdengar melalui mikrofon, itu adalah suara yang tidak asing baginya.Budi, orang yang selama ini menunggu saat yang tepat untuk menghancurkannya.“Akhirnya kamu menunjukkan dirimu,” ujar Anton dengan senyum tipis di wajahnya, meski di dalam hatinya berkecamuk amarah yang terpendam.Suara itu menggetarkan setiap tulang dalam tubuhnya, suara yang penuh dengan tipu daya dan ancaman yang akan datang.Di sebelah Anton, Ghenadie, anak laki-lakinya yang baru ditemukannya beberapa buklan yang lalu dan baru sembuh dari kecelakaan mobilnya, tampak cemas. Matanya yang tajam menyiratkan keb
Pak Anton, Ghenadie, dan Desy melangkah perlahan menyusuri lorong bawah tanah yang terasa semakin pengap. Udara lembab bercampur aroma tanah basah membuat napas mereka berat.Pak Anton sesekali menyorotkan senternya ke sudut-sudut gelap, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai seperti ular, misalnya. Memang ruangan ini sudah lama dia buat dan setelah bertahun-tahun yang lalu ketika rumah ini di buat, baru inilah dia memasukinya."Papa, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kita harus kabur seperti ini?" tanya Ghenadie dengan nada setengah berbisik namun sarat dengan kegelisahan.Pak Anton tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sejenak pada putranya, sorot matanya dipenuhi campuran antara keksalan pada Budi dan Joko dan tekad yang kuat."Ghenadie, ada hal-hal yang tidak bisa Papa jelaskan sekarang. Tapi percayalah, ini semua untuk menyelamatkan kita," ujarnya dengan suara rendah namun tegas.Desy berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh ke belakang seolah takut sesuatu akan me
Malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Di kawasan perumahan elite tempat para konglomerat tinggal, rumah besar milik Anton Prasetyo berdiri megah di antara bangunan lainnya.Sebagai Direktur Utama PT Prasetyo Grup, kekayaannya tidak diragukan lagi. Namun, ketenangan malam itu seketika berubah menjadi kekacauan ketika sebuah ledakan dahsyat mengguncang lingkungan tersebut.Suara ledakan itu memekakkan telinga. Gelombang kejutannya merambat cepat, menghancurkan kaca-kaca rumah di sekitarnya dan mengguncang bumi seolah gempa datang mendadak.Para tetangga yang tinggal jauh dari rumah Anton Prasetyo pun merasakan getaran dan segera berlarian keluar rumah, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Ya Tuhan! Apa itu?” seru seorang pria paruh baya yang berdiri di halaman rumahnya, melihat ke arah kepulan asap hitam pekat yang membubung tinggi ke langit.Orang-orang mulai berkerumun, mencoba memahami situasi yang tengah terjadi. Sementara
Di ruang bawah tanah yang remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya dari layar monitor besar, Anton duduk dengan tenang. Di hadapannya, Ghenadie bersedekap dengan ekspresi gelisah, sementara Desy tetap diam, matanya tajam memperhatikan layar monitor yang menampilkan gambar kabur dari kamera pengintai.Ledakan keras beberapa menit lalu telah menghancurkan sebagian besar kamera CCTV yang terpasang di sekitar properti Anton. Kini, hanya satu kamera yang masih berfungsi, itupun dengan jarak yang cukup jauh sehingga gambar yang ditampilkan buram dan tidak jelas."Jadi kita bagaimana?" tanya Ghenadie, suaranya dipenuhi ketegangan.Pak Anton tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang dihadapi. "Terserah kalian berdua," jawabnya santai."Ruangan ini terhubung dengan jalan keluar yang tidak diketahui orang. Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu. Makanan kaleng yang kusimpan cukup untuk dua tahun."Desy akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tapi penuh perhi
Musim semi menyelimuti Sydney dengan suhu hangat yang lembut. Udara segar, langit biru bersih, dan aroma laut yang samar membuat setiap pagi terasa seperti lembaran baru dalam hidup Ghenadie.Tujuh hari bersama Liana telah menyisakan jejak yang sulit dihapuskan. Tapi semua harus kembali pada kenyataan. Liana harus kembali bertugas, dan Ghenadie… harus mulai membangun sesuatu.Ia tidak melupakan Hana, tetapi sudah beberapa kali dia menghubungi Hana, tetapi gadis itu ttidk pernah membaalasnya atau mengangkat telponnya. Ghenadie hanya curiga saja gadis itu kehilangan ponsel.Ia duduk sendiri di sebuah kafe pinggir pelabuhan Darling Harbour, menatap laptopnya dengan layar kosong. Sudah beberapa jam ia hanya menatap layar, jari-jarinya enggan bergerak.“Mau kopi lagi, sir?” tanya pelayan ramah.“Ya, satu cappuccino. Terima kasih.”Langkah awal selalu yang paling sulit. Bukan karena dia tidak tahu caranya, Ghenadie pernah membangun divisi dari nol, pernah mengelola proyek lintas negara.Tap
Pesawat berbadan besar itu perlahan mengangkat tubuhnya dari landasan, menembus langit biru menuju benua jauh di selatan. Di balik jendela kecil kelas satu, Ghenadie duduk dengan pandangan kosong menatap awan yang menggumpal seperti kapas.Australia, benua yang ia pilih bukan tanpa alasan. Luas, sunyi, dan baginya, penuh kemungkinan. Ia sudah terlalu lama hidup dalam keramaian penuh kepalsuan.Dunia bisnis yang keras, hubungan kekeluargaan antara karyawan yang penuh tekanan, dan kota yang tak pernah tidur. Ia ingin menghilang atau lebih tepatnya, menemukan dirinya kembali.Namun perjalanannya bukan semata-mata pelarian. Ada sesuatu yang menuntunnya ke sana, entah mimpi, entah takdir. Ia hanya tahu, ia harus pergi.Baru saja ia hendak memejamkan mata, sebuah keributan kecil terdengar dari lorong pesawat tak jauh dari tempat duduknya."Waduh, pak …! Apa tidak bisa lihat? Barang Bapak kan terlalu besar! Ini mengganggu orang lain!"Ghenadie menoleh. Seorang pria bertubuh besar dan berwaja
Dua minggu kemudian, persiapan keberangkatan pun dilakukan. Tapi Ghenadie menyimpan satu rencana terakhir. Ia ingin menikah sebelum pergi.Perempuan cerdas yang ditemukan Ghenadie beberapa bulan ini. Mereka bertemu dalam sebuah forum diskusi yang membahas tentang etika hukum dan bisnis.Ghenadie datang karena rasa ingin tahunya tentang sistem hukum yang kerap dimanipulasi. Hana hadir sebagai salah satu panelis muda, mewakili kelompok advokat HAM independen.Sejak itu, mereka sering bertemu lagi, kadang dalam forum debat, kadang dalam diskusi-diskusi kecil di kafe kampus, dan kadang karena Ghenadie butuh teman bicara.Hana jadi tempat Ghenadie mencurahkan keresahan, tentang bisnis keluarganya, tentang pengkhianatan pak budi dan keponakannya Joko, tentang ketakutannya akan menjadi bagian dari sistem yang ia benci.Awalnya semua berjalan biasa. Hana mendengarkan dengan kepala dingin, kadang menyela dengan kritik tajam, kadang menantangnya dengan pertanyaan filosofis yang membuat Ghenadie
Ghenadie menatap layar laptopnya yang menampilkan salinan laporan resmi yang ia serahkan dua bulan lalu. Semua bukti sudah ia lampirkan. Video rekaman, dokumen transaksi gelap, bahkan kesaksian karyawan internal yang bersedia menjadi whistleblower.Namun semuanya... lenyap. Tidak ada tindak lanjut. Tidak ada penyelidikan. Tidak ada kabar.Selembar surat dari kejaksaan yang hanya berisi satu kalimat pengembalian dokumen membuat dadanya terasa sesak.“Laporan Anda tidak memenuhi unsur pidana.” Singkat, dingin, seakan tak pernah terjadi apa-apa.Ia bangkit dari kursi, lalu berjalan ke jendela ruang kerjanya. Kota terlihat damai dari lantai delapan kantor pusat perusahaannya.Tapi ia tahu, di balik gedung-gedung tinggi dan jalanan yang sibuk itu, para pemangku hukum sedang mempermainkan segalanya. “Sia-sia...” gumamnya lirih. “Semua jalur hukum ini... sia-sia.”Ia menekan nomor ayahnya. Panggilan tersambung. “Ayah, kita harus bicara lagi. Segera.”Suara dari seberang terdengar ber
Sudah sebulan sejak rapat darurat itu. Pak Budi dan Joko telah dinonaktifkan dari perusahaan, seluruh akses mereka ke sistem internal dicabut, dan semua berkas serta rekaman suara sudah diserahkan ke pihak berwajib.Ghenadie menyangka proses hukum akan berjalan cepat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Cuma sekarang dia punya kawan, karena Hana sekaarang di rekrut jadi pegawainya.Setiap kali Ghenadie menghubungi penyidik, jawabannya selalu sama, “Kami masih dalam tahap verifikasi,” atau “Kami butuh waktu karena ini melibatkan audit keuangan lintas tahun.”Bahkan ada satu panggilan dari kantor polisi yang berakhir dengan nada bicara menggantung.Hana menutup telepon dengan geram. “Ini sudah keterlaluan. Bukti lengkap, saksi ada, tapi mereka terus menunda.”Ghenadie menatap jendela ruang kerjanya. Hujan turun deras siang itu. Udara dingin, tapi bukan karena cuaca. Tapi karena firasat buruk yang terus menghantuinya.“Dalam mimpiku... keadilan juga lambat. Bahkan tak pernah datang. Kar
Sudah tiga bulan sejak Ghenadie keluar dari rumah sakit. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi pikirannya justru terasa lebih hidup dari sebelumnya.Ia menulis setiap hari tentang mimpinya, tentang dunia penuh darah, sihir, dan pengkhianatan yang ia alami selama koma. Tapi seiring tulisan itu berkembang, sesuatu yang aneh mulai terjadi.Pagi itu, Ghenadie duduk di ruang kerjanya, menyeduh kopi sembari membuka laporan internal perusahaan yang dikirimkan secara rutin oleh sekretaris ayahnya. Di halaman ketujuh, matanya terpaku pada sebuah angka. Ada selisih besar dalam laporan pengeluaran biaya promosi."Ini... tidak masuk akal," gumamnya.Ia membuka kembali catatan mimpi yang ia tulis beberapa minggu lalu. Dalam dunia bawah sadarnya, ia pernah ‘mengadili’ Pak Budi karena terbukti menggelapkan dana perusahaan bersama keponakannya, Joko.Kini, angka itu seperti bukti nyata bahwa cerita itu bukan hanya mimpi. Seakan garis tipis antara dunia tidur dan bangun mulai pudar.Malam itu, Ghenadi
Hening. Putih. Bau obat-obatan. Suara detak mesin monitor.Ghenadie membuka mata perlahan. Cahaya lampu menyilaukan pandangannya. Tenggorokannya kering, lidahnya terasa pahit. Saat mencoba menggerakkan tangan, hanya gemetar kecil yang ia rasakan.“Ghenadie?” suara berat dan hangat itu terdengar, samar, seperti gema dari masa lalu.Ia menoleh perlahan. Sosok berjubah putih berdiri di samping ranjang, memegang tangan kirinya dengan mata berkaca-kaca.“Pak… Anton… Ayah?” gumam Ghenadie pelan.Pria itu, ayah kandungnya, mengangguk, tersenyum lega. “Kau akhirnya bangun, Nak. Hampir setahun kau koma.”“Setahun?”Hati Ghenadie seperti diremukkan oleh kenyataan. Ingatannya berloncatan liar: ledakan, darah, Desy menangis, mantra gaib, Joko terlempar dari atap, Reza menjerit, Pak Budi terbakar hidup-hidup.Namun, semua itu kini terasa… jauh. Seperti mimpi.“Perusahaan kita… sudah kita rebut lagi, ya, Pak? Joko sudah mati, kan? Dan Desy… dia selamat? Kita… kita mau menikah waktu itu…”Pak Anton
Malam itu hujan turun perlahan, seperti tetes-tetes luka yang tak kunjung sembuh di hati Desy. Ia duduk di ruang tamu rumah mereka Ghenadie, sebuah tempat yang terasa terlalu sunyi untuk menampung begitu banyak rahasia.Aroma kayu manis dari lilin aroma terapi melayang samar di udara, tak cukup kuat untuk mengusir hawa dingin yang merayap dari dalam dada mereka masing-masing.Di layar ponsel Desy, berita kematian Reza dan Joko menyebar cepat. Dua pria itu ditemukan di tempat yang sama, pasar malam tempat nongkrong, dengan kondisi jantung mereka seolah pecah dari dalam, tanpa bekas luka luar sedikit pun.Desy menatap layar dengan tangan gemetar, lalu mengangkat wajahnya menatap pria di depannya. Ghenadie duduk tenang, seolah berita itu hanya angin lalu. Tapi Desy tahu, ia tahu betul siapa Ghenadie sebenarnya.“Kamu… kamu membunuh mereka?” tanya Desy dengan suara nyaris berbisik.Matanya tak berkedip, jantungnya berdetak cepat, tak jauh berbeda dari korban yang kini terbujur kaku di dal
Hujan turun tipis di atas atap rumah itu. Suara rintiknya mengalun pelan, mengiringi detak jam dinding yang seolah melambat. Ghenadie duduk di ruang tengah dengan pandangan tajam menatap layar laptopnya.Pencarian terakhirnya nihil. Tak ada jejak, tak ada alamat. Joko dan Reza seperti lenyap ditelan bumi.Tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Api amarah di dadanya makin menyala. “Mereka harus dilenyapkan,” bisiknya lirih, tapi penuh tekad. “Mereka adalah duri dalam daging. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menghalangi pernikahanku dengan Desy.”Desy... Gadis itu kini berada di dalam rumahnya. Sudah lama ia dilindungi dari dunia luar, terutama dari Reza, lelaki keji yang dulu hampir merenggut kehormatannya.Sekarang Reza malah bekerja sama dengan Joko. Joko, pengkhianat berhati licik, yang dulu menguasai perusahaan Pak Anton, ayah Ghenadie, dengan cara-cara kotor. “Satu mencoba memperkosa kekasihku,” gumamnya pelan. “Yang satu mencuri perusahaan keluargaku. Mereka berdua p