Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.
Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.
Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.
Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.
Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya.
"Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suaranya bergema di sudut-sudut jalan yang mulai sepi karena sebagian orang berlindung dari sengatan matahari. "Ini asli daging sapi, bukan daging tikus ..."
Setiap sendok bakso yang ia jual bukan hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga untuk mengirim sedikit uang kepada orang tuanya. Ibunya hanya seorang petani di kampung, sekarang keadaannya kurang sehat lagi.
Kata ibunya, ayahnya sudah lama meninggal, sekarang tinggal ibunya dan satu orang saudara perempuannya yang tinggal di kampung dan masih SD.
Ghenadie nekat mengubah hidup, maka dia pergi kuliah ke kota dan berjualan bakso untuk menopang hidupnya. Ghenadie bekerja seperti biasa di gerobak baksonya, terkadang berjalan berkeliling, terkadang terparkir di tepi jalan karena melayani pembeli.
Sebuah kehidupan sederhana, tapi penuh kerja keras, yang ia jalani dengan tulus. Sejak kecil, ia diajarkan untuk tidak memilih jalan yang instan.
"Kebahagiaan datang dari keringat sendiri," begitu prinsip hidupnya. Namun, sore itu, takdir seakan memberi pukulan tak terduga.
Di kejauhan, sebuah mobil mewah melaju pelan mendekati tempatnya berjualan. Ghenadie awalnya tak terlalu memperhatikan, tapi ketika pintu mobil terbuka, hatinya mendadak seperti berhenti berdetak.
Dari dalam mobil itu, keluar seorang wanita yang sangat ia kenal—Lina, kekasih yang selama ini ia cintai sepenuh hati.
Namun, Lina tidak sendiri. Seorang pria keluar dari kursi pengemudi, menepuk pundaknya mesra, dan keduanya tertawa seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Ghenadie merasakan tubuhnya mulai kaku. Dalam hatinya bergejolak pertanyaan yang tak bisa dijawab: Apa yang sedang terjadi?
Ghenadie akhirnya menghentikan kegiatannya, mencoba untuk menatap lebih lekat, berharap ini semua hanya salah paham.
"Lina?" panggil Ghenadie dengan suara parau, mencoba mencari jawaban dari pandangan mata kekasihnya.
Tapi yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dari Lina, seperti seolah-olah dia tak mengenalinya lagi.
Pria di samping Lina, yang berpakaian rapi dengan jam tangan mewah di pergelangan tangan, memandang Ghenadie dengan tatapan merendahkan. Dia tertawa pelan, mengisyaratkan Lina untuk tidak terlalu memperdulikan Ghenadie.
"Oh, jadi ini tukang bakso yang sering kamu ceritakan, Lina?" tanya pria itu dengan nada mengejek.
Lina hanya tersenyum, tapi senyum itu bukan senyum manis yang biasa Ghenadie lihat. Itu senyum penuh kesombongan dan penghinaan. Hatinya seketika hancur.
“Jangan heran, Ghenadie,” kata Lina, dengan nada yang sama sekali asing bagi Ghenadie. “Aku pantas mendapatkan yang lebih baik. Lihat dirimu! Kamu cuma tukang bakso, sementara di sini ada pria yang bisa memberi ku segalanya—mobil mewah, perhiasan, dan kehidupan yang layak.”
Ghenadie merasa di sambar petir di siang bolong. Ia terdiam. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Wanita yang selama ini ia cintai, yang ia percaya, sekarang berbicara kepadanya dengan begitu kejam.
Namun, rasa marah yang mulai merambat di hatinya, ia tekan dalam-dalam. Ia tidak ingin mengeluarkan kata-kata kasar. Meski sakit hati, ia masih ingin mendengar penjelasan dari Lina.
"Jadi, selama ini kamu hanya bermain-main denganku?" tanya Ghenadie dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Lina memutar bola matanya dengan jengkel.
“Ayolah, Ghenadie. Apa yang kamu pikirkan? Kamu benar-benar percaya aku bisa hidup dengan tukang bakso selamanya? Cinta saja tidak cukup, tidak bisa kita makan. Kita juga butuh uang, kita butuh uang untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya! Aku bosan hidup susah!”
Pria di samping Lina tertawa terbahak-bahak, lalu memotong. “Ayo, Lina. Jangan buang waktu lagi. Pria ini tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Lihat saja, dia masih menjual bakso di pinggir jalan, sementara aku bisa membawamu keliling dunia."
Ghenadie merasakan darahnya mendidih. Rasa cinta yang ia pendam selama ini, segala kerinduan yang begitu kuat, sekarang tergantikan oleh rasa kecewa, sakit dan kemarahan. Namun, sebelum ia bisa merespons, dua orang teman Lina yang turun dari mobil ikut campur.
“Kamu ini naif sekali, Ghenadie!” salah satu dari mereka berteriak. “Kamu pikir Lina bakal hidup dengan kamu selamanya? Lihat hidupmu! Kamu cuma seorang pengelola gerobak. Lina pantas dapat yang lebih baik!”
Ghenadie terdiam. Kata-kata itu sangat presisi, seakan menusuk jantungnya. Sudah cukup penghinaan itu. Ia sadar, tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan di sini. Lina telah memilih jalannya sendiri.
"Lina," kata Ghenadie dengan suara yang kini lebih tegas, meskipun hatinya terasa seperti dicabik-cabik.
"Jika kamu pikir uang bisa memberimu kebahagiaan, maka silakan. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini bersamaku."
Lina mendengus. “Kamu tahu, Ghenadie? Kamu terlalu baik. Itulah masalahmu. Di dunia ini, orang baik seperti kamu hanya akan diinjak-injak. Bersikap baik itu tidak cukup, tetapi orang perlu makan, berjalan keliling dunia, menikmati hidup. Siapa yang mau sampai mati hidup susah, apa lagi bersama tukang bakso sepertimu!”
Mendengar itu, Ghenadie terdiam sejenak, lalu menunduk. Hatinya hancur lebur karena dipermalukan, hatinya berkecamuk, namun ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan mereka. Ia mendongak lagi, menatap Lina dengan mata yang sekarang dipenuhi kesedihan, bukan lagi amarah.
"Kalau itu yang kamu pikir, Lina, maka selamat jalan. Aku berharap kamu bahagia dengan pilihanmu. Mudah-mudahan tidak salah pilih."
Ghenadie membalikkan wajahnya, meneruskan pekerjaannya. Dia tidak peduli lagi dengan Lina dan pria serta dua orang kawan yang bersamanya.
Rasa sakit menggerogoti hatinya, namun ia tahu, ini adalah jalan yang harus ia tempuh.
Namun, saat Ghenadie tidak peduli lagi, salah satu dari wanita kawan Lina itu berteriak lagi, "Eh, kamu tahu dirilah? Jaga saja gerobak bututmu itu! Ha-ha!"
Ghenadie mengeram marah, dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Kali ini, dadanya terasa sesak, bukan karena hinaan itu, tetapi karena rasa kecewa yang begitu mendalam. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
Dunia seolah runtuh di hadapannya, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan harga dirinya hancur. Dia segera mendorong gerobak baksonya pulang. Sesampai di rumah, hari sudah malam.
Malam itu terasa begitu panjang bagi Ghenadie. Ia mengunci dirinya di kamar sempitnya. Seperti hancur berantakan, semua harapan yang selama ini ia bangun bersama Lina hilang dalam sekejap.
Hatinya begitu sakit, namun ia tahu tidak ada gunanya meratapi nasib. Meskipun tangisannya berderai, cuma untung tidak ada yang melihatnya.
***
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa meliha
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Pak Anton memasuki ruangannya dengan langkah hati-hati. Ghenadie dan Desy mengikutinya dari belakang, mata mereka waspada menyapu setiap sudut ruangan.Begitu mereka masuk, mereka terkejut melihat keadaan kantor yang telah berantakan. Laci-laci meja terbuka, lemari dokumen kosong, dan beberapa berkas berserakan di lantai.“Untung pak Budi tidak menepati kantor,” gumam pak Anton di dalam hati. Sehingga mereka bertiga bisa masuk ke sini tanpa ketahuan."Tapi sepertinya mereka sudah menggeledah tempat ini," gumam Ghenadie sambil mengepalkan tangannya. "Tapi apa mereka menemukan sesuatu yang penting?"Pak Anton menghela napas lega setelah melihat dinding tempat rahasianya masih utuh. Dengan cepat, ia berjalan ke sudut ruangan, meraba permukaan dinding kayu di dekat rak buku.Jari-jarinya menemukan sebuah tonjolan kecil yang tidak menarik, lalu ia menekannya. Sebuah panel kecil terbuka, memperlihatkan sebuah berkas tebal yang tersembunyi di dalamnya."Syukurlah, masih ada," kata Pak Anton
Pak Anton menghembuskan napas panjang, tangannya mengepal di atas meja kayu yang usianya mungkin lebih tua dari dirinya sendiri. Matanya menatap kosong ke arah Desy dan Ghenadie yang duduk di depannya.Ruangan ini masih sama seperti beberapa bulan lalu sebelum mereka semua berada di ruang bawah,sewaktu itu mereka meledakan rumah karena melihat pak Budi dan rombongannya mengintai mereka, yaitu orang yang selama ini dianggapnya sebagai tangan kanan sekaligus sahabat.Tapi sekarang, semuanya telah berubah.Besok mereka harus kembali ke perusahaan. Itu satu-satunya pilihan. Perusahaan itu adalah hasil kerja kerasnya selama puluhan tahun.Pak Anton melirik jam dinding yang berdetak pelan. Pukul dua dini hari, dan dia masih terjaga, pikirannya dipenuhi rencana.Pak Budi pasti telah melakukan banyak hal selama mereka terkurung.Ia mengepalkan tangannya lebih erat.“Besok kita ke perusahaan.” Suaranya tegas, nyaris tanpa keraguan.Desy, wanita muda berambut sebahu dengan wajah penuh ketegasan
Mobil melaju menembus kegelapan malam. Hujan yang turun sejak sore membuat jalanan licin, namun sopir yang membawa Pak Anton tetap fokus, memastikan keselamatan mereka.Di sampingnya, Pak Anton duduk diam, wajahnya terlihat tegang, pikirannya penuh dengan kejadian yang baru saja terjadi."Kemana kita?" tanya sopir itu, matanya tetap menatap lurus ke depan."Kita ke rumah persiapanku," jawab Pak Anton, suaranya dingin. Ia kemudian menyebutkan alamat, dan sopir itu mengangguk pelan, mencoba menghafalkannya.Di kursi belakang, Ghenadie—anak Pak Anton—tertidur dengan kepala bersandar pada jendela. Di sampingnya duduk Desy, body guard yang sekarang bertugas menjaga Ghenadie dari mara bahaya.Guru Desy, pak Firmus Sontoloyo, sangat terkenal. Sedangkan Desy meskipun masih muda, dia sangat berbakat sehingga menjadi murid kesayangan gurunya.Pak Anton mengepalkan tangannya. Budi. Nama itu bergema di kepalanya. Sahabatnya sendiri, orang yang selama ini ia percayai, ternyata adalah pengkhianat.
Di dalam ruangan bawah tanah yang remang-remang, suara napas Pak Anton terdengar berat. Mengalami kolestrol tinggi sehingga membuat kakinya belum pulih sepenuhnya, tetapi pikirannya tetap tajam.Ia menatap kedua orang di depannya—Ghenadie, putranya yang masih berusia 24 tahun, dan Desy, bodyguard setia yang telah bekerja dengannya semenjak Ghenadie mengalami kecelakaan mobil aneh tempo hari."Apakah kalian berdua ingin langsung keluar dari sini atau berdiam dulu sampai aku sembuh benar?" tanya Pak Anton dengan suara yang berusaha tetap tegar.Ghenadie dan Desy saling berpandangan. Keputusan ini tidak mudah. Apa pun pilihannya, taruhannya pastilah beresiko. Akhirnya, Ghenadie yang bersuara."Di antara kedua pilihan itu, risikonya apa?"Pak Anton menarik napas dalam sebelum menjelaskan. "Kalau kita menunggu sampai aku sembuh, berarti kita harus tinggal di sini berbulan-bulan, bahkan mungkin bertahun-tahun. Tapi jika kita memilih keluar sekarang, kita harus berhadapan langsung dengan mus
Di ruang bawah tanah yang remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya dari layar monitor besar, Anton duduk dengan tenang. Di hadapannya, Ghenadie bersedekap dengan ekspresi gelisah, sementara Desy tetap diam, matanya tajam memperhatikan layar monitor yang menampilkan gambar kabur dari kamera pengintai.Ledakan keras beberapa menit lalu telah menghancurkan sebagian besar kamera CCTV yang terpasang di sekitar properti Anton. Kini, hanya satu kamera yang masih berfungsi, itupun dengan jarak yang cukup jauh sehingga gambar yang ditampilkan buram dan tidak jelas."Jadi kita bagaimana?" tanya Ghenadie, suaranya dipenuhi ketegangan.Pak Anton tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh oleh situasi yang sedang dihadapi. "Terserah kalian berdua," jawabnya santai."Ruangan ini terhubung dengan jalan keluar yang tidak diketahui orang. Kita bisa bertahan di sini untuk sementara waktu. Makanan kaleng yang kusimpan cukup untuk dua tahun."Desy akhirnya angkat bicara, suaranya lembut tapi penuh perhi
Malam itu begitu tenang. Angin bertiup pelan, membawa aroma khas hujan yang baru saja reda. Di kawasan perumahan elite tempat para konglomerat tinggal, rumah besar milik Anton Prasetyo berdiri megah di antara bangunan lainnya.Sebagai Direktur Utama PT Prasetyo Grup, kekayaannya tidak diragukan lagi. Namun, ketenangan malam itu seketika berubah menjadi kekacauan ketika sebuah ledakan dahsyat mengguncang lingkungan tersebut.Suara ledakan itu memekakkan telinga. Gelombang kejutannya merambat cepat, menghancurkan kaca-kaca rumah di sekitarnya dan mengguncang bumi seolah gempa datang mendadak.Para tetangga yang tinggal jauh dari rumah Anton Prasetyo pun merasakan getaran dan segera berlarian keluar rumah, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.“Ya Tuhan! Apa itu?” seru seorang pria paruh baya yang berdiri di halaman rumahnya, melihat ke arah kepulan asap hitam pekat yang membubung tinggi ke langit.Orang-orang mulai berkerumun, mencoba memahami situasi yang tengah terjadi. Sementara
Pak Anton, Ghenadie, dan Desy melangkah perlahan menyusuri lorong bawah tanah yang terasa semakin pengap. Udara lembab bercampur aroma tanah basah membuat napas mereka berat.Pak Anton sesekali menyorotkan senternya ke sudut-sudut gelap, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai seperti ular, misalnya. Memang ruangan ini sudah lama dia buat dan setelah bertahun-tahun yang lalu ketika rumah ini di buat, baru inilah dia memasukinya."Papa, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kita harus kabur seperti ini?" tanya Ghenadie dengan nada setengah berbisik namun sarat dengan kegelisahan.Pak Anton tidak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sejenak pada putranya, sorot matanya dipenuhi campuran antara keksalan pada Budi dan Joko dan tekad yang kuat."Ghenadie, ada hal-hal yang tidak bisa Papa jelaskan sekarang. Tapi percayalah, ini semua untuk menyelamatkan kita," ujarnya dengan suara rendah namun tegas.Desy berjalan di belakang mereka, sesekali menoleh ke belakang seolah takut sesuatu akan me
Sudah bertahun-tahun Anton berjuang untuk mempertahankan usahanya dari ancaman selama ini. Selama itu pula, dia selalu mengandalkan kecerdasannya untuk tetap selamat, berusaha untuk menjaga jarak dari orang-orang yang tidak bisa dipercaya.Budi adalah salah satunya—seorang pria yang berpura-pura menjadi teman, namun di balik senyum ramahnya, ia adalah musuh yang paling berbahaya. Anton tahu, meski suara Budi terdengar melalui mikrofon, itu adalah suara yang tidak asing baginya.Budi, orang yang selama ini menunggu saat yang tepat untuk menghancurkannya.“Akhirnya kamu menunjukkan dirimu,” ujar Anton dengan senyum tipis di wajahnya, meski di dalam hatinya berkecamuk amarah yang terpendam.Suara itu menggetarkan setiap tulang dalam tubuhnya, suara yang penuh dengan tipu daya dan ancaman yang akan datang.Di sebelah Anton, Ghenadie, anak laki-lakinya yang baru ditemukannya beberapa buklan yang lalu dan baru sembuh dari kecelakaan mobilnya, tampak cemas. Matanya yang tajam menyiratkan keb
Langit malam menyelimuti kota dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu jalan. Suasana di dalam ruangan itu terasa menekan, seperti ada badai yang siap meledak kapan saja. Cahaya redup dari lampu meja memantulkan bayangan tajam di dinding, membuat wajah Budi terlihat semakin menyeramkan.Joko duduk di kursi tua di seberang Budi, tapi rasa gelisahnya membuat tubuhnya terasa berat. Tangannya masih bergetar sejak telepon dengan Lina tadi. Ia tidak yakin apakah semua ini benar-benar bisa berjalan sesuai rencana, terutama jika Lina mulai curiga.“Apakah Lina curiga?” suara Budi terdengar rendah, tapi nada bicaranya seperti pisau yang tajam menusuk. Ia menatap Joko dengan mata yang penuh tekanan.Joko mencoba menenangkan diri, menggeleng pelan meskipun gerakannya kaku. “Dia tidak tahu, Paman,” katanya dengan suara yang nyaris bergetar.Namun, di dalam hatinya ada keraguan, ada celah kecil yang takut Lina benar-benar mengetahui apa yang mereka sembunyikan.Budi tersenyum tipis, tapi