Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.
Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.
Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.
Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.
Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya.
"Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suaranya bergema di sudut-sudut jalan yang mulai sepi karena sebagian orang berlindung dari sengatan matahari. "Ini asli daging sapi, bukan daging tikus ..."
Setiap sendok bakso yang ia jual bukan hanya untuk biaya kuliah, tetapi juga untuk mengirim sedikit uang kepada orang tuanya. Ibunya hanya seorang petani di kampung, sekarang keadaannya kurang sehat lagi.
Kata ibunya, ayahnya sudah lama meninggal, sekarang tinggal ibunya dan satu orang saudara perempuannya yang tinggal di kampung dan masih SD.
Ghenadie nekat mengubah hidup, maka dia pergi kuliah ke kota dan berjualan bakso untuk menopang hidupnya. Ghenadie bekerja seperti biasa di gerobak baksonya, terkadang berjalan berkeliling, terkadang terparkir di tepi jalan karena melayani pembeli.
Sebuah kehidupan sederhana, tapi penuh kerja keras, yang ia jalani dengan tulus. Sejak kecil, ia diajarkan untuk tidak memilih jalan yang instan.
"Kebahagiaan datang dari keringat sendiri," begitu prinsip hidupnya. Namun, sore itu, takdir seakan memberi pukulan tak terduga.
Di kejauhan, sebuah mobil mewah melaju pelan mendekati tempatnya berjualan. Ghenadie awalnya tak terlalu memperhatikan, tapi ketika pintu mobil terbuka, hatinya mendadak seperti berhenti berdetak.
Dari dalam mobil itu, keluar seorang wanita yang sangat ia kenal—Lina, kekasih yang selama ini ia cintai sepenuh hati.
Namun, Lina tidak sendiri. Seorang pria keluar dari kursi pengemudi, menepuk pundaknya mesra, dan keduanya tertawa seakan dunia hanya milik mereka berdua.
Ghenadie merasakan tubuhnya mulai kaku. Dalam hatinya bergejolak pertanyaan yang tak bisa dijawab: Apa yang sedang terjadi?
Ghenadie akhirnya menghentikan kegiatannya, mencoba untuk menatap lebih lekat, berharap ini semua hanya salah paham.
"Lina?" panggil Ghenadie dengan suara parau, mencoba mencari jawaban dari pandangan mata kekasihnya.
Tapi yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dari Lina, seperti seolah-olah dia tak mengenalinya lagi.
Pria di samping Lina, yang berpakaian rapi dengan jam tangan mewah di pergelangan tangan, memandang Ghenadie dengan tatapan merendahkan. Dia tertawa pelan, mengisyaratkan Lina untuk tidak terlalu memperdulikan Ghenadie.
"Oh, jadi ini tukang bakso yang sering kamu ceritakan, Lina?" tanya pria itu dengan nada mengejek.
Lina hanya tersenyum, tapi senyum itu bukan senyum manis yang biasa Ghenadie lihat. Itu senyum penuh kesombongan dan penghinaan. Hatinya seketika hancur.
“Jangan heran, Ghenadie,” kata Lina, dengan nada yang sama sekali asing bagi Ghenadie. “Aku pantas mendapatkan yang lebih baik. Lihat dirimu! Kamu cuma tukang bakso, sementara di sini ada pria yang bisa memberi ku segalanya—mobil mewah, perhiasan, dan kehidupan yang layak.”
Ghenadie merasa di sambar petir di siang bolong. Ia terdiam. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Wanita yang selama ini ia cintai, yang ia percaya, sekarang berbicara kepadanya dengan begitu kejam.
Namun, rasa marah yang mulai merambat di hatinya, ia tekan dalam-dalam. Ia tidak ingin mengeluarkan kata-kata kasar. Meski sakit hati, ia masih ingin mendengar penjelasan dari Lina.
"Jadi, selama ini kamu hanya bermain-main denganku?" tanya Ghenadie dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Lina memutar bola matanya dengan jengkel.
“Ayolah, Ghenadie. Apa yang kamu pikirkan? Kamu benar-benar percaya aku bisa hidup dengan tukang bakso selamanya? Cinta saja tidak cukup, tidak bisa kita makan. Kita juga butuh uang, kita butuh uang untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya! Aku bosan hidup susah!”
Pria di samping Lina tertawa terbahak-bahak, lalu memotong. “Ayo, Lina. Jangan buang waktu lagi. Pria ini tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Lihat saja, dia masih menjual bakso di pinggir jalan, sementara aku bisa membawamu keliling dunia."
Ghenadie merasakan darahnya mendidih. Rasa cinta yang ia pendam selama ini, segala kerinduan yang begitu kuat, sekarang tergantikan oleh rasa kecewa, sakit dan kemarahan. Namun, sebelum ia bisa merespons, dua orang teman Lina yang turun dari mobil ikut campur.
“Kamu ini naif sekali, Ghenadie!” salah satu dari mereka berteriak. “Kamu pikir Lina bakal hidup dengan kamu selamanya? Lihat hidupmu! Kamu cuma seorang pengelola gerobak. Lina pantas dapat yang lebih baik!”
Ghenadie terdiam. Kata-kata itu sangat presisi, seakan menusuk jantungnya. Sudah cukup penghinaan itu. Ia sadar, tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan di sini. Lina telah memilih jalannya sendiri.
"Lina," kata Ghenadie dengan suara yang kini lebih tegas, meskipun hatinya terasa seperti dicabik-cabik.
"Jika kamu pikir uang bisa memberimu kebahagiaan, maka silakan. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini bersamaku."
Lina mendengus. “Kamu tahu, Ghenadie? Kamu terlalu baik. Itulah masalahmu. Di dunia ini, orang baik seperti kamu hanya akan diinjak-injak. Bersikap baik itu tidak cukup, tetapi orang perlu makan, berjalan keliling dunia, menikmati hidup. Siapa yang mau sampai mati hidup susah, apa lagi bersama tukang bakso sepertimu!”
Mendengar itu, Ghenadie terdiam sejenak, lalu menunduk. Hatinya hancur lebur karena dipermalukan, hatinya berkecamuk, namun ia tak ingin menunjukkan kelemahan di depan mereka. Ia mendongak lagi, menatap Lina dengan mata yang sekarang dipenuhi kesedihan, bukan lagi amarah.
"Kalau itu yang kamu pikir, Lina, maka selamat jalan. Aku berharap kamu bahagia dengan pilihanmu. Mudah-mudahan tidak salah pilih."
Ghenadie membalikkan wajahnya, meneruskan pekerjaannya. Dia tidak peduli lagi dengan Lina dan pria serta dua orang kawan yang bersamanya.
Rasa sakit menggerogoti hatinya, namun ia tahu, ini adalah jalan yang harus ia tempuh.
Namun, saat Ghenadie tidak peduli lagi, salah satu dari wanita kawan Lina itu berteriak lagi, "Eh, kamu tahu dirilah? Jaga saja gerobak bututmu itu! Ha-ha!"
Ghenadie mengeram marah, dia menggigit bibirnya kuat-kuat. Kali ini, dadanya terasa sesak, bukan karena hinaan itu, tetapi karena rasa kecewa yang begitu mendalam. Ia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh.
Dunia seolah runtuh di hadapannya, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan membiarkan harga dirinya hancur. Dia segera mendorong gerobak baksonya pulang. Sesampai di rumah, hari sudah malam.
Malam itu terasa begitu panjang bagi Ghenadie. Ia mengunci dirinya di kamar sempitnya. Seperti hancur berantakan, semua harapan yang selama ini ia bangun bersama Lina hilang dalam sekejap.
Hatinya begitu sakit, namun ia tahu tidak ada gunanya meratapi nasib. Meskipun tangisannya berderai, cuma untung tidak ada yang melihatnya.
***
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya."Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suara