Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.
Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya.
"Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.
Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."
Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan.
"Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"
Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang belum terjawab. Ia menatap Ghenadie dengan ragu.
"Pak Andri mengundangmu?" suaranya lirih, nyaris tidak terdengar di tengah suasana yang semakin mencekam. "Mustahil, bagaimana dia bisa kenal denganmu?"
Ghenadie membuka mulutnya, berniat memberikan penjelasan, tetapi suara langkah berat yang terdengar dari belakang mereka membuatnya berhenti.
Detak jantungnya tiba-tiba melonjak, menyadari bahwa apa pun yang akan terjadi berikutnya, itu akan mengubah segalanya.
"Benar, aku yang mengundangnya."
Semua orang di ruangan itu menoleh serentak, mata mereka kini terpaku pada sosok tinggi yang baru saja memasuki ruangan. Pak Andri, dengan postur tubuh yang tegap dan wajah tanpa ekspresi, berjalan dengan langkah mantap ke arah mereka. Ketegasan dalam setiap gerakannya tidak menyisakan ruang untuk keraguan.
"Pak Andri?" Joko dan Pak Budi serempak terperangah, wajah mereka dipenuhi keterkejutan.
Lina pun, yang biasanya tenang dan terkendali, kini memandang Pak Andri dengan tatapan tak percaya.
Namun Pak Andri, seperti biasa, tidak menunjukkan emosi. Ia hanya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat, sebelum menatap Ghenadie dengan tatapan penuh arti. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sesuatu yang membuat Joko semakin gelisah.
"Ghenadie ada di sini karena aku yang memintanya datang," kata pak Andri, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Ada hal penting yang harus kami bicarakan."
Joko, yang kini mulai kehilangan keseimbangan emosionalnya, tampak bingung. Ia melirik Pak Budi sejenak sebelum kembali menatap Andri.
"Pak Andri, dia... dia ini bukan siapa-siapa. Saya rasa Anda membuat kesalahan besar dengan mengundangnya ke sini."
Dengan gerakan pelan namun tegas, pak Andri menggelengkan kepala. "Aku tidak membuat kesalahan, Joko," jawabnya dengan nada yang mengandung peringatan.
"Ghenadie mungkin bukan siapa-siapa menurutmu, tapi bagiku, dia punya hak yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan."
Pak Budi, yang biasanya tegas dan selalu merasa superior, kini tampak goyah. Alisnya berkerut dalam, dan suaranya terdengar ragu. "Tapi... Pak Andri, apa maksud Anda?"
Pak Andri menghela napas panjang, matanya melintasi setiap wajah di ruangan itu, memperhatikan dengan seksama reaksi mereka yang terdiam. Ketegangan makin terasa saat ia berhenti menatap Ghenadie untuk beberapa detik yang terasa begitu lama.
"Aku tahu ini sulit untuk kalian terima," ucapnya dengan berat. "Tapi perlu kalian ketahui, Ghenadie kemungkinan besar adalah putra kandung dari Direktur Utama perusahaan ini."
Seolah waktu berhenti. Keheningan melanda ruangan dengan tiba-tiba, menenggelamkan semua orang dalam keterkejutan yang mencekam. Mata Joko melebar tak percaya, Lina menutup mulutnya dengan tangan, sedangkan Pak Budi hanya berdiri terpaku, tampak seolah-olah dunianya runtuh seketika.
Ghenadie sendiri tidak mampu berkata apa-apa. Pikirannya bergolak, seperti lautan yang dilanda badai. Semua ini terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, dan terlalu tak terduga.
Pewaris perusahaan besar? Seorang tukang bakso pewaris perusahaan besar? Itu sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahkan di dalam mimpi terliarnya sekalipun.
"Tidak mungkin!" seru Joko tiba-tiba, nadanya meninggi, hampir histeris. "Dia… dia bukan siapa-siapa! Tidak mungkin dia anak dari Direktur Utama!"
Tatapan Andri berubah tajam, suaranya menegang saat ia berbicara. "Aku tahu ini sulit dipercaya, Joko," katanya tegas, seolah mencoba meredakan gejolak amarah pria itu. "Tapi kita semua akan melihat kebenarannya setelah hasil tes DNA keluar."
Namun yang tidak diketahui Joko, Lina, dan Pak Budi adalah bahwa hasil tes itu sebenarnya sudah keluar. Andri telah menerimanya pagi ini, dan hasilnya jelas: Ghenadie adalah putra kandung Direktur Utama, tanpa keraguan.
Direktur Utama sendiri telah mengetahui kebenaran ini, tapi memilih untuk membiarkan Andri menyelesaikan situasi di lapangan sebelum dia mengambil langkah lebih lanjut.
Joko, yang biasanya percaya diri, kini tampak semakin gugup. Peluh mulai membasahi dahinya, dan kata-katanya terasa semakin tidak meyakinkan. "Tapi, Pak Andri, perusahaan ini... Ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada seseorang yang baru muncul dari ..."
"Seseorang yang baru muncul?" pak Andri memotong dengan nada dingin. "Joko, ini bukan masalah siapa yang lebih lama di sini. Ini tentang hak. Tentang darah. Dan Ghenadie, jika dia memang anak dari Direktur Utama, punya hak yang sudah lama dirampas darinya."
Pak Budi akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih hati-hati. "Tapi... jika benar dia anak Direktur Utama," katanya pelan, masih mencoba memahami seluruh situasi. "Mengapa baru sekarang?"
Ghenadie merasa semua mata tertuju padanya, menunggu jawabannya. Tenggorokannya terasa kering, namun ia tahu bahwa inilah saatnya ia bicara.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang masa lalu saya," ujarnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Saya dibesarkan oleh seorang ibu, katanya ayah saya sudah meninggal sewaktu saya masih bayi. Saya tidak pernah tahu siapa ayah kandung saya. Semua ini baru bagi saya juga."
Keheningan kembali melanda. Untuk sesaat, tak ada yang berkata apa-apa, hingga akhirnya Lina, yang selama ini hanya diam, berbicara. Suaranya lembut, nyaris tak terdengar, namun penuh rasa bersalah.
"Kalau ini benar, Ghenadie... aku minta maaf atas semua yang terjadi selama ini ya." Tatapan matanya lembut, berbeda dari sebelumnya yang penuh curiga.
Ghenadie menatapnya sejenak, merasakan sedikit kelegaan meski tidak sepenuhnya. Dengan anggukan kecil, ia menjawab, "Tidak apa-apa."
Andri, yang berdiri di sisi Ghenadie, kembali berbicara. "Tenang saja," ujarnya sambil menepuk bahu Ghenadie. "Jika hasil tes DNA sesuai yang kita duga, kamu akan mendapatkan apa yang memang seharusnya menjadi hakmu."
Namun, dalam benaknya, Andri sudah tahu hasilnya. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran sepenuhnya. Ada rencana yang lebih besar yang sudah dirancang sejak lama oleh Direktur Utama .
Ghenadie dan Andri lalu melangkah ke arah lift dan menaikinya menuju tingkat teratas, di mana Direktur Utama berada, meninggalkan Joko, Lina, dan Pak Budi yang masih terdiam dalam keterkejutan dan kebingungan.
***
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa meliha
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, suasana kantor sudah sangat lengang, karena para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul empat tadi, kecuali mereka yang kerjaannya masih tanggung sehingga terpaksa lembur. Di sebuah sudut ruangan, Budi, manajer HRD, berdiri di balik kaca ray ban jendela yang yang tidak bisa di lihat dari luar. Lampunya mati dan HP mereka juga dimatikan, sehingga orang lain tidak akan menyangka jika mereka berada di ruangan itu.Dia melihat ke arah ruangan Ghenadie yang kebetulan berseberangan dengan ruangannya. Sementara di ruangan lain itu, Ghenadie masih sibuk mempelajari setumpuk.Sebagai orang baru dengan perusahaan, dia harus belajar banyak. Apa lagi ada indikasi kecurangan oleh pada Budi dan keponakannya Joko. Dia dia harus belajar banyak untuk membuktikannya dalam waktu singkat.Ayah Ghenadie, pak Anton Prasetyo, pemilik perusahaan, memang kurang sehat. Pada waktu itu dia sudah berada di rumah, ditemani kawan akrabnya yang selalu setia, pak Andri.Lain h
Joko berhasil mengejar Lina ke kamar kerjanya, kemudian mengajak Lina pulang bersama. Joko masuk duluan ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara lembut AC menjadi satu-satunya latar di dalam kabin.Ia melirik Lina di kursi penumpang yang sibuk memandang ponselnya. Hening melingkupi, hanya dipecahkan oleh sesekali suara klakson dari kendaraan yang sama-sama terjebak di kemacetan panjang Jakarta.“Macetnya parah banget ya,” gumam Joko akhirnya, memecah kebisuan.“Iya, udah biasa,” jawab Lina singkat tanpa menoleh. Nada suaranya netral, tapi Joko tahu ada sesuatu yang mengganjal. Lina bukan tipe yang banyak bicara saat suasana hatinya sedang buruk.Diam kembali menguasai perjalanan mereka. Mobil perlahan merayap di antara kerumunan kendaraan lain. Joko mencoba fokus pada jalanan, tapi pikirannya melayang.Ada hal-hal yang belum terucap, kelakuan Lina tadi ke kamar Ghenadie masih misteri bagi Joko. Namun malam itu, lidahnya seperti terkunci. Ia takut merusak momen yang ada—momen sederha
Malam telah jauh menyelubungi kota, dan lampu-lampu jalan berpendar redup di tengah kesunyian. Di dalam kantornya yang megah, Ghenadie duduk di belakang meja besar yang penuh dengan tumpukan kertas.Di hadapannya, laporan keuangan perusahaan tergeletak dengan angka-angka mencurigakan yang seolah berteriak untuk diperhatikan. Ia mengerutkan kening, membaca dengan seksama.Semakin dalam ia menggali, semakin jelas kecurigaannya: dua orang kepercayaannya ayahnya, Budi dan Joko, telah melakukan penggelapan besar-besaran.Bukti-bukti mulai terkumpul di tangannya. Kejanggalan transaksi, aliran dana yang tidak wajar, hingga perbedaan laporan internal dan eksternal membuat segalanya menjadi terang.“Berani sekali mereka,” gumamnya, suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam. Ia tahu, langkah selanjutnya adalah membongkar semuanya. Namun, ia juga sadar, ini bukan urusan kecil. Ini melibatkan uang dalam jumlah besar, dan jika ia tidak berhati-hati, bukan hanya perusahaan yang akan hancur, tetapi
Pak Anton duduk di kursi kayu tua di teras rumahnya, mengenakan sarung yang melilit lututnya yang sedikit bengkak. Pagi itu tenang, hanya suara angin dan kicauan burung yang mengisi udara.Meski jalannya kini pincang dan lambat akibat asam urat serta kolesterol yang kerap menyerang sendi-sendi tubuhnya, ia bersyukur bisa menikmati sisa hidupnya. Namun, di balik senyumnya yang tenang, ada luka yang tidak semua orang tahu.“Pak, minum obatnya dulu,” kata Bulan, anak tetangga yang merawatnya.Anak tetangga ini sudah kehilangan kedua orang tuanya, sehingga dianggap sebagai anak oleh pak Anton dan dihidupinya.Bulan yang datang membawa segelas air putih dan beberapa tablet kecil di tangannya. Pak Anton memandang Lina sejenak, lalu tersenyum samar. “Obat lagi, Lan? Sudah seperti permen saja hidup ini, setiap hari mesti ditelan.”“Bapak ini suka bercanda,” Bulan mencoba tersenyum, meski hatinya was-was. “Kalau Bapak nggak minum obat, nanti tambah parah. Nggak mau kan, saya bawain kursi roda
Langit malam menyelimuti kota dengan kegelapan yang hanya diterangi cahaya lampu jalan. Suasana di dalam ruangan itu terasa menekan, seperti ada badai yang siap meledak kapan saja. Cahaya redup dari lampu meja memantulkan bayangan tajam di dinding, membuat wajah Budi terlihat semakin menyeramkan.Joko duduk di kursi tua di seberang Budi, tapi rasa gelisahnya membuat tubuhnya terasa berat. Tangannya masih bergetar sejak telepon dengan Lina tadi. Ia tidak yakin apakah semua ini benar-benar bisa berjalan sesuai rencana, terutama jika Lina mulai curiga.“Apakah Lina curiga?” suara Budi terdengar rendah, tapi nada bicaranya seperti pisau yang tajam menusuk. Ia menatap Joko dengan mata yang penuh tekanan.Joko mencoba menenangkan diri, menggeleng pelan meskipun gerakannya kaku. “Dia tidak tahu, Paman,” katanya dengan suara yang nyaris bergetar.Namun, di dalam hatinya ada keraguan, ada celah kecil yang takut Lina benar-benar mengetahui apa yang mereka sembunyikan.Budi tersenyum tipis, tapi
Pak Anton duduk di kursi kayu tua di teras rumahnya, mengenakan sarung yang melilit lututnya yang sedikit bengkak. Pagi itu tenang, hanya suara angin dan kicauan burung yang mengisi udara.Meski jalannya kini pincang dan lambat akibat asam urat serta kolesterol yang kerap menyerang sendi-sendi tubuhnya, ia bersyukur bisa menikmati sisa hidupnya. Namun, di balik senyumnya yang tenang, ada luka yang tidak semua orang tahu.“Pak, minum obatnya dulu,” kata Bulan, anak tetangga yang merawatnya.Anak tetangga ini sudah kehilangan kedua orang tuanya, sehingga dianggap sebagai anak oleh pak Anton dan dihidupinya.Bulan yang datang membawa segelas air putih dan beberapa tablet kecil di tangannya. Pak Anton memandang Lina sejenak, lalu tersenyum samar. “Obat lagi, Lan? Sudah seperti permen saja hidup ini, setiap hari mesti ditelan.”“Bapak ini suka bercanda,” Bulan mencoba tersenyum, meski hatinya was-was. “Kalau Bapak nggak minum obat, nanti tambah parah. Nggak mau kan, saya bawain kursi roda
Malam telah jauh menyelubungi kota, dan lampu-lampu jalan berpendar redup di tengah kesunyian. Di dalam kantornya yang megah, Ghenadie duduk di belakang meja besar yang penuh dengan tumpukan kertas.Di hadapannya, laporan keuangan perusahaan tergeletak dengan angka-angka mencurigakan yang seolah berteriak untuk diperhatikan. Ia mengerutkan kening, membaca dengan seksama.Semakin dalam ia menggali, semakin jelas kecurigaannya: dua orang kepercayaannya ayahnya, Budi dan Joko, telah melakukan penggelapan besar-besaran.Bukti-bukti mulai terkumpul di tangannya. Kejanggalan transaksi, aliran dana yang tidak wajar, hingga perbedaan laporan internal dan eksternal membuat segalanya menjadi terang.“Berani sekali mereka,” gumamnya, suaranya dipenuhi kemarahan yang terpendam. Ia tahu, langkah selanjutnya adalah membongkar semuanya. Namun, ia juga sadar, ini bukan urusan kecil. Ini melibatkan uang dalam jumlah besar, dan jika ia tidak berhati-hati, bukan hanya perusahaan yang akan hancur, tetapi
Joko berhasil mengejar Lina ke kamar kerjanya, kemudian mengajak Lina pulang bersama. Joko masuk duluan ke dalam mobil dan menyalakan mesin, suara lembut AC menjadi satu-satunya latar di dalam kabin.Ia melirik Lina di kursi penumpang yang sibuk memandang ponselnya. Hening melingkupi, hanya dipecahkan oleh sesekali suara klakson dari kendaraan yang sama-sama terjebak di kemacetan panjang Jakarta.“Macetnya parah banget ya,” gumam Joko akhirnya, memecah kebisuan.“Iya, udah biasa,” jawab Lina singkat tanpa menoleh. Nada suaranya netral, tapi Joko tahu ada sesuatu yang mengganjal. Lina bukan tipe yang banyak bicara saat suasana hatinya sedang buruk.Diam kembali menguasai perjalanan mereka. Mobil perlahan merayap di antara kerumunan kendaraan lain. Joko mencoba fokus pada jalanan, tapi pikirannya melayang.Ada hal-hal yang belum terucap, kelakuan Lina tadi ke kamar Ghenadie masih misteri bagi Joko. Namun malam itu, lidahnya seperti terkunci. Ia takut merusak momen yang ada—momen sederha
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, suasana kantor sudah sangat lengang, karena para karyawan kebanyakan sudah pulang pada pukul empat tadi, kecuali mereka yang kerjaannya masih tanggung sehingga terpaksa lembur. Di sebuah sudut ruangan, Budi, manajer HRD, berdiri di balik kaca ray ban jendela yang yang tidak bisa di lihat dari luar. Lampunya mati dan HP mereka juga dimatikan, sehingga orang lain tidak akan menyangka jika mereka berada di ruangan itu.Dia melihat ke arah ruangan Ghenadie yang kebetulan berseberangan dengan ruangannya. Sementara di ruangan lain itu, Ghenadie masih sibuk mempelajari setumpuk.Sebagai orang baru dengan perusahaan, dia harus belajar banyak. Apa lagi ada indikasi kecurangan oleh pada Budi dan keponakannya Joko. Dia dia harus belajar banyak untuk membuktikannya dalam waktu singkat.Ayah Ghenadie, pak Anton Prasetyo, pemilik perusahaan, memang kurang sehat. Pada waktu itu dia sudah berada di rumah, ditemani kawan akrabnya yang selalu setia, pak Andri.Lain h
Dengan semua luka masa lalu, Ghenadie bertekad untuk tidak gegabah. Hidup telah mengajarinya satu hal: kesabaran adalah senjata terbaik. Sehingga dia mau mendengar langsung, apa tujuan Lina menemui dirinya.Meskipun dengan kuasanya, dia bisa saja langsung memecat Budi, Joko dan Lina. Tetapi itu tidak dia lakukan, dia ingin membuktikan bahwa mereka bersalah. Ketangkap basah dengan perbuatannya.Lina berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun hitam sederhana yang tampak kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut hitam panjangnya basah oleh gerimis, namun senyum kecil yang ia pasang tampak seperti usaha untuk mencairkan suasana.“Boleh aku duduk?” tanyanya lembut.Ghenadie memandangnya sejenak, kemudian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lina melangkah masuk dan duduk di kursi seberang meja, berhadapan langsung dengannya.Jarak di antara mereka terasa seperti jurang lebar, meski secara fisik mereka hanya terpaut beberapa meter.“Apa kabar, Ghenadie?” Lina memulai percakapan dengan hat
Pak Andri waktu itu duduk di bawah bayang-bayang pohon rindang di sudut di taman restoran. Tubuhnya yang kusut dan penuh debu menjadi saksi perjuangannya sebagai pemulung. Dari pagi, ia belum sempat makan. Namun, rasa laparnya bukanlah sesuatu yang ingin ia ungkapkan, apalagi kepada orang lain. Akan tetapi, tubuhnya punya cara sendiri untuk berbicara."Krriiiiuuukkk..."Bunyi dari perutnya begitu keras, hingga Pak Anton, seorang pria paruh baya yang duduk tak jauh darinya, mendengarnya dengan jelas. Pak Anton mengangkat wajah dari sendoknya, menatap Pak Andri dengan senyuman ramah.“Pak, duduklah di sini. Makan dulu,” ucap Pak Anton tanpa basa-basi, langsung memanggil pelayan restoran kecil itu untuk memesan seporsi makanan.Pak Andri tertegun. Rasa malu menyergap dirinya. Dengan langkah ragu, ia menolak. “Maaf, Pak. Saya ini kotor. Tidak pantas duduk di dekat Bapak,” ujarnya, menunduk.Pak Anton tertawa kecil. “Ah, jangan pikirkan itu. Duduklah. Kalau makanan sudah datang, silakan m
Sepeninggal Pak Andri dan Ghenadie, atmosfer di kantor seperti berubah. Semua orang terdiam, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar tenang. Di luar sana, hujan gerimis menambah suasana kelabu.Budi kembali masuk ke ruangan HRD dan duduk di kursinya dengan ekspresi wajah dingin, kedua tangan terlipat di atas meja. Tatapannya lurus ke depan, tapi pikirannya berkelana jauh.Sebagai manajer HRD yang selama ini merasa paling aman di posisinya, kedatangan Ghenadie, si mantan tukang bakso yang kini bisa saja mengancam kekuasaannya, menjadi ancaman nyata.Sementara itu, beberapa karyawan lainnya juga menjadi heboh dengan kedatangan Ghenadie. Mereka tidak terlalu jelas mendengar pembicaraan pak Budi, Joko dan lainnya tentang Ghenadie, tetapi mereka sempat mendengar jika Ghenadie itu kemungkinan adalah anak pak Anton yang selama ini tidak mereka ketahui.Biarpun dengan berbisik-bisik, ramai pembicaraan diantara mereka. Meskipun Ghenadie tidak terlihat kaya, tetapi mereka sebenarnya bisa meliha
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang