Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.
Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya.
"Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.
Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."
Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan.
"Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"
Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang belum terjawab. Ia menatap Ghenadie dengan ragu.
"Pak Andri mengundangmu?" suaranya lirih, nyaris tidak terdengar di tengah suasana yang semakin mencekam. "Mustahil, bagaimana dia bisa kenal denganmu?"
Ghenadie membuka mulutnya, berniat memberikan penjelasan, tetapi suara langkah berat yang terdengar dari belakang mereka membuatnya berhenti.
Detak jantungnya tiba-tiba melonjak, menyadari bahwa apa pun yang akan terjadi berikutnya, itu akan mengubah segalanya.
"Benar, aku yang mengundangnya."
Semua orang di ruangan itu menoleh serentak, mata mereka kini terpaku pada sosok tinggi yang baru saja memasuki ruangan. Pak Andri, dengan postur tubuh yang tegap dan wajah tanpa ekspresi, berjalan dengan langkah mantap ke arah mereka. Ketegasan dalam setiap gerakannya tidak menyisakan ruang untuk keraguan.
"Pak Andri?" Joko dan Pak Budi serempak terperangah, wajah mereka dipenuhi keterkejutan.
Lina pun, yang biasanya tenang dan terkendali, kini memandang Pak Andri dengan tatapan tak percaya.
Namun Pak Andri, seperti biasa, tidak menunjukkan emosi. Ia hanya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat, sebelum menatap Ghenadie dengan tatapan penuh arti. Ada sesuatu di balik tatapan itu, sesuatu yang membuat Joko semakin gelisah.
"Ghenadie ada di sini karena aku yang memintanya datang," kata pak Andri, suaranya tenang namun penuh otoritas. "Ada hal penting yang harus kami bicarakan."
Joko, yang kini mulai kehilangan keseimbangan emosionalnya, tampak bingung. Ia melirik Pak Budi sejenak sebelum kembali menatap Andri.
"Pak Andri, dia... dia ini bukan siapa-siapa. Saya rasa Anda membuat kesalahan besar dengan mengundangnya ke sini."
Dengan gerakan pelan namun tegas, pak Andri menggelengkan kepala. "Aku tidak membuat kesalahan, Joko," jawabnya dengan nada yang mengandung peringatan.
"Ghenadie mungkin bukan siapa-siapa menurutmu, tapi bagiku, dia punya hak yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan."
Pak Budi, yang biasanya tegas dan selalu merasa superior, kini tampak goyah. Alisnya berkerut dalam, dan suaranya terdengar ragu. "Tapi... Pak Andri, apa maksud Anda?"
Pak Andri menghela napas panjang, matanya melintasi setiap wajah di ruangan itu, memperhatikan dengan seksama reaksi mereka yang terdiam. Ketegangan makin terasa saat ia berhenti menatap Ghenadie untuk beberapa detik yang terasa begitu lama.
"Aku tahu ini sulit untuk kalian terima," ucapnya dengan berat. "Tapi perlu kalian ketahui, Ghenadie kemungkinan besar adalah putra kandung dari Direktur Utama perusahaan ini."
Seolah waktu berhenti. Keheningan melanda ruangan dengan tiba-tiba, menenggelamkan semua orang dalam keterkejutan yang mencekam. Mata Joko melebar tak percaya, Lina menutup mulutnya dengan tangan, sedangkan Pak Budi hanya berdiri terpaku, tampak seolah-olah dunianya runtuh seketika.
Ghenadie sendiri tidak mampu berkata apa-apa. Pikirannya bergolak, seperti lautan yang dilanda badai. Semua ini terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, dan terlalu tak terduga.
Pewaris perusahaan besar? Seorang tukang bakso pewaris perusahaan besar? Itu sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benaknya, bahkan di dalam mimpi terliarnya sekalipun.
"Tidak mungkin!" seru Joko tiba-tiba, nadanya meninggi, hampir histeris. "Dia… dia bukan siapa-siapa! Tidak mungkin dia anak dari Direktur Utama!"
Tatapan Andri berubah tajam, suaranya menegang saat ia berbicara. "Aku tahu ini sulit dipercaya, Joko," katanya tegas, seolah mencoba meredakan gejolak amarah pria itu. "Tapi kita semua akan melihat kebenarannya setelah hasil tes DNA keluar."
Namun yang tidak diketahui Joko, Lina, dan Pak Budi adalah bahwa hasil tes itu sebenarnya sudah keluar. Andri telah menerimanya pagi ini, dan hasilnya jelas: Ghenadie adalah putra kandung Direktur Utama, tanpa keraguan.
Direktur Utama sendiri telah mengetahui kebenaran ini, tapi memilih untuk membiarkan Andri menyelesaikan situasi di lapangan sebelum dia mengambil langkah lebih lanjut.
Joko, yang biasanya percaya diri, kini tampak semakin gugup. Peluh mulai membasahi dahinya, dan kata-katanya terasa semakin tidak meyakinkan. "Tapi, Pak Andri, perusahaan ini... Ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada seseorang yang baru muncul dari ..."
"Seseorang yang baru muncul?" pak Andri memotong dengan nada dingin. "Joko, ini bukan masalah siapa yang lebih lama di sini. Ini tentang hak. Tentang darah. Dan Ghenadie, jika dia memang anak dari Direktur Utama, punya hak yang sudah lama dirampas darinya."
Pak Budi akhirnya berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih hati-hati. "Tapi... jika benar dia anak Direktur Utama," katanya pelan, masih mencoba memahami seluruh situasi. "Mengapa baru sekarang?"
Ghenadie merasa semua mata tertuju padanya, menunggu jawabannya. Tenggorokannya terasa kering, namun ia tahu bahwa inilah saatnya ia bicara.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang masa lalu saya," ujarnya pelan, mencoba menenangkan diri. "Saya dibesarkan oleh seorang ibu, katanya ayah saya sudah meninggal sewaktu saya masih bayi. Saya tidak pernah tahu siapa ayah kandung saya. Semua ini baru bagi saya juga."
Keheningan kembali melanda. Untuk sesaat, tak ada yang berkata apa-apa, hingga akhirnya Lina, yang selama ini hanya diam, berbicara. Suaranya lembut, nyaris tak terdengar, namun penuh rasa bersalah.
"Kalau ini benar, Ghenadie... aku minta maaf atas semua yang terjadi selama ini ya." Tatapan matanya lembut, berbeda dari sebelumnya yang penuh curiga.
Ghenadie menatapnya sejenak, merasakan sedikit kelegaan meski tidak sepenuhnya. Dengan anggukan kecil, ia menjawab, "Tidak apa-apa."
Andri, yang berdiri di sisi Ghenadie, kembali berbicara. "Tenang saja," ujarnya sambil menepuk bahu Ghenadie. "Jika hasil tes DNA sesuai yang kita duga, kamu akan mendapatkan apa yang memang seharusnya menjadi hakmu."
Namun, dalam benaknya, Andri sudah tahu hasilnya. Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran sepenuhnya. Ada rencana yang lebih besar yang sudah dirancang sejak lama oleh Direktur Utama .
Ghenadie dan Andri lalu melangkah ke arah lift dan menaikinya menuju tingkat teratas, di mana Direktur Utama berada, meninggalkan Joko, Lina, dan Pak Budi yang masih terdiam dalam keterkejutan dan kebingungan.
***
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya."Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suara
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan hiruk-pikuk kendaraan. Di salah satu gedung megah yang menjulang tinggi, Anton Prasetyo, Direktur Utama PT Prasetyo Grup, tengah duduk di kursi ruang kantornya yang berada di tingkat teratas.Pandangannya kosong, meski layar laptop di depannya menunjukkan laporan keuangan yang menumpuk. Kesehatannya memang tak lagi seperti dulu, tapi bukan itu yang memenuhi pikirannya saat ini.Sudah berhari-hari Anton merasakan kegelisahan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya melemah karena penyakit jantung, pikirannya tetap tajam, terutama dalam hal bisnis.Ia tahu bahwa di dalam perusahaannya itu, Joko dan Budi, dua orang yang sudah lama menjadi kepercayaannya, diam-diam ingin merebut posisi kekuasaannya.Budi adalah direktur utama SDM, dan Joko adalah keponakan Budi, direktur pemasaran atas rekomendasi Budi. Tetapi gaya mereka sekarang sudah seperti pemilik perusahaan saja. Apa lagi Budi sebagai direktur SDM, dia punya kewenang
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya."Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suara